Cari Blog Ini

Rabu, 05 Oktober 2016

Keutamaan Bulan Muharram dan Yang Disunnahkan Pada Bulan Tersebut

Bulan Muharram merupakan salah satu di antara empat asyhurul hurum (bulan-bulan haram) yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (36)

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36)

Keempat bulan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab sebagaimana sabda Rasulullah,

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ : ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.

“Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya adalah bulan-bulan haram. Tiga (di antara empat bulan tersebut) adalah berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab (yang ditentukan oleh) suku Mudhar dan (bulan ini) terletak di antara bulan Jumada (tsaniyah) dengan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhari no. 3197, dan Muslim no. 1679)

Bulan-bulan haram ini memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya. Dinamakan bulan-bulan haram karena kemuliaan dan kehormatan bulan tersebut melebihi bulan-bulan yang lain, sehingga pada bulan-bulan ini Allah haramkan peperangan, kecuali jika musuh (orang-orang kafir) yang lebih dahulu memulai penyerangan terhadap kaum muslimin.

Firman Allah dalam surat At-Taubah: 36 di atas,

“Maka janganlah kalian menzhalimi (menganiaya) diri kalian dalam bulan yang empat itu”

maksudnya adalah janganlah kalian berbuat maksiat dan kemungkaran pada bulan-bulan tersebut. Perbuatan maksiat disebut dengan perbuatan menzhalimi diri sendiri karena kemaksiatan itu bisa menjerumuskan pelakunya sendiri ke dalam kebinasaan.

Menurut sebagian ulama ahli tafsir, pada dasarnya perbuatan zhalim dan segala bentuk kemaksiatan -kapan saja dan di mana saja dikerjakan- itu merupakan dosa dan kemungkaran yang besar, namun ketika Allah mengkhususkan penyebutan larangan berbuat zhalim tersebut pada empat bulan-bulan haram sebagaimana ayat di atas, menunjukkan bahwa kezhaliman dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram itu dosanya berlipat dibandingkan jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain.

Sebagai salah satu dari empat bulan-bulan haram, maka Muharram pun juga termasuk yang memiliki keistimewaan ini.

Termasuk keistimewaan bulan Muharram adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa pada) bulan Allah, yaitu Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu (wajib) adalah shalat malam. (HR. Muslim, no. 1163)

 Hadits di atas menunjukkan dua keutamaan bulan Muharram, yaitu:

1. Puasa yang dilakukan pada bulan tersebut merupakan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan.

2. Bulan Muharram mendapatkan sebutan Syahrullah (bulan Allah). Suatu penyebutan yang tidak diberikan kepada bulan-bulan yang lain. Penyebutan ini menunjukkan keistimewaan dari dua sisi:

Pertama, penyebutan sesuatu yang disandarkan pada nama Allah menunjukkan bahwa sesuatu tersebut memiliki kemuliaan khusus yang tidak diberikan kepada yang lain. Seperti dikatakan bahwa Ka’bah adalah Baitullah (rumah Allah), menunjukkan bahwa Ka’bah adalah suatu bangunan/rumah yang memiliki kemuliaan dan keagungan khusus yang tidak dimiliki oleh bangunan/rumah yang lain (Faidhul Qadir).

Kedua, Penyebutan bulan ini dengan bulan Allah karena Allah sendiri yang memberi nama bulan ini dengan Muharram. Dahulu pada zaman jahiliyah, bulan Muharram masih disebut dengan nama bulan Shafar Awwal (pertama). Sedangkan bulan Shafar yang sekarang, dahulu namanya adalah Shafar Tsani (kedua). Adapun nama bulan-bulan yang lain sama antara dahulu dengan sekarang. Ketika datang agama Islam, Allah mengganti nama Shafar Awwal ini dengan Muharram. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim Lil-Imam As-Suyuthi)

Puasa Yang Paling Utama Setelah Puasa Ramadhan

Keutamaan bulan Muharram berikutnya adalah bahwa puasa yang dikerjakan pada bulan ini merupakan puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan. Ketika menerangkan hadits riwayat Muslim no. 1163 di atas, An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menegaskan bahwa Muharram merupakan bulan yang paling utama untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim)

Apakah disyariatkannya puasa Muharram ini sebulan penuh atau beberapa hari saja?

 Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menerangkan bahwa menurut sebagian ulama, disunnahkan berpuasa Muharram sebulan penuh berdasarkan hadits di atas. Namun sebatas yang beliau ketahui, Rasulullah tidak pernah melakukan puasa Muharram ini sebulan penuh. Akan tetapi puasa yang banyak beliau lakukan -setelah Ramadhan- adalah berpuasa di bulan Sya’ban berdasarkan penuturan Aisyah,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ، أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَ قَلِيلاً.

“Dan tidaklah aku melihat beliau (Nabi) berpuasa di suatu bulan yang lebih banyak daripada puasa beliau bulan Sya’ban. Beliau pernah berpuasa Sya’ban seluruhnya (sebulan penuh), dan dahulu pernah berpuasa Sya’ban kecuali beberapa hari saja (beliau tidak berpuasa).” (HR. Muslim no. 1156)

Mengapa Rasulullah Justru Memperbanyak Puasa pada Bulan Sya’ban?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim. Beliau menyebutkan ada dua kemungkinan Nabi memperbanyak puasa sunnah pada bulan Sya’ban, tidak pada bulan Muharram.

Kemungkinan pertama adalah Rasulullah mengetahui tentang keutamaan puasa Muharram ini di akhir hayat beliau, sehingga beliau belum sempat mengerjakan puasa Muharram.

Kemungkinan kedua adalah pada bulan Muharram Rasulullah terhalangi dari berpuasa karena udzur syar’i seperti safar (bepergian), sakit, atau selainnya. Wallahu a’lam. (Lihat Syarh Shahih Muslim).

Sehingga banyaknya puasa di bulan Sya’ban yang dilakukan oleh Nabi tidaklah menggugurkan keutamaan puasa Muharram ini. Puasa Muharram tetap menjadi puasa yang paling utama setelah Ramadhan dibandingkan puasa di bulan lain.

Jangan Lewatkan Puasa ‘Asyura’

Pada bulan Muharram terdapat satu hari yang disebut dengan hari ‘Asyura’, yaitu tanggal 10. Sejak zaman jahiliyah, musyrikin Quraisy sudah terbiasa melakukan puasa di hari itu, demikian pula Rasulullah.

Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian beliau bertanya, ”Hari apa ini sehingga kalian bepuasa padanya?” Orang-orang Yahudi mengatakan, ”Ini adalah hari yang agung. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta meneggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Sehingga Nabi Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah pun bersabda, ”Kamilah seharusnya yang lebih berhak dan lebih utama untuk mengikuti Musa daripada kalian.” Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa di hari ‘Asyura itu. (HR. Muslim, no. 1130). Ketika itu puasa Ramadhan belum diwajibkan.

Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i dan kebanyakan ulama madzhab Hambali, puasa ‘Asyura ketika itu (sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan) hukumnya sunnah mua’kkad (ditekankan), sampai-sampai Rasulullah benar-benar menjaga puasa pada hari itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas,

مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الْأَيَّامِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ وَلَا شَهْرًا إِلَّا هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي رَمَضَانَ.

“Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah berpuasa di suatu hari yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya yang lebih dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini (yaitu hari Asyura’), dan tidak pula berpuasa pada suatu bulan yang beliau benar-benar berharap meraih keutamaannya melebihi bulan-bulan yang lain kecuali bulan ini, yaitu bulan Ramadhan.” (HR. Muslim no. 1132)

Keutamaan puasa ‘Asyura’ ini sudah termasuk dalam keumuman keutamaan berpuasa di bulan Muharram sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Namun puasa di hari itu memiliki keutamaan khusus yang tidak terdapat di hari-hari yang lain sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi ketika beliau ditanya tentang puasa ‘Asyura’,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ المَاضِيَةَ.

“(Puasa ‘Asyura) bisa menggugurkan dosa selama setahun yang lalu.”  (HR. Muslim no 1162)

Maka tidak ada yang lebih baik bagi seorang muslim kecuali ia berupaya meneladani Nabinya dalam menjaga puasa di hari itu dengan sebaik-baiknya.

Iringi Puasa ‘Asyura’ dengan Puasa Tasu’a’

Puasa Tasu’a adalah puasa pada tanggal 9 Muharram. Walaupun belum pernah melakukannya, namun Nabi bertekad untuk berpuasa Tasu’a sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas,

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا: يا رسول الله إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع» قال: فلم يأت العام المقبل، حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ketika Rasulullah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa ‘Asyura, para shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah pun bersabda,” Jika masih berkesempatan untuk berjumpa dengan tahun depan, Insya Allah kami akan berpuasa pada hari ke-9.” Belum sempat berjumpa tahun depan, Rasulullah sudah wafat. (HR. Muslim, no. 1134)

Dengan demikian hikmah dilakukannya puasa Tasu’a adalah dalam rangka menyelisihi Yahudi yang memiliki kebiasaan berpuasa tanggal 10 saja. Tidak selayaknya bagi seorang muslim menyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang menjadi kekhususan dan kebiasaan mereka.

Wallahu a’lam bish shawab. 

The post Keutamaan Bulan Muharram dan Yang Disunnahkan Pada Bulan Tersebut appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/05/keutamaan-bulan-muharram-dan-yang-disunnahkan-pada-bulan-tersebut/

Fatwa Ulama’ Tentang Al Husainiyyah

Syaikh Abdul Aziz bin Bas rahimahullah ditanya: “Apa hukum perayaan Al Husainiyyah  (salah satu ibadah kaum Syiah untuk mengenang terbunuhnya Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu) dan hal-hal yang terjadi di dalamnya meliputi menampar dan mencakar pipi, ratapan tangis wanita dan menyobek-nyobek pakaian (karena bersedih), juga memukul diri sendiri yang kadang menggunakan senjata tajam, serta istigasah yang dilakukan kepada orang mati dan kepada ahlul bait (keluarga Nabi sallalahualaihi wasallam) yang mulia”?

Beliau rahimahullah menjawab: “Ini adalah kemungkaran yang menjijikan dan bid’ah yang diada-adakan. Hal itu wajib untuk ditinggalkan dan tidak boleh ikut serta di dalamnya, juga tidak boleh memakan makanan yang dihidangkan pada acara tersebut. Karena Rasulullah sallallahualaihi wasallam dan para sahabatnya dari kalangan ahlul bait tidak melakukannya. Rasulullah sallalahualaihi wasallam bersabda (artinya), “Barang siapa membuat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama islam maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Beliau shallalahualaihi wasallam juga bersabda (artinya), “Barang siapa beramal dengan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Muslim). Hadits-hadits yang semakna sangatlah banyak.

Adapun beristigasah kepada orang mati dan kepada ahlul bait, hal tersebut adalah syirik besar berdasarkan kesepakatan para ulama’ dan sesuai dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya), “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka?” (Al-Ahqaf: 5).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah juga ditanya: “Apa hukum memakan daging-daging sembelihan yang disembelih di tempat dan pada acara tersebut (Husainiyyah)? Juga apa hukum meminum minuman-minuman yang dibagi-bagikan di jalan-jalan menuu Husainiyyah dan yang dibagikan kepada masyarakat umum?

Beliau rahimahullah menjawab: “Terkait soal ini, maka jawabannya sama dengan soal sebelumnya yaitu hal tersebut adalah bid’ah yang mungkar dan tidak boleh ikut serta dalam acara tersebut, tidak boleh makan dari sembelihan-sembelihannya juga tidak boleh minum dari minuman-minuman yang disajikan.

Jika penyembelih menyembelihnya untuk selain Allah subhanahu wata’ala dari kalangan ahlul bait atau selainnya, maka hal tersebut adalah syirik besar berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rab semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah subhanahu wata’ala).” (Al-An’am: 162)

Dikutip dengan sedikit peringkasan dari Majmuk Fatawa Al Allamah Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah

Alhamdulillah, sekarang kita telah mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut terkandung padanya banyak perbuatan kemaksiatan bahkan kekufuran yang tentunya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan bertolak belakang dengan ajaran agama yang lurus ini, Maka sudah sepatutnya bagi kaum muslimin untuk tidak ikut serta dalam acara-acara tersebut atau yang semisalnya.

Wallahu a’lam.

The post Fatwa Ulama’ Tentang Al Husainiyyah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/05/fatwa-ulama-al-husainiyyah-ibadah-kaum-syiah-mengenag-terbunuhnya-husain-bin-ali-radhiyallahu-anhu-bulan-muharram/