Cari Blog Ini

Minggu, 26 Oktober 2014

Tentang MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Apakah kalau kita bershodaqoh terhadap anak yatim sambil mengusap kepala anak yatim tersebut maka setiap helai rambut anak yatim tersebut akan mendoakan kita?

Jawab:

Bershodaqoh, bersikap lemah lembut, memuliakan, menyenangkan hati dan memenuhi kebutuhan anak yatim dengan mengusap kepalanya adalah bagian dari amal sholeh yang dituntunkan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Bahkan hal itu termasuk amalan yang bisa melembutkan hati.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺴْﻮَﺓَ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺩْﺕَ ﺗَﻠْﻴِﻴﻦَ ﻗَﻠْﺒِﻚَ ﻓَﺄَﻃْﻌِﻢْ ﺍﻟْﻤِﺴْﻜِﻴﻦَ ﻭَﺍﻣْﺴَﺢْ ﺭَﺃْﺱَ ﺍﻟْﻴَﺘِﻴﻢِ
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa seorang laki-laki mengadukan kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam tentang kekerasan hatinya. Maka Nabi berkata kepada dia, “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, berikan makan kepada orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim." (HR. Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albany)

Mengusap kepala anak yatim bukanlah sekedar mengusap, namun itu adalah bentuk kasih sayang dan perhatian kepada mereka. Mengusap kepala anak yatim juga tidak dikhususkan pada bulan Muharram apalagi hanya pada hari Asyura (10 Muharram) saja.

Apakah setiap helai rambut anak yatim yang diusap akan berdoa kepada orang yang mengusapnya? Tidak dalil tentang hal itu. Yang ada adalah beberapa riwayat yang menyatakan bahwa setiap helai rambut anak yatim yang diusap terhitung sebagai kebaikan, namun hadits-hadits tersebut pada setiap jalur sanadnya sangat lemah, terputus, atau ada perawi yang memalsukan hadits. Di antara riwayat itu:
ﻣَﻦْ ﻣَﺴَﺢَ ﺭَﺃْﺱَ ﻳَﺘِﻴﻢٍ ﺃَﻭْ ﻳَﺘِﻴﻤَﺔٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﺴَﺤْﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺑِﻜُﻞِّ ﺷَﻌْﺮَﺓٍ ﻣَﺮَّﺕْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻳَﺪُﻩُ ﺣَﺴَﻨَﺎﺕٌ
Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan, tidaklah ia usap kecuali karena Allah, maka setiap helai rambut yang terlewati oleh tangannya terhitung sebagai kebaikan-kebaikan. (HR. Ahmad dan at-Thobarony)
Hadits ini sangat lemah, karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Ali bin Yazid al-Alhaany yang dinyatakan oleh al-Bukhari sebagai munkarul hadits, dan ad-Daruquthny menyatakan bahwa ia adalah matruk (ditinggalkan). Lihat Majmauz Zawaaid karya al-Haitsamy (8/160) dan ad-Dhuafaa’ wal Matrukin karya Ibnul Jauzy (2/200).
Riwayat lain menyatakan:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻳﻤﺴﺢ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﺇﻻ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﻣﺮﺕ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﺭﻓﻌﺖ ﻟﻪ ﺑﻬﺎ ﺩﺭﺟﺔ ﻭﺣﻄﺖ ﻋﻨﻪ ﺑﻬﺎ ﺧﻄﻴﺌﺔ
Tidaklah seorang muslim mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim kecuali pada tiap helai rambut yang dilewati tangannya mendapat 1 kebaikan dan diangkat 1 derajat dan dihapus 1 keburukan. (HR. Ibnun Najjaar dari Abdullah bin Abi Aufa)
Dalam riwayat ini terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Sinaan yang suka memalsukan hadits. Lihat ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (2/139).
Riwayat lain menyatakan:
ﻣﻦ ﻭﺿﻊ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﺗﺮﺣﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻤﺮ ﺑﻴﺪﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﻨﺔ
Barangsiapa yang meletakkan tangannya pada kepala anak yatim dengan kasih sayang, maka setiap helai rambut yang dilewati tangannya terhitung 1 kebaikan. (HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud)
Hadits ini sanadnya terputus, yaitu dari Muhammad bin Ajlan (termasuk Tabaa-ut Taabi’in) terputus dari Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Wallaahu A’lam bisshowaab.

Sumber: itishom[dot]web[dot]id

Tentang MENGHADAPI KEMARAHAN SUAMI/ISTRI

Al Ustadz Abu Ibrahim ‘Abdullah Al-Jakarty

Di antara hal yang menambah ketegangan kehidupan rumah tangga sepasang suami istri ketika dalam keadaan berselisih masing-masing angkat bicara dalam keadaan emosi dan marah. Sang suami merasa istrinya melawannya, ketika istrinya angkat suara dalam keadaan marah sehingga memperkeruh keadaan. Maka langkah yang cerdik dan jitu yang dilakukan oleh seorang istri shalihah adalah dengan diam sejenak menunggu waktu yang pas setelah meredanya amarah suaminya. Baru ia mengutarakan apa yang ia ingin katakan dengan baik atau sekedar untuk minta maaf dan memperlihatkan kebutuhan dan kecintaan dirinya kepada suaminya. Maka Anda, wahai para istri akan melihat hasil yang menakjubkan dari suami Anda, jika Anda selalu berusaha bersabar dan melakukan tindakan di atas.

Berbeda jika engkau wahai para istri menumpahkan apa yang ingin kau tumpahkan bersamaan dengan luapan emosi dan amarah. Maka penyesalan yang engkau dapatkan setelahnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, di mana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻏَﻀِﺒْﺖَ ﻓَﺎﺳْﻜُﺖْ ، ﻣَﺮَّﺗَﻴْﻦِ
“Jika engkau sedang marah maka diamlah. (Diucapkan dua kali)” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad: 1320, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Al-Imam Mawardi rahimahullah berkata, “Sudah selayaknya orang yang memiliki akal yang lurus, tekad yang kuat, menghadapi kemarahan dengan sikap yang santun, menghadapi keburukan yang ditimbulkannya dengan tekad yang kuat (kekokohan) dan menolaknya. Agar mendapatkan pengalaman yang berharga serta kebahagian dan kesudahan yang terpuji.” (Adabud Dunya wa Diin: 258‏)

Nasehat ini kuperuntukan untuk para suami dan istri terutama untuk para istri yang menginginkan kebaikan untuk dirinya, suaminya, anak-anaknya dan keluarganya, maka perhatikanlah nasehat ini. Dan lihatlah akibat yang baik dengan izin Allah jika anda bersabar dan diam sampai suami mereda kemarahannya, lalu ucapkanlah dan perlihatkanlah kalau engkau mencintainya disertai dengan permintaan maaf. Atau setelah itu utarakan apa yang engkau ingin utarakan dengan cara yang baik.

Wahai para istri, kubawakan sebuah perkataan seorang istri shalihah, di antara wanita yang faqih kepada agamanya pada zamannya. Yaitu putrinya seorang ulama tabi’in Said bin Musayyab sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah. Beliau berkata,
ﻣﺎ ﻛﻨﺎ ﻧﻜﻠﻢ ﺃﺯﻭﺍﺟﻨﺎ ﺇﻻ ﻛﻤﺎ ﺗﻜﻠﻤﻮﻥ ﺃﻣﺮﺍﺀﻛﻢ
“Tidaklah kami berbicara dengan suami-suami kami, kecuali seperti kalian berbicara dengan pemimpin-pemimpin (raja-raja) kalian.” (Silahkan lihat Ahkam An-Nisa’: 139)

Bukanlah yang kumaksudkan dengan nasehat ini ketika seorang suami dalam keadaan baik dengan tenang mengajak Anda untuk berdiskusi tentang yang terkait dengan kemashalatan rumah tangga atau yang lainnya lantas Anda diam. Bukan. Namun, yang kuinginkan adalah diamnya Anda ketika suami sedang marah sampai suami mereda amarahnya. Lalu setelah itu perlihatkan rasa cinta Anda kepada suami dan permintaan maaf kepadanya. Lalu jika ada yang ingin Anda utarakan maka utarakan dengan baik disertai dengan kesabaran melakukan itu semua dan Anda akan mendapati hasil yang menakjubkan dari suami Anda dengan izin Allah Ta’aala.

Sekali lagi nasehat ini kuperuntukkan untuk para suami dan istri, walaupun aku lebih khususkan untuk para istri. Sungguh indah perkataan Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu,
ﺍﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻨﻲ ﻏﻀﺒﺖ ﺗﺮﺿﻴﻨﻲ, ﻭﺍﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻚ ﻏﻀﺒﺖ ﺗﺮﺿﻴﺘﻚ, ﻭﺇﻻ ﻧﺼﻄﺤﺐ
“Jika kamu melihatku sedang marah, maka maafkanlah aku. Begitu pun jika aku melihatmu sedang marah, maka aku akan memaafkanmu. Jika tidak demikian, mustahil kita akan bisa beriringan (dalam rumah tangga‏).”

Semoga Allah menjaga rumah tangga rumah tangga kita dan kaum muslimin dan menjadikan kita bisa bermuamalah dengan sebaik-baiknya kepada pasangan hidup kita. Amin.

Sumber:
nikahmudayuk[dot]wordpress[dot]com

Tentang MEMENUHI UNDANGAN WALIMAH ATAU UNDANGAN MAKAN

Disusun oleh: 
Abu ‘Ubaidah Iqbal Al Jawy
13 Dzulhijjah 1434 H/18 Okt 2013
Darul Al Hadits Al Fiyusy Lahj Yemen

Sebelumnya telah lewati pembahasan kita seputar hukum memenuhi undangan walimah pernikahan, yang mana pendapat terkuat dan terpilih adalah wajib berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan atas kewajiban memenuhi undangan tersebut.

Adapun memenuhi undangan makan selain walimah pernikahan seperti walimah khitan maka para ulama juga berbeda pendapat menjadi dua pendapat;

Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa hukumnya wajib.
Ini adalah pendapat Asy Syafi’iyah, Al ‘Anbary dan Ibnu Hazm dan dipilih oleh Asy Syaukany. Dalil mereka keumuman hadits hadits Abu Hurairah:
‏« ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ ‏» ﻗِﻴﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟، ﻗَﺎﻝَ: ‏«ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ ..… ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
“Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu beliau ditanya, "Apa yang enam perkara itu ya Rasulullah?" Beliau menjawab, “Bila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya. Bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya…" (HR. Muslim dengan lafadz ini)
Mereka berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
‏«ﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﺧَﺎﻩُ، ﻓَﻠْﻴُﺠِﺐْ ﻋُﺮْﺳًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮَﻩُ ‏»
“Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, baik undangan pernikahan atau semisalnya.” (HR. Muslim dari shahabat Ibnu 'Umar‏)

Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa hukumnya sunnah.
Ini adalah pendapat Jumhur (kebanyakan) para ulama. Dalil yang memalingkan dari wajib kepada sunnah adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
ﺃَﻥَّ ﺟَﺎﺭًﺍ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﺎﺭِﺳِﻴًّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻃَﻴِّﺐَ ﺍﻟْﻤَﺮَﻕِ، ﻓَﺼَﻨَﻊَ ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﺛُﻢَّ ﺟَﺎﺀَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻩُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ‏« ﻭَﻫَﺬِﻩِ؟ ‏» ﻟِﻌَﺎﺋِﺸَﺔَ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻟَﺎ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ‏« ﻟَﺎ ‏»، ﻓَﻌَﺎﺩَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻩُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ‏« ﻭَﻫَﺬِﻩِ؟ ‏»، ﻗَﺎﻝَ: ﻟَﺎ، ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ‏« ﻟَﺎ ‏»، ﺛُﻢَّ ﻋَﺎﺩَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻩُ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ‏« ﻭَﻫَﺬِﻩِ؟ ‏»، ﻗَﺎﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺜَﺔِ، ﻓَﻘَﺎﻣَﺎ ﻳَﺘَﺪَﺍﻓَﻌَﺎﻥِ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺗَﻴَﺎ ﻣَﻨْﺰِﻟَﻪُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu dia datang mengundang beliau.
Beliau bertanya, “‘Aisyah bagaimana?" Orang itu menjawab, "Dia tidak." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu aku juga tidak.”
Orang itu mengulangi undangannya kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “‘Aisyah bagaimana?” Orang itu menjawab, "Dia tidak." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu aku juga tidak.”
Orang itu mengulangi undangannya pula. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “‘Aisyah bagaimana?” Jawab orang itu pada ketiga kalinya, "Ya, ‘Aisyah juga." Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi bersama ‘Aisyah ke rumah tetangga itu.
Sisi Pendalilan dari hadits ini bahwa Rasulullah tidak memenuhi undangan orang tersebut.
Menjawab pendalilan pendapat pertama;
- Hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama bersifat umum bahwa semua bentuk undangan wajib dipenuhi, namun hadits Anas yang telah kita sebutkan di atas telah memalingkan keumuman hukum tersebut kepada mustahab atau sunnah.
- Adapun hadits Ibnu Umar dengan lafadz di atas diriwayatkan dari jalan Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’. Riwayat Ma’mar menyelisihi riwayat Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’, karena riwayat Hammad tanpa ada tambahan lafadz “baik undangan pernikahan atau semisalnya”. Hammad adalah orang yang paling tsiqoh periwayatannya dari Ayyub. Dengan ini, riwayat Ma’mar dikategorikan “Syadzah” karena menyelisihi rawi yang lebih tsiqoh dalam periwayatannya dari Ayyub.
Di sana juga terdapat riwayat lain dengan lafadz:
‏«ﻣَﻦْ ﺩُﻋِﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﻋُﺮْﺱٍ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮِﻩِ، ﻓَﻠْﻴُﺠِﺐْ ‏»
“Barangsiapa yang diundang ke pesta pernikahan atau semisalnya, hendaknya ia mendatanginya."
Riwayat ini dari jalan Az Zubaidy dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Namun para perawi dari Nafi seperti Malik, ‘Ubaidulloh Al ‘Umary, Isma’il bin Umayyah, Musa bin ‘Uqbah, dan ‘Umar bin Muhammad, semua meriwayatkan tanpa lafadz ”pernikahan atau semisalnya”. Sehingga disini riwayat Az Zubaidy dikategorikan Syadzah pula.
Dari sini kita mengetahui bahwa lafadz hadits Ibnu ‘Umar tentang kewajiban memenuhi undangan hanya terkait dengan walimah pernikahan saja, sebagaimana yang telah ditunjukan dalam riwayat yang Al Imam Al Bukhory dan Muslim dari Nafi dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda,
‏«ﺇِﺫَﺍ ﺩُﻋِﻲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﻤَﺔِ ﻓَﻠْﻴَﺄْﺗِﻬَﺎ ‏»
“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara pesta pernikahan maka hendaknya dia datang.” (Muttafaqun 'alaihi dari shahabat Ibnu Umar)
Riwayat ini lebih shahih dari lafadz Muslim dari jalan Ma’mar maupun Az Zubaidy. Wallohu a’lam.

KESIMPULAN
Melihat dalil-dalil yang telah kita paparkan di atas maka terlihat bahwa pendapat Jumhur ‘ulama lebih kuat dan terpilih. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syekh Al ‘Utsaimin dan Syekhuna ‘Abdurohman Al ‘Adeny. Bahwa semua bentuk undangan walimah atau makan selain pesta pernikahan maka hukumnya sunnah. Wallohu 'alam bish showab.

PERINGATAN
Sebagaimana telah lewat, jika di dalam acara tersebut terdapat kemungkaran maka tidak boleh kita hadir di dalamnya. Silakan lihat pembahasan kita yang telah lewat dalam permasalahan “Hukum Mendatangi Walimah atau Pesta Pernikahan.”
Wallohul muwaffiq ilash showab.

WA Salafy Lintas Negara

Tentang WALIMATUL KHITAN (PESTA SUNATAN)

Disusun oleh:
Abu ‘Ubaidah Iqbal Al Jawy
13 Dzulhijjah 1434 H/18 Okt 2013
Darul Al Hadits Al Fiyusy Lahj Yemen

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini, ada yang berpendapat sunnah, ada yang berpendapat mubah (boleh-boleh saja) dan ada yang pula yang berpendapat makruh. Kesimpulan dari permasalahan ini, setelah kita melihat dalil-dalil masing-masing pendapat maka pendapat yang terpilih dan kuat adalah bahwa hukum walimah khitan suatu hal yang mubah. Karena hukum sunnah adalah hukum syar’i, untuk mengatakan suatu hal itu hukumnya sunnah butuh dalil-dalil yang shahih dan marfu’ (yang sampai) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Belum kita dapatkan dalil satupun bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah khitan.

Terdapat disana Atsar dari sebagian shahabat, yang mana mereka melakukan walimah khitan, di antaranya atsar yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhory dalam Adabul Mufrod:
ﻗﺎﻝ ﺳﺎﻟﻢ: ﺧَﺘَﻨَﻨِﻲ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻧُﻌَﻴْﻤًﺎ، ﻓَﺬَﺑَﺢَ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻛَﺒْﺸًﺎ
Salim (bin Abdullah bin Umar) berkata, "Ibnu Umar mengkhitanku dan juga mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk khitan kami.” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul mufrad no. 1246, berkata Syekh Al Albany: "Atsar ini sanadnya dho'if"‏]
Dan juga atsar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ibnu abi Ad-dunya dalam kitab al ‘Iyaal nomor 586:
ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘَﺎﺳِﻢِ، ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺭْﺳَﻠَﺖْ ﺇِﻟَﻲَّ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ ﺑِﻤِﺎﺋَﺔِ ﺩِﺭْﻫَﻢٍ ﻓَﻘَﺎﻟَﺖْ: ﺃَﻃْﻌِﻢْ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺧِﺘَﺎﻥِ ﺍﺑْﻨِﻚَ
Dari Al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq) berkata, “Aisyah radhiallahu ‘anha telah mengirim kepadaku uang 100 dirham seraya berkata berilah makanlah bagi orang-orang untuk khitan anakmu.”
Dan juga atsar lainnya seperti Atsar Ibnu Abbas.
Kalau seandainya semua atsar di atas shahih, maka ini menunjukan bahwa para shahabat dahulu biasa melakukan walimah khitan.

Berkata Syekh Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ jilid 12 hal 320:
ﻛﺎﻟﻮﻟﻴﻤﺔ ﻟﻠﺨﺘﺎﻥ، ﻓﻬﺬﻩ ﻣﺒﺎﺣﺔ؛ ﻷﻥ ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ، ﺣﺘﻰ ﻳﻘﻮﻡ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻨﻊ
“Seperti walimah khitan, maka (hukumnya) boleh-boleh saja, karena segala bentuk amalan di luar ibadah maka hukum asalnya boleh-boleh saja, sampai datang dalil yang menunjukan larangannya."
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa jilid 32 hal 206:
ﻭﺃﻣﺎ ” ﻭﻟﻴﻤﺔ ﺍﻟﺨﺘﺎﻥ ” ﻓﻬﻲ ﺟﺎﺋﺰﺓ : ﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﺗﺮﻛﻬﺎ
“Adapun Walimah khitan maka (hukumnya) boleh-boleh saja. Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya."

Demikianlah hasil kesimpulan tentang seputar hukum mengadakan walimah khitan yang mana hal itu adalah diperbolehkan dalam islam. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh para ulama, seperti Syaikhul Islam, Ibnul Qoyyim, Asy Syaukani, Syekh Ibnu Baz, Syekh Al ‘Utsaimin, Syekh Abdul Muhsin Al ‘Abbad dan yang lainnya.

WA Salafy Lintas Negara

###

Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah

Pertanyaan:
ما حكم وليمة الختان؟ وإذا دعينا إليها فهل لنا إجابتها؟
Apa hukum Walimatul Khitan? Apabila kami diundang apakah boleh kami mendatanginya?

Jawab:
بلغني أن الشيخ عبد العزيز رحمه الله أنه يجيزها , فالظاهر أنه يقصد الوليمة الخفيفة التي ليس فيها إسراف وإنما إظهار الفرح والسرور والاولى فيما أرى تركها
Sampai kepadaku bahwa Asy-Syaikh Abdul Aziz (bin Baz) rahimahullah membolehkan hal itu. Tampaknya, beliau memaksudkan walimah ringan yang tidak ada padanya pemborosan, tapi semata-mata untuk menampakkan rasa gembira dan senang. Yang lebih utama menurutku adalah MENINGGALKANNYA (yakni tidak mengadakan Walimatul Khitan).
(Ajwibah asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri ala al-Asilah al-Maghribiyyah)

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=127820

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang MAKAN DAN MINUM SAMBIL BERDIRI

Asy-Syaikh ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
ﻓﺎﻷﻓﻀﻞ ﻓﻲ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻗﺎﻋﺪﺍ؛ ﻷﻥ ﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﻫﺪﻱ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﻻ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ ﻭﻻ ﻳﺸﺮﺏ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ. ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺸﺮﺏ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ ﻓﺈﻧﻪ ﺻﺢ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ. ﻭﺳﺌﻞ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻗﺎﻝ: ﺫﺍﻙ ﺃﺷﺮ ﻭﺃﺧﺒﺚ، ﻳﻌﻨﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﺏ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻓﺎﻷﻛﻞ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﺃﻭﻟﻲ. ﻟﻜﻦ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﻗﺎﻝ: ﻛﻨﺎ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﺄﻛﻞ ﻭﻧﺤﻦ ﻧﻤﺸﻲ، ﻭﻧﺸﺮﺏ ﻭﻧﺤﻦ ﻗﻴﺎﻡ. ﻓﻬﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﻬﻲ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺘﺤﺮﻳﻢ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻟﺘﺮﻙ ﺍﻷﻭﻟﻰ، ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻥ ﺍﻷﺣﺴﻦ ﻭﺍﻷﻛﻤﻞ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﻋﺪ ﻭﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﻋﺪ ﻭﻟﻜﻦ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ ﻭﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ، ﻭﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ: ﺳﻘﻴﺖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺯﻣﺰﻡ ﻓﺸﺮﺏ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﺋﻢ. ﻓﺎﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻥ ﺍﻷﻛﻤﻞ ﻭﺍﻷﻓﻀﻞ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻗﺎﻋﺪ ﻭﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺸﺮﺏ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﻭﻗﺪ ﺷﺮﺏ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﻭﻗﺎﻝ: ﺇﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻌﻞ ﻛﻤﺎ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻧﻲ ﻓﻌﻠﺖ، ﻓﺪﻝ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻟﺸﺮﺏ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ، ﻟﻜﻦ ﺍﻷﻓﻀﻞ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﻗﺎﻋﺪﺍ
Lebih afdhal seseorang untuk makan dan minum dalam keadaan duduk, karena ini petunjuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan janganlah dia makan dan minum dalam keadaan berdiri.
Adapun minum dalam keadaan berdiri telah shahih dari Nabi tentang pelarangannya. Ditanyakan kepada sahabat Anas bin Malik Radhiayallahu ‘anhu tentang makan dalam keadaan berdiri maka beliau berkata, “Itu lebih buruk lagi.” Maknanya yaitu jika minum sambil berdiri dilarang maka makan sambil berdiri lebih utama lagi untuk ditinggalkan.
Akan tetapi, dalam hadits ‘Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi dan beliau mensahihkannya, Umar berkata, ”Di masa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam kami makan dalam keadaan berjalan dan minum dalam keadaan berdiri.”
Maka hadits ini menunjukkan bentuk pelarangan makan dan minum sambil berdiri bukanlah keharaman, akan tetapi meninggalkannya lebih utama. Yaitu seseorang lebih baik dan lebih sempurna untuk makan dan minum sambil duduk, akan tetapi makan dan minum sambil berdiri tidaklah mengapa.
Dalil dalam hal ini juga datang dari sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku memberi minum Nabi dengan air zamzam dan beliau meminumnya dalam keadaan berdiri.”
Alhasil, dari bentuk kesempurnaan dan keutamaan seseorang dalam hal makan dan minum adalah dalam keadaan duduk, akan tetapi boleh untuk dia makan dan minum dalam keadaan berdiri.
Adalah Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu ‘anhu suatu ketika minum dalam keadaan berdiri dan beliau berkata, “Sesungguhnya Nabi melakukannya sebagaimana engkau melihatku melakukannya.”
Maka hal ini menunjukkan bolehnya makan dan minum sambil berdiri, akan tetapi YANG AFDHAL UNTUK DIA MAKAN DANCMINUM SAMBIL DUDUK.
- selesai nukilan -
(Syarh Riyadhus sholihin syaikh Utsaimin jilid 2 hal. 606–610)

Lajnah Daimah lil Buhuts Al Ilmiah wal Ifta berfatwa:
ﺍﻷﺻﻞ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻗﺎﻋﺪﺍ ﻭﻫﻮ ﺍﻷﻓﻀﻞ، ﻭﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺸﺮﺏ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﻭﻗﺪ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻷﻣﺮﻳﻦ ﻟﻠﺪﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﺍﺳﻊ. ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ، ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Hukum asal seseorang minum adalah dalam keadaan duduk, inilah yang afdhal, namun boleh dia minum dalam keadaan berdiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan kedua hal tersebut, yang menunjukkan perkara ini luas.

Ketua: Abdul Aziz bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
Anggota: Abdullah Qu’ud

Sumber nukilan:
sahab[dot]net

WA Forum Berbagi Faidah

Dikutip dari WA SAS via Ittiba’us Sunnah

###

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah:
الأحاديث الواردة في هذا صحيحة عن النبي صلى الله عليه وسلم النهي عن الشرب قائماً والأكل مثل ذلك، وجاء عنه صلى الله عليه وسلم أنه شرب قائماً، فالأمر في هذا واسع وكلها صحيحة والحمد لله، فالنهي عن ذلك للكراهة، فإذا احتاج الإنسان إلى الأكل واقفاً أو إلى الشرب واقفاً فلا حرج، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه شرب قاعداً وقائماً، فإذا احتاج الإنسان إلى ذلك فلا حرج أن يأكل قائماً وأن يشرب قائماً، وإن جلس فهو أفضل وأحسن، وثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه شرب من زمزم واقفاً عليه الصلاة والسلام، وقد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم من حديث علي رضي الله عنه أنه شرب قائماً وقاعداً، والأمر في هذا واسع، والشرب قاعداً والأكل قاعداً أفضل وأهنأ، وإن شرب قائماً فلا حرج، وهكذا إن أكل قائماً فلا حرج
Hadits-hadits yang ada dalam masalah ini benar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu larangan minum dengan berdiri demikian pula makan, dan telah diriwayatkan bahwa Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam minum dengan berdiri, sehingga perkara dalam masalah ini lapang, semuanya benar walhamdulillah,  larangan itu hukumnya makruh.
Apabila seseorang butuh makan atau minum dengan berdiri tidak masalah, karena telah diriwayatkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam minum dengan duduk dan berdiri, sehingga apabila seseorang butuh kepada hal tersebut tidak masalah dia makan dan minum dengan berdiri, namun jika dia duduk itu yang lebih utama dan lebih baik, karena telah diriwayatkan Beliau shallallahu 'alahi wa sallam minum air zamzam dengan berdiri, dan diriwayatkan pula dari hadits Ali radhiyallahu 'anhu, Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam minum dengan berdiri dan duduk, sehingga perkara dalam masalah ini lapang, dan minum serta makan dengan duduk itu lebih utama dan lebih lezat, namun jika dia minum dan makan dengan berdiri tidak masalah.

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=84222

WHATSAPP AL-UKHUWWAH

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang DOA PENUTUP TAHUN DAN DOA PEMBUKA TAHUN (DOA AKHIR TAHUN DAN DOA AWAL TAHUN)

asy-Syaikh ‘Abdul Qadir bin Muhammad al-Junaid

Berkata beliau hafizhahullah di dalam salah satu khutbah jumat beliau ketika menjelaskan tentang beberapa perkara haram yang dilakukan manusia menjelang atau tibanya tahun baru hijriyah:

Pengkhususan hari Jumat terakhir di setiap tahun dengan tambahan amalan ibadah dan ketaatan. Begitu pula pengkhususan dengan dipanjatkan doa tertentu yang biasa disebut dengan DOA PENUTUP TAHUN atau DOA PEMBUKAAN TAHUN. Doa tersebut dipanjatkan pada sujud terakhir atau setelah ruku’ di shalat terakhir di penghujung tahun atau shalat pertama yang ditunaikan di Tahun Baru. Atau terkadang dipanjatkan di tempat-tempat diadakannya peringatan hari Hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan disebarluaskan oleh orang-orang bodoh melalui SMS, WhatsApp, Facebook, e-mail, atau situs-situs internet.
Tidak diragukan lagi keharaman pengkhususan tersebut, karena pengkhususan itu tidak disebutkan sedikitpun tuntunannya baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah an-Nabawiyah, tidak pula dilakukan oleh Salaf, utamanya para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, tidak pula diajarkan oleh para Ulama Madzhab yang empat atau para Ulama Ahli Fiqih dan Ahli Hadits lainnya di zaman mereka. Jika amalan tersebut dicintai oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau baik bagi seorang muslim untuk melakukannya, atau dijanjikan ganjaran pahala baginya, niscaya mereka adalah orang-orang di baris terdepan dalam mengamalkan dan mendakwahkannya.

Sumber: ar[dot]miraath[dot]net

Tentang MENDAHULUKAN QADHA PUASA WAJIB SEBELUM MELAKUKAN PUASA SUNNAH

Pertanyaan:
Apa hukum melaksanakan shaum sunnah, seperti shaum 6 hari bulan Syawwal, shaum 10 pertama bulan Dzulhijjah, dan shaum ‘Asyura, bagi seorang yang memiliki hutang Ramadhan yang belum ia bayar?

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:
Yang wajib bagi seorang yang memiliki hutang qadha` Ramadhan untuk mendahulukan qadha` sebelum ia melakukan shaum Nafilah. Karena ibadah wajib lebih penting daripada ibadah nafilah, menurut pendapat yang paling benar di antara berbagai pendapat para ‘ulama.

[Majmû' Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi'ah XV/394-395, fatwa no. 152]

###

FATWA LAJNAH DAIMAH
(Soal kedua dari fatwa no. 11.663)

Pertanyaan:
صيام ستة أيام من شوال يعتبر تطوعًا فإذا صامت المرأة ستة أيام من شوال فهل يكفي هذا أو يجزئ عن صيام ما أفطرته في رمضان، أم عليها أن تصوم 12 يومًا منه قضاء ومنه تطوعًا وجزاكم الله خيرًا؟
Puasa enam hari bulan syawwal tergolong sunnah hukumnya, apabila seorang wanita telah berpuasa enam hari bulan syawwal, apakah itu sudah mencukupi atau bisa membayar hutang puasa yang dia berbuka di bulan ramadhan, ataukah dia tetap harus berpuasa 12 hari, sebagian untuk mengqadha sebagiannya untuk puasa sunnahnya?

Jawaban:
لا يكفي من عليه قضاء من شهر رمضان أن يصوم ستًّا من شهر شوال عن القضاء تطوعًا بل يجب أن يصوم ما عليه من القضاء ثم يصوم ستة أيام من شوال إذا رغب في ذلك قبل انسلاخ الشهر
Orang yang punya hutang puasa ramadhan tidak cukup baginya (dibayar dengan) puasa enam hari syawwal puasa sunnah. Bahkan dia wajib membayar hutang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa enam hari syawwal, jika ia menginginkan hal itu sebelum berakhir bulan syawwal.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Hanya Allah lah tempat memohon taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan sahabat beliau.

Sumber:
www .alifta .net/Fatawa/fatawaDetails .aspx?languagename=arView=PagePageID=72PageNo=1BookID=12

Alih bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary

Forum Salafy Indonesia

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
فضيلة الشيخ، ما رأيك فيمن كان عليه صيام قضاء فأدركه يوم عرفة، أو يوم عاشوراء، وأراد أن يصومه، ويؤخر القضاء؟
"Wahai Syaikh yang mulia.
Bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang memiliki hutang puasa (Ramadhan), kemudian ia  menjumpai hari Arafah atau hari 'Asyura dan ia ingin berpuasa pada hari tersebut dan menunda qadhanya?"

Jawaban:
نرى أنه لا بأس أن يصوم الإنسان يوم عرفة، أو يوم عاشوراء، وعليه قضاء؛ لأن وقت القضاء موسع إلى أن يبقى من شعبان بمقدار ما عليه من الصوم، لكننا نختار أن يبدأ بالقضاء، ويصوم يوم عرفة بنية القضاء، وربما إذا صامه بنية القضاء يحصل له الأجران: أجر صوم يوم عرفة وأجر القضاء
"Kami memandangnya tidak mengapa seseorang berpuasa Arafah atau 'Asyura dalam keadaan ia masih memiliki hutang puasa Ramadhan, karena waktu membayar hutang itu luas (panjang) sampai jumlah hari hutang puasa, sebelum Sya'ban berakhir.
Akan tetapi, kita lebih memilih untuk mendahulukan puasa qadha dan berpuasa pada hari Arafah dengan niat puasa qadha.
Dan tatkala ia berpuasa dengan niat qadha, dia akan mendapatkan 2 pahala; Pahala puasa Arafah dan
pahala puasa qadha."
وأما صيام الست من شوال، فلا ينال ثوابها إلا إذا أتم صيام رمضان، وذلك لأن الست تابعة لرمضان؛ لقول النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-: من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال فكأنما صام الدهر
Dan adapun puasa 6 hari di bulan Syawwal, maka ia tidak akan mendapatkan pahala puasa tersebut kecuali sampai menyempurnakan puasa Ramadhannya.
Hal itu dikarenakan puasa 6 hari Syawwal mengiringi Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, "Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian dia mengiringinya dengan  puasa 6 hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh."

Sumber:
Silsilah Liqa`atil babil maftuh>Liqa`ul babil maftuh [77]
Puasa >Puasa sunnah

http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_077_06.mp3

Diterjemahkan oleh Aisyah bintu Abu Sa'id Hamzah hafizhahumallah pada hari Senin, 30 Dzulqa'dah 1436 H / 14 September 2015

Admin Salafiyat Indonesia (ASIA)

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Apakah boleh berpuasa 'Arafah bagi seorang yang masih memiliki tanggungan qadha' Ramadhan?

Ibnu Baz berkata:
"Apabila ia masih memiliki tanggungan/kewajiban qadha, maka mulailah dengan qadha'. Dan bila pada hari 'Arafah ia berpuasa qadha dan pada sembilan hari (awal DzulHijah) ia berpuasa qadha, maka ini baik." (Majmu' al-Fatawa 15/406)

Apakah diperbolehkan melakukan puasa qadha dan puasa nafilah dengan satu niat seperti puasa 'Arafah dan qadha Ramadhan dengan satu niat?

Ibnu 'Utsaimin mengatakan:
"Apabila yang dimaksudkan ialah anda berpuasa hari 'Arafah dengan puasa qadha atau 'Asyura dengan qadha yaitu anda menunaikan puasa qadha pada hari 'Arafah atau pada hari 'Asyura, maka tidak mengapa dan anda akan mendapatkan pahala." (Majmu' al-Fatawa 20/49)

Apakah boleh puasa pada hari 'Arafah bila diniatkan untuk melakukan qadha' ataukah tidak?

Al-Lajnah ad-Daimah:
"Boleh puasa pada hari 'Arafah untuk mengqadha sehari dari puasa Ramadhan apabila diniatkan qadha."
(Al-Lajnah ad-Daimah, 10/347)

Apa hukum seorang yang melakukan puasa 'Arafah dengan tujuan tathawu' (mengerjakan sunnah) sedangkan ia masih memiliki kewajiban (qadha) puasa Ramadhan?

Al-Lajnah ad-Daimah:
"Barang siapa mengerjakan puasa 'Arafah dengan maksud tathawu' sedangkan ia masih memiliki kewajiban qadha puasa dari hari Ramadhan, maka puasanya tetap sah. Namun yang disyariatkan baginya ialah tidak mengakhirkan qadha'." (Al-Lajnah ad-Daimah 10/399)

Tentang MERASA MENGELUARKAN HADATS KETIKA BERWUDHU ATAU KETIKA SHALAT

Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
(5/254-255)

Soal: Saya merasa ketika sedang mencuci kedua kaki atau setelah wudhu secara langsung atau beberapa saat bahwa sesuatu telah keluar dari saluran kencingku dalam bentuk tetesan atau setitik. Dan ini yang saya rasakan sebagaimana yang telah saya katakan. Kemudian setelah itu saya memperhatikan tempatnya, terkadang saya dapatkan bekas tetesan atau banyak, dan terkadang saya tidak mendapatkan sesuatu. Ini terjadi disebabkan ketidakmungkinanku untuk mengontrol pada saluran kencingku. Saya sudah pergi ke beberapa dokter dan katanya ini adalah perkara yang biasa dan sering terjadi pada para pemuda dan akan hilang setelah menikah. Sebagian ada yang berkata demikian dan demikian. Saya tidak mampu untuk terlepas dari permasalahan ini. Yang penting bagi saya pertama kali adalah hukum sholat serta obat dari perkara ini secara syar’i. Karena saya sering sekali mengulangi wudhu’ akan tetapi aku tidak merasa nyaman. Karena itu saya tulis surat ini agar anda memberikan fatwa terhadap hukumnya sehingga aku mempunyai jawaban yang memuaskan. Dan apa yang mesti dilakukan jika hal tersebut terjadi setelah wudhu’ dan bagaimana hukum terhadap pakaian dalam?

Jawaban:
Segala puji bagi Allah semata. Sholawat serta salam kita haturkan kepada Rasululullah serta para keluarga dan shahabatnya.
Sesungguhnya kesucian itu adalah sebagian dari pada keimanan. Jika seorang muslim dalam keadaan suci dan dia merasa bahwa sesuatu keluar, kemudian jika terbukti keluarnya hadats tersebut, maka dia mengulangi wudhu’nya dan dia mencuci tempat keluarnya najis baik di tubuh atau pakaian. Akan tetapi jika tidak terbukti, maka tidak usah dipedulikan dan sholatnya sah berdasarkan hadits yang terdapat dalam Ash Shohihain (Shohih Al Bukhori dan Shohih Muslim) dari haditsnya Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Seseorang diadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dia ini merasa bahwasanya dia merasakan sesuatu (keluar) ketika sholat. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah dia keluar (dari sholatnya) sampai dia mendengar suara atau mendapatkan baunya.”

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al Ilmiyah wal Ifta’
Ketua : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Wakil: Asy Syaikh Abdurrozzaq Afifi
Anggota: Asy Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Asy Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Alih Bahasa: Ayub Abu Ayub