Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻧِّﻲ ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫﺎَ [ ﻓَﺈِﻧَّﻬﺎَ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻛُﻢُ ﺍْﻵﺧِﺮَﺓَ] [ ﻭَﻟْﺘَﺰِﺩْﻛُﻢْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺗُﻬﺎَ ﺧَﻴْﺮًﺍ] [ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭﺍَﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺰُﻭْﺭَ ﻓَﻠْﻴَﺰُﺭْ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮﺍ ﻫُﺠْﺮًﺍ]
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah [karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat] [dan akan menambah kebaikan bagi kalian dengan menziarahinya] [maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujran’ (ucapan-ucapan batil)].”
Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dari shahabat Buraidah bin Hushaib radhiallahu ‘anhu. Tambahan pertama ada dalam riwayat al-Imam Ahmad dan Abu Dawud. Tambahan kedua ada dalam riwayat al-Imam Ahmad dan An-Nasai. Tambahan ketiga ada dalam riwayat al-Imam An-Nasai.
Kata هُجْرًا diterangkan oleh As-Sindi rahimahullah, artinya sesuatu yang tidak pantas diucapkan yang akan menghilangkan tujuan ziarah yaitu sebagai peringatan.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “ هُجْرًا adalah ucapan yang batil (menyelisihi ajaran agama).” (Ahkamul Jana’iz, hal. 227)
As-Suyuthi rahimahullah berkata: “ هُجْرًا artinya ucapan yang keji kotor, sebagaimana disebutkan dalam An-Nihayah.” (lihat Syarah Sunan An-Nasa’i, 3/275)
Dalam riwayat yang lain dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu,
ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻋِﺒْﺮَﺓً
“Sesungguhnya pada ziarah itu terdapat pelajaran.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (3/38, 63, 66), Al-Hâkim (1/374-375) dan Al-Baihaqy (4/77) dari jalan Al-Hâkim.
Dalam riwayat yang lain dari Anas bin Mâlik radhiyallahu ‘anhu,
ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻳُﺮِﻕُّ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐَ ﻭَﺗَﺪْﻣَﻊُ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦُ ﻭَﺗُﺬِﻛَّﺮُ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓَ
“Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.”
Diriwayatkan oleh Al-Hâkim (1/376).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
أَلاَ إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلاَثٍ، نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ ثُمَّ بَدَا لِي أَنَّهَا تُرِقُّ الْقُلُوبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ فَزُورُوهَا وَلاَ تَقُولُوا هجْرًا
“Ketahuilah bahwa aku telah melarang kalian dari tiga perkara: Aku melarang kalian dari ziarah kubur kemudian nampak padaku bahwa ziarah kubur akan melembutkan hati dan meneteskan air mata maka ziarahlah kalian dan jangan kalian mengatakan hujr (kata-kata yang keji).” (HR. Ahmad no. 13640 dari sahabat Anas radhiallahu anhu)
Anas radhiallahu anhu berkata,
زَارَ النَّبِيُّ قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذِنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah berziarah ke kubur ibunya dan beliau menangis serta menangis pula orang-orang yang berada di sekelilingnya. Lantas beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku meminta kepada Rabbku untuk aku memintakan ampunan baginya dan Allah tidak memberikan izin serta aku meminta izin untuk menziarahi ibuku dan Allah mengizinkan. Maka ziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya akan mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim no. 976 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Muhyiddin Al-Barkawi rahimahullah (wafat tahun 981 H) mengatakan: “Yang disyariatkan oleh Nabi kita dalam berziarah adalah untuk mengingat akhirat, sebagai peringatan serta untuk mengambil pelajaran dari orang yang diziarahi. Juga berbuat baik kepadanya dengan cara mendoakannya serta memintakan baginya kasih sayang dari Allah. Sehingga orang yang berziarah di samping berbuat baik untuk si mayit, juga berbuat baik bagi dirinya.” (lihat Ziyarah Qubur Asy-Syar’iyyah wa Asy-Syirkiyyah hal. 28)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya dan untuk bisa mengambil pelajaran. Apabila kosong dari ini maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
Hukum ziarah kubur dibagi oleh para ulama menjadi tiga bentuk:
1. Ziarah yang disyariatkan
Ziarah yang disyariatkan oleh Islam dan terpenuhi tiga syarat padanya:
Pertama: Tidak mengadakan safar (bepergian) untuk berziarah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﺸُﺪُّﻭﺍ ﺍﻟﺮِّﺣﺎَﻝَ ﺇِﻻَّ ﺇِﻟَﻰ ﺛَﻼَﺛَﺔِ ﻣَﺴﺎَﺟِﺪَ. ﻣَﺴْﺠِﺪِﻱ ﻫَﺬﺍَ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍﻟْﺤَﺮﺍَﻡِ ﻭَﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍْﻷَﻗْﺼَﻰ
“Jangan kalian bepergian (mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Kedua: Tidak mengucapkan kalimat-kalimat batil. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳﺎَﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺰُﻭْﺭَ ﻓَﻠْﻴَﺰُﺭْ ﻭَﻻَ ﺗَﻘُﻮْﻟُﻮﺍ ﻫُﺠْﺮًﺍ
“Dulu kami telah melarang kalian dari menziarahi kubur. Barangsiapa ingin menziarahi kubur, lakukanlah dan jangan mengucapkan hujran.” (HR. An-Nasai no. 100 dari shahabat Buraidah radhiallahu ‘anhu dan asalnya di dalam riwayat Muslim)
Ibnul Atsir rahimahullah di dalam kitab An-Nihayah (5/240) mengatakan: “Al-Hujra dengan didhammahkan huruf ha, artinya ucapan keji.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi hafizhahullah mengatakan, “Lihatlah –semoga Allah merahmatimu– bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari kalimat-kalimat yang keji dan batil ketika berziarah ke kuburan dan apakah ada ucapan yang lebih besar kekejian dan kebatilannya daripada menyeru (berdo’a) kepada orang-orang yang telah mati dan meminta tolong dibebaskan dari malapetaka kepada selain Allah?” (Al-Qaulul Mufid, hal. 193)
Ketiga: Tidak dikhususkan dengan waktu-waktu tertentu karena tidak ada dalil pengkhususan yang demikian itu.
2. Ziarah Bid’ah
Ziarah yang tidak ada salah satu dari syarat-syarat di atas.
3. Ziarah Syirik
Ziarah yang menjatuhkan pelakunya ke dalam kesyirikan seperti berdoa kepada penghuninya, menyembelih, bernadzar, meminta pertolongan, perlindungan, meminta diturunkannya hujan, kesembuhan, terpelihara dari musuh, malapetaka, dan sebagainya dari jenis-jenis kesyirikan.
(Lihat kitab Ahkamul Janaiz karya Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, kitab Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi, Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)