Cari Blog Ini

Tampilkan postingan dengan label mahad-assalafy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mahad-assalafy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Oktober 2016

Hukum Membangunkan Jamaah Yang Tidur Ketika Khutbah Jum’at

Pertanyaan: Sebagian orang ada yang tidur ketika khutbah Jumat berlangsung. Apakah kalau kami membangunkan mereka, kami termasuk orang yang berbuat sia-sia sehingga tidak mendapatkan keutamaan shalat Jumat?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Disukai membangunkan mereka hanya dengan perbuatan saja, tanpa dengan ucapan. Karena berbicara ketika khutbah berlangsung itu tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغوت

“Jika engkau mengatakan kepada temanmu ‘diam!’ pada hari Jumat, sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Al-Bukhari)

Dari hadits tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam menamakan perbuatan orang tadi sebagai sesuatu yang sia-sia, padahal orang itu bermaksud melakukan amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan). Hal ini menunjukkan kewajiban untuk diam dan haramnya berbicara ketika khutbah berlangsung. Wallahul Muwaffiq.

(Majmu’ Fatawa Ibn Baz)

The post Hukum Membangunkan Jamaah Yang Tidur Ketika Khutbah Jum’at appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/14/hukum-membangunkan-jamaah-tidur-ketika-khutbah-jumat/

Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin

Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini masyarakat banyak membicarakan tentang surat Al Maidah ayat 51, yang mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(kalian); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah: 51)

Asbab an Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Al imam al Bagowi rahimahullah menyebutkan dalam kitanya Ma’alim at Tanzil fi Tafsir al Qur’an:
Para ulama’ berselisih pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, meskipun hukumnya umum mencakup seluruh kaum muslimin, sebagian berkata: Ayat ini turun tentang Ubadah bin as Shamit radhiyallahu anhu dan Abdullah bin Ubai bin Salul yang sedang berselisih. Ubadah radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya aku memiliki banyak pelindung dari kaum Yahudi, kekuatan mereka pun begitu besar, tapi aku berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam dari perlindungan (penguasaan) mereka, tidak ada perlindungan bagiku kecuali perlindungan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam”. Kemudian Abdullah bin Ubai bi Salul berkata: “Akan tetapi, aku tidak akan melepaskan perlindungan kaum Yahudi, karena aku takut tertimpa bencana sehingga aku butuh mereka”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: “Wahai Aba Hubbab, apa yang engkau sayangkan dari perlindungan Yahudi atas Ubadah bin Shamit maka itu untukmu bukan untuknya”. Ia berkata: “Maka akan aku terima”. Kemudian Allah turunkan ayat ini.

Berkata al Imam as Suddi rahimahullah: Ketika perang Uhud semakin dahsyat bagi sekelompok orang, dan mereka dihampiri rasa takut akan dikalahkan kaum kuffar, berkatalah seorang dari kaum muslimin: “Aku akan bergabung dengan seorang Yahudi dan meminta keamanan darinya aku khawatir Yahudi akan menguasai kita”. Berkata seorang yang lain: “Adapun aku, maka aku akan bergabung dengan seorang nasrani dari Syam, dan aku akan meminta keamanan darinya”. Maka Allah pun menurunkan ayat ini untuk melarang mereka berdua.

Tafsir

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nasir as Sa’di rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan, Allah subhanahu wa ta’ala membimbing hamba-hambanya yang mukmin dengan menjelaskan kondisi kaum Yahudi dan Nashara serta sifat mereka yang buruk, untuk tidak menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin). Karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka saling menolong satu sama lain, dan bersatu dalam memusuhi selain mereka. Kalian (kaum muslimin) janganlah menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin) kalian, sungguh mereka adalah musuh kalian yang nyata dan mereka tidak peduli akan kesulitan kalian. Bahkan mereka tidak pernah mengendorkan semangat untuk menyesatkan kalian. Maka tidaklah ada yang menjadikan mereka sebagai pemimpin kecuali orang yang semisalnya. Karena itu lah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. Karena loyalitas yang sempurna menjadikannya pindah kepada agama mereka, dan loyalitas yang sedikit mengantar pada loyalitas yang lebih besar dan banyak, kemudian bertambah dan bertambah sampai seorang hamba mukmin menjadi (kafir) seperti mereka. “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” .

Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Tafsir al Qur’an al Adzim, dari Iyad rahimahullah, bahwa Umar bin al Khattab radhiyallahu anhu pernah memerintahkan Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu untuk melaporkan apa yang diambil dan apa yang diberikannya (yaitu pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Pada  waktu itu sekertaris Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu adalah seorang nasrani. Kemudian laporan itupun sampai kepada Umar radhiyallahu anhu, ia pun heran dengan hal tersebut, lalu berkata “Orang ini benar-benar pandai, apakah kamu bisa membacakan sebuah catatan kepada kami di masjid yang datang dari Syam? lalu Abu Musa berkata “Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid”. Umar bertanya “Apakah dia sedang junub?”. Abu Musa menjawab “Tidak, tapi dia seorang nasrani”. Maka Umar bin al Khattab membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata “Pecatlah dia!” selanjutnya membaca ayat ini (al Maidah ayat 51).

Kesimpulan

1. Penjelasan di atas sangat jelas menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.

2. Sikap loyal terhadap kaum kuffar sedikit demi sedikit akan mengantarkan ia menjadi seperti mereka, hal ini sebagaimana yang hadits Nabi shallallahualaihi wasallam (artinya), “Sesorang itu bergantung pada agama sahabatnya”.

The post Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/13/hukum-menjadikan-orang-kafir-pemimpin/

Benarkah kewajiban untuk taat kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam ada batasannya?

Benarkah wajibnya mentaati Rasulullah shallallahualaihi wasallam terbatas selama tidak menyelisihi perintah Allah subhanahu wa ta’ala….??

Sungguh ini adalah perkataan yang batil, karena Rasulullah shallallahualaihi wasallam tidaklah berkata dari hawa nafsunya, ucapan beliau adalah wahyu yang diwahyukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (*) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. an Najm: 3-4).

Berbeda dengan kewajiban untuk taat kepada pemerintah, maka ketaatan kepada mereka dibatasi, selama tidak pada kemaksiatan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda (artinya), “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap al Khalik”.

Hal tersebut seakan terlihat dari firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an Nisa’ ayat: 56, ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi kata [taatilah] dalam perintah untuk taat kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam dan tidak mengulangi kata tersebut dalam perintah untuk taat kepada ulil amri (pemerintah).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu”.(QS, an Nisa’:59).

The post Benarkah kewajiban untuk taat kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam ada batasannya…?? appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/14/benarkah-kewajiban-taat-rasulullah-shallallahualaihi-wasallam-ada-batasannya/

Kamis, 13 Oktober 2016

Siapakah Komunis Itu ……. ? (Bagian 2)

Mereka menghalalkan segala cara

- Bagi komunis semua serba boleh, karena lepas dari keyakinan dan agama.
- Aturan-aturan yang terkonsep dalam agama dianggap sebagai penghalang untuk mendapatkan materi.
- Josep Stalin pernah suatu kali diperingatkan tentang perbuatannya oleh istrinya sendiri, namun istrinya malah dibunuh.

Mereka pemberontak yang kejam dan bengis

- Lenin (salah satu tokoh komunis dunia) berucap: “Hancurnya tiga perempat dunia tidak menjadi masalah. Sebab, yang terpenting ialah sisanya, yang seperempat, menjadi komunis.”
- Di Kamboja, gerakan komunis Khmer Merah membunuh jutaan penduduk yang tidak sepaham denagan mereka.
- Josep Stalin, tokoh komunis Rusia terkenal bengis, kejam, sadis, diktator dan keras kepala. Dalam menyingkirkan lawan-lawannya, Stalin melakukan pembantaian, pembunuhan dan pembuangan. Diperkirakan ia telah memerintah pembunuhan sekitar 30 juta penduduk Rusia dan sekitarnya.
- Mao Zedong (tokoh komunis China) dalam percakapannya dengan DN Aidit mengatakan:
Mao          : “Habisi jenderal-jenderal reaksioner dalam satu kali pukul mereka akan menjadi seekor naga tanpa kepala yang tunduk pada perintahmu.”
Aidit         : “Berarti kami harus membunuh banyak jenderal?”
Mao          : “Di Shensi Utara saya bunuh 20 ribu pembangkang dalam satu kali pukul.”
- Di Indonesia tercatat dua pemberontakan terjadi, pertama di Madiun tahun 1948 dipimpin oleh Muso dan tahun 1956 pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dipimpin oleh DN Aidit berujung pembunuhan terhadap 6 jendral tinggi.

Mereka adalah pendusta besar

- Kaum komunis berdusta tentang jargon sama rasa sama ratanya. Di negara-negara komunis petinggi partai komunis di Uni Soviet. Mereka memiliki kehidupan jauh lebih baik dibandingkan rakyat jelata. Makin tinggi posisinya makin banyak kenikmatan yang diperoleh.
- Di Yugoslavia. Pemimpin komunis Yugoslavia, Josip Broz Tito, memiliki kapar pesiar raksasa yang mewah. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan jargon sama rasa sama rata yang mereka dengung-dengungkan.
- DN Aidit di Indonesia. Ia memiliki alat-alat elektronik mewah yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya di masa itu. Padahal, kaum buruh dan petani miskin Indonesia di masa itu dalam keadaan memprihatinkan.
- Janji kaum komunis agar tidak ada penindasan terhadap rakyat kecil merupakan kedustaan yang nyata. Dahulu di Uni Soviet, berani buka suara melawan komunis, berarti siap dibuang ke kamp kerja paksa di Siberia. Di Korea Utara pun demikian. Para anti Komunis digelandang ke kamp konsentrasi di Kaechon.
- Tokoh-tokoh komunis Indonesia masa kini pun juga demikian, mereka berdusta dengan mencoba memutar balikkan fakta tragedi G-30 S yang seakan-akan menjadikan mereka sebagai korban.

The post Siapakah Komunis Itu ……. ? (Bagian 2) appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/12/siapakah-komunis-bagian-2/

Selasa, 11 Oktober 2016

Kembali Menengok Surat Tentang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  10 MUHARRAM 1438 H/10 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Masih tentang syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.

Untuk kembali menjelaskan bagaimana sebenarnya akidah beliau rahimahullah, apakah benar tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada beliau bahwa beliau seorang takfiri (orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin) atau  tidak. Berikut surat/risalah dari al Allamah Abdul Latif bin Abdirrahman bin Hasan rahimahullah, putra dari penulis kitab Fathul Majid (artinya), “Aku kabarkan pada kalian, bahwa Syaikh (Muhammad bin Abdil wahhab rahimahullah) berlepas diri dari akidah takfiri dan prinsip takfiri (prinsip takfiri yang serampangan). Dan bahwasanya beliau tidak mengkafirkan kecuali pada suatu perkara yang para ulama’ bersepakat atasnya bahwa pelaku perbuatan tersebut dihukumi kafir, contohnya orang yang terjatuh pada syirik besar, mengingkari ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya setelah ditegakkan hujjah (penjelasan) padanya dan hujah yang sampai padanya benar-benar hujjah yang muktabar (tepat dan benar)… ”

Syaikh Rabi’ hafizhahullah menyebutkan: Risalah ini ditulis untuk mengingkari sebagian manusia yang berbicara seputar permasalahan takfir secara serampangan dan tanpa didasari ilmu. Salah satu dari mereka adalah Abdul Aziz bin Khatib.

Betapa besarnya permasalahan takfir atau hukum murtad ini, sehingga setiap kelompok dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) menulis pembahasan ini pada bab-bab khusus, mereka menyebutkan di dalamnya hukum-hukum kemurtadan, konsekuensi kemurtadan dan sebagainya.

Ibnu Hajar Ahmad bin Ahmad bin Ali bin Hajar al Makki al Haitsami yang notabene-nya adalah seorang yang memiliki beberapa penyimpangan pun menulis suatu kitab Al I’lam bi Qowati’il Islam yang berisi pembahasan hukum murtad. Terlebih ulama’-ulama’ lainnya dari madzhab yang empat?!

Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman ad Dhiya’ rahimahullah berkata (artinya), “Barang siapa mengingkari takfir secara umum maka dia terbantah dengan al Qur’an dan as Sunnah. Kami tidaklah mengkafirkan seorang pun hanya karena sebuah dosa dibawah dosa syirik besar yang mana para ulama’ bersepakat atas kafirny pelaku dosa tersebut jika telah tegak hujjah atasnya. Sungguh lebih dari satu orang telah menyebutkan adanya kesepakatan ulama’ tentang hal itu seperti yang dihikayatkan oleh Ibnu Hajar al Haitsami dalam kitabnya al I’lam”.

Asy Syaikh Sulaiman rahimahullah juga menyebutkan bahwasanya permasalahan takfirul muslim (mengkafirkan kaum muslimin) sudah ada sejak dulu, ulama’telah bersepakat diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul qayyim al Jauziyah dan lainnya rahimahumullah bahwa Jahil (orang yang tidak tahu) dan Mukhthi’ (orang yang tidak sengaja melakukan kesalahan) dari ummat ini, jika melakukan amalan kesyirikan maka pelakunya diberi udzur karena kejehilan dan kesalahannya yang tidak disengaja, hingga benar-benar sampai padanya penjelasan yang gamblang.

Saudara-saudaraku, pada hari-hari ini muncullah sekelompok manusia yang berada di sisi pemerintah kita, yang membisikkan berita-berita dusta kepada pemerintah dengan menyebut salafiyun atau wahhabi sebagai kelompok yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Bahkan ia berkata bahwa akidah takfir (mengkafirkan orang yang sebelumnya islam) muncul pertama kali di masa Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Kita katakan ini adalah kedustaan yang besar. Kita tidak mengkafirkan saudara-saudara semuslim kita, bahkan kita katakan bahwa saudara-saudara kita adalah kaum muslimun yang wajib untuk diberikan hak-haknya, ditebarkan salam kepada mereka dan lain-lain dari hak seorang muslim atas muslim lainnya.

Kita dapati, bahwa kelompok yang paling ihtimam (bersungguh-sungguh) menunaikan hak tebar salam kepada kaum muslimin adalah salafy, yang mereka anggap sebagai kaum takfiri wahhabi. Sungguh ini keanehan yang nyata?!

Meski begitu, kita tidak mengataka bahwa orang muslim yang telah mengucapkan kalimat La Ilaha Ilallah tidak boleh dikafirkan secara mutlak. Lihatlah Musailamah al Kadzzab yang mengaku sebagai nabi setelah Rasulullah shallallahualaihi wasallam, ia mengucapkan kalimat La Ilaha Ilallah, bahkan mengakui kenabian Rasulullah shallallahualaihi wasallam. Bersamaan dengan itu Abu Bakr, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya ridwanullahi alaihim bersepakat atas kafirnya dia dan para pengikutnya yang meyakini kenabiannya, serta bersepakat untuk memeranginya hanya karena kesalahan mengaku sebagai nabi.

The post Kembali Menengok Surat Tentang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/11/kembali-menengok-surat-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab-rahimahullah/

Hidupkan Shalat Tathawwu’

Shalat tathawwu’ adalah shalat di luar shalat wajib 5 waktu (subuh, zhuhur, ashar, maghrib dan isya’) baik shalat itu hukumnya wajib atau tidak. Shalat wajib tathawwu’ misalnya shalat jenazah. Shalat sunnah tathawwu’ misalnya tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudhu dll.

Ditinjau dari jenisnya, shalat tathawwu’ terbagi menjadi 2:

1. Tahawwu’ mutlak: Shalat yang mana syariat tidak memberikan batasan padanya.
Contoh: Bolehnya kita untuk shalat tathawwu’ 2 rakaat di siang atau malam hari tanpa ada batasan waktu (kecuali pada 3 waktu larangan shalat).

2. Tathawwu’ muqayyad: Shalat yang memiliki batasan-batasan dalam syariat.
Contoh: Shalat ratibah sebelum subuh, siapa yang hendak melakukan shalat tersebut, maka shalatnya belum terealisasi kecuali dengan melakukan shalat 2 rakaat tersebut sebelum melaksanakan shalat subuh dan ketika telah masuk waktunya, dengan niat shalat sunnah ratibah.

Dan diantara keutamaan shalat tathawwu’:

1. Shalat tathawwu’ menyempurnakan shalat faridhah (shalat wajib 5 waktu). Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab (dihitung) adalah amalan shalat. Jika ada kekurangan pada ibadah shalat seorang hamba, maka shalat tathawwu’ akan menyempurnakannya, barulah setelah itu amalan-amalan yang lain dihitung.
Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallalahualaihi wasallam tentang amalan pertama yang akan dihisab (artinya), “…. dan jika ada kekurangan pada amalan shalatnya, Allah berkata: lihatlah apakah hambaku ini memiliki amalan tathawwu’? jika ia memilikinya, Allah berkata lagi: sempurnakanlah amalan shalat wajib hambaku ini dengan amalan tathawwu’nya. Kemudian barulah amalan-amalan yang lainnya dihisab”. (HR. Ahmad: 2/290 dan Abu Dawud: 864)

2. Shalat (baik shalat wajib atau pun tathawwu’) merupakan amalan yang akan memudahkan hamba menuju Jannah. Ketika Rabi’ah bin Ka’b radhiyallahu anhu  meminta kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam untuk mendo’akannya agar menjadi pendamping beliau di Jannah. Beliau pun berkata (artinya), “Bantulah aku untuk memenuhi keinginanmu itu, dengan memperbanyak sujud (shalat)”. (HR. Muslim: 489 dan An Nasa’i: 2/227)

Diringkas dengan sedikit penambahan dari kitab Bugyatul Mutathawwi’ Fi Shalatit Tathawwu’ karya syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah.

The post Hidupkan Shalat Tathawwu’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/11/hidupkan-shalat-tathawwu/

Senin, 10 Oktober 2016

Bantahan Atas Kemungkaran Syi’ah di hari Asyura’

Ketahuilah para pembaca yang budiman, diantara keyakinan syi’ah yang mungkar adalah…

Syi’ah meyakini bahwa bulan Muharram terkhusus tanggal 10 Muharram merupakan hari berkabung dan kesedihan. Bahkan sebagian mereka menganggap bayi yang lahir di bulan tersebut adalah orang-orang yang buruk perangainya.

Setiap tanggal 10 Muharram, kelompok yang mengaku-ngaku cinta ahlul bait (keluarga Nabi shallallahualaihi wasallam) itu melaksanakan acara rutin mereka dalam rangka mengenang hari terbunuhnya Husain bi Ali radhiyallahu anhuma yang biasa disebut dengan Al Husainiyah.

Pada hari itu mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju Al-Huseiniyah. Dalam acara itu, mereka menyuguhkan makanan-makanan yang sengaja dimasak tidak enak; gosong, keasinan bahkan makanan-makanan yang sengaja diberi cuka.

Peserta pawai hanya mengenakan celana atau sarung saja sedangkan badannya terbuka. Selama pawai, mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan tangan atau rantai besi sehingga meninggalkan bekas (luka memar) yang mencolok.

Beberapa laki-laki berpakaian menyerupai wanita dengan memakai pakaian wanita untuk menampilkan drama berkabung atas kematian Husain bin Ali radhiyallahu anhuma.

Kemudian, pada acara puncak, mereka mengenakan kain berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih pula. Setelah itu, mereka menghantamkan pedang, pisau, atau benda tajam lainnya ke kepala dan dahi mereka sehingga darah pun bercucuran. Bahkan terkadang hal tersebut juga mereka lakukkan kepada bayi-bayi mereka. Mereka menganggap hal tersebut diperbolehkan selama dampak negatifnya aman, inilah yang diucapkan ulama’ mereka Muhammad Husain Al Awazi.

Tak sedikit di antara mereka yang menangis histeris. Wanita-wanita mereka keluar dengan rambut yang terurai usang dan wajah yang terkelu sambil memukul-mukul wajahnya, merobek-robek baju yang menggambarkan kesedihan.

Bahkan yang paling parah, di sela-sela acara tersebut mereka meneriakkan ya Husain ya Husain beristigasah kepada Husain radhiyallahu anhu atas apa yang mereka alami.

BANTAHAN

Para pembaca rahimakumullah, sebagai seorang muslim tentu kita juga sangat bersedih dengan peristiwa tragis nan menyayat hati yang menimpa cucu Rasulullah shallalahualaihi wasallam itu. Namun, Islam melarang pemeluknya yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah subhanahu wa ta’ala, seperti merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan sebagian orang-orang syi’ah.

As Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyebutkan bahwa apa yang dilakukan syi’ah adalah “bid’ah menjijikkan”, sebagiannya terkandung padanya kesyirikan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahualaihi wasallam. Bahkan anggapan mereka bahwa bayi yang lahir pada bulan Muharram akan memiliki perangai yang buruk itu adalah thiyarah yang termasuk bentuk kesyirikan seperti hadits Nabi shallalahu alaihi wasallam: “Thiyarah adalah kesyirikan” (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i). Ibnu Taimiyah menyebutkan hal yang senada dalam Majmu’ Fatawa Li Ibni Taymiyah (25/307) dan al Fatawa al Kubra (2/299) : bahwa hal tersebut adalah syiar (ciri/simbol) kaum jahiliyah.

Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda: ”Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, merobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud )

Lebih dari itu, bagi wanita yang meratapi mayit dan meninggal dalam keadaan belum bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari tembaga yang meleleh, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallalahualaihi wasallam dalam haditsnya yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari.

Terlebih, dalam hal ini mereka menghidupkan kembali kedukaan yang telah lama berlalu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam Minhajus Sunnah: “Menghidupkan kembali kedukaan dan ratapan tangis untuk musibah yang telah lama berlalu termasuk hal yang besar keharamannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya”.

Drama berkabung mereka dengan menampilkan kaum laki-laki yang menyerupai wanita itu adalah suatu yang diharamkan sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat lelaki yang berpakaian seperti model pakaian wanita dan (melaknat) wanita yang berpakaian seperti lelaki.” (HR. Abu Dawud no. 4098, Ahmad 2/325)

Begitu juga terkait dengan makanan-makanan yang disuguhkan pada acara tersebut yang sengaja dibuat tidak enak, ini merupakan tindakan yang sia-sia belaka dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahualaihi wasallam ketika meninggal orang-orang besar di sisi beliau seperti Hamzah bin Abdil Muthalib radhiyallahu anhu atau yang lainnya.

Adapun istigasah yang mereka lakukaan hari itu, dengan berdo’a kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, menganggap imam-imam mereka mengetahui perkara gaib, tanpa diragukan lagi bahwasanya hal itu adalah syirik besar berdasarkan kesepakatan ulama’ yang dinukilkan oleh syaikh Bin Baz rahimahullah.

Sungguh aneh apa yang mereka lakukan itu, begitu berkabungnya mereka atas terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu anhu sehingga melakukan hal-hal yang sangat berlebihan itu bahkan beberapanya sampai pada kesyirikan. Padahal kita tahu telah terbunuh juga seseorang yang lebih utama dari Husain, yaitu ayahnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dan sebelumnya juga telah terbunuh Umar bin al Khattab dan Utsman bin Affan radhiyallahu anhuma, akan tetapi syi’ah tidak menjadikan waktu terbunuhnya Ali, Utsman dan Umar radhiyallahu anhum sebagai hari berkabung. Tidaklah ini menunjukkan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah hiasan tipu daya setan kepada mereka untuk menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap kaum muslimin.

Maka sekarang kita telah mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut bukan hanya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan ia bertolak belakang dengan ajaran Islam.

Para pembaca yang budiman, peringatan 10 Muharram oleh orang-orang syi’ah, untuk mengenang terbunuhnya sahabat Husein radhiyallahu anhu tidak hanya diadakan di Iran saja, tetapi juga di negara-negara lainnya, seperti India, Pakistan, Lebanon, dan juga Indonesia, hanya saja tata caranya berbeda.

Bagaimanapun tata caranya, tetap saja rutinitas tersebut merupakan perkara bid’ah yang tidak pernah ada contohnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Karena tujuan mereka melakukan hal itu untuk menarik dan memikat hati kaum muslimin agar tertarik dan membela aqidah sesat mereka.

wallahu a’lam.

The post Bantahan Atas Kemungkaran Syi’ah di hari Asyura’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/10/bantahan-kemungkaran-syiah-hari-asyura/

Minggu, 09 Oktober 2016

SURAT TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  8 MUHARRAM 1438 H/9 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Permasalahan seputar tuduhan terhadap Ahlus Sunnah bahwa mereka suka mengkafirkan kaum muslimin, merupakan permasalahan yang penting untuk dikaji karena beberapa hal, diantaranya:

1. Menyebarnya tuduhan ahlut takfir tersebut atas Ahlus Sunnah yang lebih dikenal di sisi mereka sebagai Wahhabi, bahkan sebagian dari mereka (musuh tauhid) mencoba menghasut pemerintah untuk mempercayai tuduhan tersebut dan menyingkirkan Ahlus Sunnah dari negeri ini.

2. Banyak dari kalangan Ahlus Sunnah yang tidak mengetahui bantahan-bantahan ulama’ Ahlus Sunnah atas tuduhan dusta mereka para musuh dakwah tauhid. Maka dengan mengkaji pembahasan ini diharapkan Ahlus Sunnah mengerti dan turut menjelaskan hal tersebut kepada umat terkhusus kalangan awam.

3. Pembahasan ini juga bertujuan untuk menolong saudara semuslim, baik mereka yang zhalim (menuduh dengan tuduhan dusta tersebut) atau pun mereka yang dizhalimi. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahualaih wasallam:

انصر أخاك ظالما أو مظلوما. فقال رجل: يا رسول الله أنصره إذا كان مظلوما، أرأيت إن كان ظالما، كيف أنصره؟ قال: تحجزه أو تمنعه من الظلم، فإن ذلك نصره. رواه البخاري

Tolonglah saudaramu baik ia zholim ataupun dizhalimi. Maka seorang lelaki berkata: wahai Rasulallah, Aku menolongnya jika ia dizhalimi. Namun bagaimana jika ia yang menzhalimi? Beliau shallalahualaihi wasallam berkata: yaitu dengan engkau menghalanginya dari berbuat zhalim, maka itulah bentuk pertolongan terhadapnya. (HR. Al Bukhari: 2444).

Orang-orang zhalim yang dimaksud disini adalah mereka kaum Liberal, Syiah dan yang semisal. Sedangkan yang terzhalimi adalah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah, begitu juga Ahlus Sunnah secara umum.

Berikut kembali kita sebutkan surat dari Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah yang merupakan anak kandung Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah. Surat tersebut beliau tulis pada masa pemerintahan Saud bin Abdil Aziz rahimahullah menyebutkan tentang nikmat yang Allah subhanahu wata’ala berikan kepada mereka ketika memasuki Makkah tanpa perang (artinya),

“sesungguhnya pemimpin Makkah pada waktu itu telah menyiapkan pasukan tempur untuk menghadang tentara tauhid agar tidak memasuki Makkah, hanya saja mereka langsung lari ketakutan ketika melihat tentara tauhid tiba di hadapan mereka.

Lalu pemimpin kami mengganti suasana tegang dan mencekam menjadi suasana yang aman bagi semua orang yang tunggal di Makkah. Kami pun memasuki Makkah, dan slogan kami adalah talbiyah (ucapan yang diucapkan orang yang berhaji “لبيك الله اللهم لبيك”), kami memasuki Masjidil Haram dengan aman, melakukan tahallul, mengundul rambut atau mencukur habis rambut-rambut kami tanpa ada rasa takut sedikitpun kepada makhluk, bahkan rasa takut itu hanya kepada Penguasa hari kiamat.

Ketika para tentara yang berjumlah sangat banyak memasuki al Haram, mereka masuk dengan penuh bimbingan dan penuh adab, tidak memotong pepohonan sama sekali, tidak memburu binatang, dan tidak menumpahkan darah kecuali darah hewan sembelihan, dan tidaklah mereka menyembelih hewan kecuali yang telah Allah halalkan dari bahimatul an’am. Jika seseorang berkata untuk menjauhkan manusia dari kebenaran, “Konsekuensi dari keyakinan dan fatwa mereka (Ahlus Sunnah) terhadap orang yang mengatakan ya Rasulallah aku meminta syafa’at kepadamu, bahwa mereka telah musyrik. Yang mana itu berarti vonis kafir atas mayoritas kaum muslimin, karena mayoritas umat ini, terkhusus kaum muslimin akhir-akhir ini membolehkan untuk meminta syafaat kepada Rasulallah shallallahualaihi wasallam. Maka aku (Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah) mengatakan: tidak harus, karena konsekuensi dari suatu madzhab tidak mengharuskan orangnya untuk berkeyakinan sesuai konsekuensi tersebut”.

Hal ini sesuai dengan kaedah yang sudah masyhur di kalangan umat. Sebagaimana seseorang yang terjatuh pada kekafiran maka tidak harus langsung divonis kafir, karena di sana ada penghalang-penghalang vonis kafir seperti jahl (tidak tahu), terpaksa dan lain-lain.

Beliau melanjutkan, “Kami tidaklah mengkafirkan seseorang kecuali siapa yang telah sampai dakwah kami padanya, telah jelas hujjah (penjelasan) baginya dan telah tegak hujjah atasnya akan tetapi masih saja terus melanggar karena sombong dan permusuhannya terhadap dakwah serta terus menampakkan perbuatan salah mereka”.

Juga sebuah risalah yang diriwayatkan dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumullah tentang seorang pemimpin suatu daerah bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah (artinya), “Apa ketentuan yang dengannya boleh memerangi suatu kaum? Dan apa ketentuan yang dengannya dikafirkan suatu kaum?”.
Maka Syaikh rahimahullah menjawab (artinya), “kami tidak memerangi suatu kaum, kecuali atas apa yang semua ulama’ bersepakat padanya yaitu 2 kalimat syahadat setelah sebelumnya diberitahu dan diajari tentang hal itu, lalu memahaminya kemudian mengingkarinya”.

The post SURAT TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/09/surat-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab/

Jumat, 07 Oktober 2016

Wanita Haid Saat Hari Asyura’

Haid Saat Hari Asyura’….
Apa yang Harus Dilakukan?

Syaikh Utsaimin rahimahullah ditanya (artinya), “Apakah orang yang memasuki hari Asyura’ dalam keadaan haid (sehingga tidak puasa) boleh mengqadha’nya? Kemudian adakah kaedah tentang amalan-amalan sunnah yang bisa diqadha’ dan yang tidak bisa di qadha’? Jazakallahu khairan.

Beliau rahimahullah menjawab (artinya), “Hal-hal yang sunnah (nawafil) itu ada dua macam :
1. Amalan sunnah yang memiliki sebab dilakukannya amalan tersebut.
2. Amalan sunnah yang tidak memiliki sebab dilakukannya amalan tersebut.

Amalan sunnah (yang memiliki sebab) yang terluput dengan luputnya sebab dan tidak bisa di qadha’. Misalnya: Shalat tahiyyatul masjid, Seseorang datang ke masjid lalu langsung duduk dalam waktu yang lama, lalu ia ingin menunaikan shalat tahiyyatul masjid maka shalatnya itu tidak dianggap sebagai shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tahiyyatul masjid adalah jenis shalat yang memiliki sebab, yaitu pelaksanaannya terikat dengan sebab. Apabila telah terluput sebabnya, maka luput pula pensyariatannya.

Dan yang semisal dengan ini adalah puasa Arafah dan puasa Asyura’. Apabila seseorang mengakhirkan puasa Arafah dan Asyura’ tanpa adanya uzur syar’i maka tidak diragukan lagi bahwa puasa tersebut tidak bisa diqadha’, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dengannya sekalipun ia mengqadha’nya, yakni puasa yang ia lakukan tidak teranggap sebagai puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyura’.

Adapun jika hari tersebut berlalu dari seseorang, sedangkan ia memiliki uzur syar’i, seperti wanita yang sedang haid, nifas atau orang yang sedang sakit. Maka yang nampak hukumnya juga sama, tidak bisa diqadha’. Karena puasa ini adalah puasa yang khusus pada hari tertentu, hukum pensyariatannya terluput dengan luputnya sebab (berlalunya hari disyariatkannya puasa).

Dikutip dari Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Utsaimin dalam Kitab Shiyam no. 399

Wallhu a’lam

The post Wanita Haid Saat Hari Asyura’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/07/wanita-haid-saat-hari-asyura/

MENENGOK ISI SEPUCUK SURAT SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH UNTUK KAUM MUSLIMIN

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  4 MUHARRAM 1438 H/5 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menulis dalam suatu suratnya yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk menjelaskan tentang tuduhan-tuduhan dusta terhadap beliau.

ولم نقاتل أحدا إلى اليوم إلا دون النفس والحرمة وهم الذين أتونا في ديارنا ولا أبقوا ممكنا

“Dan kami tidaklah memerangi seorang pun sampai hari ini kecuali perang untuk membela diri dan menjaga kehormatan kami. Merekalah yang mendatangi rumah-rumah kami dan mereka tidak memberikan pilihan lain”.

Surat ini ditulis Syaikh untuk menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa peperangan yang terjadi antara Dinasti Utsmaniyah melawan dakwah tauhid di negeri Nejd, Diriyyah dan sekitarnya yang dipimpin oleh Muhammad bin Su’ud bersama Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumallah terjadi karena Dinasti Utsmaniyah datang menyerang Nejd dan sekitarnya. Maka pemimpin negeri tersebut yaitu Muhammad bin Su’ud pun mempertahankan diri serta menjaga kehormatan negeri dan rakyatnya.

Disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Dinasti Utsmaniyah pada masa itu tidak memiliki kekuatan karena sesungguhnya mereka telah dikuasai oleh bangsa kafir Eropa. Para ahli sejarah juga menyebutkan pada waktu itu, daerah Nejd, Dir’iyyah dan sekitarnya tidak masuk dalam catatan wilayah kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, dan hal ini diakui oleh musuh-musuh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.

Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkholi hafizhahullah memberi catatan atas kalimat surat Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah [ولا أبقوا ممكنا] “Apakah al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dan yang menolongnya masih akan dicela setelah (memaparkan) semua penjelasan ini”?!

Tentu apa yang dilakukan al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah  tidaklah patut untuk dicela karena jihad difa’ (jhad untuk membela diri) di dalam Islam disyari’atkan atau dibolehkan, hal ini sebagaimana sabda Nabi sallallahualaihi wasallam (artinya), “Barang siapa yang terbunuh dalam rangka menjaga hartanya maka dia syahid”. Juga dalam riwayat lain (artinya), “Barang siapa yang terbunuh dalam rangka menjaga kehormatannya maka dia syahid”.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdl Wahhab rahimahullah juga menulis dalam suratnya yang lain (artinya), “Akan tetapi terkadang kita memerangi sebagian mereka dalam rangka membalas apa yang mereka lakukan karena Allah berfirman (artinya), “Dan balasan kejelekan adalah kejelekan yang semisal” (Asy Syura:40).

Hal ini (membalas kejelekan dengan kejelekan yang semisal) boleh dilakukan dalam masalah pribadi, lantas bagaimana jika dalam masalah agama?!

Dan dalam surat lain yang ditujukan kepada seorang tokoh yang bernama Ismail al Jara’i tertulis (artinya), “Adapun perkataan mereka, bahwa kami mengkafirkan manusia secara umum, hal itu adalah kedustaan dari musuh-musuh tauhid yang hendak menghalang-halangi manusia dari agama ini, maka kami katakan mahasuci Allah subhanahu wa ta’ala ini adalah kedustaan yang besar. Adapun orang-orang shaleh dari kalangan para ulama’ mereka tetap berada dalam kesalehannya –semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka- akan tetapi kami katakan mereka (ulama’ yang salih) tidak memiliki hak sedikitpun dalam peribadatan, Allah subhanahu wa ta’alaberfirman (artinya) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah subhanahu wa ta’ala, maka janganlah sekalipun kamu menyembah seorang pun bersama denga menyembah Allah”.

Beliau juga menulis surat untuk menjawab sebuah pertanyaan “Bagaimanakah sifat seorang yang boleh kita perangi dan sifat seorang yang boleh kita kafirkan”?

Beliau menjawab (artinya), “Rukun islam yang lima. Yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian 4 rukun berikutnya. Dan 4 rukun ini jika mengimaninya kemudian meninggalkannya karena malas, maka meskipun kami memerangi mereka atas perbuatannya itu tapi kami tidak mengkafirkannya hanya karena mereka meninggalkan rukun-rukun islam tersebut karena malas. Ulama’ berselisih pendapat dalam permasalahan kafirnya seseorang yang meninggalkan rukun-rukun islam yang empat karena malas bukan karena mengingkari rukun-rukun tersebut. Kami tidak mengkafirkan kecuali pada apa yang ulama’ telah bersepakat atasnya yaitu kafirnya orang yang meninggalkan syahadatain”.

Perlu diketahui bolehnya membunuh jiwa tidak hanya dikarenakan kekafiran dan kemurtadan saja, tapi juga boleh karena sebab lain seperti hukum had, hukum rajam dan lain-lain.

Dan diantara kebohongan dan kedustaan mereka (musuh dakwah tauhid) ialah, mereka mengatakan bahwa kami mewajibkan kepada kaum muslimin (yang masih mampu mengamalkan tauhid di negerinya) untuk hijrah ke negeri kami, dan bahwa kami mengkafirkan orang-orang yang tidak mau mengkafirkan orang yang telah kami kafirkan dan orang yang tidak mau memerangi orang-orang yang kami perangi.

Syaikh menyebutkan dalam suratnya (artinya), “Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah patung yang berada di atas kubur Abdul Qadir al Jaelani, dan kami juga tidak mengkafirkan orang yang menyembah kepada patung yang berada di atas kubur Ahmad al Badawi yang mana mereka melakukan hal tersebut karena kejahilan (tidak tahu hukum) mereka dan tidak ada satu orang pun yang menjelaskan kepada mereka bahwa hal tersebut adalah syirik bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan seseorang hanya karena ia tidak mau berhijrah ke negeri kami, dan bagaimana mungkin kami mengkafirkan seseorang hanya karena tidak mau memerangi orang yang kami perangi?! maka demi Allah ini adalah kedustaan yang nyata”.

The post MENENGOK ISI SEPUCUK SURAT SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH UNTUK KAUM MUSLIMIN appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/07/menengok-isi-sepucuk-surat-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab-rahimahullah-kaum-muslimin/

Kamis, 06 Oktober 2016

Tata Cara Puasa Asyura’

Pembaca rahimakumullah, terkait puasa Asyura’, para ulama’ rahimahumullah berselisih pendapat dalam menentukan kaifiyah (tata cara) puasa Asyura’. Setidaknya ada 4 tata cara puasa Asyura’ sebagaimana yang disebutkan al Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah rahimahullah dalam kitabnya “Zaadul Ma’ad”. Beliau menyebutkan,

Puasa Asyura’ dilakukan dengan 4 cara:

· Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.
· Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
· Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
· Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.

Yang paling utama dari tata cara di atas adalah:

1. Kaifiyah ke dua (berpuasa pada tanggal 9 [Tasu’a] dan 10 [Asyura’] Muharram), hal ini karena tetapnya dalil bahwa Rasulullah shallallahualaihi wasallam menyebutkan dengan jelas dalam suatu haditsnya bahwa beliau bertekad untuk berpuasa di tanggal 9 Muharram pada rangkaian puasa Asyura’ jika masih hidup di tahun depan dalam rangka menyelisihi Yahudi. Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda (artinya), “Jika aku masih hidup tahun depan, niscaya aku juga akan berpuasa pada tanggal 9”(HR. Ahmad dan Muslim).

2. Kaifiyah ke tiga (berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram), hal ini karena perintah untuk menyelisihi kaum Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya (tanggal 9 Muharram) atau satu hari sesudahnya (tanggal 11 Muharram). Dan beliau shallallahualaihi wasallam tidak menyebutkan tanggal 11 secara sarih (jelas). Rasulullah shallallahualaihi wasallam dalam riwayat lain berkata (artinya), “Jika aku masih hidup tahun depan, akan aku perintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya hari Asyura”. (HR. Ahmad dan lainnya).

3. Kaifiyah ke empat, karena yang nampak dari hadits-hadits di atas, berpuasa pada 3 hari (9,10 dan 11 Muharram) diperbolehkan dengan adanya pilihan dari Nabi shallallahualaihi wasallam untuk mengiringi puasa Asyura’ dengan berpuasa satu hari sebelumnya atau sesudahnya.

4. Kaifiyah pertama, hal ini berdasarkan perbuatan Rasulullah shallallahualaihi wasallam yang berpuasa Asyura’ hanya pada tanggal 10 Muharram saja, akan tetapi karena cara ini mirip denga apa yang dilakukan oleh Yahudi maka kemudian beliau shallallahualaihi wasallam bertekad untuk berpuasa Asyura’ dengan diiringi puasa satu hari sebelumnya atau sesudahnya.

Perbedaan-perbedaan kaifiyah (tata cara) puasa di atas tidak mengurangi sedikitpun keutamaan puasa Asyura’ yang bisa menggugurkan dosa satu tahun yang lalu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Nabi shallallahualaihi wasallam ketika beliau ditanya tentang puasa ‘Asyura’,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ.

“(Puasa ‘Asyura) bisa menggugurkan dosa selama setahun yang lalu.”  (HR. Muslim no 1162)

Wallahu a’lam bisshowab.

The post Tata Cara Puasa Asyura’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/07/tata-cara-puasa-asyura/

Rabu, 05 Oktober 2016

Keutamaan Bulan Muharram dan Yang Disunnahkan Pada Bulan Tersebut

Bulan Muharram merupakan salah satu di antara empat asyhurul hurum (bulan-bulan haram) yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (36)

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36)

Keempat bulan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagaimana sabda Rasulullah,

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ : ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.

“Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya adalah bulan-bulan haram. Tiga (di antara empat bulan tersebut) adalah berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab (yang ditentukan oleh) suku Mudhar dan (bulan ini) terletak di antara bulan Jumada (tsaniyah) dengan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari no. 3197, dan Muslim no. 1679)

Bulan-bulan haram ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Dinamakan bulan-bulan haram karena kemuliaan dan kehormatan bulan tersebut melebihi bulan-bulan yang lain, sehingga pada bulan-bulan ini Allah haramkan peperangan, kecuali jika musuh (orang-orang kafir) yang lebih dahulu memulai penyerangan terhadap kaum muslimin.

Firman Allah dalam surat At-Taubah: 36 di atas,

“Maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu”

maksudnya adalah janganlah kalian berbuat maksiat dan kemungkaran pada bulan-bulan tersebut. Perbuatan maksiat disebut dengan perbuatan menzhalimi diri sendiri karena kemaksiatan itu bisa menjerumuskan pelakunya sendiri ke dalam kebinasaan.

Menurut sebagian ulama ahli tafsir, pada dasarnya perbuatan zhalim dan segala bentuk kemaksiatan -kapan saja dan di mana saja dikerjakan- itu merupakan dosa dan kemungkaran yang besar, namun ketika Allah mengkhususkan penyebutan larangan berbuat zhalim tersebut pada empat bulan-bulan haram sebagaimana ayat di atas, menunjukkan bahwa kezhaliman dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram itu dosanya berlipat dibandingkan jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain.

Sebagai salah satu dari empat bulan-bulan haram, maka Muharram pun juga termasuk yang memiliki keistimewaan ini.

Termasuk keistimewaan bulan Muharram adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa pada) bulan Allah, yaitu Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu (wajib) adalah shalat malam. (HR. Muslim, no. 1163)

 Hadits di atas menunjukkan dua keutamaan bulan Muharram, yaitu:

1. Puasa yang dilakukan pada bulan tersebut merupakan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.

2. Bulan Muharram mendapatkan sebutan Syahrullah (bulan Allah). Suatu penyebutan yang tidak diberikan kepada bulan-bulan yang lain. Penyebutan ini menunjukkan keistimewaan dari dua sisi:

Pertama, penyebutan sesuatu yang disandarkan pada nama Allah menunjukkan bahwa sesuatu tersebut memiliki kemuliaan khusus yang tidak diberikan kepada yang lain. Seperti dikatakan bahwa Ka’bah adalah Baitullah (rumah Allah), menunjukkan bahwa Ka’bah adalah suatu bangunan/rumah yang memiliki kemuliaan dan keagungan khusus yang tidak dimiliki oleh bangunan/rumah yang lain (Faidhul Qadir).

Kedua, Penyebutan bulan ini dengan bulan Allah karena Allah sendiri yang memberi nama bulan ini dengan Muharram. Dahulu pada zaman jahiliyah, bulan Muharram masih disebut dengan nama bulan Shafar Awwal (pertama). Sedangkan bulan Shafar yang sekarang, dahulu namanya adalah Shafar Tsani (kedua). Adapun nama bulan-bulan yang lain sama antara dahulu dengan sekarang. Ketika datang agama Islam, Allah mengganti nama Shafar Awwal ini dengan Muharram. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim Lil-Imam As-Suyuthi)

Puasa Yang Paling Utama Setelah Puasa Ramadhan

Keutamaan bulan Muharram berikutnya adalah bahwa puasa yang dikerjakan pada bulan ini merupakan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan. Ketika menerangkan hadits riwayat Muslim no. 1163 di atas, An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menegaskan bahwa Muharram merupakan bulan yang paling utama untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim)

Apakah disyariatkannya puasa Muharram ini sebulan penuh atau beberapa hari saja?

 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan bahwa menurut sebagian ulama, disunnahkan berpuasa Muharram sebulan penuh berdasarkan hadits di atas. Namun sebatas yang beliau ketahui, Rasulullah tidak pernah melakukan puasa Muharram ini sebulan penuh. Akan tetapi puasa yang banyak beliau lakukan -setelah Ramadhan- adalah berpuasa di bulan Sya’ban berdasarkan penuturan Aisyah,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَ قَلِيلاً.

“Dan tidaklah aku melihat beliau (Nabi) berpuasa di suatu bulan yang lebih banyak daripada puasa beliau bulan Sya’ban. Beliau pernah berpuasa Sya’ban seluruhnya (sebulan penuh), dan dahulu pernah berpuasa Sya’ban kecuali beberapa hari saja (beliau tidak berpuasa).” (HR. Muslim no. 1156)

Mengapa Rasulullah Justru Memperbanyak Puasa pada Bulan Sya’ban?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim. Beliau menyebutkan ada dua kemungkinan Nabi memperbanyak puasa sunnah pada bulan Sya’ban, tidak pada bulan Muharram.

Kemungkinan pertama adalah Rasulullah mengetahui tentang keutamaan puasa Muharram ini di akhir hayat beliau, sehingga beliau belum sempat mengerjakan puasa Muharram.

Kemungkinan kedua adalah pada bulan Muharram Rasulullah terhalangi dari berpuasa karena udzur syar’i seperti safar (bepergian), sakit, atau selainnya. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Shahih Muslim).

Sehingga banyaknya puasa di bulan Sya’ban yang dilakukan oleh Nabi tidaklah menggugurkan keutamaan puasa Muharram ini. Puasa Muharram tetap menjadi puasa yang paling utama setelah Ramadhan dibandingkan puasa di bulan lain.

Jangan Lewatkan Puasa ‘Asyura’

Pada bulan Muharram terdapat satu hari yang disebut dengan hari ‘Asyura’, yaitu tanggal 10. Sejak zaman jahiliyah, musyrikin Quraisy sudah terbiasa melakukan puasa di hari itu, demikian pula Rasulullah.

Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian beliau bertanya, ”Hari apa ini sehingga kalian bepuasa padanya?” Orang-orang Yahudi mengatakan, ”Ini adalah hari yang agung. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta meneggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Sehingga Nabi Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah pun bersabda, ”Kamilah seharusnya yang lebih berhak dan lebih utama untuk mengikuti Musa daripada kalian.” Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa di hari ‘Asyura itu. (HR. Muslim, no. 1130). Ketika itu puasa Ramadhan belum diwajibkan.

Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i dan kebanyakan ulama madzhab Hambali, puasa ‘Asyura ketika itu (sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan) hukumnya sunnah mua’kkad (ditekankan), sampai-sampai Rasulullah benar-benar menjaga puasa pada hari itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas,

مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ وَلَا شَهْرًا إِلَّا هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي رَمَضَانَ.

“Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah berpuasa di suatu hari yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya yang lebih dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini (yaitu hari Asyura’), dan tidak pula berpuasa pada suatu bulan yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya melebihi bulan-bulan yang lain kecuali bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Muslim no. 1132)

Keutamaan puasa ‘Asyura’ ini sudah termasuk dalam keumuman keutamaan berpuasa di bulan Muharram sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Namun puasa di hari itu memiliki keutamaan khusus yang tidak terdapat di hari-hari yang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi ketika beliau ditanya tentang puasa ‘Asyura’,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ.

“(Puasa ‘Asyura) bisa menggugurkan dosa selama setahun yang lalu.”  (HR. Muslim no 1162)

Maka tidak ada yang lebih baik bagi seorang muslim kecuali ia berupaya meneladani Nabinya dalam menjaga puasa di hari itu dengan sebaik-baiknya.

Iringi Puasa ‘Asyura’ dengan Puasa Tasu’a’

Puasa Tasu’a adalah puasa pada tanggal 9 Muharram. Walaupun belum pernah melakukannya, namun Nabi bertekad untuk berpuasa Tasu’a sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas,

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع» قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ketika Rasulullah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa ‘Asyura, para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah pun bersabda,” Jika masih berkesempatan untuk berjumpa dengan tahun depan, Insya Allah kami akan berpuasa pada hari ke-9.” Belum sempat berjumpa tahun depan, Rasulullah sudah wafat. (HR. Muslim, no. 1134)

Dengan demikian hikmah dilakukannya puasa Tasu’a adalah dalam rangka menyelisihi Yahudi yang memiliki kebiasaan berpuasa tanggal 10 saja. Tidak selayaknya bagi seorang muslim menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi kekhususan dan kebiasaan mereka.

Wallahu a’lam bish shawab. 

The post Keutamaan Bulan Muharram dan Yang Disunnahkan Pada Bulan Tersebut appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/05/keutamaan-bulan-muharram-dan-yang-disunnahkan-pada-bulan-tersebut/

Fatwa Ulama’ Tentang Al Husainiyyah

Syaikh Abdul Aziz bin Bas rahimahullah ditanya: “Apa hukum perayaan Al Husainiyyah  (salah satu ibadah kaum Syiah untuk mengenang terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu) dan hal-hal yang terjadi di dalamnya meliputi menampar dan mencakar pipi, ratapan tangis wanita dan menyobek-nyobek pakaian (karena bersedih), juga memukul diri sendiri yang kadang menggunakan senjata tajam, serta istigasah yang dilakukan kepada orang mati dan kepada ahlul bait (keluarga Nabi sallalahualaihi wasallam) yang mulia”?

Beliau rahimahullah menjawab: “Ini adalah kemungkaran yang menjijikan dan bid’ah yang diada-adakan. Hal itu wajib untuk ditinggalkan dan tidak boleh ikut serta di dalamnya, juga tidak boleh memakan makanan yang dihidangkan pada acara tersebut. Karena Rasulullah sallallahualaihi wasallam dan para sahabatnya dari kalangan ahlul bait tidak melakukannya. Rasulullah sallalahualaihi wasallam bersabda (artinya), “Barang siapa membuat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama islam maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau shallalahualaihi wasallam juga bersabda (artinya), “Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim). Hadits-hadits yang semakna sangatlah banyak.

Adapun beristigasah kepada orang mati dan kepada ahlul bait, hal tersebut adalah syirik besar berdasarkan kesepakatan para ulama’ dan sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya), “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (Al-Ahqaf: 5).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga ditanya: “Apa hukum memakan daging-daging sembelihan yang disembelih di tempat dan pada acara tersebut (Husainiyyah)? Juga apa hukum meminum minuman-minuman yang dibagi-bagikan di jalan-jalan menuu Husainiyyah dan yang dibagikan kepada masyarakat umum?

Beliau rahimahullah menjawab: “Terkait soal ini, maka jawabannya sama dengan soal sebelumnya yaitu hal tersebut adalah bid’ah yang mungkar dan tidak boleh ikut serta dalam acara tersebut, tidak boleh makan dari sembelihan-sembelihannya juga tidak boleh minum dari minuman-minuman yang disajikan.

Jika penyembelih menyembelihnya untuk selain Allah subhanahu wata’ala dari kalangan ahlul bait atau selainnya, maka hal tersebut adalah syirik besar berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rab semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah subhanahu wata’ala).” (Al-An’am: 162)

Dikutip dengan sedikit peringkasan dari Majmuk Fatawa Al Allamah Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah

Alhamdulillah, sekarang kita telah mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut terkandung padanya banyak perbuatan kemaksiatan bahkan kekufuran yang tentunya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan bertolak belakang dengan ajaran agama yang lurus ini, Maka sudah sepatutnya bagi kaum muslimin untuk tidak ikut serta dalam acara-acara tersebut atau yang semisalnya.

Wallahu a’lam.

The post Fatwa Ulama’ Tentang Al Husainiyyah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/05/fatwa-ulama-al-husainiyyah-ibadah-kaum-syiah-mengenag-terbunuhnya-husain-bin-ali-radhiyallahu-anhu-bulan-muharram/

Senin, 03 Oktober 2016

Perayaan Tahun Baru Hijriah Dalam Pandangan Islam

Dan termasuk suatu perkara yang baru dalam islam yaitu perayaan tahun baru hijriyah di hari pertama bulan muharram pada setiap tahunnya dengan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya, hari libur dan sebagainya.

al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya: “Hari-hari ini banyak disebarkan melalui media-media ajakan untuk beristighfar dan bertaubat pada Akhir Tahun Hijriyah, serta mengucapkan selamat dengan datangnya Tahun Baru?”
Belaiu menjawab: “Semua itu BID’AH. Sebenarnya tidak ada Tahun Baru, itu sekedar istilah. Tidak ada tahun baru. Setiap hari mungkin saja engkau menyempurnakan tahun dari umurmu, setiap hari, setiap bulan, dan setiap pekan, sesuai dengan waktu kelahiranmu, tidak terikat dengan bulan Muharram.

Namun itu (penyebutan tahun baru) hanyalah istilah. Dulu Khalifah ‘Umar bin al Khattab radhiyallahu ‘anhu bermusyawarah dengan para shahabat, karena berdatangan kepada beliau surat-surat dinas dari para gubernur dan pegawai beliau tanpa ada tanggalnya, sehingga tidak diketahui kapan surat tersebut ditulis. Maka beliaupun bermusyawarah dengan para shahabat.

Padahal ketika itu kalender miladi/masehi sudah ada. Namun beliau dan para shahabat tidak mau ikut-ikutan Yahudi dan Nashara.

Maka pendapat mereka sepakat untuk membuat penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena hijrah merupakan peristiwa terbesar dalam Islam. Maka dijadikanlah peristiwa tersebut sebagai awal kalender hijriyyah, karena suatu mashlahah (perkara kebaikan) dan kebutuhan.

Sehingga tidak ada pengkhususan tahun hijriyah dengan ucapan selamat, tidak pula dikhususkan dengan do’a tertentu. Karena itu tidak ada dasarnya. Jadi hal tersebut adalah bid’ah.

sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=140856

Disebutkan oleh al Imam al Miqrizi as Syafi’i rahimahullah bahwa kelompok pertama yang mengadakan hari peringatan tahun baru hijriyah pada bulan muharram adalah kelompok yang disebut Fatimiyyun di negeri Mesir.

Dijadikannya bulan muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah oleh Amirul Mu’minin Umar bin al Khattab radhiyallahuanhu dikarenakan pada bulan inilah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke kota Madinah, meskipun pada akhirnya beliau baru bisa hijrah ke madinah pada bulan Rabi’ul awwal sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah.

Kesimpulannya, perayaan Tahun BAru Hijriyah yang pada waktu lalu banyak dilakukan oleh kaum muslimin adalah suatu perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. sepantasnya bagi kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan merayakan perayaan Tahun Baru, baik Tahun Baru Hijriyah terlebih Tahun Baru Masehi.

Wallahu a’lam bis showab.

The post Perayaan Tahun Baru Hijriah Dalam Pandangan Islam appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/03/perayaan-tahun-baru-hijriah-pandangan-islam/

Sabtu, 01 Oktober 2016

Siapakah Komunis Itu?

AWAS!! WASPADA KOMUNISME!!

1. Mereka adalah Ateis Anti Allah

– Ajaran komunisme didasarkan pada pemikiran Karl Marx. Di antara pemikiran Karl Marx adalah agama merupakan “opium” alias candu masyarakat. Menurutnya, karena agama, masyarakat menjadi tidak maju dan tidak bersikap rasional (tidak masuk akal). Baginya, agama yang mengajarkan adanya Tuhan atau pencipta yang serba bisa hanya menipu dan menyesatkan masyarakat. Agama juga akan menjadi penghalang manusia untuk menyangkal dan memperbaiki hidupnya yang sedang ditindas.
– Masih menurut Karl Marx, seandainya tuhan tidak ada, maka manusia bisa hidup bebas dan bermartabat.
– Dalam komunis agama dianggap sebagai candu karena mengurangi etos kerja. Menurut mereka, secara licik agama menciptakan kelas-kelas untuk menenangkan rakyat tertindas. Semakin mengonsumsi agama, manusia akan semakin gila atau bahkan ia sudah lebih gila sebelumnya.
– Paham anti-Tuhan Karl Marx diikuti oleh filosof keblinger lainnya, seperti Bebel yang dalam bukunya, ‘Die Frau’ mengatakan, “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan dalam otaknya sendiri.”
– Iosif (Josef) Vissarionovich Stalin (18 Desember 1878 –5 Maret 1953) adalah pemimpin Uni Soviet yang merupakan tokoh komunis, Ia juga dikenal sebagai orang yang membenci agama setelah membaca buku karya Charles Darwin (teori yang menyebutkan bahwa asal usul manusia dari binatang).

2. Mereka Materialistis (Segala Sesuatu Diukur dengan Harta)

– Menurut Marx manusia bekerja, maka dia ada (hidup). Hakikat manusia menurutnya, bahwa ia adalah makhluk pekerja (homo laborans). Bagi komunis materialis, materi dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran.
– Menurut Marx, manusia tidak memperdulikan perihal-perihal materi yang sudah tentu hadir dalam kehidupan nyata. Manusia hanya terlena dengan khayalan-khayalan mereka tentang agama dan kehidupan akhirat.
– Menurut mereka tidak ada tuhan dan hidup adalah materi. Artinya segala sesuatunya diukur dengan materi.

3. Mereka Menentang Kelas dalam Kemasyarakatan

– Dalam komunisme, sejarah umat manusia diartikan sebagai pertarungan antara kaum borjuis (menengah ke atas) dan kaum proletar (rakyat jelata).
– Kaum komunis menganggap bahwa selama ini kaum borjuis menindas kaum proletar. Sehingga menurut mereka tidak boleh ada perbedaan kelas di masyarakat.
– Di Indonesia, para komunis membuat provokasi bahwa haji-haji adalah kaum borjuis. Karena tidak ada orang yang bisa haji kecuali orang yang kaya. Dengan provokasi inilah banyak tokoh agama yang diburu oleh kaum komunis.
– “Sejarah dari berbagai masyarakat hingga saat ini pada dasarnya adalah sejarah pertentangan kelas”, demikian kalimat pembuka dari buku Manifesto Komunis karya Karl Heinrich Marx (tokoh komunis).

4. Mereka Mengingkari Hak Milik Pribadi

– Jargon sama rasa dan sama rata mejadi yang paling populer dari komunisme. Dengan kata lain hak milik pribadi diingkari. Menurut mereka jika ada yang lebih kaya maka hartanya harus diambil dan dibagi rata dengan yang lain.
– Menurut mereka dalam masyarakat tidak boleh ada perbedaan. Jadi tidak ada yang lebih atau paling kaya.

The post Siapakah Komunis Itu ……. ? appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/01/komunis-kaum-pemberontak/

Selasa, 27 September 2016

PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM BERMANHAJ

Ketahuilah wahai para pembaca rahimakumullah…….!

Al Manhajus Salafy (prinsip hidup yang dijalani para pendahulu yang saleh) adalah manhaj yang menuntut kesabaran tinggi untuk tetap istiqamah di atasnya.

Kesabaran hanya akan lahir dari mukhlisin, yaitu orang-orang yang ikhlas dalam berislam, ikhlas dalam bertauhid, berakidah, bermuamalah, juga ikhlas dalam bedakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Al Mukhlisun, merekalah ash Shobirun (orang-orang yang sabar). Sehingga jika kita ingin mendapatkan kesabaran, maka kita harus banyak-banyak mengoreksi keikhlasan kita, karena hati manusia mudah berbolak-balik.

Al Mukhlisun, yang hanya mengharapka ridho Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mengharapkan ridho manusia, mereka akan sabar dalam bermanhaj, sabar dalam berdakwah.

Al Manhajus Salafy akan hilang pada diri kita jika kita kurang mengoreksi keikhlasan kita. Seorang yang tidak ikhlas dalam bermanhaj, akan mudah kecewa terhadap sikap manusia, kemudian dengan sebab itu ia meninggalkan manhajnya.

Berbeda dengan seorang mukhlis yang tidak akan kecewa, pesimis atau putus asa jika seorang mencemoohnya. Seorang mukhlis akan tetap kokoh dalam bersabar di atas al Manhajus Salafy.

– Dikutip dan diringkas dari tausiyah (nasihat) ustadz Luqman Ba’abduh hafizahullah

The post PENTINGNYA KEIKHLASAN DALAM BERMANHAJ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/27/pentingnya-keikhlasan-bermanhaj/

Senin, 26 September 2016

Pelajaran dari Secuil Kisah Perjalanan Hidup Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH 24 DZULHIJJAH 1437 H/26 SEPTEMBER 2016 M (BA’DA MAGHRIB) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah benar-benar telah melewati begitu banyak tantangan dan ujian dalam dakwahnya. Apa yang kita ketahui tentang tantangan-tantangan yang menerpa beliau hanyalah segelintir kecil dari apa yang beliau alami.

Syaikhul islam dengan penuh kesabaran berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dengan lisan, tulisan dan perbuatan. Melalui lisan dengan memberi nasihat, mengajarkan ilmu dari kabilah ke kabilah, dari lembah ke lembah dan seterusnya.

Beliau juga berdakwah melalui tulisan yang sebagiannya kita kenal, sebagiannya kita pelajari. Dan di sana masih banyak karya-karya beliau yang tidak kita ketahui.
Tidak hanya karya ilmiah di bidang tauhid, hadits, fikih dan lain-lain. Tapi beliau juga menulis risalah (surat-menyurat), sehingga hari-hari beliau tidak kosong dari amalan, surat itu ada yang berupa jawaban dari pertanyaan yang datang dari berbagai tempat (Yaman, Syam, Basrah dan lainnya) yang disampaikan kepada beliau melalui ibadah haji.

Akan tetapi, isu-isu negatif tentang beliau senantiasa mengiringi perjalanan hidup beliau. Tidak hanya di Nejd, isu-isu itu juga beredar di HIjas (Makkah dan Madinah), Basrah. Di masa itu, mengirim surat bukanlah hal yang mudah, namun beliau sabar untuk menulisnya. Beliau juga menulis surat yang isinya bantahan-bantahan terhadap musuh tauhid semisal Mutashowwifah dan Rafidhoh.

Kisah ini adalah sebuah sejarah yang mungkin akan berulang. Kita hanya sebagian kecil roda-roda sejarah yang berputar-putar.

Bagaimana para penuntut ilmu yang belajar kepada Syaikh, dulunya adalah anak muda dan kecil bersemangat menuntut ilmu, meninggalkan keluarganya, belajar dalam kondisi penuh tantangan. Allah lahirkan orang-orang besar sesuai dengan besarnya perjuangan mereka dalam tholabul ilmi.

Di samping itu banyak orang-orang yang lalai dari menuntut ilmu karena tergoda dengan dunia, sehingga mereka sibuk bertijarah (berdagang). Orang tersebut pun mati tanpa terlibat dalam roda dakwah , wafat begitu saja. Tapi seorang penuntut ilmu yang sabar dalam menuntut ilmu meski teman-temannya sibuk bermain dan tertawa, sabar untuk tetap duduk di majelis ilmu sehingga menjadi orang besar yang namanya dikenang dan dido’akan manusia.

Syaikhul islam telah melewati masa-masa sulit, nyawa taruhannya, harta benda dan keluarga. Dakwah Syaikh ternyata memberi pukulan besar terhadap musuh-musuh islam dari kalangan kaum kafir eropa (Prancis, Inggris, Italia dll) yang pada waktu itu berhasil menunggangi Kekhalifahan Utsmaniyah.

Negeri Nejd yang pada waktu itu tidak diperhitungkan, negeri yang tandus dan kering, ternyata dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala muncul seorang anak kecil yang rajin belajar, teguh dan tekun Muhammad bin Abdil Wahhab, tidak disangka-sangka oleh Kafir Eropa, Syi’ah Bathiniyah, Kaum Tashowwuf dan orang-orang yang melakukan praktik-praktik perdukunan akan terusik oleh dakwah beliau.

Tentu mereka tidak mampu membantah dakwah beliau, karena memang dakwah beliau begitu ilmiah. Selain ilmiah ternyata dakwah Syaikh juga begitu mudah untuk dipahami, sehingga waktu itu dakwah Syaikh diminati banyak orang. Bahkan, tanpa disadari hal ini juga diakui oleh seorang liberal yang mengatakan dengan makna: “Wahhabi (yang dimaksud Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang bersamanya), kenapa dakwahnya mudah diterima karena mereka mendifinisikan tauhid itu dengan mudah dan ringkas, tidak rumit seperti yang didefinisikan ahlul kalam”.

Ahlul batil mengada-adakan isu dusta terhadap syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang sangat keji. Diantara kedustaan yang disematkan pada diri beliau adalah:
1. Bahwa syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah mengkafirkan kaum muslimin secara umum dan bahwa siapa saja yang tidak masuk dalam teritorial negaranya pada waktu itu adalah kuffar.

The post Pelajaran dari Secuil Kisah Perjalanan Hidup Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/26/pelajaran-secuil-kisah-perjalanan-hidup-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab-rahimahullah/

Doa Sesudah Berwudhu

Seseorang yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu berdoa

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

maka akan dibukakan untuknya delapan pintu al-Jannah, ia dipersilakan masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.

(HR. Muslim no. 345)

The post Jangan Lupa Baca Doa Ini Sesudah Berwudhu appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/26/baca-doa-sesudah-berwudhu/

Hak Seorang Alim

RINGKASAN FAEDAH DARI MUHADHARAH (MAGHRIB – ISYA’) USTADZ ABU ZUBAIR KELATEN HAFIZHAHULLAH DI MA’HAD AS SALAFY JEMBER 23 DZULHIJJAH 1437 H / 25 SEPTEMBER 2016 M

Diantara kenikmatan besar yang Allah subhanahu wa ta’ala anugerahkan ialah senantiasanya kita didekatkan dengan orang-orang yang berilmu. al Imam al Lalikai rahimahullah meriwayatkan suatu atsar/perkataan dari Al Imam Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah, beliau berkata:

إن من سعادة الحدث والأعجمي أن يوفقهما الله لعالم من أهل السنة

“Sesungguhnya diantara tanda kebahagiaan seorang pemuda dan orang ajam (orang luar arab) adalah Allah menuntun mereka kepada seorang alim dari kalangan ahlussunnah”.

Dan seorang alim memiliki hak atas kita yang sudah semestinya kita tunaikan, al Imam at Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan suatu hadits:

عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنه- أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin al Ash radhiyallahuanhu, bahwasanya Nabi Muhammad shallalahualaihi wasallam bersabda: “Bukan termasuk golongan kita, orang-orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak mengetahui hak seorang alim”.

Apa sajakah hak-hak seorang alim itu? Berikut di antaranya:
1. Bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah didekatkan dengan orang-orang yang berilmu, kemudian mencurahkan rasa terima kasih kepada para alim ulama’ yang dengan sebab beliaulah kita bisa memahami ilmu agama.
2. Hendaknya mendoakan beliau agar Allah subhanahu wa ta’ala mengokohkannya di atas kebenaran, senantiasa istiqamah dalam mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallalahualihi wasallam, karena hati manusia berada di antara jari jemari Allah subhanahu wa ta’ala yang Ia putar balikkan sesuai kehendaknya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kita mendoakan para alim ulama’ yang telah banyak berjasa kepada kita agar hatinya tidak berbalik kepada kebatilan. Sebagaimana hal tersebut menimpa pada Ibrohim ar Ruhaili, Ali Hasan al Ma’ribi, Muhammad al Imam al Ma’bari dan lainnya yang telah menyimpang dari jalan yang lurus.
3. Mendengar dan taat terhadap nasihat-nasihat yang beliau bimbingkan kepada kita.

The post Hak Seorang Alim appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/25/hak-seorang-alim/

Minggu, 25 September 2016

WASIAT KEPADA AHLUS SUNNAH UNTUK MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PEMERINTAH

Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah,

“Wasiat kami untuk semua penuntut ilmu dan yang lainnya : hendaknya mereka MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PEMERINTAH, semoga mendapat taufiq dan hidayah, agar baik niat dan amalnya, menolong dan membantu mereka untuk kebaikan. Juga semoga terjaga dari berbagai fitnah dan peperangan, saling menolong di atas dosa dan permusuhan, dan memecah belah barisan kaum muslimin. Karena itu semua membahayakan semua pihak.”

وصيتنا لجميع الطلبة وغيرهم أن يدعوا لولاة الأمور بالتوفيق والهداية وصلاح النية والعمل وأن يعينهم على الخير، وأن يساعدهم على الخير، وأن يكفوا عن الفتن والقتال والتعاون على الإثم والعدوان وتفريق الكلمة؛ فهذا يضر الجميع

al-Fatawa al-Muhimmah fi Tabshir al-Ummah, hal. 15

The post WASIAT KEPADA AHLUS SUNNAH UNTUK MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PEMERINTAH appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/25/wasiat-ahlus-sunnah-mendoakan-kebaikan-pemerintah/