Cari Blog Ini

Senin, 04 Mei 2015

Tentang MENYAMBUNG TALI SILATURAHMI WALAU HANYA LEWAT TELEPON

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم شيخنا السؤال الثاني، يقول: هل يُجزئ الاتصال هاتفيًا بأولي الأرحام عن زيارتهم؟
Semoga Allah memberkahi anda, syaikh kami.
Ada yang bertanya: 
Apakah sudah cukup dikatakan menyambung tali silaturahim dengan hanya menghubungi lewat telepon tanpa datang berkunjung ke tempat mereka? 

Jawaban:
الزيارة لا شك أنها أفضل وأوقع في النفس وأقوى في نشر المودة والرحمة لما يكون بين الزائر والمزور من ذوي الأرحام من الهشاشة والبشاشة والكلام الطيب الجميل، لكّن إذا بَعُدَتْ الشُّقة وكَثُرَتْ المشاغل الهاتف فيه خير إن شاء الله تعالى
Berziarah atau berkunjung tanpa diragukan lebih afdhol dan lebih berkesan di hati kerabat tersebut, dan kuat pengaruhnya dalam menumbuhkan kecintaan dan kasih sayang, dikarenakan dengan adanya pertemuan tersebut terjadi yang namanya saling bertatap muka, tersenyum dan saling berbincang satu sama lain.
Akan tetapi, kalau seandainya jaraknya cukup jauh dan banyak kesibukan, maka menyambung silaturahim dengan menelpon sudah cukup baik, insya Allah taala.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11272

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri hafizhahullah

Tanya:
Apa batasan memutus tali silaturahim? Apakah (sudah dikatakan putus ketika) tidak menyambung hubungan sebulan sekali? Atau apakah lebih banyak dari itu ataukah kurang dari itu?

Jawab:
PERTAMA: Menyambung tali silaturahmi itu sebagaimana (yang aku jelaskan) di awal dan aku tunjukkan: dimulai dari terdekat kemudian yang terdekat berikutnya. Yang paling utama dari karib kerabat tersebut adalah para mahram yang masih ada hubungan rahim.
KEDUA: Menyambung tali silaturrahmi dijalin sebatas kemampuan dan kesempatan. Jika seseorang mampu untuk membantu dengan harta, sambunglah tali silaturrahmi dengan kerabat yang berhak dibantu dengan harta. Walaupun bentuknya berupa sedekah atau hadiah.
Jika ia tidak mampu atau sedang membutuhkan hartanya tersebut, maka mulai dari kerabat yang terdekat kemudian yang terdekat berikutnya, cukup baginya terus menjalin hubungan dengan mereka. Pesawat telepon saat ini alhamdulillah bisa mendekatkan yang jauh.
Maka janganlah seseorang merasa tidak mampu untuk menyambung silaturahim dengan cara menelpon kerabatnya, baik yang ada di timur, di barat, di utara, maupun di selatan; walaupun hanya SEBULAN SEKALI.
Semakin sering ia menghubunginya, semakin kuat pula hubungan silaturahimnya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11271

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Fadhilatus syaikh Ibnu Baaz رحمه الله تعالى

Beliau berkata:
صلة الرحم واجبة حسب الطاقة الأقرب فالأقرب، وفيها خير كثير ومصالح جمة، والقطيعة محرمة ومن كبائر الذنوب
“Silaturahmi adalah wajib sesuai kemampuan (dimulai) dari yang terdekat kepada yang terdekat (berikutnya), padanya ada kebaikan yang banyak dan kemaslahatan yang besar, sedangkan memutuskan (silaturahmi) adalah keharaman dan termasuk dari dosa besar.”
(Al-Fatawa, Ibnu Baaz, 9/414)

Broadcast by:
BBM Mutiara Salaf | Pin: 54ABD49E | Channel: C001C7FFE.
https://telegram.me/MutiaraASK

Tentang MEMBUNUH HEWAN YANG MENGGANGGU

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
أمام منزلي جبل يجتمعوا فيه عدد من الكلاب أكرمكم الله تخيف الصغار بأصواتها وتقضنا من النوم، فهل يجوز لنا أن نقتلها بمادة سامه أو رميها بالبندقية؟
Di depan tempat tinggal saya ada bukit yang di sana banyak anjing yang suaranya membuat anak-anak ketakutan dan (...) dari tidur, maka bolehkah bagi kami untuk membunuhnya dengan racun atau menembaknya dengan senapan?

Jawaban:
هذا آخر شي إذا أنه ما أفاد فيها الطرد ما بقي إلا قتلها تقتلها، الذي يؤذي من الحيوانات ولا يندفع أذاه إلا بقتله يقتل
Ini cara terakhir, jika dengan mengusirnya tidak ada manfaatnya lalu tidak ada pilihan lain kecuali dengan membunuhnya maka engkau boleh membunuhnya. Hewan-hewan yang mengganggu dan gangguannya tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya maka hewan tersebut boleh dibunuh.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14801

Forum Salafy Indonesia

Tentang MENGUCAPKAN INSYA ALLAH KETIKA BERJANJI DAN BERENCANA

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Ucapan Insya Allah arti secara bahasa adalah: “jika Allah menghendaki”.
Seorang muslim mengucapkan ucapan ini ketika berjanji atau berencana mengerjakan suatu hal di waktu yang akan datang. Ia mengucapkan Insya Allah karena ia tidak tahu apakah hal yang akan dikerjakannya itu akan benar-benar terjadi atau tidak. Karena semua hal terjadi atau tidak terjadi adalah atas kehendak Allah, berdasarkan taqdir Allah. Ucapan Insya Allah juga mengandung doa isti’anah (minta pertolongan) kepada Allah agar dimudahkan mengerjakan suatu hal itu.

Ada beberapa contoh kejadian yang pernah dialami oleh para Nabi, ketika mereka tidak mengucapkan Insya Allah dalam mengucapkan sesuatu yang akan terjadi atau menjanjikan sesuatu, Allah tegur mereka. Sebaliknya, saat mereka mengucapkan Insya Allah, Allah beri mereka kemudahan dan hasil akhir yang baik.
Dan adapula kejadian saat seorang Nabi mengucapkan Insya Allah, namun dengan takdir Allah sesuatu itu tidak terjadi.

Contoh pertama:
Kejadian yang dialami Nabi Sulaiman alaihissalaam.
Nabi Sulaiman pernah bersumpah, bahwa dalam satu malam beliau akan menggilir (untuk berhubungan badan) dengan sekian puluh istrinya (sebagian riwayat menyatakan 100 atau 99, sebagian lagi 90, sebagian lagi menyatakan 70, sebagian lagi menyatakan 60), dan hasilnya semua istri itu akan melahirkan anak-anak tangguh menjadi pasukan yang akan berjihad di jalan Allah. Satu Malaikat mengingatkan agar beliau mengucapkan Insya Allah. Namun, qoddarallah Nabi Sulaiman tidak mengucapkannya. Hingga akhirnya ketika Nabi Sulaiman melakukan hal itu ternyata yang hamil hanya satu istri dan itupun melahirkan setengah manusia. Hal ini disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim.
قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلَام لَأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ بِمِائَةِ امْرَأَةٍ تَلِدُ كُلُّ امْرَأَةٍ غُلَامًا يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَقُلْ وَنَسِيَ فَأَطَافَ بِهِنَّ وَلَمْ تَلِدْ مِنْهُنَّ إِلَّا امْرَأَةٌ نِصْفَ إِنْسَانٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمْ يَحْنَثْ وَكَانَ أَرْجَى لِحَاجَتِهِ
Sulaiman bin Dawud alaihimassalaam berkata: Sungguh aku akan berkeliling (menggilir) 100 istriku malam ini, sehingga tiap wanita akan melahirkan anak yang akan berjihad di jalan Allah. Kemudian satu Malaikat mengucapkan kepada beliau: Ucapkan Insya Allah. Tapi Nabi Sulaiman tidak mengucapkan dan lupa. Kemudian beliau berkeliling pada istri-istrinya, hasil selanjutnya tidak ada yang melahirkan anak kecuali satu orang wanita yang melahirkan setengah manusia. Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam bersabda: Kalau Nabi Sulaiman mengucapkan Insya Allah, niscaya beliau tidak melanggar sumpahnya, dan lebih diharapkan hajatnya terpenuhi. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, lafadz hadits sesuai riwayat al-Bukhari)
Dalam hadits ini terkandung beberapa faidah penting bahwa ucapan Insya Allah jika disebutkan dalam sumpah, kemudian ternyata tidak tercapai, maka orang itu tidak dianggap melanggar sumpah. Faidah berikutnya, ucapan Insya Allah adalah memudahkan agar hajat terpenuhi.
Karena itu Allah berikan bimbingan adab kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam agar janganlah beliau mengucapkan: Aku akan melakukan ini besok. Dengan memastikan. Kecuali jika beliau mengucapkan Insya Allah.
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا. إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Dan janganlah sekali-kali engkau mengucapkan: Sesungguhnya aku akan melakukan hal itu besok. Kecuali (dengan mengucapkan) Insya Allah. Dan ingatlah Rabbmu ketika engkau lupa. Dan ucapkanlah: Semoga Rabbku memberikan petunjuk pada jalan terdekat menuju hidayah. (Q.S al-Kahfi ayat 23-24)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Ini adalah petunjuk dari Allah kepada Rasul-Nya –semoga sholawat Allah dan keselamatan dari Allah kepada beliau– kepada adab. Yaitu jika beliau telah memiliki tekad untuk mengerjakan sesuatu di masa yang akan datang, hendaknya mengembalikan hal itu kepada Masyi-ah (Kehendak) Allah Azza Wa Jalla, Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib. Yang Maha Mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang/akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, bagaimana kalau terjadi. (Tafsir Ibn Katsir)

Contoh Kedua:
Kejadian yang terjadi pada Nabi Ismail.
Saat beliau diberitahukan oleh ayahnya bahwa ayahnya mendapat wahyu melalui mimpi untuk menyembelih beliau, Nabi Ismail menyatakan:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan dapati aku Insya Allah termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S as-Shooffaat 102)
Nabi Ismail pasrah kepada Allah dan menyatakan: Insya Allah engkau akan dapati aku termasuk orang yang sabar. Akibatnya, Allah beri hasil akhir yang baik. Beliau tidak jadi menjadi obyek yang disembelih. Namun diganti dengan kambing.

Contoh Ketiga:
Kejadian yang terjadi pada Nabi Musa.
Saat bertemu Khidhr, Nabi Musa ingin mengambil ilmu darinya. Nabi Musa juga berjanji dengan mengucapkan Insya Allah bahwa beliau akan berusaha sabar tidak akan bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan Khidhr, namun qoddarollah hal itu tidak tercapai.
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا
Nabi Musa berkata: Engkau akan mendapati aku insya Allah sebagai orang yang sabar dan tidak akan bermaksiat terhadap perintahmu. (Q.S al-Kahfi ayat 69)
Namun di akhir kisah, ternyata Nabi Musa tidak bisa bersabar hingga 3 kali. Kemudian Khidhr menyatakan:
ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Demikianlah penjelasan dari hal-hal yang engkau tidak mampu bersikap sabar. (Q.S al-Kahfi ayat 82)
Ini menunjukkan bahwa atas takdir Allah kadangkala meski seorang sudah berupaya dan sebelumnya mengucapkan Insya Allah, tidak terjadi yang diharapkannya. Namun, ia harus yakin bahwa segala yang ditakdirkan Allah adalah baik untuknya.

Dari 3 kisah Nabi di atas, kita bisa mengambil faidah, bahwa hendaknya jika akan berjanji kita mengucapkan Insya Allah dengan harapan Allah akan menolong kita mendapatkan yang diinginkan. Namun jika ada teman kita yang mengucapkan Insya Allah dalam janjinya kemudian tidak terpenuhi, kita berhusnudzdzhon bahwa itu memang atas takdir Allah dan ia telah berusaha memenuhinya. Dan ucapan Insya Allah tidak pantas untuk dijadikan tameng oleh seorang muslim guna bermalas-malasan atau sudah ada niatan untuk menyelisihinya. Baarakallaahu fiikum.

Salafy .or .id