الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين.. وبعد:
Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah berikan kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Dan di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Allah ta’ala berfirman:
وَالفَجرِ وَلَيَالٍ عَشرٍ.
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al Fajr: 1-2)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Dan juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari penafsiran yang demikian.”
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda: Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.”
Allah ta’ala berfirman:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ.
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)
Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ما من أيام أعظم عند الله سبحانه ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر؛ فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.
“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)
Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya. (HR. Ad-Darimi)
Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang nampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.
Amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut
1. Shalat
Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) yang wajib dan memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة.
“Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu kesalahan darimu.” (HR. Muslim).
Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu kapan pun dilaksanakan.
2. Puasa
Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata:
كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر.
“Dahulu Rasulullah berpuasa pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap bulannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).
Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi (disunnahkan).
3. Takbir, Tahlil, Tahmid
Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:
فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.
“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Ðahulu Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”
Dan beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: “Dan ‘Umar dahulu bertakbir di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar disebabkan suara takbir mereka.”
Dan Ibnu ‘Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.
Dan disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan). Dan yang memprihatinkan adalah apa yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan as salafush shalih.
Lafazh Takbir
الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً.
الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.
الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.
4. Puasa hari Arafah
Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:
أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده.
“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).
Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa).
Keutamaan Hari Nahr[1]
Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, kebanyakan kaum mukminin pun lalai dari kemuliaan dan besarnya keutamaan yang banyak dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama) dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari Arafah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”
Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
إن أعظم الأيام عند الله يوم النحر، ثم يوم القرِّ.
“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”
Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari kesebelas.
Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah lebih afdhal daripada hari Nahr karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan perbudakan lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan para malaikat.
Dan yang benar adalah pendapat pertama karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada satu dalil pun yang menyelisihinya.
Sama saja apakah yang lebih afdhal itu hari Nahr atau hari Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan kebajikan).
Bagaimana menyambut musim (masa-masa) yang penuh kebaikan?
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambut setiap musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari Penolongnya (Allah ta’ala).
Demikian pula hendaknya musim (masa-masa) yang penuh kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa mendatangkan ridha Allah ‘azza wajalla. Barangsiapa yang membenarkan Allah, maka Allah akan membenarkannya.
وَالَّذِينَ جَاهَدُواْ فِينَا لَنَهدِيَنَّهُمّ سُبُلَنَا.
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. (Al-‘Ankabut: 69)
Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memanfaatkan kesempatan ini sebelum luput darimu yang menyebabkan kamu menyesal, tidak ada waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah meberikan taufiq kepadaku dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.
Sebagian hukum yang terkait dengan Al Udh-hiyah dan pensyari’atannya
Al Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha (penyembelihan) disebabkan adanya ‘id dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.
Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan di dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ kaum muslimin.
Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)
Dan firman-Nya:
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ.
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)
Waktu Al Udh-hiyah
Al Udh-hiyah adalah ibadah yang ditunaikan pada waktu yang telah tertentu, tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya bagaimanapun juga kondisinya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelahnya kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan udzur tertentu.
Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘id bagi yang mengerjakan shalat ‘id seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar), atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘id seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).
Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (‘id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله ، وليس من النسك في شيء.
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan kurban) sedikitpun.”
Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه ، وأصاب سنة المسلمين.
“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka dia telah menyempurnakan nusuknya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”
Jenis (keadaan) hewan yang layak dan memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan kurban
Hewan yang dijadikan kurban adalah dari jenis hewan ternak saja berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).
Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Inilah yang dikatakan Al Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -Selesai penukilan-.
Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن.
“Janganlah kalian menyembelih (hewan kurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)
Musinnah adalah Tsaniyah, dan tsaniyah unta adalah yang genap berumur lima tahun, tsaniyah sapi adalah yang genap berumur dua tahun, tsaniyah kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun, dan jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.
Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun kurban dari selain unta, sapi, dan kambing.
Yang paling afdhal adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing dha’n, kemudian ma’z, kemudian sepertujuh dari unta dan kemudian sepertujuh dari sapi.
Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أقرنين أملحين.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berkurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”
Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.
Keadaan hewan kurban yang harus dihindari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan kurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:
أربعا : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقي.
“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.”
Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-‘Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).
Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan kurban, yaitu:
Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.
Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Dan jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.
Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Dan jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.
Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas, akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.
Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan kurban. Para ulama juga berpendapat yang demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi di dalam kitab Al Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan kurban. -Selesai penukilan-.
Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan kurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu, sehingga masuk dalam kategori ini adalah:
Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya, ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan kurban karena kondisinya lebih parah daripada yang rusak matanya dan jelas kerusakannya. Adapun yang menderita rabun senja yang bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyakakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria karena yang demikian tidak tergolong hewan yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.
Yang mengalami sakit pencernaan sampai dia bisa membuang kotorannya (berak), karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan kurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.
Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat, karena kondisi seperti ini sangat berbahaya yang terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Dan bisa saja hewan tersebut mencukupi untuk dijadikan kurban jika dia melahirkan anaknya itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.
Hewan yang tertimpa sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang menderita sakit yang jelas sakitnya dan yang pincang dan jelas kepincangannya.
Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, karena ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang pincang dan jelas kepincangannya. Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.
Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang pincang dan jelas kepincangannya. Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.
Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan kurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berkurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan kurban.
Apakah disyari’atkan berkurban atas nama mayit (orang yang sudah meninggal)?
Pada asalnya berkurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berkurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan kurban atas nama orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini. Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:
Berkurban atas nama mereka tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah kurban yang dilakukan Nabi ketika beliau berkurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.
Berkurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:
فَمَن بَدَّلَهُ بَعدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيع عَلِيمٌ.
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)
Berkurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalnya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya diqiyaskan dengan shadaqah atas nama dia. Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan kurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berkurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berkurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berkurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berkurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berkurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.
Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berkurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berkurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berkurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berkurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.
Hal-hal yang harus dijauhi oleh seseorang yang hendak berkurban
Jika seseorang hendak berkurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah -baik dengan ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari-, maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan kurbannya berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره.
Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan kurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dan dalam lafazh yang lain:
فلا يمسَّ من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي.
Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia menyelesaikan penyembelihannya.”
Dan jika niat untuk berkurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.
Dan hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berkurban ketika dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik -yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban-, maka dia pun juga turut serta dalam sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berkurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.
Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berkurban. Adapun bagi Al Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya kurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وأراد أحدكم أن يضحي…
“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan kurban …”
Dan tidak mengatakan:
“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya kurban.”
Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berkurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.
Dan jika orang yang hendak berkurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan kurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam[2].
Dan jika mengambil/memotongnya disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.
Beberapa hukum dan adab terkait dengan Idul Adh-ha yang penuh barakah ini
Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr, dan tiga hari-hari tasyriq. Dan perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut:
Takbir
Disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada hari Arafah sampai waktu Ashar pada hari tasyriq yang terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah ta’ala berfirman:
وَاذكُرُواْ اللهَ فِي أَيَامٍ مَعدُودَاتٍ.
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)
Dan lafazhnya adalah:
الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Dan disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.
Menyembelih hewan kurban.
Dilakukan setelah shalat ‘id berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح.
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka lakukanlah penyebelihan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan waktu penyembelihan itu ada empat hari: hari Nahr dan tiga hari-hari Tasyriq berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
كل أيام التشريق ذبح.
“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (As Silsilah Ash Shahihah no. 2476)
Mandi, memakai wewangian bagi laki-laki dan memakai baju yang paling bagus tanpa berlebihan dan tidak isbal
Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan. Adapun wanita, maka disyari’atkan baginya untuk keluar ke mushalla ‘id tanpa tabarruj dan memakai wewangian. Tidak sah jika melakukan ketaatan kepada Allah dan shalat tetapi kemudian bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj, tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.
Makan dari hewan sembelihan
Dahulu Rasulullah tidak makan sampai beliau pulang dari mushalla dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul Ma’ad I/441)
Pergi ke mushalla id dengan berjalan kaki jika mudah baginya.
Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wajibnya shalat ‘id dan disunnahkannya menghadiri khuthbah.
Masalah yang dirajihkan para muhaqqiqun dari kalangan ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانحَر.
“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berkurbanlah.” (Al Kautsar: 2)
Dan kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada pada posisi yang terpisah dengan mushalla.
Melewati jalan yang berbeda
Disunnahkan bagi anda untuk pergi ke mushalla ‘id dengan melewati jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.
Mengucapkan selamat hari raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.
Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara kesalahan tersebut adalah:
Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara (serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang mengumandangkannya
Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk kemungkaran.
Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun sedikit sebelum menyembelih hewan kurbannya bagi yang akan berkurban karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.
Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَلا تُسرِفُوا إِنّهُ لا يُحِبُّ المُسرِفِينَ.
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)
Dan sebagai penutup, jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersemangat di dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan berusaha menggembirakan mereka.
Kami memohon kepada Allah untuk memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala.
[1] Tanggal 10 Dzulhijjah.
[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak berkurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka hendaknya dia membatalkan niatnya untuk berkurban tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.
The post Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah dan Amaliah di Dalamnya appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.
Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/02/sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/