Cari Blog Ini

Minggu, 12 Oktober 2014

Tentang HUKUM ZIARAH KUBUR DAN HIKMAHNYA

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫﺎَ ‏[ ﻓَﺈِﻧَّﻬﺎَ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻛُﻢُ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓَ‏]‏ [ ﻭَﻟْﺘَﺰِﺩْﻛُﻢْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺗُﻬﺎَ ﺧَﻴْﺮًﺍ‏]‏ [ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭﺍَﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺰُﻭْﺭَ ﻓَﻠْﻴَﺰُﺭْ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮﺍ ﻫُﺠْﺮًﺍ‏]
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat] [dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya] [maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’ (ucapan-ucapan batil)].”
Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu. Tambahan pertama ada dalam riwayat al-Imam Ahmad dan Abu Dawud. Tambahan kedua ada dalam riwayat al-Imam Ahmad dan An-Nasai. Tambahan ketiga ada dalam riwayat al-Imam An-Nasai.

Kata هُجْرًا diterangkan oleh As-Sindi rahimahullah, artinya sesuatu yang tidak pantas diucapkan yang akan menghilangkan tujuan ziarah yaitu sebagai peringatan.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “ هُجْرًا adalah ucapan yang batil (menyelisihi ajaran agama).” (Ahkamul Jana’iz, hal. 227)
As-Suyuthi rahimahullah berkata: “ هُجْرًا artinya ucapan yang keji kotor, sebagaimana disebutkan dalam An-Nihayah.” (lihat Syarah Sunan An-Nasa’i, 3/275)

Dalam riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu,
ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻋِﺒْﺮَﺓً
“Sesungguhnya pada ziarah itu terdapat pelajaran.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hâkim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hâkim.

Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu,
ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻳُﺮِﻕُّ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐَ ﻭَﺗَﺪْﻣَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦُ ﻭَﺗُﺬِﻛَّﺮُ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ
“Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.”
Diriwayatkan oleh Al-Hâkim (1/376).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
أَلاَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ، نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقُلُوبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هجْرًا
“Ketahuilah bahwa aku telah melarang kalian dari tiga perkara: Aku melarang kalian dari ziarah kubur kemudian nampak padaku bahwa ziarah kubur akan melembutkan hati dan meneteskan air mata maka ziarahlah kalian dan jangan kalian mengatakan hujr (kata-kata yang keji).” (HR. Ahmad no. 13640 dari sahabat Anas radhiallahu anhu)

Anas radhiallahu anhu berkata,
زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذِنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah berziarah ke kubur ibunya dan beliau menangis serta menangis pula orang-orang yang berada di sekelilingnya. Lantas beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku meminta kepada Rabbku untuk aku memintakan ampunan baginya dan Allah tidak memberikan izin serta aku meminta izin untuk menziarahi ibuku dan Allah mengizinkan. Maka ziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya akan mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim no. 976 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Muhyiddin Al-Barkawi rahimahullah (wafat tahun 981 H) mengatakan: “Yang disyariatkan oleh Nabi kita dalam berziarah adalah untuk mengingat akhirat, sebagai peringatan serta untuk mengambil pelajaran dari orang yang diziarahi. Juga berbuat baik kepadanya dengan cara mendoakannya serta memintakan baginya kasih sayang dari Allah. Sehingga orang yang berziarah di samping berbuat baik untuk si mayit, juga berbuat baik bagi dirinya.” (lihat Ziyarah Qubur Asy-Syar’iyyah wa Asy-Syirkiyyah hal. 28)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)

Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:

1. Ziarah yang disyariatkan

Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺸُﺪُّﻭﺍ ﺍﻟﺮِّﺣﺎَﻝَ ﺇِﻻَّ ﺇِﻟَﻰ ﺛَﻼَﺛَﺔِ ﻣَﺴﺎَﺟِﺪَ. ﻣَﺴْﺠِﺪِﻱ ﻫَﺬﺍَ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍﻟْﺤَﺮﺍَﻡِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍْﻷَﻗْﺼَﻰ
“Jangan kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺰُﻭْﺭَ ﻓَﻠْﻴَﺰُﺭْ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮﺍ ﻫُﺠْﺮًﺍ
“Dulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.” (HR. An-Nasai no. 100 dari shahabat Buraidah radhiallahu ‘anhu dan asalnya di dalam riwayat Muslim)
Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah (5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ucapan keji.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah mengatakan, “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul Mufid, hal. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.

2. Ziarah Bid’ah

Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.

3. Ziarah Syirik

Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.

(Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi, Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)

Tentang MENJADIKAN KUBURAN SEBAGAI TEMPAT BERKUMPUL DAN BERDOA

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya (yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan, “Demikian besar murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan mereka agar mendapatkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena apa yang mereka perbuat termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab Shahih. Terkadang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (dengan keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya, terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani, terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ied.” Artinya menentukan waktu tertentu untuk berkumpul (di kuburan) sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para penyembah kubur." (Lihat Syarh Ash-Shudur Bitahrim Raf’il Qubur hal. 1)

Diriwayatkan dari Ali bin Husain bin Ali (bin Abi Thalib), bahwasanya dia melihat seseorang datang ke sebuah celah di dekat kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Dia pun memasukinya dan berdoa di dalamnya. Ali bin Husain pun melarangnya dan mengatakan, “Bagaimana jika aku katakan untukmu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku, dari kakekku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (artinya), “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat berkumpul dan jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah untukku, karena salam dari kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” (HR. Abu Ya’la, juga diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam buku Ahkamul Jana’iz)

Tentang SUNNAH KETIKA TERJADI GERHANA

1. Bersegera shalat gerhana ketika melihat gerhana sampai selesai gerhana

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila kalian melihatnya (gerhana) maka shalatlah dan berdoalah hingga tersingkap kembali.” (Muttafaqun ’alaihi)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melihat gerhana, berzikirlah kepada Allah Subhanahu wata’ala (shalatlah)." (HR. Muslim no. 907)

2. Berdzikir, berdoa, dan memohon ampun kepada Allah

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

3. Bersedekah

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, "Jika kalian melihat hal tersebut (gerhana) maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah.” (HR al-Bukhari no. 1044)

4. Shalat gerhana secara berjamaah di masjid

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata, "Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam keluar menuju masjid, beliau berdiri dan bertakbir (yakni shalat gerhana) dan para makmum bershaf di belakang beliau.” (HR. Muslim no. 901)

5. Menyeru "Ash-Shalatu Jami'ah" untuk mengajak orang-orang berkumpul untuk shalat gerhana

’Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu ’anhuma berkata, ”Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasul diserukan: Inna ash-Shalata Jami’ah.” (HR. Al-Bukhari no. 1045)
Dalam lafadz lain: "Ash-Shalatu Jami’ah.” (HR. Muslim no. 901)

6. Mengeraskan bacaan dalam shalat gerhana

7. Shalat gerhana 2 rakaat dengan 4 kali ruku dan 4 kali sujud, 4 kali berdiri (membaca surat) dan 4 kali i'tidal

Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata, "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan (mengeraskan) bacaannya dalam shalat kusuf (shalat gerhana). Jika selesai dari bacaannya, beliau pun bertakbir dan ruku. Dan jika dia bangkit ruku, maka beliau berucap: “Sami Allaahu liman Hamidah, Rabbana lakal hamdu.” Kemudian beliau kembali mengulang bacaan dalam shalat kusuf. Empat ruku dalam dua rakaat dan empat sujud.” (HR. al-Bukhari no. 1065)

8. Memperlama berdiri dan ruku dalam shalat gerhana

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun shalat (gerhana) bersama manusia. Beliau berdiri lama seperti membaca surat al-Baqarah, kemudian rukuk dengan lama. Setelah itu, beliau bangkit dan berdiri lama, lebih pendek dari yang pertama. Kemudian beliau rukuk dengan lama, tetapi lebih pendek dari rukuk yang pertama. Kemudian beliau sujud, lalu bangkit berdiri lama, tetapi lebih pendek dari rakaat pertama. Kemudian beliau rukuk dengan lama, tetapi lebih pendek dari rakaat pertama. Kemudian beliau bangkit dan berdiri lama tetapi lebih ringan dari sebelumnya, lalu rukuk dengan lama, tetapi lebih ringan dari yang awal. Kemudian sujud dan menyelesaikan shalatnya saat matahari telah muncul." (HR. Muslim no. 907)

9. Membaca surat yang panjang semisal surat al-Baqarah di rakaat pertama dan semisal surat Ali Imran di rakaat kedua

Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar dan mengimami orang-orang di dalam shalat (gerhana). Beliau berdiri dan aku menduga beliau membaca surat al-Baqarah. (...) Beliau lalu sujud dua kali dan kemudian berdiri dan memperpanjang bacaannya dan aku menduga beliau membaca surat Ali Imran." (HR. Abu Dawud no. 1187)

10. Memperpanjang i'tidal dalam shalat gerhana

Jabir Radhiyallahu ’anhu berkata, ”Maka Nabi memanjangkan berdiri sampai-sampai (sebagian makmum) tersungkur, lalu beliau ruku dan memanjangkannya, lalu bangkit berdiri dan memanjangkannya, lalu ruku dan memanjangkannya, kemudian bangkit berdiri (i'tidal) dan memanjangkannya, kemudian beliau sujud dua kali.” (HR. Muslim no. 904)

11. Memperpanjang sujud dalam shalat gerhana

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.” (HR. Muslim no. 912)

12. Memperpanjang duduk di antara dua sujud dalam shalat gerhana

Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhuma berkata, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendirikan shalat bersama orang-orang. Beliau berdiri dengan berdiri yang lama, lalu beliau ruku dengan ruku yang lama, lalu beliau bangkit dan (lalu) sujud dengan sujud yang lama, lalu beliau bangkit dan duduk dengan duduk yang lama, lalu beliau sujud dengan sujud yang lama, lalu beliau bangkit dan berdiri. Dan beliau melakukan pada rakaat kedua serupa dengan yang beliau lakukan pada rakaat pertama dari berdiri, ruku, sujud, dan duduk." (HR. an-Nasa’i no. 1482)

13. Khatib berkhutbah setelah shalat gerhana walaupun gerhana telah selesai

Aisyah Radhiyallahu ‘anha bercerita bahwa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi gerhana matahari, lalu beliau mengerjakan shalat bersama orang-orang. Maka beliau berdiri dan memanjangkan waktu berdiri, lalu beliau ruku dan memanjangkannya. Kemudian beliau berdiri dan memanjangkannya –berdiri yang kedua ini tidak selama berdiri pertama. Setelah itu, beliau ruku dan memanjangkan ruku –ruku-nya ini lebih pendek dari ruku pertama. Selanjutnya, beliau sujud dan memanjangkannya. Kemudian beliau mengerjakan pada rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Setelah itu, beliau berbalik sedang matahari telah muncul. Lalu beliau memberikan khutbah kepada orang-orang. (HR al-Bukhari no. 1044)

###

Baginda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tuntunan syariat yang mulia ketika terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan, yaitu ada tujuh hal (sebagaimana dalam hadits-hadits tentang gerhana):
1. Shalat gerhana
2. Berdoa
3. Beristighfar
4. Bertakbir
5. Berdzikir
6. Bershadaqah
7. Memerdekakan budak
(Lihat HR. Al-Bukhari no. 1040, 1044, 1059, 2519; Muslim no. 901, 912, 914)
Ini dilakukan sejak awal terjadinya gerhana, hingga berakhirnya, yang ditandai dengan kembalinya cahaya matahari atau bulan seperti sedia kala.
Di antara doa yang beliau perintahkan adalah BERLINDUNG DARI ADZAB KUBUR. Karena gerhana mengakibatkan suasana gelap meskipun pada siang hari, dan dalam suasana tersebut hati manusia pasti dihinggapi rasa takut. Suasana yang demikian mengingatkan kita akan suasana di alam kubur kelak. (Lihat Fathul Bari hadits no.2519)
Karena gerhana merupakan peringatan akan adzab, maka sangat tepat dianjurkan pada kesempatan tersebut untuk memerdekakan budak, sebab amal tersebut bisa memerdekakan seseorang dari api neraka. (Lihat Fathul Bari hadits no. 2519)

Gerhana bisa diketahui dengan hisab. Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kuasa telah menjadikan pergerakan matahari dan bulan berjalan dengan rapi dan teratur, sehingga bisa diamati dan dihitung oleh manusia. Termasuk gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis kapan terjadinya, di belahan bumi mana sajakah terjadinya, serta jenis gerhananya, apakah gerhana total, sebagian, cincin dan lain-lain.
Namun tidak diambil darinya konsekuensi hukum apapun terkait dengan shalat gerhana atau lainnya.
Meskipun gerhana bisa diketahui kapan waktu terjadinya berdasarkan hisab astronomis yang sangat akurat, namun apabila ternyata pada hari-H dan jam-J nya gerhana tidak teramati atau tidak terjadi di wilayah tersebut, maka shalat gerhana TIDAK BISA DILAKSANAKAN.
Hal ini mirip dengan hilal di awal bulan, khususnya ketika menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawwal. Meskipun diketahui secara pasti berdasarkan hisab astronomi yang akurat posisi hilal sekian derajat dan dinyatakan memungkinkan untuk diru’yah, namun apabila fakta di lapangan hilal tidak bisa diamati, maka berarti belum masuk Ramadhan atau Idul Fitri.
Kemudian, fakta bahwa gerhana bisa diketahui dengan hisab astronomis, tidak menghilangkan sebab dan fungsi gerhana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, yaitu ”Dengannya, Allah memberikan rasa takut kepada hamba-hamba-Nya.”
Sekali lagi, gerhana bukan peristiwa biasa seperti halnya pasang-surutnya ombak di lautan. Namun ada hikmah besar di balik itu. Oleh karena itu –sebagaimana pada hadits-hadits di atas– sampai-sampai Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berdiri ketakutan, khawatir itu sebagai tanda datangnya Kiamat, dan beliau memerintahkan dengan 7 hal.

Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apabila kalian MELIHAT (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah.”
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat (ru’yah)”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ”… karena pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru’yah.” (Lihat Fathul Bari hadits no. 1041)
Artinya, apabila telah diperkirakan dengan hisab astronomis terjadi gerhana namun terhalangi oleh langit yang mendung, maka TIDAK DILAKUKAN SHALAT GERHANA.
Atau gerhana terjadi di wilayah lain/ belahan bumi lainnya, sehingga tidak terlihat. Misalnya gerhana terjadi di Eropa, tidak terjadi di Indonesia, maka orang Indonesia tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat gerhana.
Atau terjadinya gerhana matahari setelah tenggelamnya matahari,
atau gerhana bulan setelah terbitnya matahari sehingga tidak bisa teramati, maka tidak ada shalat gerhana pula.

Sumber: Buletin al-Ilmu edisi 21/V/IX/1434

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Beliau rahimahullah berkata:
أما أخبار الحسابيين عن أوقات الكسوف فلا يعول عليها، وقد صرح بذلك جماعة من أهل العلم، منهم: شيخ الإسلام ابن تيمية وتلميذه العلامة ابن القيم رحمة الله عليهما؛ لأنهم يخطئون في بعض الأحيان في حسابهم، فلا يجوز التعويل عليهم، ولا يشرع لأحد أن يصلي صلاة الكسوف بناء على قولهم، وإنما تشرع صلاة الكسوف عند وقوعه ومشاهدته
Adapun berita-berita dari ahli hisab tentang waktu-waktu gerhana, maka tidak boleh dipercaya. Hal ini telah ditegaskan oleh sejumlah ahlul ilmi, di antaranya Syaikhul Islam dan muridnya Ibnul Qayyim –rahmatullah alahima– karena para ahli hisab itu terkadang salah dalam perhitungannya, jadi tidak boleh mempercayai mereka. TIDAK DISYARIATKAN seorang pun untuk mengerjakan shalat gerhana berdasarkan berita dari ahli hisab. Namun DISYARIATKAN shalat gerhana ketika terjadi dan menyaksikan gerhana tersebut.
فينبغي لوزارات الإعلام منع نشر أخبار أصحاب الحساب عن أوقات الكسوف حتى لا يغتر بأخبارهم بعض الناس؛ ولأن نشر أخبارهم قد يخفف وقع أمر الكسوف في قلوب الناس، والله سبحانه وتعالى إنما قدره لتخويف الناس وتذكيرهم؛ ليذكروه ويتقوه ويدعوه ويحسنوا إلى عباده، والله ولي التوفيق
Seharusnya bagi pihak kementerian informasi MELARANG penyebaran berita-berita dari para ahli hisab tentang waktu-waktu gerhana, supaya sebagian manusia tidak terkecoh dengan berita-berita tersebut. Di samping, tersebarnya berita-berita tersebut bisa mengurangi nilai besarnya gerhana di hati manusia. Allah Subhanahu wa Taala menakdirkan terjadinya gerhana itu untuk memberikan rasa takut pada manusia dan sebagai peringatan untuk mereka. Dengan demikian, manusia mau mengingat-Nya, bertaqwa kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, serta mau berbuat baik kepada sesama hamba-Nya.
(Majmu Fatawa Ibn Baz 13/36)

Majmuah Manhajul Anbiya