Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Februari 2015

Tentang TUKAR UANG, TUKAR MATA UANG ASING, TUKAR TAMBAH PERHIASAN EMAS ATAU PERAK, KREDIT EMAS ATAU PERAK, DAN INVESTASI EMAS, PERAK, ATAU MATA UANG ASING

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Ash-sharf secara bahasa berarti memindah dan mengembalikan. Sedangkan secara istilah fuqaha, definisi ash-sharf adalah jual beli alat bayar (emas, perak dan mata uang) dengan alat bayar sejenis atau beda jenis.
Ulama Syafi’iyyah dan yang lainnya membedakan: bila sejenis (emas dengan emas, perak dengan perak) disebut murathalah dan bila beda jenis (emas dengan perak atau sebaliknya) disebut ash-sharf.
Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-sharf.

Telah dijelaskan bahwa naqd (alat bayar) adalah salah satu bagian dari dua bagian hasil klasifikasi barang-barang jenis riba. Telah dijelaskan pula bahwa bila terjadi jual beli sesama jenis maka harus tamatsul (kesamaan timbangan) dan taqabudh (serah terima di tempat), dan bila lain jenis harus taqabudh boleh tafadhul (selisih timbangan).
[Untuk lebih jelasnya, silakan baca postingan sebelumnya: Tentang RIBA DALAM JUAL BELI]

Yang perlu dipahami adalah bahwa masing-masing mata uang yang beredar di dunia ini adalah jenis tersendiri (rupiah jenis tersendiri, real jenis tersendiri, dst). Sehingga bila terjadi tukar-menukar uang sejenis haruslah taqabudh dan tamatsul. Misalnya, uang Rp. 100.000,00 ditukar dengan pecahan Rp. 10.000,00, maka nominalnya harus sama. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba fadhl. Selain itu juga harus serah terima di tempat. Bila tidak, berarti terjatuh dalam riba nasi`ah. Bila tidak tamatsul dan tidak taqabudh, berarti terjatuh dalam riba fadhl dan riba nasi`ah sekaligus.
Namun bila mata uangnya berlainan jenis (misal dolar ditukar dengan rupiah), maka harus taqabudh dan boleh tafadhul. Misalnya, 1 dolar bernilai Rp. 10.000,00, bisa ditukar Rp. 9.500,00 atau Rp. 10.500,00, namun harus serah terima di tempat. Wallahu a’lam.

Masalah 1: Taqabudh (serah terima di tempat) dalam bab ash-sharf adalah syarat sah.
Ini adalah pendapat mayoritas besar ulama, bahkan dinukilkan adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.
Dalil jumhur ulama adalah:
1.    Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.” (Muttafaqun ‘alaih)
2.    Hadits Abu Bakrah, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan (taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer. Wallahul muwaffiq.

Masalah 2: Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:
1.    Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan datang sambil berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah berkata –dan ‘Umar berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau kembalikan emasnya.”
Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.” ‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil (perak dari pembantumu).” ‘Umar kemudian menyebutkan hadits:
“Emas dengan emas adalah riba, kecuali ha` (berikan) dengan ha` (ambil).”
2.    Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Wallahu a’lam.
Yang dimaksud dengan majelis akad adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat setempat (‘urf).
Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya. Wallahul muwaffiq.

Masalah 3: Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-menukarnya/akad ash-sharfnya?
Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserah terimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal seluruhnya.
Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak sah.
Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Masalah 4: Apakah ada khiyar dalam bab ash-sharf?
Adapun khiyar majlis, jumhur ulama berpendapat bahwa khiyar majlis dalam bab ash-sharf itu ada. Selama dalam majlis akad, kedua belah pihak dapat menggagalkan akad hingga keduanya saling berpisah.
Mereka berhujjah dengan hadits Hakim bin Hizam:
“Penjual dan pembeli (punya) khiyar selama keduanya belum berpisah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi.
Adapun tentang khiyar syarat, misalnya menukar dolar dengan rupiah lalu sang penukar mengatakan: “Dengan syarat, saya punya hak khiyar selama tiga hari. Bila tidak cocok maka saya kembalikan lagi,” maka jumhur berpendapat bahwa bila dalam perkara yang dipersyaratkan adanya taqabudh seperti bab ash-sharf, maka tidak boleh. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Masalah ini perlu perincian:
1.    Bila dia sudah melakukan akad jual-beli dengan sempurna lalu minta syarat, maka lebih baik dia tinggalkan walaupun secara dalil tidak ada yang melarang karena sudah ada taqabudh dalam akad.
2.    Bila dia bawa barangnya terlebih dahulu sebelum terjadinya akad, lalu bermusyawarah dengan keluarga atau yang lainnya, setelah itu dia melakukan transaksi dengan taqabudh, maka tidak mengapa.
Ini adalah solusi terbaik yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Wallahu a’lam.

Masalah 5: Akad ash-sharf via telepon dan yang semisalnya.
Masalah ini perlu perincian:
1.    Bila yang dimaukan hanya memesan barang atau semacam janji untuk membeli barang, tanpa akad yang sempurna, maka diperbolehkan. Karena ‘pesan’ atau ‘janji’ tidaklah termasuk akad jual beli. Sang penjual punya hak menjualnya kepada orang lain dan sang pembeli punya hak untuk membatalkan ‘janji’ itu. Demikian pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Rusyd, dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, dan inilah pendapat yang shahih. Sementara Al-Imam Malik memakruhkannya.
2.    Bila yang dimaksud adalah akad jual beli secara sempurna, maka hukumnya haram, sebab tidak ada unsur taqabudh. Dan ini merupakan riba nasi`ah. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Masalah 6: Uang muka dalam bab ash-sharf.
Bila yang diinginkan dengan uang muka/downpayment (DP) adalah transaksi secara sempurna maka hukumnya haram karena tidak ada unsur taqabudh. Sedangkan bila yang diinginkan adalah amanah atau simpanan, lalu penyerahan pembayaran total dilakukan pada saat akad serah terima barang, maka hal ini tidak mengapa. Wallahu a’lam.

Masalah 7: Apakah disyaratkan adanya barang di tempat dalam bab ash-sharf?
Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan akad ash-sharf walaupun tidak ada barang di tempat, atau barang dikirimkan setelah itu, atau dengan meminjam kepada orang lain, dan kemudian diserahkan. Yang penting adalah adanya taqabudh dalam majelis akad sebelum berpisah.
Hujjah mereka adalah bahwa yang dipersyaratkan dalam bab ash-sharf adalah taqabudh, dan hal itu telah terjadi dalam transaksi di atas. Wallahu a’lam.

Hiwalah Mashrafiyyah (Transfer Valas)
Gambarannya, seseorang datang ke money changer ingin mengirim sejumlah uang ke Yaman –misalnya–. Masalah ini mempunyai dua keadaan:
1.    Orang yang dikirimi menerima mata uang yang sama. Misalnya, dari Indonesia mengirimkan uang 1000 dolar ke Yaman. Pihak penerima di Yaman menerimanya dengan mata uang yang sama.
Para ulama memasukkan keadaan ini ke dalam salah satu masalah berikut:
a.    Masalah hiwalah secara fiqih
b.    Masalah ijarah (sewa jasa)
c.    Sesuatu yang dahulu dikenal dengan istilah saftajah.
Keadaan ini diperbolehkan.
2.    Pihak yang dikirimi menerima dalam bentuk mata uang yang berbeda. Misalnya, dari Indonesia mengirim uang Rp. 10 juta ke Yaman. Sedangkan pihak penerima di Yaman menerimanya dalam bentuk uang 900 dolar (misalnya).
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama kontemporer:
-    Sebagian mereka melarangnya, karena keadaan ini mengandung unsur hiwalah dan ash-sharf, padahal dalam ash-sharf disyaratkan adanya taqabudh. Sedangkan pada keadaan di atas tidak ada unsur taqabudh.
Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan dzahir fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Ini juga fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajuri hafizhahullah.
-    Mayoritas ulama kontemporer berfatwa tentang kebolehannya, karena kebutuhan dan keadaan darurat. [1]
Namun tidak diragukan lagi bahwa yang lebih selamat bagi agama seseorang dan sebagai upaya menghindari pintu riba adalah dia tidak melakukan transaksi seperti ini.
Para ulama memberikan beberapa solusi, di antaranya:
1.    Mensyaratkan kepada pihak penyelenggara jasa transfer untuk mengirimkan mata uang yang sama ke tempat yang dituju. Dan ini mungkin dilakukan dengan cara memberikan uang jasa kepada mereka.
2.    Menukar mata uangnya terlebih dahulu, baru dia kirim dengan mata uang yang diinginkan.
Misalnya seseorang mempunyai uang Rp. 10 juta hendak dikirim ke Arab Saudi dalam bentuk real. Maka dia tukar terlebih dahulu uang rupiahnya itu dengan real Saudi, baru dia minta pihak penyelenggara jasa (misal Western Union) mengirimkannya dalam bentuk real Saudi. Bila dia telah yakin akan sampai di Arab Saudi dalam bentuk real, namun ternyata sampai dalam bentuk rupiah, maka tidak mengapa bagi penerima untuk mengambil rupiah itu karena keadan darurat. Wallahu a’lam.

Masalah 8: Bagaimana bila sebuah mata uang tidak bisa keluar dari negerinya karena larangan pemerintah setempat, atau karena tidak ada nilainya di luar negeri?
Misalnya, seseorang mempunyai sejumlah uang real Saudi dan hendak mengirimkannya ke Indonesia dalam bentuk rupiah. Dia ingin menukar real Saudi dengan rupiah, namun karena rupiah jatuh, tidak ada satupun money changer yang mau. Solusinya adalah:
1.    Dia langsung mengirim dalam bentuk real Saudi ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerima real tersebut, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
2.    Atau, bila real Saudi tidak bisa keluar, maka dia tukar real dengan dolar –misalnya– lalu dia kirimkan dolar ke Indonesia. Penerima di Indonesia menerimanya dalam bentuk dolar, kemudian ditukar dengan rupiah di Indonesia.
Wallahul muwaffiq.

Penggunaan Cek dalam Ash-Sharf
Dari permasalahan hiwalah mashrafiyyah di atas, muncul masalah kontemporer yang sangat masyhur, yaitu menggunakan kertas cek dalam bab ash-sharf, baik dalam jual beli emas dan perak, maupun tukar menukar mata uang dengan cek.
Permasalahan ini dibahas oleh para ulama, khusus dalam hal cek resmi yang diakui atau dikeluarkan oleh pihak bank. Adapun cek palsu atau yang tidak diakui pihak bank, maka jelas larangannya.
Para ulama berbeda pandangan dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalam masalah ash-sharf atau yang dipersyaratkan adanya taqabudh, tidak boleh ada hiwalah (kiriman barang dari satu pihak kepada pihak kedua).
Dalam masalah cek, apakah sudah terjadi taqabudh (serah terima) yang hakiki ataukah tidak?
Sebagian ulama masa kini semisal Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berpendapat bahwa muamalah jual beli emas dan perak atau mata uang menggunakan cek adalah tidak boleh. Karena, cek bukanlah taqabudh hakiki, melainkan hanya bukti hiwalah saja. Terbukti, bila cek tersebut hilang, dia bisa minta lagi cek dengan nominal yang sama. Namun beliau mengecualikan cek yang resmi dari bank maka tidak mengapa, asalkan sang penjual yang menerima cek dari pembeli langsung menghubungi bank dan mengatakan: “Biarkan uang itu sebagai simpanan di situ.”
Ulama yang melarang beralasan dengan beberapa hal sebagai berikut:
1.    Bila cek itu rusak atau hilang sebelum uang dengan nominal yang tercantum itu diambil, maka sang pemegang cek akan kembali kepada yang memberi cek. Bila cek tersebut adalah serah terima hakiki layaknya mata uang, niscaya dia tidak akan kembali ketika hilang atau rusak.
2.    Terkadang cek tersebut ditarik tanpa nominal (cek kosong), maka jelas tidak ada serah terima yang hakiki.
3.    Terkadang pula orang yang menukar cek ditolak, sehingga juga tidak ada serah terima yang hakiki.
4.    Cek tidak termasuk kertas alat bayar layaknya mata uang, namun hanya kertas yang berisikan nominal mata uang.
Sementara itu, mayoritas ulama dan fuqaha zaman ini serta para pakar ekonomi berpendapat bahwa cek mengandung qabdh (serah terima) yang sempurna lagi hakiki, sehingga dapat bertransaksi menggunakan cek dalam bab ash-sharf. Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1.    Sesungguhnya dalam syariat disebutkan masalah qabdh (serah terima), namun tidak ditentukan batasannya. Tidak pula diikat dengan kriteria tertentu. Rujukan hukum-hukum yang bersifat umum seperti ini adalah kebiasaan setempat. Sementara secara kebiasaan yang terjadi di kalangan pebisnis, cek adalah serah terima yang sempurna terhadap apa yang terkandung di dalamnya.
2.    Cek yang resmi dan diakui tidaklah akan dikeluarkan kecuali setelah diyakini adanya debet-kredit pemilik cek pada sebuah bank. Dan ini yang dimaksud dengan hiwalah dalam fiqih Islami.
3.    Keadaan darurat membuat cek tersebut dijadikan sebagai serah terima yang hakiki. Kaidah ini ada dalam syariat, yaitu: “Keadaan darurat membolehkan perkara yang haram”, “Kebutuhan yang umum memiliki hukum darurat”, “Kesulitan mendatangkan kemudahan”, “Bila perkaranya menjadi sempit maka datanglah keluasan.” Kaidah-kaidah seperti ini diambil dari kemudahan-kemudahan Islam yang tertuang dalam banyak dalil, di antaranya:
“Sesungguhnya bersama kesusahan ada kemudahan.” (Al-Insyirah: 6)
Juga ayat:
“Allah menghendaki untuk kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)
4.    Memudahkan perjalanan bisnis dan mengurangi resiko serta penjagaan terhadap harta benda yang dapat memotivasi para pebisnis untuk melangsungkan bisnisnya dan menunjukkan kemudahan-kemudahan Islam.
Pendapat ini adalah kesepakatan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pada Rabithah ‘Alam Islami, yang dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz. Juga pada fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud, dan Asy-Syaikh Al-Ghudayyan. Mereka beralasan karena kebutuhan umum.
Bila menilik kepada dalil-dalil syar’i, maka yang rajih adalah pendapat yang melarang. Namun dari sisi kebutuhan dan keadaan yang darurat maka diperbolehkan. Oleh karena itu, hendaknya seorang muslim tidak bermuamalah dengan cara ini kecuali dalam keadaan darurat saja. Wallahul muwaffiq.

Jual-beli Valas (Valuta Asing)
Dari uraian-uraian di atas, kita dapat memahami hukum jual beli valas secara syar’i dengan penjabaran sebagai berikut:
1.    Bila jual beli valas dari mata uang sejenis, misalnya dolar dengan dolar, maka disyaratkan adanya tamatsul dan taqabudh.
2.    Bila dari jenis mata uang yang berbeda, misalnya rupiah dengan dolar, atau dolar dengan poundsterling, hanya disyaratkan adanya taqabudh.
Dengan dasar kaidah di atas, maka:
a.    Tidak mengapa menanti naik-turunnya kurs sebuah mata uang yang dikehendaki, bila terpenuhi persyaratannya secara syar’i di atas ketika transaksi.
b.    Tidak diperbolehkan transaksi via transfer ATM atau sejenisnya, sebab tidak terjadi taqabudh yang disyaratkan.
c.    Tidak boleh terjadi pertaruhan berbau judi dalam jual beli valas.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:
[1] Namun jumhur ulama melarang adanya hiwalah dalam bab ash-sharf.

Sumber: Asy Syariah Edisi 028

####

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Apa hukum membeli uang kertas dan menjualnya kembali jika nilainya naik?

Jawaban:
Muamalah dengan menjual dan membeli mata uang disebut penukaran mata uang. Penukaran mata uang harus dilakukan dengan serah terima secara langsung di tempat transaksi. Jika terjadi serah terima langsung di tempat transaksi maka hal itu tidak masalah. Maksudnya jika seseorang misalnya menukar Riyal Saudi dengan dollar Amerika maka hal ini tidak masalah, walaupun dia mengharapkan keuntungan di masa mendatang. Hanya saja dengan syarat dia mengambil dollar yang dia beli dan menyerahkan uang Saudi yang dia jual. Adapun tanpa serah terima secara langsung di tempat maka hal tersebut tidak sah, dan hal itu termasuk riba nasi’ah.

Sumber artikel:
Fataawaa Ulama Al-Balad Al-Haram, hal. 701

Tentang RIBA DALAM JUAL BELI

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

* Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
- Hadits ‘Utsman bin ‘Affan riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
- Hadits Abu Sa’id yang muttafaq ‘alaih.
- Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit riwayat Muslim.
- Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a.    Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b.    Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromikan antara hadits yang dzahirnya bertentangan. Wallahul muwaffiq.

* Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.

Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).

Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1.    Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2.    Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3.    Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a.    Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b.    Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c.    Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.

Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu mengklasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1.    Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2.    Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbolehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah:
“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi shallallahu alaihi wasallam beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) sebagaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 028

Tentang RIBA DALAM UTANG PIUTANG DAN PINJAM MEMINJAM

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)

Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a.    Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundurnya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B  dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang). Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b.    Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad.
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.

Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.

Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1.    Hadits ‘Ali bin Abi Thalib :
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2.    Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3.    Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.

Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a.    Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b.    Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah memberikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c.    Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan.
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan menggadaikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan. Maka pihak pegadaian boleh memerah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2.    Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasilkan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 028

Jumat, 27 Februari 2015

Tentang SUNAH SEPUTAR AZAN DAN IQAMAH

Beberapa hukum seputar adzan dan iqomat:

1. Disunnahkan mengumandangkan adzan sebelum adzan subuh, yakni ada dua alasan berdasarkan beberapa hadits di dalam shahih al bukhari dan shahih muslim.

2. Disunnahkan menambahkan lafadz asholatu khairum minannaum pada adzan subuh setelah lafal hayya alal falah. Pendapat yang kuat di kalangan para ulama bahwa lafazh tambahan ini dikumandangkan pada adzan subuh bukan pada adzan sebelum subuh.

3. Syaikhul islam rahimahullah berkata adapun sesuatu selain adzan yang dikumandangkan sebelum terbitnya fajar baik berupa tasbih, nasyid, doa dengan meninggikan suara maupun yang semisalnya yang dilakukan di tempat adzan. Ini semua tidak disunahkan menurut para imam bahkan sekelompok ulama dari mazhab maliki, as-syafii dan ahmad menganggapnya sebagai bagian dari bidah yang dibenci. Tidak ada satu dalil pun yang menganjurkannya dan tidak ada satu apapun yang menuntutnya perlu diadakan.

4. Adzan disyariatkan untuk shalat wajib 5 waktu dan sholat jumat dan tidak disyariatkan untuk shalat lain, seperti shalat sunnah, shalat ied shalat gerhana dan sebagainya.

5. Jika dua shalat dijamak pada satu waktu disyariatkan satu kali adzan saja dengan dua kali iqomat untuk setiap salat 1 iqomat.

6. Untuk shalat yang dilakukan di luar waktu asalnya, seperti apabila seseorang tertidur dari suatu sholat dan waktu sholat sudah berakhir ketika dia bangun tetap disyariatkan adzan dan iqomat ketika dia akan mengerjakan shalat.

7. Jika seseorang mengqadha atau mengganti beberapa sholat sekaligus kemudian mengumandangkan azan untuk shalat pertama dan iqomat untuk sholat sholat berikutnya hal ini bagus.

8. Disunnahkan memilih seorang muadzin atau juru adzan yang fasih dan bersuara bagus dan lantang.

9. Disyariatkan memilih seorang muadzin yang terpercaya yang tidak dipersyaratkan upah dalam berazan. Hal ini berdasarkan sabda beliau yang artinya: Dan janganlah kalian mengangkat seorang muadzin yang mengambil upah sebagai imbalan adzannya.

10. Disunnahkan bagi orang yang mendengar adzan menirukan setiap potongan kalimat yang dilantunkan muadzin kecuali lafaz hayya alal falah dan hayya alash sholah. Ketika muadzin melantunkan dua lafadz ini orang yang mendengarnya menjawab dengan la haula wala quwwata illa billah.

11. Disunnahkan juga bersholawat kepada nabi shallallahu alaihi wasallam setelahnya.

12. Disunnahkan bagi kita mengucapkan dzikir:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّداً الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوداً الَّذِي وَعَدْتَهُ
Jika adzan telah selesai dikumandangkan.

13. Disunnahkan pula membaca dzikir berikut ketika muadzin mengucapkan dua kalimat syahadat:
Dari Sa’ad bin Abi Waqash, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, artinya:
“Barang siapa ketika mendengar adzan menucapkan:
ﺃﺷْﻬَﺪُ ﺃﻥْ ﻻَ ﺇﻟَﻪ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺣْﺪَﻩُ ﻻَ ﺷَﺮِﻳﻚَ ﻟَﻪُ ، ﻭَﺃﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪﺍً ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ، ﺭَﺿِﻴﺖُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺭَﺑّﺎً ، ﻭَﺑِﻤُﺤَﻤَّﺪٍ ﺭَﺳُﻮﻻً ، ﻭَﺑِﺎﻹﺳْﻼﻡِ ﺩِﻳﻨﺎً
Maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Muslim)

14. Disunnahkan memperbanyak doa di antara waktu adzan dan iqomat berdasarkan hadits yang artinya tidak akan ditolak suatu doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqomat.

15. Boleh di suatu masjid dipilih lebih dari satu muadzin sebagaimana nabi shallallahu alaihi wasallam memiliki dua muadzin untuk masjid nabawi bilal dan ibnu ummi maktum radhiallaahu anhuma (HR al bukhari dan muslim).

16. Disunnahkan bahwa yang mengumandangkan iqomat adalah orang yang sebelumnya beradzan. At-Tirmidzi rahimahullahu berkata demikian lah yang diamalkan menurut kebanyakan ulama.

17. Karena adzan merupakan ibadah disunnahkan bagi muadzin berada dalam keadaan suci.

Wallahu alam bishowab.

ummuyusuf .com

Tentang ISTRI MENGAMBIL HARTA SUAMI TANPA IZIN

Bismillah, afwan ana mau tanya bagaimana hukum seorang istri yang mengambil uang suami tanpa izin untuk keperluan sehari hari?

Jawab:
Apabila suami tidak memenuhi hati istrinya dan anak anaknya, yaitu tidak memberikan nafkah yang cukup untuk mereka, padahal dia mampu melakukannya, diperbolehkan bagi istri mengambil uang suami sebagai nafkah untuk dirinya dan anak anaknya, walaupun tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya. Akan tetapi tindakan ini pun dilakukan istri dalam batas yang wajar sesuai dengan kebutuhan dan tidak melebihinya. Ini berdasarkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata, “Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya.” Maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu.”

ummuyusuf .com

Tentang MAKAN DAN MINUM MENGGUNAKAN PERALATAN MAKAN DAN MINUM BEKAS ORANG KAFIR

Asy-syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
Boleh menggunakan bejana dan pakaian ahlul kitab selama tidak diketahui kenajisannya.
Ahlul kitab sendiri terbagi menjadi dua:
1. Mereka yang tidak menghalalkan bangkai yaitu kaum yahudi maka bejana yang mereka gunakan adalah suci.
2. Mereka yang menganggap halal bangkai, seperti para penyembah patung dan kaum majusi. Maka bejana yang tidak mereka gunakan hukumnya suci. Sementara bejana yang mereka gunakan adalah najis. Hal ini berdasarkan hadist Tsalabah yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim. Lafadznya adalah dari shahabat Tsalabah Al-Khusyaniz, beliau menyampaikan:
Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai nabiyullah, aku bertempat tinggal di negeri ahlul kitab, apakah kami makan dari bejana mereka? Aku juga menetap di daerah buruan, aku berburu menggunakan panahku, juga anjing yang tidak dilatih dan anjing yang dilatih, lalu apa yang baik untuk aku lakukan?
Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab: Adapun perkara yang engkau sebutkan tentang ahlul kitab jika engkau mendapatkan selain bejana mereka, maka janganlah engkau makan pada bejana mereka. Namun jika tidak, maka cucilah bejana tersebut dan makanlah padanya. Dan apa yang engkau buru dan panahmu kalau engkau menyebut nama Allah maka makanlah. Apa yang engkau buru dengan anjing yang telah engkau latih lalu engkau sebutkan nama Allah maka makanlah. Dan binatang yang engkau buru menggunakan anjing yang tidak engkau latih kemudian engkau dapat menyembelihnya terlebih dahulu maka makanlah.
Adapun bejana yang penggunaannya masih diragukan maka hukumnya suci.

Sumber: Buku fikih salafy
Penulis: Asy-syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Penerjemah: Abu Abdillah Al-Watesi

ummuyusuf .com

Tentang MAKAN SEMBELIHAN ORANG KAFIR

Pertanyaan:
Seorang pelajar dari somalia bertanya: Saya sedang belajar di china dan saya sering menemui kesulitan untuk mendapatkan makanan yang halal khususnya daging. Sebelum saya datang ke china saya pernah mendengar bahwa saya seorang muslim dilarang makan daging dari sembelihan orang kafir dan juga bangkai. Di universitas terdapat kantin yang melayani para mahasiswa makan, namun saya ragu makanan di situ diolah dengan cara yang sesuai dengan syariat islam. Saya merasa ragu namun teman teman saya tidak dan tetap makan disitu. Bolehkah bagi seorang muslim makan di tempat seperti itu? Kantin itu juga tidak membedakan antara peralatan makan untuk orang islam dan non islam. Apa yang harus kamu lakukan dalam keadaan seperti ini?

Jawab:
Tidak boleh bagi seorang muslim memakan sembelihan orang kafir kecuali sembelihan ahli kitab yahudi dan nasrani. Hukum ini berlaku untuk semua orang kafir baik orang majusi, penyembah berhala, orang komunis dan selainnya begitu pula seorang muslim tidak boleh makan kuah atau apapun yang tercampur dengan sembelihan mereka.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(QS: Al-Maidah Ayat: 5)
Yang dimaksud makanan ahlul kitab adalah sebagian mereka sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Masud radhiallahu anhu. Tidak mengapa bila seorang muslim makan buah dari mereka atau yang semisal dikarenakan tidak adanya percampuran dengan makanan mereka yang haram. Makanan kaum muslimin adalah hal hal untuk muslimin dan selain mereka selama yang memasak adalah muslim yang baik yaitu yang hanya beribadah kepada Allah taala, tidak berdoa kepada selain Allah taala baik kepada nabi, wali, penghuni kubur dan selainnya dari segala yang di sembah oleh orang kafir.
Untuk peralatan makan maka seorang muslim harus menghindari peralatan makan yang dipakai orang kafir yang disitu tersaji makanan haram atau khamr. Jika tidak dijumpai peralatan makan lain, peralatan makan itu dicuci lebih dulu sebelum dipakai kemudian ambillah makanan halal.
Diriwayatkan dalam kitab Shohihain bahwa sahabat Abu Tsalabah al-Khusyairi rodhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah tentang memakai piring orang musyrik, maka beliau menjawab:
Jangan kalian makan dengannya. Jika kalian tidak menemukan peralatan makan selain milik mereka, maka cucilah dan makanlah dengannya.
Semoga sholawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabat.

Diambil dari Majmu fatawa wa Maqolat Mutanawwiyah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rohimahulloh jilid 10

Diterjemahkan oleh redaksi majalah fawaid

ummuyusuf .com

Tentang SUNAH PADA HARI KELAHIRAN SEORANG ANAK

1. TAHNIK

Tahnik adalah mengunyah kurma sampai halus hingga bisa ditelan, kemudian dioles-oleskan ke langit-langit mulut. Apabila tidak didapatkan kurma, maka bisa diganti dengan makanan manis yang lain yang bisa digunakan untuk mentahnik, seperti madu atau ruthab.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Anas radhiyallahu anhu, ia berkata:
ذَهَبْتُ بِعْبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ وُلِدَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَبَاءَةٍ يَهْنَأُ بَعِيرًا لَهُ، فَقَالَ: «هَلْ مَعَكَ تَمْرٌ؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَنَاوَلْتُهُ تَمَرَاتٍ، فَأَلْقَاهُنَّ فِي فِيهِ فَلَاكَهُنَّ، ثُمَّ فَغَرَ فَا الصَّبِيِّ فَمَجَّهُ فِي فِيهِ، فَجَعَلَ الصَّبِيُّ يَتَلَمَّظُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «حُبُّ الْأَنْصَارِ التَّمْرَ» وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ
Saya pergi bersama Abdullah bin Abu Thalhah al-Anshari menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ketika dia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wasallam, yang ketika itu beliau sedang berada di kandang unta memberi minum untanya. Maka (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam) bertanya padaku: Apakah kamu membawa kurma? Saya menjawab: Ya. Beliau kemudian mengambil beberapa kurma lalu dimasukkan ke dalam mulut beliau dan melembutkannya. Setelah itu beliau membuka mulut bayi dan disuapkan padanya, bayi itu mulai menjilatinya. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kesukaan orang Anshar adalah kurma. Kemudian (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) memberinya nama Abdullah. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Para ulama bersepakat disunnahkannya melakukan tahnik pada hari kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan tentang tahnik ini. [Syarah an-Nawawi 14/122-123]

2. KHITAN BAYI

Khitan adalah memotong sebagian kulit yang menutupi ujung kemaluan agar ujung kemaluan bisa nampak dan kotoran tidak hinggap pada kulit tersebut sehingga terkadang menimbulkan penyakit dan radang.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah yang menyatakan bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan mustahab bagi perempuan. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dalam satu riwayatnya dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Qudamah, asy-Syaikh al-Utsaimin dan Syaikhuna Abdurahman al-Adeni.

3. TUSUK TELINGA BAYI PEREMPUAN

Jumhur ulama berpendapat boleh-boleh saja. Meskipun padanya sedikit menyakiti bayi saat melakukan tusuk telinga, namun perbuatan ini menghantarkan kepada maksud dari tujuan ditusuknya telinga bayi, yaitu sebagai perhiasan dan kecantikannya. Biasanya apabila hal ini dilakukan saat bayi masih kecil maka lebih cepat sembuhnya.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma: Kemudian beliau perintahkan untuk bersedekah, sehingga para wanita melepaskan anting-anting yang berada di telinga mereka dan kalung yang berada di leher mereka. [HR. Al-Bukhari]
Telah berfatwa bolehnya hal ini para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah, asy-Syaikh al-Utsaimin, asy-Syaikh al-Fauzan, Syaikhuna dan ulama yang lainnya.
Berkata asy-Syaikh al-Fauzan hafizhahullah: Tidak mengapa menusuk telinga bayi perempuan dengan tujuan untuk memasang perhiasan di telinganya. Perbuatan ini terus menerus dilakukan oleh kebanyakan manusia, bahkan di zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam para wanita dahulu memakai perhiasan di telinga mereka, tanpa ada pengingkaran.

4. ADZAN DI TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR *)

Kebanyakan para ulama memandang hal ini sunnah, yaitu mengumandangkan adzan di telinga kanan, sedangkan iqamah di telinga kiri. Mereka berdalil dengan beberapa hadits:
a. Hadits Abi Raafi radhiyallahu anhu, ia berkata;
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنَيِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Aku melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam mengumandangkan adzan pada kedua telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, akan tetapi di dalam sanadnya terdapat kelemahan, yaitu hadits ini diriwayatkan melalui jalan Aashim bin Ubaidillah, dia seorang perawi yang dhaif (lemah).
b. Hadits Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى، لَمْ يَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Barangsiapa dilahirkan seorang anak, kemudian dia kumandangkan adzan di telinga kanannya (bayi) dan iqamah di telinga kirinya, maka jin tidak akan dapat mengganggunya.
Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Marwan bin Saalim al-Ghifaari dan Yahya Ibnul Alaa, mereka berdua yang memalsukan hadits ini.
Mereka juga berdalil dengan hadits-hadits yang lainnya, namun semuanya tidak sah datangnya dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah tidak disyariatkan mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan juga iqamah di telinga kiri bayi. Wallahu alam.

Ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy
23 Dzul Qadah 1435 H/18 September 2014
Daarul Hadits Al Fiyusy Harasahallah

WA. Permata Muslimah Salafiyyah

ummuyusuf .com

*) Lihat juga postingan sebelumnya Tentang MENGAZANI BAYI YANG BARU LAHIR

Tentang MENGHINDARI GANGGUAN JIN DAN SETAN

Pertanyaan:
Maaf mau tanya. Apa benar kalau orang sering di ganggu jin, dia bisa lihat jin? Apa itu di dalamnya sudah ada jin?

Jawaban:
Apa yang dimaksud sering diganggu dalam pertanyaan? Mungkin yang dimaksud penanya adalah semacam kesurupan.
Adapun gangguan secara umum, setiap manusia diganggu iblis dan bala tentaranya. Tidak ada satupun manusia lepas dari gangguan iblis dan bala tentaranya. Allah berfirman:
Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan men-dapati kebanyakan mereka bersyukur (ta’at).’ (QS. Al A’raf : 16-17)
Allah mengabarkan bahwa di antara gangguan setan adalah bisikan-bisikan kejelekan dalam dada-dada manusia. Allah mengabarkan hal ini dalam surah An-nas.
Walhasil manusia tidak bisa lepas dari gangguan setan, musuh yang nyata bagi anak cucu adam hingga ajal menjemput.
Adapun apa yang disebutkan dalam pertanyaan yaitu sangkaan sebagian orang bahwa orang yang sering diganggu jin bisa melihat mereka. Hal ini perlu diluruskan. Manusia tidak mungkin melihat iblis dan bala tentaranya dalam bentuk aslinya sebagaimana dikabarkan oleh Allah dalam firmannya:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُون
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.
(QS: Al-Araf Ayat: 27)
Adapun melihat mereka saat menjelma dalam bentuk manusia, hewan seperti ular atau landak, dan bentuk lainnya mungkin saja manusia melihatnya sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Semua manusia baik yang beriman ataupun yang kafir, baik yang pernah kesurupan ataupun yang belum pernah mungkin melihat mereka saat menjelma.
Yang lebih penting bagi penanya dan kita semua adalah berlindung kepada Allah dari gangguan setan dan membentengi diri dari mereka dengan dzikir-dzikir syari yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beberapa contohnya terdapat dalam hadist berikut.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, jika seseorang keluar dari rumahnya kemudian mengucapkan
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
(Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya selain milik Allah), ketika itu dikatakan kepadanya, engkau telah mendapatkan hidayah, kecukupan, dan perlindungan. Setan pun menghindar darinya, lalu setan pun yang lain mengatakan padanya: Bagaimana mungkin engkau mengganggu orang yang telah mendapatkan hidayah, kecukupan, dan perlindungan? (HR. Abu Dawud no. 5095, Tirmidzi no. 3426 dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dalam hadist lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Jangan kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan-kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surah al Baqarah. (HR. Muslim (1/538) no.780)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
Bacalah oleh kalian surah al Baqarah karena mengambilnya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang-tukang sihir tidak akan mampu menghadapinya. (HR. Muslim no.780)

Dikutip dari majalah Qanita edisi 16

ummuyusuf .com

Kamis, 26 Februari 2015

Tentang MEMBUNUH NYAMUK DENGAN RAKET LISTRIK

Apa hukum menggunakan alat (raket) listrik untuk memberantas serangga?

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab:
Tidak apa-apa menggunakan alat tersebut karena beberapa alasan:
1) membunuh serangga dengan alat tersebut tidaklah membakarnya, tetapi serangga tersebut mati biasa (bukan mati terbakar). Buktinya apabila anda meletakkan kertas di atas alat tersebut, kertas tidak akan terbakar.
2) orang yang menggunakan alat tersebut tidaklah bermaksud menyiksanya nyamuk dan serangga dengan api. Tujuan hanyalah menghindari gangguan yang ditimbulkan dari binatang-binatang itu. Sementara itu, hadis yang ada berisi larangan menyiksa dengan api, dan ini bukanlah tindakan menyiksa dengan api, melainkan menghalau gangguannya.
3) umumnya membasmi serangga-serangga tersebut tidaklah mungkin kecuali dengan alat listrik atau obat-obatan pembasmi serangga (insektisida) yang menebarkan aroma menyengat (tidak enak dihirup), dan di antara insektisida tersebut ada yang kadang bermudarat bagi tubuh.
4) berikutnya Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah membakar pohon-pohon kurma yahudi Bani Nadhir, padahal di pohon kurma biasanya ada burung-burung yang bersarang di atasnya atau serangga-serangga atau binatang yang semisalnya.

Sumber:
Fatawa Nurun alad Darb
(dinukil dari ibnothaimeen .com)

ummuyusuf .com

Tentang MENCERAI ISTRI KARENA PERINTAH ORANG TUA

Apabila seorang ayah atau seorang ibu memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya dikarenakan satu sebab, apakah si anak wajib menaati orangtuanya dengan menceraikan istrinya?

Jawab:
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab dengan membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya (juz 4 hal. 368) lengkap dengan sanadnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata:
كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا، فَأَمَرَنِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله، طَلِّقِ امْرَأَتَكَ
“Aku memiliki seorang istri yang kucintai akan tetapi ayahku tidak menyukainya maka ia memerintahkan aku untuk menceraikannya, namun aku menolak. Lalu kuceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menitahkan, ‘Wahai Abdullah, ceraikanlah istrimu’.”
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil mengatakan bahwa hadits ini hasan, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan sanadnya.
Al-Mubarakfuri rahimahullahu dalam Tuhfatul Ahwadzi (juz 4 hal. 368) menyatakan:
Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang kewajiban seorang lelaki untuk menceraikan istrinya bila memang diperintahkan oleh ayahnya, walaupun ia mencintai istri tersebut. Ini bukanlah alasan baginya untuk tetap menahan sang istri. Termasuk juga bila ibu yang memerintahkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa ibu punya hak terhadap anaknya lebih daripada hak ayah sebagaimana disebutkan dalam hadits Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Kakeknya ini berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa setelah itu?” tanyaku. “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyaku lagi. Baru beliau menjawab, “Ayahmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan.

ummuyusuf .com

Tentang INVESTASI DALAM BENTUK EMAS ATAU MATA UANG ASING

Tanya:
Apakah termasuk bagian daripada riba, kalau seseorang yang memiliki harta di satu sisi dia tidak mau menyimpan hartanya, menabungkannya di bank, namun dia jadikan dalam bentuk perhiasan emas yang dia simpan di rumahnya. Dengan harapan jika nanti harga emas sudah mulai membaik (bertambah naik) di situ dia akan menjualnya?

Jawab:
Al Ustadz Luqman Baabduh hafizhahullah:
Boleh dan tidak termasuk riba. Walaupun dia statusnya bukan sebagai pedagang, boleh. Boleh membeli mata uang asing, untuk kemudian dia simpan. Suatu saat ketika harganya baik kemudian dia jual, jawabannya boleh. Dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Itu dipelajari di kitab Al Buyu. Di antara persyaratannya adalah harus yadan bi yadin. Apa makna yadan bi yadin? Yakni yang ditukar maupun nilai yang dibayarkan harus dibayar di majlis tempat dia melakukan transaksi tukar-menukar itu, tidak boleh terpisah walaupun hanya dua menit atau tiga menit perbedaan waktunya. Jadi harus yadan bi yadin, kontan. Harus kontan!
Misalkan saya punya uang rupiah, kemudian antum punya uang riyal Saudi. Antum mau tukar.
Ini ustadz, saya mau tukar.
Berapa?
Seribu riyal.
Seribu riyal itu uang Indonesia kurang lebih dua juta setengah, mungkin.
Oh iya baik, mana uangnya?
Ini seribu, nanti ya, yang satu juta antum ke rumah.
Kebetulan transaksinya di depan masjid atau di depan maksos itu.
Uang sudah saya terima, ini tidak boleh. Apalagi rumahnya jauh di luar kota.
Atau nanti saya transfer ya.
Tidak boleh, harus saya memberikan uang sebesar dua juta setengah langsung, terima seribu kasihkan dua juta setengah.
Atau:
Ya sudah ini sekarang saya ada uang dua juta, nanti lima ratusnya nanti sore ya?
Tidak boleh, kenapa?
Karena jenis ini terkait dengan apa yang diistilahkan oleh para ulama dengan asnaf ribawiyah. Jenis-jenis barang atau benda yang digolongkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam enam jenis benda yang berlaku di sana hukum riba. Di antaranya adalah emas, dan mata uang itu sebenarnya adalah permisalan atau perwakilan nilai emas yang ada di sebuah negara. Barakallahufiik.

ummuyusuf .com

Catatan:
Lihat juga postingan tentang jual beli dan investasi emas dan mata uang asing oleh Al Ustadz Muhammad Afifuddin.

Tentang CINCIN TUNANGAN

Pertanyaan: Apakah boleh mengenakan cincin sebagai tanda ikatan sepakat untuk menikah (cincin tunangan)?

Jawaban:
Tidak diperkenankan mengenakan cincin tunangan sebagai kesepakatan untuk menikah, yang mana hal itu termasuk dari tasyabuh kepada orang kafir di dalam adat intern mereka, sebab hal itu tidak pernah menjadi syiar bagi muslimin dalam pernikahan.
Cara tersebut hanyalah merupakan adatnya orang-orang kafir dalam proses pernikahan mereka, lalu kaum muslimin meniru mereka disebabkan karena lemahnya iman dan kejahilan kaum muslimin.
Wabillãhit Taufíq washallallãhu alã Nabiyyinã Muhammad wa alã ãlihí wa shohbihí wasallam.
Benarlah disebutkan dalam hadits, umat Islam selangkah demi selangkah akan mengikuti jejak non muslim.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 27: 286.

Al-Lajnah Ad-Dãimah lil Buhús wal Iftã
Ketua : Abdul Azíz bin Bãz
Wakil : Abdurrozãq Afifiy
Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullãh bin Quúd

Sumber:
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
Urutan jilid/Pembahasan/Halaman:
19/Min Bidain Nikah/148
Penyusun: Syeikh Ahmad bin Abdurrozãq ad Duwaisy

Alih bahasa:
Abu Dawud al Pãsimiy

WA Thullab Fyusy SLN

Tentang JUAL BELI SISTEM DROPSHIP

al Ustadz Muhammad Afifuddin

Dalam soal hukum dropship di atas ada dua masalah:

Pertama: jual beli dengan sistem sampling barang.
Pendapat yang rajih adalah boleh dengan syarat sampling harus sesuai dengan keadaan riil barang, sesuai dengan yang diminta pembeli. Jika ada yang berbeda pembeli mempunyai hak khiyar, yaitu melanjutkan atau membatalkan akad. Jika barang tersebut termasuk ashnaf ribawiyah seperti emas dan perak, harus ada taqabudh (serah terima di tempat). Jika tidak, termasuk riba nasiah.
Akad yang mudah dan syari dalam hal ini ada dua cara:
1. Sistem salam, yaitu menyerahkan uang sesuai dengan harga yang disepakati di muka. Akad untuk barang yang disepakati sesuai dengan sifat, jumlah/takaran, dan waktu pengiriman terima yang disepakati. Jika ketentuan di atas tidak terpenuhi, pembeli punya hak khiyar. Untuk itu kedua pihak harus saling percaya, karena rawan manipulasi.
2. Sistem urbun, yaitu pembeli menyerahkan DP untuk barang dengan sifat yang disepakati. Jika barang sudah ada, baru dilunasi pembayarannya. Jika pembeli menggagalkan akadnya DP penjadi hak penjual. Jika penjual tidak bisa mendatangkan barang DP harus kembali.

Kedua: pengiriman barang.
Yang syari penjual harus menerima terlebih dahulu barang yang ia pesan dari suplier kemudian dia kirim ke pembelinya. Jika dikirim langsung dari suplier ke pembeli hukumnya haram berdasarkan hadits:
Rasulullah melarang jual beli sesuatu yang belum dimiliki.

Dalam soal di atas transaksi tersebut termasuk dalam larangan hadits di atas. Kecuali kalau penjual posisinya hanya sebagai makelar bagi suplier maka tidak ada masalah. Solusi untuk kasus di atas adalah penjual menunjuk salah seorang untuk menerima barang dari suplier lalu dia serahkan kepada sang pembeli.

Lihat Syarah Kitab Buyu min Darari Al-Mudhiyah karya As-Syaikh Abdurrahman Al-Adany hafizhahullah.

Sumber: Majalah Asy Syariah

ummuyusuf .com

Selasa, 24 Februari 2015

Tentang WANITA MENDIRIKAN SALAT SECARA BERJAMAAH BERSAMA KAUM WANITA

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah

Ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah.
Ada yang menganggap mustahab (sunnah), seperti riwayat dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Ini pendapat yang dipegangi ‘Atha’, ats-Tsauri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Ishaq, dan Abu Tsaur.
Ada yang menganggap tidak disunnahkan, seperti pendapat al-Imam Ahmad [1]. Ada pula yang memakruhkannya seperti ashabur ra’yi.
Sedangkan asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan Qatadah berpendapat bahwa shalat jamaah bagi wanita ini hanya dilakukan dalam shalat sunnah bukan shalat wajib. Al-Hasan dan Sulaiman bin Yasar mengatakan, wanita tidak boleh mengimani wanita lain dalam shalat wajib ataupun shalat sunnah.
Sedangkan al-Imam Malik berpan-dangan tidak pantas wanita mengimami seorang pun, karena dimakruhkan baginya untuk mengumandangkan adzan, sementara adzan merupakan panggilan untuk shalat berjamaah. (al-Mughni, 2/17)

Asy-Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah membawakan beberapa atsar yang berkaitan dengan hal ini. Di antaranya:
أَنَّها كَانَتْ تُؤَذِّنُ وَتُقِيْمُ وَتَؤُمُّ النِّسَاءَ، وَتَقِفُ وَسَطَهُنَّ
“Dahulu dia (Aisyah) pernah adzan dan iqamah serta mengimami para wanita dan beliau berdiri di tengah mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra)
Hujairah bintu Hushain berkata, “Ummu Salamah pernah mengimami kami dalam shalat Ashar, dan beliau berdiri di antara kami.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, dan al-Baihaqi)
Kemudian asy-Syaikh al-Albani berkata, “Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan. Terlebih lagi bila dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Para wanita itu saudara kandung (serupa) dengan laki-laki’.” (Tamamul Minnah, hlm. 154)

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bolehnya wanita mengimami wanita lain dalam shalat berjamaah di rumah, karena adanya contoh dari perbuatan para shahabiyah tanpa ada yang menyelisihi mereka. Juga tidak didapatkan adanya larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hal ini.
Ibnu Hazm berkata, “Boleh seorang wanita mengimami wanita lain dalam shalat, namun ia tidak boleh mengimami kaum laki-laki.” (al-Muhalla, 4/219)

Ada beberapa perkara yang perlu diperhatikan bila para wanita ingin menegakkan shalat berjamaah di kalangan mereka. Di antaranya:
1. Adzan dan iqamah
Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, dibolehkan bagi wanita untuk adzan dan iqamah dengan dalil atsar dari ‘Aisyah di atas dan atsar lainnya seperti yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (1/202) —dengan sanad yang jayyid (bagus), kata asy-Syaikh al-Albani (Tamamul Minnah, hlm. 153)— dari Wahab bin Kisan. Ia berkata, “Ibnu ‘Umar ditanya, ‘Apakah ada adzan bagi wanita?’ Mendapat pertanyaan demikian, Ibnu ‘Umar marah dan berkata, ‘Apakah aku melarang dari dzikrullah (berzikir kepada Allah)?’”
2. Posisi Imam
Imam wanita berdiri di tengah-tengah makmumnya di dalam shaf, sebagaimana riwayat ‘Aisyah dan Ummu Salamah di atas. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama salaf. Namun bila imam tersebut maju di depan shaf maka tidak didapatkan larangan dalam hal ini. Akan tetapi berpegang teguh dengan apa yang dilakukan salaf adalah lebih baik dan lebih utama. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/352)
Ibnu Juraij berkata, “Bila seorang wanita mengimami wanita lain, maka ia tidak maju di depan mereka tetapi ia sejajar dengan mereka. Ini dilakukan dalam shalat wajib maupun sunnah.” Lalu ada yang berkata kepada Ibnu Juraij, “Bagaimana bila jamaah itu banyak hingga mencapai dua shaf atau lebih?” Ibnu Juraij menjawab, ‘Ia berdiri di tengah-tengah mereka.’ (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, 3/140)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ma’mar (al-Mushannaf, 3/140). Juga al-Hasan dan asy-Sya’bi dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/89).
3. Memperdengarkan suara atau tidak?
Ibnu Qudamah berkata, “Wanita memperdengarkan suaranya dalam shalat jahr (yaitu shalat Maghrib, ‘Isya, dan Subuh). Namun bila di tempat itu ada laki-laki maka ia tidak boleh memperdengarkan suaranya kecuali bila laki-laki itu adalah mahramnya.” (al-Mughni, 2/17)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata dalam salah satu fatwanya:
“Dibolehkan bagi wanita untuk shalat secara berjamaah dengan diimami salah seorang dari mereka, dan imam ini berdiri di shaf makmumnya (bersisian), bukan di depan mereka. Shalat berjamaah ini tidaklah wajib bagi mereka karena kewajiban jamaah termasuk kekhususan laki-laki. Adapun mereka, boleh shalat berjamaah ataupun sendirian.”
Ketika beliau ditanya tentang kebolehan wanita memperdengarkan suaranya di dalam shalat jahriyah dalam rangka memudahkan untuk khusyuk, beliau menjawab, “Untuk shalat yang dilakukan pada malam hari, disunnahkan baginya jahr dalam bacaan shalat, baik dalam shalat fardhu ataupun shalat nafilah (sunnah) selama tidak terdengar oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Karena bila sampai terdengar, dikhawatirkan laki-laki itu akan terfitnah (tergoda) dengan suaranya. Bila di tempat tersebut tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya, namun ketika mengeraskan bacaan shalatnya berakibat mengganggu dan mengacaukan orang lain yang sedang shalat, maka hendaknya ia merendahkan suaranya (membaca dengan sirr).
Adapun dalam shalat yang dilakukan pada siang hari, ia tidak boleh memperdengarkan suaranya ketika membaca surat Al-Qur’an. Karena shalat siang hari adalah sirriyyah. Ia membaca sebatas didengar dirinya sendiri karena tidak disunnahkan jahr dalam shalat siang hari.” (al-Muntaqa, asy-Syaikh al-Fauzan, 3/76, 201)

Catatan Kaki:
[1] Didapatkan pula keterangan bahwa al-Imam Ahmad juga menganggap mustahab. Ibnu Hazm berkata, “Al-Auzai, ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, dan Abu Tsaur rahimahumullah berkata: Disunnahkan bagi seorang wanita untuk mengimami wanita lain dan ia berdiri di tengah-tengah mereka.” (al-Muhalla, 4/220)

Sumber: Asy Syariah Edisi 002

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
هل يُستحب للنساء صلاةُ الجماعة فيما بينهم؟ وماذا عن الآذان والإقامة لهنَّ؟
Apakah disunnahkan bagi para wanita untuk shalat berjamaah di antara mereka?
Dan apakah mereka juga melakukan adzan dan iqomat?

Jawaban:
لا مانع إن شاء الله من صلاة النِّساء جماعة في بيت إحداهنَّ، أو في المسجد إذا فاتتهُنَّ الصلاة مع الإمام، ولم يتمكنَّ من الإتمام برجل فأتتهن الصلاة، هذا لا مانع منه
Tidak mengapa untuk mereka shalat berjamaah di antara mereka, baik di rumah salah seorang dari mereka, ataupun di masjid ketika mereka terluputkan dari shalat berjamaah bersama imam dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk berimam dengan seorang laki-laki. (Jika demikian kondisinya) maka tidak mengapa mereka melaksanakan shalat jamaah.
بقيَّ الأذان والإقامة وهذا له حالتان: إحداهما: أن تكون جماعتهُنَّ للصلاة في بيت واحدة منهُنَّ، ولا يسمعنَّ أذان المسجد لا يسمعنَّ للنداء في المسجد، فتؤذن إحداهُنَّ آذانًا يسمعهُ الحاضرات، ولا ترفعُ صوتها حتى يسمعه الرجال، وكذلك الإقامة وأعود إلى الحالة الأولى وأقول لهنَّ: أن يُقمنَّ إذا فأتتهُنَّ صلاة الجماعة مع الإمام
Adapun permasalahan adzan dan iqomat bagi mereka, maka ini memiliki dua keadaan:
1. Mereka berkumpul di salah satu rumah mereka untuk berjamaah dan mereka tidak mendengarkan suara adzan dari masjid, maka salah seorang dari mereka mengumandangkan adzan yang bisa didengar oleh jamaah wanita yang hadir di situ dan jangan dia meninggikan suaranya sehingga didengar oleh laki-laki, demikian juga iqomat.
2. Aku kembali pada permasalahan pertama (yaitu ketika mereka terluput dari jamaah bersama imam), maka salah seorang dari mereka melakukan iqomat.
والحاصل أنهُنَّ لهنَّ الإقامة إذا صلينَّ وحدهُنَّ، سواءً في المسجد حين تفوتهُنَّ الصلاة مع الإمام، أو في دار واحدة منهُن، والآذان مشروط بعدمِ سماعهنَّ النِّداء، والله أعلم
Kesimpulannya, mereka melakukan iqomat jika mereka shalat tersendiri baik itu di masjid ketika terluput dari jamaah ataupun ketika mereka shalat di rumah sedangkan adzan dipersyaratkan ketika mereka sama sekali tidak mendengar suara adzan. Wallahu alam.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/115

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah

Soal:
Apa syarat-syarat wanita bisa menjadi imam bagi sesama wanita di dalam shalat?

Jawab:
Apabila si wanita paling bagus dan paling pandai membaca Kitabullah, tidak ada larangan baginya menjadi imam para wanita sebagaimana lelaki. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh Ummu Waraqah radhiallahu ‘anha mengimami orang-orang di rumahnya.

(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah fil ‘Aqaid wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, 1/419)

Tentang SALAM DENGAN ISYARAT

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan: 
ما حكم السلام بالإشارة باليد؟
Apa hukum salam dengan isyarat tangan?

Jawaban:
لا يجوز السلام بالإشارة، وإنما السنة السلام بالكلام بدءا وردا. أما السلام بالإشارة فلا يجوز؛ لأنه تشبه ببعض الكفرة في ذلك؛ ولأنه خلاف ما شرعه الله، لكن لو أشار بيده إلى المسلم عليه ليفهمه السلام لبعده مع تكلمه بالسلام فلا حرج في ذلك؛ لأنه قد ورد ما يدل عليه، وهكذا لو كان المسلم عليه مشغولا بالصلاة فإنه يرد بالإشارة، كما صحت بذلك السنة عن النبي صلى الله عليه وسلم
Tidak boleh, salam dengan isyarat.
Adapun yang sunnah adalah salam dengan ucapan, baik tatkala memulai atau menjawab salam.
Adapun salam dengan isyarat MAKA TIDAK BOLEH, dikarenakan ini tasyabbuh dengan sebagian orang kafir. Dan menyelisihi apa yang Allah syariatkan.
Namun, apabila ia mengisyaratkan dengan tangannya kepada orang yang diberi salam supaya dipahami, dikarenakan jaraknya yang jauh namun disertai dengan ucapan salam.
MAKA INI TIDAK MENGAPA.
Dikarenakan telah datang (riwayat) yang menunjukan atas yang demikian itu. Demikian juga apabila orang yang diberi salam dalam keadaan shalat, maka ia menjawab dengan isyarat. Sebagaimana telah shahih yang demikian itu dalam sunnah, dari Nabi shalallahu alaihi wassalam.

(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawiah juz 26)

Sumber: 
binbaz .org .sa/mat/3475

Alih bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

# forumsalafy .net

Senin, 23 Februari 2015

Tentang MENGHILANGKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG YANG DIPINJAM

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Jika seseorang meminjam barang, kemudian selama masa peminjaman itu barang tersebut hilang atau rusak, apakah ia harus menggantinya?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat para Ulama:

Pendapat pertama,
Peminjam harus menggantinya dalam kondisi apapun. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas.

Pendapat kedua,
Tidak ada keharusan mengganti bagi peminjam, sebagaimana barang apapun yang diamanahkan. Ini yang masyhur dari Imam Malik.

Pendapat ketiga,
Tidak ada keharusan mengganti, kecuali jika sang peminjam sebelumnya mempersyaratkan harus diganti. Ini adalah pendapat dari sebagian Sahabat al-Imam Ahmad seperti al-‘Akbariy.

Pendapat keempat,
Tidak ada keharusan mengganti kecuali jika ada unsur ta’addiy dan tafrith. Ini berlaku untuk seluruh barang yang diamanahkan. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, al-Auza’iy, ats-Tsaury, al-Hasan, an-Nakha’iy, Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hazm, as-Shon’aaniy (dalam Subulus Salaam), Abdurrahman as-Sa’di, Sholih al-Fauzan (dalam al-Mulakhkhoshul Fiqhiy), al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah.

Poin-poin ini disarikan dari Taudhiihul Ahkaam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam dengan beberapa tambahan.

Syaikh Ibn Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ menggabungkan pendapat ketiga dan keempat, bahwa peminjam tidak ada keharusan untuk mengganti kecuali jika terjadi salah satu dari 3 hal:
1) Ta’addiy
2) Tafrith
3) Persyaratan sebelumnya dari pihak yang meminjamkan (bahwa jika rusak/ hilang harus mengganti).
Sehingga secara asal, tidak ada kewajiban menanggung/ mengganti bagi peminjam selama dia telah berusaha bersikap amanah.

Ta’addiy adalah melakukan sesuatu yang tidak boleh (melampaui batas). Tafrith adalah meninggalkan kewajiban dalam menjaganya (lalai).
Contoh: Seseorang pinjam sepeda motor.
Termasuk ta’addiy adalah jika ia menggunakan sepeda motor bukan untuk peruntukannya yang normal. Misalkan, ia tumpangi sepeda motor itu dengan beban yang sangat berat, atau dikendarai di genangan sungai padahal ada jembatan yang bisa dilalui, atau dibuat kebut-kebutan di luar batas wajar. Jika kemudian sepeda motor itu rusak, ia harus menggantinya.
Termasuk tafrith jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Misalkan sepeda motor itu diparkir sembarangan, tidak dikunci dengan baik, atau justru kuncinya diletakkan di motornya karena ia lalai atau lupa. Jika motor yang dipinjam itu hilang, maka ia harus menggantinya. Atau, dipinjam setahun lebih sering dipakai, tapi tidak pernah ganti olie, sehingga mesinnya rusak, maka peminjam itu harus menggantinya.

Hadits Pertama:
عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ ثُمَّ إِنَّ الْحَسَنَ نَسِيَ فَقَالَ هُوَ أَمِينُكَ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ
Dari al-Hasan dari Samuroh dari Nabi shollallahu alaihi wasallam beliau bersabda: Kewajiban bagi tangan terhadap apa yang diambilnya hingga ditunaikan. (Qotadah menyatakan:) Kemudian al-Hasan lupa dan berkata: Itu adalah amanah untukmu bukan tanggungan terhadapnya. (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Ini adalah salah satu hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh al-Abaniy karena al-Hasan adalah mudallis dan dalam hadits ini tidak secara shorih menyebutkan bahwa ia mendengar langsung dari Samuroh, tapi secara ‘an-anah. Bahkan kemudian al-Hasan berpendapat beda dengan hadits yang diriwayatkannya, sehingga Qotadah menganggapnya lupa.

Hadits Kedua:
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعًا وَثَلَاثِينَ بَعِيرًا قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعَوَرٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَوَرٌ مُؤَدَّاةٌ قَالَ بَلْ مُؤَدَّاةٌ
Dari Shofwan bin Ya’la dari ayahnya (Ya’la bin Umayyah) beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berkata kepada saya: Jika datang kepadamu utusanku, berikanlah kepada mereka 30 baju perang dan 30 unta. Aku (Ya’la bin Umayyah) berkata: Wahai Rasulullah, apakah itu pinjaman yang memiliki tanggungan atau hutang yang ditunaikan? Nabi menjawab: bahkan yang ditunaikan. (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban, dan dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Albaniy)
Hadits ini dijadikan dalil oleh selain pendapat pertama bahwa secara asal jika peminjam telah berusaha amanah, maka tidak ada tanggungan bagi dia.

Hadits Ketiga: Hadits Shofwaan bin Umayyah:
عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَارَ مِنْهُ أَدْرَاعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ لَا بَلْ عَمَقٌ مَضْمُونَةٌ
Dari Umayyah bin Shofwaan bin Umayyah dari ayahnya (Shofwaan bin Umayyah) bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meminjam darinya beberapa pakaian perang pada hari Hunain. Kemudian Shofwaan bertanya: Apakah ini ghoshob wahai Muhammad? Nabi menjawab: Tidak, tapi ini adalah (pinjaman) yang berupa tanggungan. (H.R Abu Dawud, anNasaai, dishahihkan al-Hakim)
Sebagian Ulama melemahkan sanad hadits ini karena 2 hal, yaitu tidak dikenalnya Umayyah bin Shofwan (majhul) dan perawi yang bernama Syariik adalah lemah. Demikian dijelaskan Syaikh al-Albaniy dalam Irwaa’ul Gholiil.

Sedangkan atsar dari Sahabat yang akan dikaji ini adalah atsar dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Ali bin Abi Tholib.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa peminjam harus mengganti secara mutlak. Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq.
أَنَّ رَجُلاً اسْتَعَارَ مِنْ رَجُلٍ بَعِيرًا فَعَطِبَ الْبَعِيرُ فَسَأَلَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَالَ : يَضْمَنُ
Sesungguhnya seorang laki-laki meminjam dari orang lain seekor unta. Kemudian unta itu binasa. Marwan bertanya kepada Abu Hurairah, dan Abu Hurairah menjawab (dia -orang yang meminjam-) harus menanggung. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ الْعَارِيَةُ تَغْرَمُ قَالَ عَمْرٌو وَأَخْبَرَنِي بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنِ بْنِ عَبَّاس مِثْلَهُ
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- beliau berkata: Pinjaman (menyebabkan) berhutang. Amr berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas semisal itu. (Riwayat Abdurrozzaq)
Kedua riwayat ini lemah dan tidak bisa saling menguatkan, karena semuanya melalui jalur Abdurrohman bin as-Saaib yang majhul.
Sedangkan riwayat pendapat Ali bin Abi Tholib bahwa seorang yang meminjam secara asal tidak memiliki tanggungan, diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dengan 2 jalur periwayatan yang berbeda. Masing-masing jalur memiliki unsur kelemahan, namun jika digabungkan minimal sampai pada derajat hasan.
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ الْحَنَفِيَّةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ لَيْسَتِ الْعَارِيَةُ مَضْمُوْنَةٌ إِنَّمَا هُوَ مَعْرُوْفٌ إِلَّا أَنْ يُخَالِفَ فَيَضْمَن
Dari Muhammad bin al-Hanafiyyah dari Ali (bin Tholib) radhiyallahu anhu beliau berkata: Barang pinjaman bukanlah tanggungan. Hanya saja ia (dipinjam) secara ma’ruf. Kecuali jika (peminjaman) itu menyelisihi (yang ma’ruf), maka peminjam menanggung. (Riwayat Abdurrozaq)
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ الْعَارِيَةِ ضِمَانٌ
Dari al-Hakam bin Utaibah bahwa Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu berkata: Tidak ada tanggungan bagi pihak peminjam. (Riwayat Abdurrozzaq)

Kesimpulan:
Peminjam barang tidak harus mengganti jika barang yang dipinjam hilang atau rusak, kecuali jika:
1) Ta’addiy
2) Tafrith
3) Orang yang meminjamkan telah mempersyaratkan sebelumnya bahwa jika barang hilang atau rusak itu tanggungan peminjam.
Ini yang dijelaskan Syaikh Ibn Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’. Jika sang pemberi pinjaman mempersyaratkan sebelumnya (kalau rusak atau hilang harus diganti), maka peminjam harus menunaikan syarat itu jika terjadi kerusakan atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin (harus menunaikan) persyaratan mereka. (H.R Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan al-Albaniy)
Wallaahu A’lam.

Salafy .or .id