Cari Blog Ini

Jumat, 06 November 2015

Tentang MELINTAS DI DEPAN ORANG YANG SEDANG SALAT

Tidak Boleh Berjalan Di Depan Orang yang Sedang Sholat

Ditulis oleh:
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Jika ada orang yang sedang sholat wajib atau sunnah, kita dilarang melintas di depannya. Tunggulah sampai orang itu selesai sholat atau kita lewat jalan lain.
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ أَبُو النَّضْرِ لَا أَدْرِي أَقَالَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا أَوْ سَنَةً
Kalau seandainya orang yang melintas di depan orang yang sholat mengetahui dosa (akibat perbuatannya) niscaya akan lebih baik baginya berdiri selama 40 daripada melintas di depan orang sholat. Abun Nadhr (salah seorang perawi) menyatakan: Saya tidak tahu apakah Nabi menyebut 40 hari, bulan, atau tahun. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Juhaim)

Hal ini sering terjadi pada saat selesai sholat Jumat. Saat masih ada orang yang sholat Sunnah, karena tidak sabar seseorang melintas di tempat sujudnya, meski dengan membungkuk memberi hormat, namun itu adalah sebuah dosa. Hendaknya ia bersabar, jika tidak menemukan tempat lewat lain, ia tunggu orang yang sedang sholat menyelesaikan sholatnya.

Syaikh Ibn Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ini diperkecualikan dalam 3 keadaan:
1. Orang yang sholat di tempat lintasan thowaf di Masjidil Haram. Tidak mengapa orang yang thowaf lewat di depannya.
2. Orang yang sholat di jalan keluar atau pintu masjid dan ia tidak memakai sutrah. Karena justru perbuatan orang ini yang membikin kesempitan bagi kaum muslimin. Maka tidak ada kehormatan dalam hal ini baginya, tidak mengapa lewat di depannya.
3. Melintas di depan makmum di belakang Imam dalam sholat berjamaah. Namun, janganlah hal ini dilakukan kecuali jika memang dibutuhkan, karena hal itu bisa mengganggu kekhusyukan makmum.
(disarikan dari asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram (3/55))

Jika seorang yang sholat itu menggunakan sutrah, haram lewat antara tempat berdirinya dengan sutrah. Bagaimana kalau orang yang sholat itu tidak menggunakan sutrah, berapa batasan jarak hingga kita bisa lewat di depannya? Di sini ada perbedaan batasan jarak menurut para Ulama. Al-Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat dari kaki tempat berdiri orang sholat itu hingga tempat sujudnya. Tidak boleh melintas di tempat itu. Sedangkan Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat jaraknya 3 hasta dari tempat berdiri.
(disarikan dari Taudhiihul Ahkam min Bulughil Maram karya Abdullah al-Bassam (2/60))

Tentang MEMBACAKAN SURAT YASIN KEPADA ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Hadis:
اقرءوا يس على موتاكم
"Bacakanlah Surat Yasin pada orang yang telah meninggal di antara kalian."

Berkata Al Hafidz Al Imam Ad Daaruquthni Rahimahulloh mengomentari hadis di atas:
“Hadis ini sanadnya lemah, matan hadisnya majhul, dan tidak sah pada bab ini satu hadis pun.”

Lihat Tweet @aljuned77: https://twitter.com/aljuned77/status/645793574567587840?s=08

Al Marony 

Forum Ilmiyah Karanganyar 

Tentang MEMBERI NAMA ANAK

Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.

Sosok mungil itu telah ada dalam dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yang penuh kasih sayang, memanggilnya dengan nama yang diberikan baginya. Nama yang indah, disertai dengan harapan yang membuncah, semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yang disandangnya.

Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia, tak kurang banyaknya nama yang dirancang oleh ayah dan ibu, dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yang ingin menamai anaknya dengan nama tokoh yang dikagumi disertai harapan, anaknya akan sehebat tokoh peristiwa itu. Ada pula yang sekedar mempertimbangkan faktor “keren dan enak didengar”.

Si kecil tumpuan harapan, sudah semestinya ayah bunda memberikan nama yang terbaik bagi dirinya, nama yang dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya, kecuali menelaah kembali, bagaimana Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita.

Pada hari pertama hadirnya buah hati di dunia, sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada putranya, Ibrahim.

“Semalam telah lahir anak laki-lakiku, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim.” (Shahih, HR. Muslim no. 2315)

Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan bolehnya memberikan nama anak pada hari kelahirannya. (Syarh Shahih Muslim, 15/75)

Juga kisah-kisah lainnya ketika para shahabat  membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beliau memberikan nama pada hari itu juga. Kita lihat dalam kisah kelahiran Abdullah bin Az-Zubair ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam men-tahnik-nya:

“Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama Abdullah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2146)

Demikian pula dalam kisah lahirnya Abdullah bin Abi Thalhah, ketika Anas bin Malik membawanya ke hadapan beliau:

“Kemudian beliau mentahniknya dan memberinya nama Abdullah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2144)

Juga ketika Abu Usaid membawa putranya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari kelahirannya:

“Maka pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir.” (Shahih, HR. Al Bukhari no. 6191 dan Muslim no. 2149)

Begitu pula penuturan Abu Musa Al-Asy’ari:

“Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma.” (HR. Muslim no. 2145)

Namun di sisi lain, kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melalui lisannya yang mulia:

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838)

Untuk memahami dua sisi ini, kita buka penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Beliau mengatakan bahwa anak yang tak hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya tidak ditangguhkan hingga hari ketujuh, sebagaimana yang terjadi dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Abi Thalhah, demikian pula Ibrahim putra Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abdullah bin Az-Zubair, karena tidak ada penukilan yang menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yang hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits lain. (Fathul Bari, 9/501) *)

Pun ayah bunda tak lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tak lepas dari tinjauan syariat, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan:

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132)

Ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama, demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 14/113).

Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi putranya, dan demikian pula yang beliau berikan kepada anak-anak shahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al-Asy’ari, dan Yusuf kepada anak Abdullah bin Salam, sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin Abdillah bin Salam:

“Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 282 bahwa isnadnya shahih)

Tak layak dilalaikan, ada nama-nama yang haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai hal ini.

“Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (raja dari seluruh raja).” Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya: “Tidak ada raja kecuali Allah.” Al-Asy’atsi berkata bahwa Sufyan mengatakan: ”Seperti Syahan Syah.” (HR. Al-Bukhari no.6206 dan Muslim no. 2143)

Kita simak ucapan Al-Imam An-Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram, demikian pula memakai nama-nama Allah yang khusus bagi diri-Nya, seperti Al-Quddus (Yang Maha Suci), Al-Muhaimin (Yang Maha Memelihara), Khaliqul Khalq (Pencipta seluruh makhluk), dan sebagainya. (Syarh Shahih Muslim, 14/122)

Penamaan yang terlarang ini tidak hanya mencakup dalam lafadz bahasa Arab, namun lafadz dalam bahasa lain apabila maknanya demikian pun terlarang. Kita lihat dalam hadits di atas, Sufyan bin ‘Uyainah memasukkan nama Syahan Syah –yang bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dengan Malikul Amlak– dalam larangan ini.

Hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Al-Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yang tercela ini tidak terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi, seluruh nama yang menunjukkan makna tersebut dengan bahasa apa pun termasuk dalam larangan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/102)

Begitu pula nama-nama yang mengandung tazkiyah1 ataupun nama-nama yang buruk, sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti nama-nama itu dengan nama yang lebih baik. Inilah penuturan Abdullah bin ‘Umar, mengungkapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Anak perempuan ‘Umar bin Al-Khaththab bernama ‘Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik).” (Shahih, HR. Muslim no. 2139)

Ibnul Atsir mengatakan –dalam penjelasan beliau yang dinukil di dalam ‘Aunul Ma’bud– bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengganti nama ‘Ashiyah tersebut karena syi’ar seseorang yang beriman adalah taat kepada Allah, sementara kemaksiatan adalah lawan dari ketaatan. (‘Aunul Ma’bud, 13/201)

Selain itu, ada pula putri Abu Salamah yang semula bernama Barrah (wanita yang suci) kemudian diganti oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini:

“Dulu aku bernama Barrah, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberiku nama Zainab.” (Shahih, HR. Muslim no. 2142)

Bahkan kedua istri beliau, Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al-Harits, semula bernama Barrah, kemudian beliau mengganti nama mereka berdua. (Shahih, HR. Muslim no. 2140 dan 2141)

Al-Imam An-Nawawi memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yang jelek atau nama yang dibenci menjadi nama yang baik. Telah pasti pula adanya hadits-hadits yang meneshallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua, yaitu karena mengandung tazkiyah (pensucian diri) atau dikhawatirkan terjatuh dalam tathayyur2. (Syarh Shahih Muslim, 14/120-121)

Kita lihat dalam kisah Ibnu ‘Umar di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengganti nama putri ‘Umar bin Al-Khaththab menjadi Muthi’ah (wanita yang taat) –padahal lawan dari kata ‘Ashiyah adalah Muthi’ah– karena ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah. (‘Aunul Ma’bud, 13/201)

Ada satu hal yang perlu diketahui, dalam Islam disyariatkan memanggil seseorang dengan nama kunyah3 walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seorang anak kecil, seperti yang kita dengar dalam penuturan oleh Anas bin Malik:

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan aku mempunyai saudara laki-laki yang telah disapih yang dipanggil Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang kemudian melihatnya, beliau biasanya mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Umair! Apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain-main dengan burung kecil itu.” (Shahih, HR. Muslim no. 2150)

Perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan bolehnya memberikan nama kunyah kepada seseorang yang belum memiliki anak atau kepada anak-anak, dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi ketika membicarakan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)

Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apakah selayaknya seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin memberikan seluruh kebaikan bagi putra-putrinya yang mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Catatan Kaki:

1  Tazkiyah adalah nama yang mengandung pensucian.

2  Tathayyur adalah anggapan untung/ sial karena adanya suatu tanda, misalnya burung, hari, bulan, dll.

3  Kunyah adalah nama yang menggunakan Abu atau Ummu, biasanya diambil dari nama anak pertama atau anak laki-laki pertama. Atau yang diawali dengan Ibnu atau Bintu.

http://asysyariah.com/segenap-asa-dalam-sebuah-nama/

*) Adapun Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah beliau berkata: “Pemberian nama kepada bayi ketika baru lahir (haditsnya) lebih shahih daripada hadits-hadits yang menyebutkan pemberian nama pada hari yang ketujuh.” (Faedah dari Al-Ustadz Abu 'Ubaidah bin Damiri al-Jawy)

Tentang MEMAKAI KUNYAH

MARI MEMAKAI KUNYAH

Kunyah…, apakah itu? Kunyah merupakan salah satu “Adabun Islaamiyyun” (adab dalam Islam) dari sekian banyak adab yang disunnahkan Rasulullah Shalallahu`alaihi wasallam untuk kita hidupkan. Kata “kunyah” bila kita artikan secara bahasa lebih kurang sama dengan “panggilan”, “sapaan”, ataupun sebutan penghormatan pada seseorang. Biasanya “kunyah” dinisbahkan kepada nama anak ataupun kepada nama bapaknya. Misalnya bila si fulan memiliki anak bernama `Abdurrohman maka ia bisa memakai kunyah yakni “Abu `Abdurrohman”. Atau bila si fulan mempunyai orang tua bernama ‘Usman maka ia bisa memakai kunyah yakni “Ibnu `Usman” dan sebagainya.

Mungkin bagi sebagian ikhwah thullabul ilmiy yang baru memperdalam Islam, istilah ini mungkin masih asing di telinga. Namun sebenarnya hal ini sudah ma’ruf di tengah kita bahkan sudah disyari`atkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sejak dahulu, yakni ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memberi kunyah kepada Ummul Mu`miniin `Aaisyah radhiallahu `anha yaitu “Ummu `Abdillah,” sebagaimana sabda Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini:
اكتني [ بابنك عبد الله، يعني ابن الزبير] أنت أم عبد الله
Artinya : “Berkunyahlah kamu dengan anakmu `Abdullah, maksudnya Ibnuz Zubeiir, kamu adalah Ummu `Abdillah.”
[ Lihat : “Silsilatul Ahaadist As Shohiihah” (205-207, no. 132) ]

Hadith di atas sekaligus mematahkan pendapat da`i-da`i sururiyyin dan hizbiyyin yang menganggap bahwa kunyah itu tidak perlu, bahwa kunyah itu hanyalah tradisi dan budaya orang Arab saja serta tidak termasuk yang disyari`atkan Rasulullah Shalallahu`alaihi wasallam, dan sebagainya, sebagaimana perkataan yang pernah disampaikan dengan panjang lebar oleh salah seorang da`i dari kalangan mereka di hadapan jama`ahnya yakni Armen Halim dari Yayasan Al-`Ubudiyah, Pekanbaru dimana saat itu ia menyatakan bahwa sunnah ini tidak disyari`atkan dan menyindir kunyah “Abul Mundzir”.yang dipakai `Ustadz Dzul Akmal, Lc.

Allahulmusta`an…. Sangat disayangkan apa yang telah mereka sampaikan.

Allah Subhaana wa Ta`aalaa berfirman :
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا
Artinya : “Janganlah kamu mengikuti (mengatakan) apa apa yang kamu tidak mempunyai `ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, keseluruhannya itu akan diminta pertanggung jawabannya.” Al Israa`: 36.

Ini merupakan musibah yang besar bagi da’wah ini. Suatu musibah yang mana mereka dalam berdakwah mengatasnamakan Salaf dan mengklaim diri mereka Salafiy, namun nyatanya merusak apa yang didakwahi para a-immatis Salaf rahimahumullahu Ta`aalaa.

Bila kita mengutip sebuah syi`ir, di sana dikatakan:
وإن كنت لا تدري فتلك مصيبة
وإن كنت تدري فالمصيبة أعظم
Arinya : “Apabila kamu tidak tahu maka itu mushibah.
Kalau seandainya kamu tahu maka mushibahnya lebih besar.”

KUNYAH DISYARI`ATKAN WALAU SESEORANG TIDAK PERNAH NIKAH

Bila kita membaca sirah para a-immatis Salaf rahimahumullahu Ta`aalaa, masing-masing mereka semua mempunyai kunyah. Bahkan `ulama yang tidak pernah nikah saja mempunyai kunyah, seperti;

- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -kunyah beliau adalah Abbul `Abbaas, (“Al Waasithiyyah,” hal. 21),

- Al Imam An Nawawiy -kunyahnya adalah Abu Zakariya. “Dan tidak ada Zakariya baginya,” kata As Syaikh Saliim Al Hilaaliy, (“Bahjatun Naazhiriin,” 1/8),

- Al Imam Muhammad bin Jariir bin Yaziid At Thobariy -kunyahnya Abu Ja`far-Ibnu Jariir termasuk Al `Ulama Al `Uzzaab- tidak pernah nikah dan tidak pernah sempat beliau untuk itu, bahkan saking terjaganya beliau dari perbuatan ma`shiyat beliau berkata :
“Tidak pernah saya melorotkan celana saya pada yang halal dan juga pada yang haram sama sekali.”

Para Thullabul-ilmiy dan jamaa`ah sekalian rahimaniy wa rahimakumullah `Azza wa Jalla, demikian juga Al Imam Abu Daawuud dalam “Sunan-nya” menjelaskan kepada kita tentang disyari`atkannya memakai kunyah, kata beliau dalam: “Bab yang menjelaskan tentang seorang lelaki yang tidak mempunyai anak memakai kunyah.”

Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam:
عن أنس بن مالك، قال : كان رسول الله يدخل علينا ولي أخ صغير يكنى أبا عمير، وكان له نغر يلعب به، فمات، فدخل عليه النبي صلىالله عليه وسلم ذات يوم فرآه حزينا، فقال : ماشأنه؟ قالوا :مات نغره، فقال : يا أبا عمير، ما فعل النغير؟
Artinya :
Dari Anas bin Maalik, berkata dia : Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam pernah masuk ke rumah kami dan saya mempunyai yang kecil yang berkunyah Aba `Umeiir. Dia memiliki seekor burung kecil dan dia bermain dengannya. Pada suatu hari datang lagi An Nabiy Shollallahu `alaihi wa Sallam ke rumahnya dan beliau melihatnya dalam keadaan sedih, maka berkatalah Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam :
“Kenapa dia?”
Mereka menjawab: “Telah mati burungnya yang kecil itu.”
Lantas Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Ya Aba `Umeiir, apa yang terjadi dengan an nugeiir?”
[ Hadist dikeluarkan oleh : Al Imam Al Bukhariy (7/133 no. 6129, dan hal. 155 no. 6203) “Baab Al Kunyah Lisshobiy wa Qabla An Yuulad Lirrajuli” (Bab kunyah bagi anak yang masih kecil dan sebelum dilahirkan bagi seorang lelaki tersebut), Muslim (3/1692 no. 2150),
Abu Daawuud (5/251-252 no. 4969),
At Tirmidziy (2/154 no. 333 dan 4/314 no. 1989), berkata Abu Isa: “Hadist Anas hadist hasan shohih,” Ibnu Maajah (2/1226 no. 3720)]

Berkata Al Imam Al Khatthaabiy rahimahullahu Ta`aalaa ketika beliau menerangkan diantara fiqhi hadist ini adalah : “Bahwa Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam memanggil kunyahnya, sedangkan dia tidak mempunyai anak, maka hal ini bukanlah termasuk dalam bab dusta.”

KUNYAH DISYARI`ATKAN WALAU SESEORANG TIDAK PUNYA ANAK

Imam Ahlus Sunnah wal Jamaa`ah dan Mujaddid pada abad ini, As Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al Albaaniy rahimahullahu Ta`aalaa telah menjelaskan tentang “Masyruu`iyyatut Takannaa” di dalam kitab beliau “as shohiihah” dengan judul :
“At-Takannaa Mimman laisa lahu Walad.”
Artinya: Berkunyah, disyari`atkannya memakai kunyah bagi seseorang walaupun dia tidak ada anak.

Berkata As Syaikh Al Albaaniy rahimahullahu Ta`aalaa bahwa hadith di awal pembahasan di atas menunjukkan bahwa kunyah disyariatkan juga bagi mereka yang sudah menikah namun tidak memiliki anak:
“Dan hadist ini menunjukan akan “masyruu`iyyatut Takannaa” (disyari`atkan memakai kunyah) walaupun bagi seseorang yang tidak mempunyai anak. Dan ini merupakan adabun islaamiyyun (adab islam) yang tidak ada pada ummat ummat yang lainnya sepanjang pengetahuan saya, maka atas kaum muslimiin hendaklah mereka berpegang teguh dengannya, baik dari kalangan kaum lelaki maupun kaum wanita, kemudian hendaklah mereka meninggalkan segala bentuk adat istiadat orang orang kuffar yang telah menyelusup, seperti “Al Beiik,” “Al Afandiy,” “Al Baasyaa,”dan selainnya.”

Thullabul-ilmiy hafizhakumullah Tabaaraka wa Ta`aalaa….
Hadist Nabi kita Shollallahu `alaihi wa Sallam di atas, yang telah memberi kunyah kepada Ummul Mu`miniin `Aaisyah radhiallahu `anha yaitu “Ummu `Abdillah” merupakan dalil bahwa kunyah disyari`atkan juga bagi seseorag yang tidak memiliki anak, karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwa `Aaisyah radhiallahu `anha tidak mempunyai anak sama sekali, namun Nabi Shalallahu`alaihi wasallam memberinya kunyah yakni Ummu `Abdillah.

Demikian juga yang telah dijelaskan oleh As Syaikh Albaaniy di atas.

http://www.thullabul-ilmiy.or.id/blog/?p=17#more-17

http://www.darussalaf.or.id/fiqih/mari-memakai-kunyah-bag-1/