Cari Blog Ini

Selasa, 13 September 2016

Sahkah Hewan Yang Sedang Bunting Sebagai Hewan Kurban?

Apakah hewan yang sedang bunting sudah mencukupi (sah) dijadikan hewan kurban? Perlu diketahui bahwa orang yang berkurban tidak mengetahui kalau hewan tersebut bunting. Sementara imam shalat id telah berkhutbah dan menyampaikan bahwa hewan seperti itu tidak mencukupi (sah) dijadikan hewan kurban.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Tidak diragukan bahwa hewan yang sedang bunting sudah mencukupi (sah) dijadikan hewan kurban. Khathib yang menyampaikan bahwa hewan tersebut tidak mencukupi (sah) dijadikan hewan kurban telah salah. Sapi, unta, kambing, baik kambing domba maupun kambing jawa yang sedang bunting sah sebagai hewan kurban, ini tidak diragukan lagi. Yang menyampaikan khutbah tadi telah salah dan mengucapkan perkataan yang tidak ada hujjah (dalilnya) serta saya sendiri tidak mengetahui perkataan ulama yang berpendapat demikian. Bahkan pendapat yang menyatakan tidak sahnya hewan bunting sebagai hewan kurban adalah perkataan yang murni sebuah kesalahan.

Terjemahan dari http://www.binbaz.org.sa/mat/11677

The post Sahkah Hewan Yang Sedang Bunting Sebagai Hewan Kurban? appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/06/sahkah-hewan-yang-sedang-bunting-sebagai-hewan-kurban/

Bimbingan Al-Qur’an Bagi yang Hendak Berkurban

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj: 37)

Para Pembaca rahimakumullah. Berkurban termasuk ibadah yang agung. Amalan yang disyariatkan pada hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) ini sangat besar keutamaannya. Dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan ibadah kurban ini dengan konteks perintah sebagaimana dalam firman-Nya (artinya),

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu (wahai Muhammad), dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)

Perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada nabi dan utusan-Nya (Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut juga berlaku bagi umatnya.

Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan umat Islam untuk berkurban karena amalan tersebut mengandung maslahat dan kebaikan yang besar. Di antara kebaikan yang terkandung dalam ibadah kurban adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan ayat ke-2 dari surat Al-Kautsar tersebut, beliau berkata, “Allah memerintahkan beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini, yaitu shalat dan menyembelih kurban. Dua jenis amalan ini menunjukkan sikap taqarrub (mendekatkan diri), tawadhu’, dan merasa butuh (kepada Allah), serta husnuzhan (berbaik sangka), keyakinan yang kuat, dan ketenangan hati kepada Allah, janji-Nya, perintah-Nya, keutamaan-Nya, serta pemberian (ganti) yang lebih baik dari-Nya.” (Majmu’ Al-Fatawa)

Dalam kitab yang sama beliau juga mengatakan, “Ibadah Maliyah (ibadah dalam bentuk mengeluarkan harta benda) yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan Ibadah Badaniyah (ibadah yang dikerjakan dengan anggota badan) yang paling mulia adalah shalat.”

Inilah di antara hikmah digandengkannya penyebutan shalat dan ibadah kurban dalam satu ayat pada surat Al-Kautsar tersebut. Keduanya merupakan ibadah yang agung dan memiliki keistimewaan yang lebih dibandingkan ibadah yang lain.

 Bagaimana Bimbingan Al-Qur’an bagi Yang Ingin Berkurban?

Keutamaan yang besar dari ibadah kurban ini jangan sampai sia-sia begitu saja. Ibadah kurban yang telah dilakukan dengan semangat dan penuh antusias akhirnya tidak membuahkan hasil berupa pahala dan keutamannya karena mengabaikan tuntunan syar’i dalam menjalankan ibadah ini. Para pembaca rahimakumullah, bagaimana Al-Qur’an membimbing kita dalam melaksanakan ibadah kurban? Perhatikan ayat berikut, (yang artinya)

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian supaya kalian mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj: 37)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa yang bisa mengantarkan seseorang kepada ridha Allah dan kedekatan dengan-Nya adalah takwa. Dan inti dari ketakwaan itu adalah ikhlas dan niat yang baik dalam beribadah. Sebanyak dan sebaik apapun hewan yang dikurbankan, kalau pelakunya tidak mengiringinya dengan ikhlas dan takwa, maka amalan tersebut akan sia-sia.

Jangan sampai ibadah kurban ini dikotori oleh noda-noda riya’ (ingin pamer dengan sengaja memperlihatkan amalan tersebut kepada orang lain), atau kotoran sum’ah (sengaja menebarkan amalan yang ia perbuat agar orang lain mendengarnya). Demikian juga jangan sampai menjalankan ibadah kurban hanya semata-mata karena menjaga adat, tradisi, dan kebiasaan keluarganya sejak dahulu. Ini semua adalah niat yang tidak benar dan harus dijauhi. Di samping itu, ia harus membuang jauh-jauh sikap dan perasaan bangga diri, sombong, dan merendahkan saudaranya yang belum diberi kelapangan oleh Allah untuk berkurban.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, “Yang dikehendaki dari ibadah kurban di sini bukanlah semata-mata menyembelih saja, daging-daging dan darah-darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah sedikitpun, karena Dia adalah Dzat yang Maha Kaya dan Maha Terpuji. Namun yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan, pengharapan dalam meraih pahala, serta niat yang baik ketika menyembelih kurban. Oleh karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan dalam ayat-Nya,

“Tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya.”

Dalam ayat ini terkandung motivasi untuk mengikhlaskan niat dalam menyembelih hewan kurban, dan hendaknya amalan tersebut dilakukan dalam rangka mengharap wajah Allah semata, bukan karena berbangga diri, riya’, sum’ah, serta bukan karena menjalankan tradisi/adat dan kebiasaan. Demikian pula seluruh bentuk ibadah, kalau tidak diiringi dengan ikhlas dan takwa kepada Allah, maka ibadah itu seperti kulit yang tidak ada isinya, dan seperti jasad yang tidak ada ruhnya.” (lihat Taisir Karimirrahman)

Keikhlasan Adalah Dengan Tetap Memilih Hewan Kurban Yang Terbaik

Mungkin ada sebagian yang mengatakan, “Untuk apa pilih-pilih hewan kurban, yang penting kan ikhlas?”, “Tidak mengapa menyembelih hewan kurban dalam keadaan bagaimanapun hewan tersebut, toh yang sampai kepada Allah adalah niat dan keikhlasan?”

Para pembaca rahimakumullah, pernyataan seperti ini sangatlah keliru. Seorang yang ikhlas dalam beribadah adalah orang yang hanya menginginkan pahala dan keutamaan dari Allah dalam ibadahnya, tidak ada tujuan lain melainkan harapan untuk memperoleh ridha-Nya. Sikap yang demikian akan melahirkan usaha yang sungguh-sungguh untuk menunaikan ibadah dengan sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin. Sehingga orang yang ikhlas dalam berkurban, pasti akan berusaha menunaikan ibadah ini dengan sebaik-baiknya, dengan memilih hewan kurban sesuai dengan kriteria dan syarat yang telah digariskan oleh syariat Islam.

Tentunya kita masih ingat riwayat yang disebutkan oleh sebagian ulama ahli tafsir tentang kisah dua putra Nabi Adam yang mempersembahkan kurban kepada Allah subhanahu wa ta’ala . Salah seorang di antara keduanya mempersembahkan hewan kurban yang terbaik yang dimilikinya, sedangkan yang lain mempersembahkan hasil panen yang sangat jelek. Allah subhanahu wa ta’ala kisahkan mereka dalam Al-Qur’an,

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua dan tidak diterima dari yang lain. Ia (putra Nabi Adam yang tidak diterima kurbannya) berkata: “Aku pasti membunuhmu!” Berkata pula (putra Nabi Adam yang diterima kurbannya): “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 27)

Dari kisah ini kita bisa memetik sebuah pelajaran penting, yaitu bahwa keikhlasan dan takwa akan membuahkan amalan yang baik. Jika ia berkurban maka akan mempersembahkan kurban yang terbaik. Seperti inilah amalan yang akan diterima di sisi Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)

Seseorang yang hendak berkurban diharuskan juga untuk membeli hewan kurban dengan harta yang halal, bukan hasil mencuri, perjudian, praktek riba, korupsi, dan sebagainya dari hasil usaha yang haram. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّاللهَطَيِّبٌلَايَقْبَلُإِلَّاطَيِّبًا.

“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Mahabaik, dan tidaklah Dia menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim, no. 1015)

Wallahu a’lam bish shawab.

Penyusun: Ustadz Abu Abdillah

Sumber: buletin Al-Ilmu

 

 

 

The post Bimbingan Al-Qur’an Bagi yang Hendak Berkurban appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/05/1140/

TAKBIR MUTHLAQ (TERIKAT) DAN TAKBIR MUQAYYAD (TIDAK TERIKAT) PADA BULAN DZULHIJJAH

Di antara ibadah yang disyari’atkan dan dianjurkan untuk diperbanyak memasuki 10 hari pertama bulan Dzulhijjah adalah Takbir. Ibadah ini masih terus berlanjut hingga selesainya hari-hari Tasyriq. Ada dua jenis takbir yang disyariatkan pada hari-hari tersebut, yang disebut dengan Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. Bagaimana itu? Untuk mendapatkan keterangan yang jelas berdasarkan bimbingan ilmu yang benar, kami turunkan secara berseri keterangan para ‘ulama besar dalam masalah ini.

Keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta` (Komisi Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) [1]

Pertanyaan : Bagaimana pendapat anda tentang Takbir Muthlaq pada ‘Idul Adh-ha saja? Apakah terus berlanjut hingga akhir hari ke-13 Dzulhijjah ataukah tidak? Apakah ada perbedaan antara orang yang sedang berhaji dengan yang tidak sedang berhaji?

Jawab : Takbir Mutlaq terus berlanjut hingga penghujung hari terakhir hari-hari tasyriq (yakni akhir tanggal 13 Dzulhijjah). Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara orang yang sedang menunaikan ibadah haji dengan yang tidak. Berdasarkan firman Allah :

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan (Al-Hajj : 28)

dan firman Allah Ta’ala :

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ

Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang tertentu(Al-Baqarah : 203)

hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari pertama Dzulhijjah. Sedangkan hari-hari yang tertentu adalah  hari-hari Tasyriq. Hal ini dikatakan oleh shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dari beliau.

Al-Bukhari  juga berkata, “Dulu shahabat Ibnu ‘Umar dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum keluar ke pasar pada 10 hari pertama Dzulhijjah seraya bertakbir, dan umat manusia pun bertakbir karena takbir beliau berdua.”

Dan dalam Shahih Al-Bukhari secara mu’allaq, “Bahwa dulu Ibnu ‘Umar bertakbir  di Mina pada hari-hari tersebut, (juga) setiap selesai shalat wajib, ketika berada di atas pembaringannya, ketika berada di tendanya, ketika duduk, maupun ketika berjalan, pada seluruh hari-hari tersebut.”

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Fatwa no. 1185

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Ketua              : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua     : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota          : ‘Abdullah bin Ghudayyan

Anggota          : ‘Abdullah bin Mani’

* * *

Pertanyaan : Saya mendengar sebagian orang bertakbir pada hari-hari Tasyriq, mereka bertakbir setiap selesai shalat hingga waktu ‘Ashr Tasyriq hari ke-3 (yakni tanggal 13 Dzulhijjah). Apakah itu benar atau tidak?

Jawab : Disyari’atkan pada hari Raya ‘Idul Adh-ha Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad. Adapun Takbir Muthlaq dilakukan pada semua waktu (setiap saat) sejak masuknya bulan Dzulhijjah sampai akhir  hariTasyriq. Adapun Takbir Muqayyad, dilakukan setiap selesai shalat fardhu, dimulai sejak shalat shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir.

Disyari’atkannya takbir tersebut telah ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Fatwa no. 10.777

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`

Ketua              : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Wakil Ketua     : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota          : ‘Abdullah bin Ghudayyan

[1] Adalah sebuah lembaga di Kerajaan Saudi ‘Arabia yang mengemban amanah melakukan riset ilmiah dan fatwa-fatwa berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah berdasarkan manhaj para salafush shalih. Duduk di majelis yang mulia ini adalah  para ‘ulama besar Ahlus Sunnah, yang memiliki kapasitas keilmuan, ketaqwaan, dan keshalihan yang diterima dan dipercaya oleh umat. Antara lain, Asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Bazrahimahullah (beliau ketika itu sebagai ketua), Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh (beliau sebagai ketua sekarang), Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan, dan masih sangat banyak lagi.

Komisi Tetap ini telah banyak fatwa-fatwanya dalam menjawab berbagai problem kentemporer dari berbagai belahan dunia. Fatwa-fatwa mereka sangat dicari dan dibutuhkan oleh umat, karena bobot dan kualitas ilmiah yang sangat tinggi, di samping bobot dan kualitas para ‘ulama yang duduk padanya. Ciri khas yang sangat menonjol adalah komitmen yang tinggi terhadap dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan manhaj para salafush shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, serta para ‘ulama Ahlus sunnah setelahnya. Tidak ada keterikatan – apalagi fanatik – terhadap  madzhab tertentu. Hal-hal tersebut di antara yang membuat majelis ini tidak lagi hanya milik Kerajaan Saudi ‘Arabia saja, tapi seakan menjadi milik dunia Islam international.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang komisi fatwa ini silakan kunjungi http://www.alifta.com.

 

 

 

 

The post Takbir Muthlaq (Tidak Terikat) dan Takbir Muqayyad (Terikat) Pada Bulan Dzulhijjah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/04/fikih-dzulhijjah/

HADITS-HADITS PALSU TERKAIT DENGAN HAJI DAN BULAN DZULHIJJAH

Berikut ini hadits-hadits palsu mengenai haji ini,yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka berhati-hatilah darinya …

Hadits ke-1: Tentang Puasa Arafah

صوم يوم عرفة كصوم ستين سنة

“Puasa pada hari Arafah seperti puasa enam puluh tahun.”

Hadits ke-2: Tentang puasa hari pertama bulan Dzulhijjah

في أول ليلة من ذي الحجة، وُلِدَ إبراهيم، فمن صام ذلك اليوم كان كفارة ثمانين سنة، وفي تسع من ذي الحجة أنزل توبة داود؛ فمن صام ذلك اليوم كان كفارة ستين سنة

“Pada malam pertama bulan Dzulhijjah, dilahirkanlah nabi Ibrahim, maka barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, akan menjadi penghapus dosa selama delapan puluh tahun, dan pada sembilan Dzulhijjah diturunkan taubatnya nabi Dawud maka barangsiapa yang berpuasa pada hari itu, akan menjadi penghapus dosa selama enam puluh tahun.”

Hadits ke-3: Tentang puasa hari Tarwiyah

من صام يوم التروية أعطاه الله مثل ثواب أيوب على بلائه، وإن صام يوم عرفة أعطاه الله -عز وجل- مثل ثواب عيسى ابن مريم، وإن لم يأكل يوم النحر حتى يصلي أعطاه الله ثواب من صلى في ذلك اليوم؛ فإن مات إلى ثلاثين يومًا مات شهيدًا

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari tarwiyah, maka Allah akan berikan untuknya pahala semisal pahala nabi Ayyub atas ujian yang menimpanya, dan apabila dia berpuasa pada hari ‘arafah, maka Allah ‘azza wajalla akan berikan untuknya pahala semisal pahala nabi ‘Isa bin Maryam, dan apabila dia tidak makan pada hari nahr sampai shalat maka Allah akan berikan untuknya pahala semisal pahala orang yang shalat pada hari itu, apabila dia mati sampai tiga puluh hari maka dia mati sebagai seorang syahid.”

Hadits ke-4: Tentang Haji dan ridha

إن الله لا ييسر لعبده الحج إلا بالرضا؛ فإذا رضي عنه أطلق له الحج

“Sesungguhnya Allah tidak akan memudahkan hamba-Nya untuk menunaikan haji kecuali dengan ridha, maka apabila Allah ridha, Dia akan mudahkan untuknya haji.”

Hadits ke-5: Tentang Haji dan pernikahan

من تزوج قبل أن يحج فقد بدأ بالمعصية

“Barangsiapa yang menikah sebelum berhaji maka dia telah memulai dengan kemaksiatan.”

 

The post Hadits-Hadits Palsu Terkait dengan Haji dan Bulan Dzulhijjah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/03/hadits-hadits-palsu-terkait-dengan-haji-dan-bulan-dzulhijjah/

SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALIAH DI DALAMNYA

 

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين.. وبعد:

 

Sesungguhnya di antara keutamaan dan karunia yang Allah berikan kepada makhluk-Nya adalah dijadikannya musim (masa-masa tertentu) bagi hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memperbanyak amal shalih di dalamnya. Dan di antara musim (masa-masa) tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

 

Keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah

 

Allah ta’ala berfirman:

وَالفَجرِ وَلَيَالٍ عَشرٍ.

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (Al Fajr: 1-2)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az Zubair, Mujahid, dan yang lainnya. Dan juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari penafsiran yang demikian.”

 

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا: ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجلٌ خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء.

“Tidak ada hari-hari di mana amalan shalih yang dikerjakan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari ini. Para shahabat bertanya: Termasuk pula jihad fi sabilillah? Beliau bersabda: Ya, termasuk pula jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali darinya sedikit pun.”

 

Allah ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ.

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.” (Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas berkata: “(Yakni) sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” (Tafsir Ibni Katsir).

 

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام أعظم عند الله سبحانه ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر؛ فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Tidak ada hari yang lebih agung dan lebih dicintai di sisi Allah subhanahu wata’ala jika amalan shalih dikerjakan di dalamnya daripada sepuluh hari ini, maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” (HR. Ahmad)

 

Sa’id bin Jubair rahimahullah -dan beliau yang meriwayatkan hadits Ibnu ‘Abbas (poin no. 2) di atas- ketika telah memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh untuk beribadah sampai-sampai hampir beliau tidak mampu untuk mengerjakannya. (HR. Ad-Darimi)

 

Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari berkata: “Dan yang nampak dari sebab diistimewakannya sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah karena waktu tersebut merupakan tempat berkumpulnya (dan ditunaikannya) induk dari berbagai macam ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah, dan haji. Itu semua tidak terjadi pada waktu yang lain.

 

 

Amalan yang disunnahkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut

 

 

1.       Shalat

 

Disunnahkan untuk bersegera menunaikan (shalat) yang wajib dan memperbanyak yang sunnah, karena ini adalah termasuk amalan yang paling afdhal untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحطَّ عنك بها خطيئة.

“Wajib atas kamu untuk memperbanyak sujud kepada Allah, karena seseunnguhnya tidaklah kamu bersujud kepada Allah sekali saja melainkan Allah akan mengangkat satu derajatmu dan Allah akan menghapus satu kesalahan darimu.” (HR. Muslim).

Dan ini (bersujud) mencakup semua waktu kapan pun dilaksanakan.

 

2.       Puasa

 

Karena puasa termasuk dalam keumuman amal shalih (yang disunnahkan untuk diperbanyak pada hari-hari itu). Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata:

كان رسول الله يصوم تسع ذي الحجة، ويوم عاشوراء، وثلاثة أيام من كل شهر.

“Dahulu Rasulullah berpuasa pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah, dan hari ‘asyura’ (tanggal sepuluh Muharram), dan tiga hari pada setiap bulannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasa’i).

Al-Imam An-Nawawi mengatakan tentang puasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah bahwa itu adalah amalan yang sangat disenangi (disunnahkan).

 

3.       Takbir, Tahlil, Tahmid

 

Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد.

“Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.”

 

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Ðahulu Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma keluar menuju pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan bertakbir, kemudian orang-orang pun juga ikut bertakbir ketika mendengar takbir keduanya.”

 

Dan beliau (Al-Imam Al-Bukhari) juga berkata: “Dan ‘Umar dahulu bertakbir di kubahnya di Mina, maka kemudian orang-orang yang berada di dalam masjid mendengarnya dan mereka pun ikut bertakbir, dan orang-orang yang berada di pasar pun juga ikut bertakbir sampai-sampai Mina bergetar disebabkan suara takbir mereka.”

 

Dan Ibnu ‘Umar dahulu bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, dan juga bertakbir setiap selesai mengerjakan shalat, bertakbir ketika berada di atas ranjangnya, di dalam kemahnya, di majelisnya, dan di setiap perjalanannya pada hari-hari tersebut.

 

Dan disenangi (disunnahkan) untuk mengeraskan bacaan takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, anaknya (yakni Ibnu ‘Umar), dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.

 

Sudah sepantasnya bagi kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali sunnah tersebut yang sudah hilang pada zaman ini dan hampir dilupakan bahkan oleh ahlu ash shalah wal khair (orang-orang yang memiliki kebaikan dan keutamaan). Dan yang memprihatinkan adalah apa yang terjadi sekarang justru menyelisihi amaliyah yang biasa dilakukan as salafush shalih.

 

Lafazh Takbir

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر كبيراً.

الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

الله أكبر. الله أكبر. الله أكبر. لا إله إلا الله. والله أكبر. الله أكبر. الله أكبر ولله الحمد.

 

4.       Puasa hari Arafah

Puasa pada hari Arafah sangat ditekankan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari Arafah:

أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده.

“Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim).

 

Akan tetapi barangsiapa yang berada di Arafah -yakni sedang beribadah haji-, maka tidak disunnahkan baginya berpuasa karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan wuquf di Arafah dalam keadaan berbuka (tidak berpuasa).

 

 

Keutamaan Hari Nahr[1]

 

Kebanyakan kaum muslimin melalaikan hari ini, kebanyakan kaum mukminin pun lalai dari kemuliaan dan besarnya keutamaan yang banyak dan melimpah pada hari tersebut. Demikianlah, padahal sebagian ulama berpendapat bahwa hari itu adalah hari yang paling afdhal (utama) dalam setahun secara mutlak termasuk juga (lebih afdhal daripada) hari Arafah.

 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah hari Nahr, dan dia adalah hari Haji Akbar.”

 

Sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

إن أعظم الأيام عند الله يوم النحر، ثم يوم القرِّ.

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari Al Qarr.”

Hari Al Qarr adalah hari ketika berada di Mina, yaitu hari kesebelas.

 

Pendapat lain mengatakan bahwa hari Arafah lebih afdhal daripada hari Nahr karena puasa yang dikerjakan pada hari itu akan menghapus kesalahan yang dilakukan selama dua tahun (setahun sebelumnya dan setahun setelahnya), dan tidak ada hari yang Allah membebaskan perbudakan lebih banyak daripada pada hari Arafah, dan juga karena Allah subhanahu wata’ala akan mendekat kepada hamba-hamba-Nya pada hari itu kemudian Allah akan membanggakan orang-orang yang wuquf di hadapan para malaikat.

 

Dan yang benar adalah pendapat pertama karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada satu dalil pun yang menyelisihinya.

 

Sama saja apakah yang lebih afdhal itu hari Nahr atau hari Arafah, maka setiap muslim hendaknya bersemangat, baik dia sedang berhaji maupun sedang mukim (tidak berhaji) untuk meraih keutamaannya dan memanfaatkan kesempatan pada hari itu (untuk banyak melakukan amalan kebajikan).

 

 

 

Bagaimana menyambut musim (masa-masa) yang penuh kebaikan?

 

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambut setiap musim (masa-masa) yang penuh kebaikan dengan taubat yang jujur dan sebenar-benarnya, dengan meninggalkan segala bentuk perbuatan dosa dan maksiat karena sesungguhnya dosa-dosa itu akan menyebabkan seseorang diharamkan dari keutamaan Rabbnya dan akan menghalangi hati dari Penolongnya (Allah ta’ala).

 

Demikian pula hendaknya musim (masa-masa) yang penuh kebaikan itu disambut dengan tekad yang jujur dan kesungguhan untuk memanfaatkan masa tersebut dengan menjalankan amalan yang bisa mendatangkan ridha Allah ‘azza wajalla. Barangsiapa yang membenarkan Allah, maka Allah akan membenarkannya.

وَالَّذِينَ جَاهَدُواْ فِينَا لَنَهدِيَنَّهُمّ سُبُلَنَا.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. (Al-‘Ankabut: 69)

 

Wahai saudaraku muslim, bersemangatlah untuk memanfaatkan kesempatan ini sebelum luput darimu yang menyebabkan kamu menyesal, tidak ada waktu untuk menyesal. Mudah-mudahan Allah meberikan taufiq kepadaku dan kepada kamu untuk bisa memanfaatkan musim (masa-masa) yang penuh kebaikan ini, dan kami memohon kepada-Nya pertolongan agar bisa menjalankan ketaatan dan bagusnya ibadah kepada-Nya pada masa tersebut.

 

 

Sebagian hukum yang terkait dengan Al Udh-hiyah dan pensyari’atannya

 

Al Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari-hari Adh-ha (penyembelihan) disebabkan adanya ‘id dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla.

 

Amalan ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyari’atkan di dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ijma’ kaum muslimin.

 

Adapun dalam Kitabullah, Allah ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar: 2)

Dan firman-Nya:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ.

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, sesembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

 

 

Waktu Al Udh-hiyah

 

Al Udh-hiyah adalah ibadah yang ditunaikan pada waktu yang telah tertentu, tidak boleh dilaksanakan sebelum waktunya bagaimanapun juga kondisinya, dan tidak boleh pula dilaksanakan setelahnya kecuali jika mengakhirkannya dalam rangka mengqadha’ disebabkan udzur tertentu.

 

Awal waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat ‘id bagi yang mengerjakan shalat ‘id seperti orang-orang yang tinggal di daerahnya (tidak dalam keadaan safar), atau juga dilaksanakan setelah ada kesempatan bagi orang-orang yang tidak mengerjakan shalat ‘id seperti musafir dan penduduk yang tinggal di pedalaman (Badui).

 

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (‘id) maka hewan yang disembelih tadi adalah hewan sembelihan biasa, bukan termasuk Udh-hiyah dan wajib untuk menyembelih lagi dengan tata cara yang sama setelah shalat sebagai penggantinya, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله ، وليس من النسك في شيء.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya itu hanya daging sembelihan biasa yang disuguhkan untuk keluarganya saja, dan bukan termasuk nusuk (sembelihan kurban) sedikitpun.”

 

Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ومن ذبح بعد الصلاة فقد تم نسكه ، وأصاب سنة المسلمين.

“Dan barangsiapa yang menyembelih setelah shalat, maka dia telah menyempurnakan nusuknya dan mencocoki sunnah kaum muslimin.”

 

Jenis (keadaan) hewan yang layak dan memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan kurban

 

Hewan yang dijadikan kurban adalah dari jenis hewan ternak saja berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكاً لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ.

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).

 

Hewan ternak yang dimaksud di sini adalah unta, sapi, kambing baik dari jenis dha’n (domba) maupun ma’z (kambing jawa). Demikain yang dinyatakan Ibnu Katsir, dan beliau berkata: “Inilah yang dikatakan Al Hasan, Qatadah, dan yang lainnya. Ibnu Jarir berkata: Demikian juga jenis seperti inilah yang dimaksud di kalangan orang Arab.” -Selesai penukilan-.

 

Dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن تعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن.

“Janganlah kalian menyembelih (hewan kurban) kecuali musinnah. Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka dibolehkan bagi kalian untuk menyembelih jadza’ah (yang berumur muda) dari jenis dha’n.” (HR. Muslim)

Musinnah adalah Tsaniyah, dan tsaniyah unta adalah yang genap berumur lima tahun, tsaniyah sapi adalah yang genap berumur dua tahun, tsaniyah kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’z) adalah yang genap berumur satu tahun, dan jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.

 

Dan juga karena Udh-hiyah adalah merupakan ibadah sebagaimana Hadyu (sesembelihan yang dilakukan jama’ah haji), sehingga amalan ini tidak disyari’atkan kecuali dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau menyembelih untuk hadyu maupun kurban dari selain unta, sapi, dan kambing.

 

Yang paling afdhal adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing dha’n, kemudian ma’z, kemudian sepertujuh dari unta dan kemudian sepertujuh dari sapi.

 

Dan yang paling afdhal dari itu semua adalah yang paling gemuk, banyak dagingnya, sempurna fisiknya, dan bagus dipandang. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يضحي بكبشين أقرنين أملحين.

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berkurban dengan menyembelih dua kambing kibasy yang bertanduk dan amlah.”

Amlah adalah yang warna putihnya bercampur dengan hitam.          

 

 

 

Keadaan hewan kurban yang harus dihindari

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Hewan kurban yang bagaimana yang hendaknya dihindari?” Maka beliau memberikan isyarat dengan tangannya dan bersabda:

أربعا : العرجاء البين ظلعها ، والعوراء البين عورها ، والمريضة البين مرضها ، والعجفاء التي لا تنقي.

“Ada empat, yaitu (1) yang pincang dan jelas pincangnya, (2) yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, (3) yang sakit dan jelas sakitnya, dan (4) yang kurus dan tidak bersumsum.”

Pada riwayat At-Tirmidzi disebutkan Al-‘Ajfa’ (yang kurus), dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan pengganti dari lafazh Al-Kasir (yang lemah).

 

Keempat keadaan ini telah disebutkan secara nash tentang larangannya dan belum memenuhi kriteria untuk dijadikan hewan kurban, yaitu:

 

Yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, yaitu yang matanya cekung ataupun cembung. Jika hewan tadi tidak bisa melihat dengan matanya akan tetapi kerusakannya tidak nampak jelas, maka itu sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika selamat (sehat) dari kelainan tersebut, maka itu lebih baik.

 

Yang sakit dan jelas sakitnya, yaitu yang nampak pengaruh sakitnya pada hewan tersebut seperti demam yang menghalanginya dari gembalaan (tidak bisa digembalakan), dan juga seperti kudis yang parah dan bisa merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya, atau yang semisalnya dari penyakit yang dianggap oleh orang-orang sebagai penyakit yang nyata. Dan jika pada hewan ada sifat malas atau tubuhnya lemah yang tidak menghalangi dari gembalaan (bisa digembalakan) dan dimakan, maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi jika dipilih hewan yang kondisinya lebih segar, maka itu lebih baik.

 

Yang pincang dan jelas pincangnya, yaitu yang tidak mampu berjalan bersama hewan-hewan lain yang sehat (sehingga selalu tertinggal). Dan jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang ringan dan tidak menghalanginya dari berjalan bersama hewan-hewan yang lain (bisa berjalan normal seperti yang lainnya), maka ini sudah mencukupi kriteria, akan tetapi memilih hewan yang lebih sehat (tidak ada kepincangan padanya) itu lebih baik.

 

Yang lemah atau kurus tidak bersumsum, jika hewan tersebut kurus atau lemah tetapi masih ada sumsumnya, maka ini sudah mencukupi kecuali jika hewan tersebut mengalami kepincangan yang sangat jelas, akan tetapi hewan yang gemuk dan sehat itu lebih baik.

 

Inilah empat keadaan hewan yang secara nash disebutkan dalam hadits tersebut tentang larangan menjadikannya sebagai hewan kurban. Para ulama juga berpendapat yang demikian. Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi di dalam kitab Al Mughni mengatakan: “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang tidak terpenuhinya kriteria binatang yang demikian kondisinya sebagai hewan kurban. -Selesai penukilan-.

 

Termasuk juga hewan yang tidak boleh dijadikan kurban adalah jika kondisinya semakna (seperti) dengan empat keadaan di atas atau bahkan yang lebih parah dari itu, sehingga masuk dalam kategori ini adalah:

 

Yang mengalami kebutaan, yaitu yang tidak bisa melihat dengan matanya, ini lebih layak untuk tidak memenuhi kriteria hewan kurban karena kondisinya lebih parah daripada yang rusak matanya dan jelas kerusakannya. Adapun yang menderita rabun senja yang bisa melihat hanya pada waktu siang dan tidak bisa melihat pada malam hari, maka madzhab Asy-Syafi’i menyakakan bahwa itu sudah mencukupi kriteria karena yang demikian tidak tergolong hewan yang rusak matanya dan jelas kerusakannya, dan tidak pula termasuk yang buta terus menerus sehingga mempengaruhi penggembalaan dan perkembangbiakannya. Akan tetapi hewan yang tidak menderita seperti itu lebih baik.

 

Yang mengalami sakit pencernaan sampai dia bisa membuang kotorannya (berak), karena penyakit pada pencernaan itu akan menimbulkan bahaya seperti penyakit yang nyata. Jika dia berhasil membuang kotorannya (berak), maka hilanglah kondisi kritis pada hewan tersebut dan sudah bisa mencukupi kriteria untuk dijadikan hewan kurban jika tidak terjadi dengannya penyakit yang jelas.

 

Hewan yang mau melahirkan sampai dia selamat, karena kondisi seperti ini sangat berbahaya yang  terkadang bisa memutus kehidupannya (mati) sehingga diserupakan dengan penyakit yang nyata. Dan bisa saja hewan tersebut mencukupi untuk dijadikan kurban jika dia melahirkan anaknya itu memang menjadi kebiasaan baginya dan tidak mengalami masa yang membuat dagingnya berubah dan rusak.

 

Hewan yang tertimpa sesuatu yang menyebabkan kematian seperti tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas. Karena yang demikian kondisinya itu lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang menderita sakit yang jelas sakitnya dan yang pincang dan jelas kepincangannya.

 

Az-Zumna, yaitu hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena penyakit tertentu, karena ini lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang pincang dan jelas kepincangannya. Adapun hewan yang lemah tidak mampu berjalan karena kegemukan, maka madzhab Malikiyah meyatakan hal itu sudah mencukupi karena tidak adanya penyakit pada hewan tersebut dan tidak ada cacat pada tubuhnya.

 

Hewan yang terpotong salah satu tangan atau kakinya karena ini juga lebih pantas untuk tidak mencukupi kriteria sebagai hewan kurban daripada yang pincang dan jelas kepincangannya. Dan juga karena telah hilang bagian yang vital dari tubuhnya sehingga diserupakan dengan hewan yang terpotong ekornya.

 

Inilah di antara cacat yang menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan kurban, yaitu ada sepuluh, empat di antaranya telah disebutkan secara nash dan yang enam adalah dengan qiyas. Jika didapati salah satu dari keadaan-keadaan (cacat) tersebut pada hewan ternak, maka tidak boleh berkurban dengannya karena tidak terpenuhinya salah satu syarat yaitu selamat (sehat) dari cacat yang bisa menghalangi terpenuhinya kriteria ideal hewan kurban.

 

Apakah disyari’atkan berkurban atas nama mayit (orang yang sudah meninggal)?

 

Pada asalnya berkurban itu disyari’atkan terhadap orang-orang yang masih hidup sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya dahulu berkurban untuk diri mereka sendiri dan keluarganya. Adapun permasalahan yang diyakini sebagian orang awam yaitu pengkhususan kurban atas nama orang yang sudah meninggal, maka ini tidak ada dasarnya dalam syari’at ini. Berkurban atas nama orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

 

Berkurban atas nama mereka tetapi sifatnya hanya mengikuti yang masih hidup, seperti seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, dan dia meniatkan keluarga yang dimaksud di sini adalah yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dasar dari amalan ini adalah kurban yang dilakukan Nabi ketika beliau berkurban atas nama diri beliau sendiri dan keluarganya, dan di antara anggota keluarganya ada yang sudah meninggal sebelumnya.

 

Berkurban atas nama mayit dalam rangka menjalankan wasiatnya. Dasar dari amalan ini adalah firman Allah ta’ala:

فَمَن بَدَّلَهُ بَعدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيع عَلِيمٌ.

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 181)

 

Berkurban atas nama mayit dalam rangka shadaqah yang terpisah (berdiri sendiri) dari yang masih hidup, maka ini diperbolehkan. Para ulama madzhab Al-Hanabilah menyatakan bahwa pahalnya akan sampai kepada si mayit dan bisa memberikan manfaat baginya diqiyaskan dengan shadaqah atas nama dia. Akan tetapi kami tidak memandang bahwa pengkhususan kurban atas nama orang yang sudah meninggal itu merupakan sunnah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengkhususkan berkurban atas nama seorang pun dari orang-orang yang sudah meninggal. Tidak pernah beliau berkurban atas nama paman beliau, Hamzah, padahal dia adalah salah seorang kerabat yang paling mulia di sisi beliau. Dan tidak pula beliau berkurban atas nama anak-anaknya yang telah meninggal ketika beliau masih hidup, tiga anak perempuan yang telah menikah dan tiga anak laki-laki yang masih kecil. Dan tidak pula beliau berkurban atas nama istri beliau, Khadijah padahal beliau adalah salah seorang istri yang paling beliau cintai. Dan tidak pernah pula disebutkan dari para shahabat pada zamannya, bahwa salah seorang dari mereka berkurban atas nama seseorang yang sudah meninggal.

 

Dan kami juga melihat di antara kesalahan yang dilakukan sebagian orang adalah mereka berkurban (menyembelih hewan) atas nama orang yang telah meninggal pada awal tahun kematiannya yang mereka namakan dengan Udh-hiyatul Hufrah. Mereka berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi seorang pun untuk bersama-sama dalam meraih pahala dengan si mayit tersebut. Atau mereka berkurban dari harta orang yang sudah meninggal dalam rangka shadaqah ataupun menjalankan wasiatnya, dan tidak berkurban atas nama diri sendiri dan keluarganya. Kalau seandainya mereka mengetahui bahwa seseorang jika berkurban dari hartanya sendiri atas nama diri dan keluarganya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, maka mereka tidak akan meninggalkan yang seperti ini untuk berpaling kepada amalan mereka (sebelumnya) tersebut.

 

 

 

Hal-hal yang harus dijauhi oleh seseorang yang hendak berkurban

 

Jika seseorang hendak berkurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah -baik dengan ru’yatul hilal maupun menyempurnakan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari-, maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan kurbannya berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا دخلت العشر وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره.

Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan kurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)

 

Dan dalam lafazh yang lain:

فلا يمسَّ من شعره ولا بشره شيئاً حتى يضحي.

Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia menyelesaikan penyembelihannya.”

 

Dan jika niat untuk berkurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

 

Dan hikmah larangan ini adalah bahwasamya seorang yang berkurban ketika dia turut serta bersama jama’ah haji dalam melakukan sebagian amaliah manasik -yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban-, maka dia pun juga turut serta dalam sebagian kekhususan (keadaan ketika) ihram berupa menahan diri (tidak mengambil/memotong) rambut dan yang semisalnya. Atas dasar ini, maka dibolehkan bagi keluarga orang yang hendak berkurban untuk mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tersebut.

 

Hukum ini khusus berlaku bagi orang yang hendak berkurban. Adapun bagi Al Mudhahha ‘Anhu (pihak yang diatasnamakan padanya kurban), maka tidak ada kaitannya sama sekali dengan hukum tersebut karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وأراد أحدكم أن يضحي…

“Dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan kurban …”

Dan tidak mengatakan:

“… ataupun juga bagi yang diatasnamakan padanya kurban.”

 

Di samping itu juga karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah berkurban dengan mengatasnamakan keluarganya, namun tidak pernah dinukilkan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka (keluarganya) untuk menahan diri (tidak mengambil/memotong) itu semua.

 

Dan jika orang yang hendak berkurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan kurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam[2].

 

Dan jika mengambil/memotongnya disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

 

Beberapa hukum dan adab terkait dengan Idul Adh-ha yang penuh barakah ini

 

Saudaraku muslim, segala bentuk kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan kita. Dan segala bentuk kejelekan adalah dengan menyelisihi petunjuk Nabi kita. Oleh karena itulah kami bermaksud untuk menyebutkan kepada anda sebagian perkara yang disunnahkan untuk diamalkan ataupun diucapkan pada malam idul Adh-ha yang penuh barakah, hari Nahr, dan tiga hari-hari tasyriq. Dan perkara-perkara tersebut telah kami ringkas dalam beberapa poin berikut:

Takbir

 

Disyari’atkan untuk mengumandangkan takbir sejak waktu fajar pada hari Arafah sampai waktu Ashar pada hari tasyriq yang terakhir yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Allah ta’ala berfirman:

وَاذكُرُواْ اللهَ فِي أَيَامٍ مَعدُودَاتٍ.

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (Al Baqarah: 203)

Dan lafazhnya adalah:

الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد

 

Dan disunnahkan untuk mengeraskannya bagi laki-laki, baik di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan setiap selesai shalat dalam rangka memperlihatkan keagungan Allah dan menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.

 

Menyembelih hewan kurban.

 

Dilakukan setelah shalat ‘id berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

من ذبح قبل أن يصلي فليعد مكانها أخرى، ومن لم يذبح فليذبح.

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka lakukanlah penyebelihan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Dan waktu penyembelihan itu ada empat hari: hari Nahr dan tiga hari-hari Tasyriq berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كل أيام التشريق ذبح.

“Semua hari-hari tasyriq adalah (waktu) penyembelihan.” (As Silsilah Ash Shahihah no. 2476)

 

Mandi, memakai wewangian bagi laki-laki dan memakai baju yang paling bagus tanpa berlebihan dan tidak isbal

 

Dan tidak pula memotong jenggot karena ini semua adalah sesuatu yang diharamkan. Adapun wanita, maka disyari’atkan baginya untuk keluar ke mushalla ‘id tanpa tabarruj dan memakai wewangian. Tidak sah jika melakukan ketaatan kepada Allah dan shalat tetapi kemudian bermaksiat kepada-Nya dengan melakukan tabarruj, tidak memakai hijab (cadar), dan memakai wewangian di hadapan laki-laki.

 

Makan dari hewan sembelihan

 

Dahulu Rasulullah tidak makan sampai beliau pulang dari mushalla dan kemudian memakan daging sembelihannya. (Zadul Ma’ad I/441)

 

Pergi ke mushalla id dengan berjalan kaki jika mudah baginya.

 

Dan menurut sunnah adalah shalat ‘id itu dilakukan di mushalla kecuali jika di sana ada udzur seperti hujan, maka shalat di masjid berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wajibnya shalat ‘id dan disunnahkannya menghadiri khuthbah.

 

Masalah yang dirajihkan para muhaqqiqun dari kalangan ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah bahwa shalat ‘id itu hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِكَ وَانحَر.

“Maka Dirikanlah shalat tarena Rabbmu; dan berkurbanlah.” (Al Kautsar: 2)

 

Dan kewajiban tersebut tidak akan gugur kecuali jika ada udzur. Para wanita juga (diwajibkan) menghadiri shalat ‘id bersama dengan kaum muslimin lainnya walaupun sedang mengalami haid maupun yang sedang berada dalam pingitan. Akan tetapi para wanita haid diharuskan berada pada posisi yang terpisah dengan mushalla.

 

Melewati jalan yang berbeda

 

Disunnahkan bagi anda untuk pergi ke mushalla ‘id dengan melewati jalan tertentu dan ketika pulang dengan melewati jalan yang lain karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat yang demikian.

 

Mengucapkan selamat hari raya, karena hal ini pernah dilakukan para shahabat Rasulullah.

 

Berhati-hatilah wahai saudaraku muslim dari ketergelinciran kepada kesalahan yang banyak terjadi di tengah-tengah manusia, di antara kesalahan tersebut adalah:

 

Mengumandangkan takbir secara bersama-sama dengan satu suara (serempak) atau mengulang-ulang takbir di belakang seorang yang mengumandangkannya

 

Melakukan permainan pada hari ‘id dengan sesuatu yang haram seperti mendengarkan musik, menonton film, ikhthilat (bercampur baurnya laki-laki dan perempuan) yang bukan mahramnya, dan yang lainnya dari bentuk-bentuk kemungkaran.

 

Mengambil (menggunting) rambut dan memotong kuku walaupun sedikit sebelum menyembelih hewan kurbannya bagi yang akan berkurban karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang yang demikian.

 

Berlebihan dan boros (dalam menghamburkan harta) untuk sesuatu yang tidak ada manfaat dan mashlahatnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَلا تُسرِفُوا إِنّهُ لا يُحِبُّ المُسرِفِينَ.

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al An’am: 141)

 

Dan sebagai penutup, jangan lupa wahai saudaraku muslim untuk bersemangat di dalam beramal kebajikan seperti silaturrahim, mengunjungi kerabat, meninggalkan sikap saling membenci, hasad, dan tidak suka kepada saudaranya, serta berupaya untuk membersihkan hati dari itu semua, menyantuni fakir miskin dan anak yatim, membantu mereka, dan berusaha menggembirakan mereka.

 

Kami memohon kepada Allah untuk memberikan taufiq-Nya kepada kita untuk beramal dengan amalan yang dicintai dan diridhai-Nya, dan agar Allah memberikan kepahaman terhadap agama kita, dan agar Allah menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang bisa beramal pada hari-hari ini -sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah- dengan amalan yang shalih dan ikhlas semata-mata mengharapkan wajah-Nya yang mulia.

 

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala. 

 

 

[1]  Tanggal 10 Dzulhijjah.

[2] Sebagian orang awam berkeyakinan kalau orang yang hendak berkurban memotong rambut, kuku, maupun kulitnya pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, maka hendaknya dia membatalkan niatnya untuk berkurban tersebut. Ini adalah keyakinan yang keliru.

The post Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah dan Amaliah di Dalamnya appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/02/sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/

TAFSIR SURAT AL-AHZAB AYAT 28-29

Semua istri Nabi (tidak hanya Aisyah Radhiyallahu Anha) memilih Allah dan RasulNya
(Tafsir surat al-Ahzab ayat 28 dan 29)

PERTANYAAN
Assalamu'alaykun ustad. Ana izin tanya mohon penjelasan mengenai surah al ahzab ayat 28.
Jazakallahu khoir ustad.

JAWABAN
Waalaikumussalam warahmatullaahi wabarokaatuh.

Makna surat al-Ahzab ayat 28 dan 29 sebagaimana penjelasan al-Hafidz Ibnu Kasir rahimahullah:

هذا أمر من الله لرسوله ، صلوات الله وسلامه عليه ، بأن يخير نساءه بين أن يفارقهن ، فيذهبن إلى غيره ممن يحصل لهن عنده الحياة الدنيا وزينتها ، وبين الصبر على ما عنده من ضيق الحال ، ولهن عند الله في ذلك الثواب الجزيل ، فاخترن ، رضي الله عنهن وأرضاهن الله ورسوله والدار الآخرة ، فجمع الله لهن بعد ذلك بين خير الدنيا وسعادة الآخرة .

Ini adalah perintah dari Allah kepada Rasul-Nya -semoga sholawat dan salam Allah utk beliau - untuk memberikan pilihan kepada para istri beliau (dua hal):

(Pertama) : Beliau menceraikan mereka dan mereka bisa pergi menuju orang lain yang bisa memberikan kenikmatan dunia dan perhiasannya. (Atau)

(Pilihan kedua): mereka bersabar (hidup bersama beliau) dalam kehidupan (duniawi) yg sempit. Dan mereka akan mendapatkan pahala yang berlimpah di sisi Allah.

Kemudian para istri Nabi tersebut - semoga Allah meridhai mereka dan menjadikan manusia Ridha kepada mereka - memilih Rasul-Nya dan kehidupan akhirat. Maka setelah itu Allah menggabungkan untuk mereka kebaikan dunia dan kebahagiaan di akhirat (Tafsir Ibnu Kasir surat al-Ahzab ayat 28).

Kemudian al-Imam Ibnu Katsir menyebutkan hadits riwayat al-Bukhari :

ِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهَا حِينَ أَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يُخَيِّرَ أَزْوَاجَهُ فَبَدَأَ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا فَلَا عَلَيْكِ أَنْ لَا تَسْتَعْجِلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ وَقَدْ عَلِمَ أَنَّ أَبَوَيَّ لَمْ يَكُونَا يَأْمُرَانِي بِفِرَاقِهِ قَالَتْ ثُمَّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ
{ يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ }
إِلَى تَمَامِ الْآيَتَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ فَفِي أَيِّ هَذَا أَسْتَأْمِرُ أَبَوَيَّ فَإِنِّي أُرِيدُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ

bahwa Aisyah radliallahu 'anha -istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam- mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangi Aisyah ketika Allah menyuruhnya untuk memilih (cerai atau tetap bersama) para istrinya, beliau memulai denganku. Beliau bersabda: "Saya hendak memberitahukan kepadamu hal yang sangat penting, karena itu, janganlah kamu terburu-buru menjawabnya sebelum kamu bermusyawarah dengan kedua orang tuamu." Dia (Aisyah) berkata; Beliau tahu benar, kedua orang tuaku tidak akan mengizinkanku bercerai dengan beliau. Dia (Aisyah) melanjutkan; Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah berfirman: 'Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia beserta perhiasannya, marilah kuberikan kepadamu suatu pemberian, kemudian kuceraikan kamu dengan cara yang baik, dan jika kalian menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi yang berbuat kebajikan di antara kamu'. Al Ahzab: 28). Aisyah berkata; Apa untuk yang seperti ini saya harus minta musyawarah kepada kedua orang tuaku?, sudah tentu saya menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat (H.R al-Bukhari)

Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat hadits yg diriwayatkan Ibnu Jarir dan lainnya yang intinya menunjukkan bahwa semua istri Nabi yang lain (tidak hanya Aisyah Radhiyallahu Anha) juga memilih hal yg sama, yaitu memilih Allah dan RasulNya.

Afwan, pada terjemahan kata pada tafsir Ibnu Katsir di atas:

رضي الله عنهن وأرضاهن الله

semestinya diterjemahkan dengan:

Semoga Allah meridhai mereka dan menjadikan mereka ridha

PERTANYAAN
Naam Jazakallahu khoir atas jawabannya ustad. Ana hanya bingung pada Al Qur'an via android ada kata Mut'ah pada terjemahannya. Apa maksud Mut'ah dalam hal ini ustad??

JAWABAN
Mut'ah yg dimaksud insyaAllah adalah pemberian dari mantan suami kepada istri yg dicerai

____________
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/semua-istri-nabi-tidak-hanya-aisyah.html

Tentang SALAT TAHIYYATUL MASJID DI MASJIDIL HARAM

THAWAF ATAU SHALAT TAHIYATUL MASJID DI MASJIDIL HARAM ?

PERTANYAAN
Ustadz,  afwan ...

mana yg benar ketika masuk masjidil harom,  apakah shalat tahiyyatul masjid atau thowaf,  terus kalau selama di makkah apakah disyariatka mengulang ulang umroh..

syukron

JAWABAN
Ringkasan dari penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin thd pertanyaan semakna itu:

Pertama: tahiyyatul masjid berlaku utk seluruh masjid termasuk Masjidil Haram. Berdasarkan keumuman hadits riwayat alBukhari. Bagi orang yg masuk ke Masjidil Haram hendak Sholat (berjamaah), atau mendengarkan kajian ilmu, maka ia melaksanakan sholat tahiyyatul masjid. Sedangkan bagi yang masuk ke Masjidil Haram utk melaksanakan tawaf, seperti saat ia umrah, atau tawaf Sunnah, maka thowafnya sudah mencukupi dari tahiyyatul masjid karena setelah tawaf, disunnahkan sholat dua rokaat.

(Rujukan: Majmu' Fataawaa Ibn Utsaimin (22/286))

Kedua: dalam satu kali safar tidak disyariatkan melakukan umrah berkali-kali karena hal itu tidak pernah dilakukan Nabi dan para Sahabatnya. Mengulang-ulang umrah dalam sekali safar adalah bid'ah.

Rujukan: Liqo' al-Baab al-Maftuuh (28/121))

_______________
Ustadz Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/thawaf-atau-shalat-tahiyatul-masjid-di.html

TERAPI LOW BACK PAIN SESUAI SUNNAH NABI ï·º

*```TERAPI LOW BACK PAIN (LBP)/NYERI PINGGANG -           عرق النساء```*
_(SUNNAH NABAWI YANG TERLUPAKAN )_

🔎 *Bagaimana manifestasi gejala-gejala LBP- عرق النساء ?*
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Rasa sakit yang dimulai dari sendi pinggul, turun dari belakang paha atas. Kadang rasa nyeri menjalar hingga tumit. jika semakin lama sakitnya, nyeri tersebut akan semakin menjalar ke bawah dan mengakibatkan tungkai bawah dan paha mengecil".

Bahkan pernah kami mendapati sebagian pasien dengan sakit yang sudah lama, seolah-olah kakinya terasa ada api 🔥 atau seolah-olah dia berjalan di atas api.

1⃣ Imam Sunnah, Abu Abdillah Ahmad bin Hambal rahimahullah, telah meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu 'laihi wasallam pernah menyifati (obat) LBP adalah ekor kambing arab yang berwarna hitam, tidak tua dan tidak muda (umur pertengahan). Ekor tersebut dibagi menjadi tiga bagian, kemudian dicairkan (dengan dipanaskan) dan diminum setiap harinya satu bagian.
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata : ”Hadits ini shahih dengan syarat syaikhain (Imam Bukhari dan Imam Muslim)”.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Abdillah ibnu Majah dan al-Hakim rahimahumallah.

Sedikit sekali manusia yang mencoba cara ini. Kebanyakan mereka tidak mengetahuinya, Ada juga di antara mereka yang mengetahuinya tetapi tidak mempraktekkan atau tidak percaya dengan cara ini.

Segala puji bagi Allah, sebagai penegasan, kami telah mencoba cara ini kepada para pasien. kami telah membuktikan benarnya ucapan Rasul kami shalallahu 'alaihi wasallam. Pasien yang mengalami LBP kondisinya membaik dan rasa sakit pun hilang dengan izin Allah subhanahu wa ta'ala.

🍵 Cara pemakaian (pengolahan) :
*Buang bulu dan kulitnya.*
🔶 Ekor kambing dicairkan di atas api.
    -Cairan tersebut dibagi menjadi tiga bagian.
    -Satu bagian diminum setiap harinya sebelum makan, sebagaimana dhahirnya hadits.

🔷 bisa juga anda jadikan ekor kambing menjadi _maraq_ (kuah).
    - Ekor kambing ditambahkan padanya air tiga gelas,  garam, bawang putih, merica hitam.
    - Diminum setiap harinya satu gelas.

Inilah pengobatan nabawy berkenaan dengan LBP yang datang dalam bentuk (kalimat) penegasan.

2⃣ Ada juga terapi lain di Arab, sudah dikenal dan bermanfaat untuk LBP yang sudah teruji,  yaitu *al-fashdu*.
al-fashdu adalah pemotongan pembuluh darah di kaki 👣.

Telah datang dalam ash-Shahih, hadits Jabir bin Abdillah bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang dokter kepada  'Ubay bin Ka'ab. Dokter  memotong pembuluh darah ‘Ubay dan kemudian meng-kaynya*.
(Hadits  dikeluarkan Imam Muslim no. 2.207 dalam As-Salam, bab setiap penyakit ada obatnya.)

3⃣ Kami juga sering menerapkan bekam, termasuk perantara kesembuhan LBP, yaitu bekam pada 6-7 lokasi atau titik bekam.  Meliputi pinggul, punggung bawah, paha, betis, dan belakang tumit, dan punggung kaki 👣.
Dalam Shahih al-Bukhari dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu 'Abbas dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kesembuhan itu pada tiga : minum madu, sayatan bekam, dan kay api🔥.  Aku melarang umatku dari kay".
Hadits dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari 10/116 dalam ath-Thibb (pengobatan) : bab kesembuhan dengan tiga (perkara).

⛔Peringatan❗
Dilarang banyak aktivitas gerak, bawa barang berat, dan mendatangi istrinya (jima') selama terapi.

Semoga Allah memberikan manfaat padaku dan kalian dengan risalah ini, dan menjadikannya sebagai timbangan kebaikan kita. Aamiin.

📅 Jum'at, 3/10/1437

Wallahu Ta'ala a'lam bis shawaab.

📝Ditulis dan diterjemahkan oleh:
Abu Ahmad ar-Ramadhany Abdurrahman Dani al-Indunisiy hafidzhahullah
-------------------------
```Komunitas Kesehatan Muslim``` *```"KISWAH"```*

🔬Diedit oleh:
🔎Syeikh Abu Yahya Zakaria bin Syu'aib,  dan
🔍Syeikh Shalah Kantusy hafidzohumallah.
🔎 Editor bahasa: dr. Jamil hafidzahullah

----------------------------------
📚 Referensi :

📕An-Nihayah libnil 'atsir
📗Al-Jaami' Ash-Shahih lis syeikh Muqbil Al-Wadi'i
📘Kamus saku kedokteran dorland
📙Wikipedia
📒Ath-thibbun nabawy libnil qayyim
~~~~~~

➰➰➰➰➰➰➰➰

  علاج عرق النساء*
⛈سنة مهجورة - الطب النبوي⛈
     〽〽〽〽〽〽〽〽

وكيف أعراضه⁉
قال ابن القيم رحمه الله : وجع يبتدىء من مفصل الورك، و ينزل من خلف على الفخذ، وربما امتد على الكعب، وكلما طالت مدته : زاد نزوله ويهزل معه الرجل والفخذ. إه.
وبل حصلنا بعض المرضى مع طول مدة مرضه فكأن رجله فيها النار أو كأنه يمشي فوق النار في خطوته.
1⃣قد روى إمام السنة أبو عبدالله أحمد بن حنبل رحمه الله رحمة واسعة عن حديث أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم - كان يصف من عرق النساء* * ألية كبش عربي أسود ليس بالعظيم ولا بالصغير يجزأ ثلاثة أجزاء فيذاب فيشرب كل يوم جزءا.
قال الشيخ مقبل رحمه الله: هذا حديث صحيح على شرط الشيخين.
وكذلك رواه هذا الحديث  أبو عبد الله بن ماجة والحاكم رحمهما الله.

قليل من الناس قد جربوا هذه الطريقة، وأكثرهم لا يعرفونها أو قد يكونوا  عرفواها ولا يطبقونها أو لا يصدقونها.

و بحمد الله من باب التأكيد، قد جربناها عند المرضى وصدقنا كلام رسولنا صلى الله عليه وسلم حق صدقه، فتحسنوا أصحاب عرق النسا وذهب منهم هذا الوجع بإذن الله سبحانه وتعالى.

🍵طريقة الإستعمال:
طبعا تخرج شعرها وجلدها ثم؛
🔶تذاب إلية شاة فوق النار، وتجزّأ ثلاثة أجزاء ثم يشرب على الريق في كل يوم جزء كما ظاهر الحديث.
🔷أو تجعل كما المرق، يعني إلية.  وتُزاد فوقها الماء ٣ كؤوس مع الملح، الثوم والفلفل الأسود. ويشرب لكل يوم واحد كأس.
فهذا العلاج النبوي الذي جاء بصيغة جازمة في عرق النسا.

2⃣وهناك طريقة أخرى عندنا في العرب، معروفة ونافعة لعرق النسا مع التَجْرُبة فهو الفصد أي عبارة عن قطع العرق في القدم.
وقد ثبت في الصحيح من حديث جابر بن عبدالله : (( أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث إلى أبي بن كعب طبيبا، فقطع له عرقا، وكواه عليه )) أخرجه مسلم ٢٢٠٧  في السلام، باب لكل داء دواء.

3⃣وقد جربنا كثيرا بأن الحجامة من وسائل شفاء عرق النسا ب ٦ أو ٧ أماكن أو نقط الحجامة من الورك، وأسفل الظهر، والفخد،والساق، وخلف الكعب، وفوق القدم.
في صحيح البخاري عن سعيد بن جبير عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (( الشفاء في ثلاث : شربة عسل، وشرطة محجم، وكية نار وأنا أنهي أمتي عن الكي )).
أخرجه البخاري ١٠/١١٦ في الطب : باب الشفاء في ثلاث.

⛔التنبيه❗
ممنوع من كثرة الحركة، وحمل شيء ثقيل، وإتيان النساء في مدة العلاج.

نفعني الله وإياكم بهذه الرسالة، وأن يجعلها الله في ميزان حسناتنا. آمين.

٣/١٠/١٤٣٧ ، يوم الجمعة
--------------------------------

والله تعالى أعلم بالصواب

📚المراجع :
📗النهاية لإبن الأثير
📕الجامع الصحيح للشيخ مقبل الوادعي الجزء الرابع
📘قاموس جيبي في الطب - دورلاند
📙ويكيبديا
📓الطب النبوي لإبن القيم
~~~~~

📝كتبها أخوكم في الله:
أبو أحمد الرمضاني عبدالرحمن داني الإندونيسي حفظه الله.
🔎اعتنى بها: الشيخ أبو يحيى زكريا بن شعيب، والشيخ صلاح كنتوش حفظهما الله ورعاهما.

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/terapi-low-back-pain-lbpnyeri-pinggang.html