Cari Blog Ini

Senin, 20 Oktober 2014

Tentang CARA MENGAFANI JENAZAH

Setelah kafan diberi wangi-wangian sehingga aroma semerbaknya menempel pada kain, kafan yang paling bagus dan paling lebar/lapang dibentangkan kemudian diberi hanuth. Hanuth adalah sejenis wangi-wangian yang biasa diberikan kepada mayat secara khusus. Menyusul kain kedua diletakkan di atas kain pertama lalu diberi hanuth dan kapur barus. Demikian pula kain ketiga yang akan bersentuhan langsung dengan tubuh mayat.

Setelahnya mayat diangkat dalam keadaan tertutup kain dan diletakkan di atas kain kafan yang paling atas (dari tiga lapis kain yang telah disusun) dalam keadaan terlentang, di mana kain kafan yang tersisa pada bagian kepalanya lebih panjang daripada pada bagian kedua kakinya.

Kemudian disiapkan kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu dimasukkan di antara dua belahan pantat si mayat dengan cara yang lembut untuk menahan keluarnya sesuatu dari duburnya yang beraroma tidak sedap, lalu diikat di atasnya dengan kain perca yang dibelah ujungnya seperti celana pendek.

Diambil lagi kapas yang diberi hanuth dan kapur barus lalu diletakkan di atas mulut si mayat, dua lubang hidung, dua mata, dua telinga, anggota-anggota sujudnya yaitu dahi dan hidung, telapak tangan, dua lutut dan dua telapak kaki, dan seluruh lubang yang ada di anggota tubuhnya, termasuk lukanya yang berlubang bila ada untuk mencegah darah/nanah yang mungkin keluar hingga mengotori kafan.

Rambut dan jenggot si mayat diberi kapur barus pula.

Kemudian bagian kain kafan yang tersisa di sisi kiri si mayat ditekuk/dilipat ke sisi kanan tubuh mayat, lalu kain yang di sisi kanan ditekuk ke sisi kiri tubuh mayat sehingga mayat benar-benar terbungkus/diselimuti dalam kafannya, atau sebaliknya sisi kanan kafan terlebih dulu ditekuk baru sisi kiri. Hal yang sama juga dilakukan pada lembar kafan yang kedua dan ketiga.

Terakhir, kain yang tersisa di bagian kepala mayat dikumpulkan, lalu ditekuk ke bagian atas wajah mayat agar kain pada bagian wajah tidak tersingkap karena tiupan angin misalnya. Sedangkan kain yang tersisa pada bagian kaki ditekuk ke bagian atas kedua kaki mayat. Dan bisa diikat bila khawatir kafannya terbuka/terbongkar namun bila hendak dimasukkan ke kuburannya, ikatan tersebut dibuka.

(Al-Hawil Kabir 3/21-23, Al-Majmu’ 5/157- 161, Al-Mughni 2/169, Asy-Syarhul Mumti’ 2/517- 519)

Tentang MENYUSUI ORANG DEWASA UNTUK MENJADIKANNYA MAHRAM

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata:

Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi As-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuhkembangkan tubuh. Dengan demikian tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar.

Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Maka ia pun minta fatwa kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam masalah ini. Nabi shallallahu alaihi wasallam pun bersabda:
“Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).”
Lalu bagaimana menjawab hal ini?

Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/tidak berlaku lagi). Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus. Pendapat inilah yang benar, akan tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah.

Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu. Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu. Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini.

Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut.

Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya). Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
“Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram).”
Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar?”
Beliau menjawab: “Ipar adalah kematian.”
Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah akan mengatakan: “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu.

Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.

(Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/409-410)

Sumber: Asy Syariah Edisi 011

###

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh

Tanya:
Apakah menyusui anak laki-laki yang sudah besar punya pengaruh dalam kemahraman? Bagaimana bila ada seorang wanita menyusui anak laki-laki yang sudah besar karena ia membutuhkan mahram?

Jawab:
“Ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Jumhur berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan kemahraman secara syar’i adalah bila si anak menyusu lima kali susuan atau lebih, dan penyusuan itu terjadi ketika si anak dalam batasan usia dua tahun. Dengan dalil sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha:
لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Suatu penyusuan tidaklah menjadikan mahram kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. hadits 2150 –pent.)
Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya.”
Asy-Syaikh melanjutkan, “Inilah mazhab/pendapat yang kami pegangi.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar. Mereka berargumen dengan kisah Salim maula Abi Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan bahwa Sahlah istri Abu Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah, Salim biasa masuk menemuiku sementara ia sudah besar sehingga dalam diri Abu Hudzaifah ada rasa tidak senang.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya:
أَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ
“Susuilah Salim hingga ia bisa masuk menemuimu.” *)
Mereka yang menolak teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar memberikan tanggapan tentang kisah Salim, dengan beberapa jawaban.
Di antaranya: kejadian Salim adalah khusus baginya. Sebagaimana pernyataan para Ummahatul Mukminin –semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka– ketika menyatakan, “Kami tidaklah memandang peristiwa itu melainkan sebagai rukhshah (keringanan) yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam berikan kepada Salim secara khusus. Maka tidak boleh seorangpun masuk menemui kami dan melihat kami dengan penyusuan seperti itu.”
Dua orang syaikh, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah mengambil jalan tengah dalam permasalahan ini. Keduanya menyebutkan bahwa kisah Salim Maula Abi Hudzaifah ini merupakan satu jenis peristiwa yang khusus berlaku dalam seluruh keadaan yang serupa dengan keadaan Sahlah bersama Salim.
Hukumnya seperti hukum kisah Abu Burdah ketika menyembelih kurban sebelum dilangsungkannya shalat Id, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadanya:
شاَتُكَ شَاةُ لَحْمٍ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ عِنْدِي غَيْرَهَا غَيْر جَذَعٍ مِنَ الْمَعْزِ. فَأَجَازَهُ، وَقَالَ: وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
“Kambing yang telah engkau sembelih itu keberadaannya sebagai kambing yang sekadar untuk dinikmati dagingnya (tidak teranggap sembelihan qurban karena disembelih sebelum shalat Id, pent.).” Abu Burdah berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak punya lagi kambing (untuk disembelih) selain kambing tersebut, kecuali seekor jadza’ dari ma’iz (anak kambing kacang/kambing jawa yang berusia 6 bulan –pent.).”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun membolehkan Abu Burdah berqurban dengan anak kambingnya yang masih ada 6 seraya bersabda, “Dan ini tidak dibolehkan bagi seorang pun setelahmu.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, tidak boleh lagi setelah keadaanmu ini.”
Apa yang kami isyaratkan ini disebutkan dengan jelas oleh Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, di mana beliau menyatakan,
“Penyusuan lelaki/anak yang telah besar menyebabkan tersebarnya hurmah (hubungan kemahraman) dari sisi bolehnya ia masuk menemui ibu susunya dan berduaan dengannya, apabila memang si anak/lelaki yang sudah besar itu sebelumnya telah dididik/dibesarkan di rumah tersebut, di mana penghuni rumah tidak marah dengan keluar masuknya karena kebutuhan yang ada. Hal ini berdasarkan kisah Salim, maula Abi Hudzaifah.”
Dengan apa yang telah kami sebutkan, menjadi jelaslah jawaban yang ada dan menjadi jelas dengannya keberadaan wanita yang anda tanyakan. Keadaannya tentu tidak sama dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah, karena wanita itu ingin menyusui seorang anak yang sudah besar agar menjadi mahramnya. Yang seperti ini tidak dibolehkan.
Adapun kalau si wanita mengatakan, ia butuh kepada mahram, karena kalau aku mati siapa yang akan memasukkanku ke dalam kubur dan melepas ikatan kafanku?
Maka jawabannya, tidak apa-apa seorang lelaki ajnabi memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepas ikatan kafannya, walaupun di sana ada mahram si wanita. Demikian, dan hanya Allah -lah yang memberi taufik.

(Fatawa wa Rasa`il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 11/176, 177. Fatwa ini bernomor 2182/1, bertanggal 12 Sya’ban 1385 H)

*) Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Aisyah, ia berkata: Sahlah bintu Suhail datang menemui Rasulullah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya melihat ketidak senangan di wajah Abu Hudzaifah dengan masuknya Salim ke rumah kami.” Nabi bersabda, “Kalau begitu susui Salim.” Sahlah menjawab, “Bagaimana aku menyusuinya sementara ia sudah besar?” Rasulullah tersenyum dan berkata, “Sungguh aku tahu dia sudah besar.” -pent.

http://asysyariah.com/menyusui-karena-butuh-mahram/

Tentang BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM BERDOA

Al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunan-nya sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
‏ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺄَﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻐْﻀَﺐْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ‏
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Dia akan murka kepadanya."

Dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘annu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
”Janganlah kalian lemah di dalam berdo’a. Karena sesungguhnya tidak seorangpun akan binasa bersama do’a.”

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ﻳُﺴْﺘَﺠَﺎﺏُ ﻟِﺄَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﺠَﻞْ ﻳَﻘُﻮﻝُ: ﺩَﻋَﻮْﺕُ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺴْﺘَﺠَﺐْ ﻟِﻲ
“Akan dikabulkan untuk kalian (doa kalian) selama tidak terburu-buru, (dengan mengatakan): ‘Aku sudah berdoa tapi tidak dikabulkan untukku’.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ad-Da’awat dan Muslim Kitab Adz-Dzikri wa Ad-Da’awat)

Al-Auza’i menyebutkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menyukai seorang yang merengek dalam do’anya.”

Di dalam kitab Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad, disebutkan sebuah Atsar dari Qotadah, dari Muwarriq, “Aku tidak mendapati permisalan yang tepat bagi seorang mukmin, kecuali ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan satu buah kayu. Lalu ia berdo’a, “Wahai Rabbku, Wahai Rabbku..” Ia berharap Allah akan menyelamatkannya."

Sumber : Al-Jawabul Kaafi hal.11

###

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلاَّ آتَاهُ اللهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَالسُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
“Tidaklah seseorang yang berdoa dengan sebuah doa kecuali Allah akan berikan apa yang dia minta, atau Allah hindarkan dia dari keburukan yang senilai dengannya, selama dia tidak meminta sesuatu yang mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهُ فِيهَا إِثْمٌ أَوْ قَطِيعَةُ رَحِمٍإِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إِمَّا أنْ يُعجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّاأَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَكْشِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِمِثْلَهَا. قَالُوا: إِذاً نُكْثِرُ؟ قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan sebuah doa yang tidak mengandung dosa atau pemutusan silaturahmi kecuali Allah akan kabulkan dengan salah satu dari tiga hal: Allah akan segerakan pengabulan doanya, Allah akan tabung untuknya di akhirat, atau Allah akan hindarkan dia dari kejelekan yang senilai dengannya.”
Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu kita memperbanyak doa?!”
Beliau menjawab, “Allah akan lebih banyak.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib)

Ibnu Batthol Rohimahulloh berkata:
“Sudah seharusnya orang yang berdoa tetap bersungguh-sungguh dalam munajatnya, berharap besar untuk terkabul, tanpa putus asa dari rahmat Allah azza wa jalla sedikitpun, karena ia memohon kepada Dzat Yang Maha Pemurah.” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar Rohimahulloh)

Tentang SUNNAH SEPUTAR MEMANDIKAN JENAZAH

1. Memandikan jenazah dengan air dan daun sidr (bidara).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma berkata: Ketika seseorang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tunggangannya yang seketika itu menginjaknya hingga meninggal. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan para shahabatnya, “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara.” (HR. Al-Bukhari no. 1265 dan Muslim no. 1206)

2. Jenazah laki-laki harus dimandikan oleh laki-laki dan jenazah wanita dimandikan oleh wanita pula, kecuali suami istri. Diperbolehkan suami memandikan jenazah istrinya dan sebaliknya istri boleh memandikan jenazah suaminya.

‘Aisyah radhiallahu anha berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam kembali kepadaku setelah mengantarkan jenazah ke Baqi’. Ketika itu aku merasakan sakit pada kepalaku, maka aku katakan, “Aduh, kepalaku sakit.” Beliau shallallahu alaihi wasallam pun berkata, “Aduh, aku juga sakit kepalaku. Tidak bermudharat bagimu, seandainya engkau meninggal mendahuluiku, aku akan memandikan jenazahmu, mengafanimu, menshalatimu kemudian menguburkanmu.” (HR. Ahmad 6/228 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 67)

3. Menyembunyikan aib si mayit yang terlihat saat memandikannya

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang memandikan (jenazah) seorang muslim lalu ia menyembunyikan (apa yang dilihatnya dari aib si mayit) maka Allah akan mengampuninya 40 kali.” (HR. Al-Hakim 1/354, 362. Ia berkata tentang hadits ini: “Shahih di atas syarat Muslim.” Adz-Dzahabi menyepakatinya. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Ahkamul Jana`iz hal. 69, “Hadits ini memang shahih di atas syarat Muslim sebagaimana yang dikatakan keduanya.”)

4. Mencampurkan kapur barus pada akhir basuhan

Ummu ‘Athiyyah radhiallahu anha berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam masuk menemui kami ketika kami akan memandikan jenazah putri beliau Zainab. Beliau berkata, "Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr. Jadikanlah akhir basuhannya bercampur dengan kapur barus atau sedikit dari kapur barus. Bila kalian telah selesai memandikannya, panggillah aku.” Maka ketika kami telah selesai, kami pun memanggil beliau. Beliau memberikan sarungnya pada kami seraya berkata: “Selimutilah tubuhnya dengan kain ini.” (HR. Al-Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939)

5. Mandi setelah memandikan jenazah

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang memandikan jenazah, maka hendaklah ia mandi. Dan siapa yang memikul jenazah, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 3161 dan At-Tirmidzi no. 993, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)