Cari Blog Ini

Senin, 17 Agustus 2015

Tentang ZAKAT FITRAH UNTUK JANIN

FATWA LAJNAH DAIMAH SAUDI

Pertanyaan Pertama dari Fatwa Nomor 1474

Pertanyaan 1:
هل الطفل الذي ببطن أمه تدفع عنه زكاة الفطر أم لا؟
Apakah anak yang masih berada di perut ibunya wajib dibayarkan zakat fitrah atau tidak?

Jawaban 1:
يستحب إخراجها عنه لفعل عثمان رضي الله عنه ولا تجب عليه لعدم الدليل على ذلك
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Dianjurkan membayarkan zakat fitrah untuknya berdasarkan perbuatan Utsman radhiyallahu `anhu, tetapi tidak wajib dilakukan dikarenakan tidak ada dalil tentang hal itu.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Al-Lajnah ad-Daimah Lilbuhutsil Ilmiyyah wal Ifta' | Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq 'Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan

Lihat pembahasan zakat:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=122697

WHATSAPP AL-UKHUWWAH

WA Lintas Ilmu Shiyam
WALIS

###

Apakah Janin Wajib Dizakati?

Adapun janin yang masih berada di dalam perut ibunya, tidak ada kewajiban zakat fitr baginya, sebagaimana yang dikuatkan oleh mayoritas para Fuqaha. Namun jika ia ingin mengeluarkan zakat untuk janin, maka hal itu disukai, sebagaimana yang diamalkan oleh Utsman bin Affan Radiyallohu ‘anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat untuk anak kecil, orang dewasa dan janin dalam kandungan.
(Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Masaail-nya (9/170) dari Humaid bin Bakr dan Qatadah)

Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Mushannaf-nya, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya dari Abu Qilabah berkata: “Mereka (para sahabat Nabi) menunaikan zakat Fitr hingga mereka membayar zakat untuk janin dalam kandungan.”

Oleh:
Abu Muawiyah Askary bin Jamal
14 ramadhan 1433 H

http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/92-tuntunan-ringkas-tentang-zakat-fitrah

TIS

WA Lintas Ilmu Shiyam
WALIS

Tentang MENJAGA KEHORMATAN, HAK-HAK, DAN KEWIBAWAAN PEMERINTAH

MENGHORMATI PEMERINTAH SEBAGAI WALIYYUL AMRI

Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf hafizhahullah

Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa al-hakim al-muslim (pemerintah yang muslim), tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pemerintah ini adalah seorang muslim, adil, bijaksana, taat beragama, tepercaya, menampakkan kasih sayang kepada kaum muslimin, mengerahkan segenap upayanya demi kebaikan kaum muslimin dan kebaikan Islam. Pemerintah yang seperti ini wajib dihormati dan dimuliakan sebagai bagian dari mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, seperti yang disinggung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits yang sahih,
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِجْلَالُ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِم،ِ وَذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرُ الْغَالِي فِيهِ أَوِ الْجَافِي عَنْهُ
“ Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati orang tua yang muslim, penguasa yang adil, dan penghafal al-Qur’an; tanpa berlebihan di dalamnya atau menyepelekannya.” (HR. Abu Dawud no. 4843)

Penguasa yang adil adalah yang memimpin manusia dengan perintah dari Allah Subhanahu wata’ala dan perintah Rasul- Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, menerapkan syariat Allah Subhanahu wata’ala, menegakkan keadilan, dan kasih sayang. Penguasa seperti ini wajib dimuliakan, dihormati, dan diagungkan, karena hal ini bagian dari mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala. Penguasa ini adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، مَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ ا للهُ
“Penguasa adalah naungan Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi, siapa yang memuliakannya, Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya, dan siapa yang menghinakannya Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

2. Pemerintah yang muslim, namun zalim atau pribadinya fasik, dan pelaku kemaksiatan, tetapi tidak sampai keluar dari ruang lingkup keislaman. Pemerintah seperti ini tidak boleh diberontak dan tidak boleh (bagi siapa pun) untuk memprovokasi rakyat melakukan pemberontakan kepadanya, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّهُ سَيَكُو ن عَلَيْكم أُ مَرَ ا ءُ تَعرِ فُو ن وَ تنْكرُ و نَ
“Sesungguhnya akan ada para umara yang memimpin kalian, kalian mengenal (perbuatan baiknya) dan mengingkari (perbuatan buruknya).”

Beliau juga mengabarkan bahwa di akhir zaman akan ada para pemimpin yang memberi petunjuk tidak dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menetapkan sunnah tidak dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau ditanya, “Apa yang harus dilakukan menghadapi pemimpin yang seperti ini?” Beliau menjawab ditujukan kepada semua orang, “Kita hendaknya memohon (hak kita) kepada Allah Subhanahu wata’ala dan tetap taat (kepada mereka).”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, bahwa di akhir zaman akan ada para pemimpin atau umara yang bertindak semenamena— korupsi, kolusi, dan nepotisme— terhadap dunia dan harta benda serta berbagai kemungkaran yang diingkari, namun beliau tetap memerintahkan agar kita mendengar dan taat kepada pemimpin itu.

Beliau mengabarkan, kita akan dipimpin oleh umara yang mengakhirakhirkan shalat dari waktunya, tetapi masih menunaikan shalat. Sebagian sahabat beliau bertanya, “Bolehkah kami bunuh? Kami penggal dengan pedang?” Beliau menjawab, “Tidak! Selama mereka masih menunaikan shalat.”

Dalam sebagian riwayat, beliau memerintah para sahabatnya agar bersabar. Bahkan, beliau memerintah orang yang datang bersama mereka (umara) agar menunaikan shalat pada waktunya, dan jika kebetulan mereka sedang menunaikan shalat, hendaknya shalat bersamanya.

Semua itu, sebagai bentuk penjagaan terhadap kewibawaan pemerintah, menjaga persatuan kaum muslimin, mengatur urusan-urusannya, dan menguatkan barisannya. Sebab, kewibawaan Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya kewibawaan pemerintah dalam setiap jiwa. Kewibawaan itu tidak dapat dicapai kecuali dengan penghormatan terhadap mereka yang tertanam dalam setiap dada manusia, mengajak semua pihak untuk memuliakan mereka, taat dan mendengar, serta tidak merendahkannya. Kemaslahatan seluruh rakyat dalam urusan agama dan dunianya tidak akan terwujud kecuali dengan kewibawaan pemerintah dan kehormatannya yang ada dalam diri setiap orang.

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahumallah telah menukil kesepakatan ulama menyangkut persoalan ini, (beliau menyatakan), “Sesungguhnya kemaslahatan Islam tidak akan tegak kecuali dengan dihormatinya (pemerintah), dipenuhinya hak-haknya, dan adanya kewibawaan mereka dalam jiwa-jiwa manusia. Dengan inilah urusan agama dan dunia berjalan, sebagaimana pernyataan para ulama Islam, (al-Imam al-Qarafi) dalam adz-Dzakhirah, (al- Imam Badruddin Ibnu Jamaah) dalam Tahrir al-Ahkam bi Tadbir Ahli al- Islam, dan selainnya. Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati mereka. Semua menegaskan bahwa tertatanya kemaslahatan rakyat dan negara adalah dengan cara mewujudkan apa yang menjadi faktor pendukungnya. Apa yang menjadi faktor pendukungnya? Ya, menumbuhkan kewibawaan pemerintah dalam dada kaum muslimin.

Apabila pemerintah tidak lagi memiliki kewibawaan, bahkan diupayakan agar kewibawaannya lenyap dari hati manusia, lepaslah ikatan kepemimpinan itu. Saat itu pula tidak ada sikap taat dan mendengar (dari rakyat) sehingga terjadilah berbagai kekacauan dan kerusakan.” (diambil dari ceramah asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, 10 Jumadil Akhir 1432 H, yang kemudian diberi judul al-Hakim wa Anwa’uhu fi Sunnah an-Nabawiyyah)

Sumber: Majalah Asy Syariah

Tentang MENGQADHA SALAT KARENA PINGSAN ATAU TIDAK SADARKAN DIRI

Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah

Tanya:
Apakah yang harus dilakukan seorang yang sakit kemudian orang tersebut akan dioperasi dengan dibius total? Dalam keadaan saat menjalani operasi tersebut, akan dilaksanakan dia mendapati waktu shalat dan dia tidak mengerjakan shalat tersebut. Dan ketika pasca operasi orang tersebut sadar, dia mendapati satu atau dua waktu shalat terlewatkan, apakah orang tersebut wajib mengqadha waktu shalat yang terlewatkan itu? Bila ada kewajiban dia menggantikan waktu shalat tersebut, bagaimana dia mengerjakannya? Apakah dijama'? Atau dikerjakan secara sempurna dengan niat masing-masing waktu yang ditinggalkan?

Jawab:
Dikerjakan, dikerjakan kapan dia sadar, dia mengqadha seluruh shalat yang dia tinggalkan tersebut. Kapan dia sadar, dan kapan dia mampu untuk mengerjakannya, maka dia mengqadha. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:
ﻣَﻦْ ﻧَﺴِﻲَ ﺻَﻠَﺎﺓً ﻓَﻠْﻴُﺼَﻠِّﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺫَﻛَﺮَﻫَﺎ، ﻟَﺎ ﻛَﻔَّﺎﺭَﺓَ ﻟَﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺫَﻟِﻚَ
Barangsiapa yang tertidur dari shalat, atau lupa, maka kafarahnya ketika dia mengingatnya. (HR. Muslim, 314/684)
Jadi ketika seorang tersadarkan setelah dia dioperasi, dan dia mampu untuk mengerjakan shalat, maka dia segera mengerjakan shalat dan mengqadha setiap shalat yang dia tinggalkan.

TIS

Tentang BERSEGERA MENUNAIKAN IBADAH HAJI

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah

Teks pertanyaan:
ﻫﻞ ﺍﻟﺤﺞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻮﺭ ﺃﻭ ﺍﻟﺘﺮﺍﺧﻲ؟
Apakah haji itu ditunaikan secara langsung tanpa penundaan ataukah boleh adanya jeda?

Teks jawaban:
ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﺞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻮﺭ ﻟﻘﻮﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢْ: ﻣﻦ ﻛﺴﺮ ﺃﻭ ﻋﺮﺝ ﻓﻘﺪ ﺣﻞ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻗﺎﺑﻞ. ﻭﺃﻣﺎ ﺣﺪﻳﺚ: ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﺤﺞ ﻓﻠﻴﺘﻌﺠﻞ، ﻓﺎﻟﺬﻱ ﺃﻋﺮﻑ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﺿﻌﻴﻒ
Yang shahih di antara pendapat para ‘ulama bahwa haji dilaksanakan secara langsung tanpa penundaan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:
ﻣﻦ ﻛﺴﺮ ﺃﻭ ﻋﺮﺝ ﻓﻘﺪ ﺣﻞ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻗﺎﺑﻞ
Siapa yang patah tulang atau pincang, maka boleh baginya bertahallul dan wajib mengulangi hajinya di tahun mendatang.
Adapun hadits:
ﻣﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺍﻟﺤﺞ ﻓﻠﻴﺘﻌﺠﻞ
Barang siapa ingin berhaji, hendaklah ia bersegera.
Maka yang saya ketahui hadits ini lemah.

Lihat kitab: Ijabatus Sail ‘ala Ahammil Masail hal 127

Sumber:
www .muqbel .net/fatwa .php?fatwa_id=148

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Tentang WANITA BERHIAS PADA HARI PERNIKAHANNYA

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah

Teks pertanyaan:
ﻣﺎﻫﻮ ﻟﺒﺎﺱ ﺍﻟﻌﺮﻭﺱ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ،ﻭﻣﺎﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﻥ ﻳﺮﻯ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﻮﻡ ﺯﻓﺎﻓﻬﺎ ،ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻣﺎﻡ ﻣﺤﺎﺭﻣﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺃﻣﻬﺎ ﻭﻗﺮﻳﺒﺎﺗﻬﺎ ﻓﻬﻞ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺃﻣﺎﻣﻬﻢ ﺑﺎﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﺠﻤﻴﻠﺔ ﻭﺍﻟﺤﻠﻲ ﻭﺭﻓﻊ ﺍﻟﺨﻤﺎﺭ ﻭﺗﺴﺮﻳﺢ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﺃﻣﺎﻣﻬﻢ ﻭﺃﻣﺎﻡ ﻏﻴﺮﻫﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍﻟﻔﺎﺳﻘﺎﺕ ﺃﻡ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﻓﻘﻂ؟
Bagaimana pakaian mempelai perempuan yang disyariatkan dan apa saja yang boleh dilihat darinya pada hari pernikahannya? Dan bila dihadapan mahramnya dari kalangan lelaki, ibunya, dan sanak kerabatnya, apakah boleh berhias di depan mereka dengan mengenakan pakaian yang indah, perhiasan, menanggalkan kerudung, serta menghias rambut di depan mereka dan selain mereka dari kalangan wanita yang fasik atau hanya berhias di hadapan suami saja?

Teks jawaban:
ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﻳﻮﻡ ﺯﻓﺎﻓﻬﺎ ﺑﺎﻟﺰﻳﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺳﺮﺍﻑ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﻛﻞ ﻭﺍﻟﺒﺲ ﻭﺗﺼﺪﻕ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺳﺮﻑ ﻭﻻ ﻣﺨﻴﻠﺔ، ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮ ﻫﻮ ﺃﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺳﺮﺍﻑ، ﻭﻻﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻫﺐ ﺃﻭ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﻔﺎﺧﺮﺓ
Seorang wanita boleh berhias pada hari pernikahannya dengan perhiasan yang tidak berlebihan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:
ﻛﻞ ﻭﺍﻟﺒﺲ ﻭﺗﺼﺪﻕ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺳﺮﻑ ﻭﻻ ﻣﺨﻴﻠﺔ
“Makan, berpakaianlah, dan bershadaqahlah tanpa berlebihan dan sikap sombong.”
Yang jadi acuan ialah tidak adanya israf (pemborosan/berlebihan). Dan tidak mengapa ia berhias dengan mengenakan sedikit dari emas dan sedikit dari pakaian kebanggaan.
ﻭﺃﻣﺎ ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺃﻣﺎﻡ ﻣﺤﺎﺭﻣﻪ؟ ﻭﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ؟ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﻓﻠﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﺤﺮﻡ ﺃﻭ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﺃﻥ ﻳﺮﻯ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻠﺒﺴﻬﺎ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ، ﻭﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ ﻳﺮﺍﻩ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﻡ ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﺍﻟﻔﺎﺳﻘﺎﺕ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﻦ ﺃﻥ ﻳﺮﻳﻦ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﺣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﺎﻓﺮﺓ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﺎﻓﺮﺓ ﻓﻼﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﺮﻯ ﺯﻳﻨﺔ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﻭﻳﺴﺘﺪﻟﻮﻥ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻭﻻﻳﺒﺪﻳﻦ ﺯﻳﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ؛ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ: ﺃﻭ ﻧﺴﺎﺋﻬﻦ
Adapun apakah ia boleh berhias di hadapan mahramnya? Dan di hadapan para wanita? Maka hal itu juga tidak mengapa, meskipun perhiasan tersebut untuk di hadapan suami. Maka di sana tidak ada dalil yang mengharamkan atau dalil yang mengkhususkan bahwa suami melihat sebagian perhiasan yang dikenakan isterinya dan sebagian lainnya untuk dilihat mahramnya, maka di sana tidak ada dalilnya.
Demikian juga dengan para wanita dan wanita-wanita fasik, boleh bagi mereka untuk melihat perhiasannya. Bahkan menurut pendapat yang shahih di antara pendapat para ‘ulama meskipun wanita kafir (yang melihatnya).
Walaupun jumhur ‘ulama berpandangan apabila wanita kafir maka tidak boleh melihat perhiasan wanita muslimah. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:
ﻭﻻ ﻳﺒﺪﻭﻥ ﺯﻳﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ
“Janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasannya kecuali kepada suami-suami mereka…”
sampai firman Allah :
ﺃﻭ ﻧﺴﺎﺋﻬﻦ
“…atau wanita-wanita mereka.” (An-Nuur: 31‏)
ﻓﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮﺓ ﺃﻥ ﺗﺮﻯ ﺯﻳﻨﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﻤﻨﻊ ،ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻠﻤﺖ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺃﺧﻴﻨﺎ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﺍﻟﻌﺪﻭﻱ > ﺟﺎﻣﻊ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ < ﻓﻬﻮ ﻛﺘﺎﺏ ﻗﻴﻢ ﻻﺃﻋﻠﻢ ﻟﻪ ﻧﻈﻴﺮ ﺗﻜﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻭﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻭﺍﻳﺘﻴﻦ ﺑﺎﻟﺠﻮﺍﺯ ﻭﺍﻟﻤﻨﻊ، ﻭﺍﻟﺠﻮﺍﺯ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ، ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﺪﺧﻞ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻤﺎﻡ، ﻭﻟﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻻﻳﺜﺒﺖ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
Namun yang shahih bahwa wanita-wanita kafir itu boleh melihat perhiasan wanita muslimah sedangkan di sana tidak ada dalil yang menghalanginya. Dan di antara kitab terbaik yang berbicara tentang masalah ini ialah kitab saudara kami Mushthafa al-‘Adawi [Jami’ Ahkamin Nisa’] dan itu merupakan kitab yang berharga, saya tidak mengetahui ada yang semisal dengannya dalam berbicara tentang masalah ini. Diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan dua riwayat, riwayat yang membolehkan dan yang melarang.
Dan yang membolehkan itulah pendapat yang shahih karena tidak ada dalil shahih yang melarang dari hal ini.
Datang sebuah riwayat dari ‘Umar bahwa beliau melarang para wanita muslimah masuk bersama wanita-wanita musyrik ke dalam kamar mandi, namun riwayat ini tidak tsabit dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.

Lihat kitab:
Gharatul Asyrithah (2/472)

Sumber:
www .muqbel .net/fatwa .php?fatwa_id=3656

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Tentang RUQYAH SYARI

Definisi Ruqyah

Makna ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan) yang digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas karena disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir 3/254)

Secara terminologi, ruqyah terkadang disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz Abadi berkata: “Yang dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah. Sedangkan ruqyah yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap orang-orang yang terkena berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.” (Lihat Al-Qamus Al-Muhith)

Adapun makna ruqyah secara etimologi syariat adalah doa dan bacaan-bacaan yang mengandung permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah untuk mencegah atau mengangkat bala/penyakit. Terkadang doa atau bacaan itu disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua telapak tangan atau anggota tubuh orang yang meruqyah atau yang diruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh yang berjudul Ar-Ruqa wa Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri, hal. 4)

Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)

Ruqyah di Masa Jahiliyyah

Setiap manusia yang mengerti kemaslahatan tentunya selalu ingin menjaga kesehatan tubuh dan jiwanya. Barangsiapa bisa memenuhi keinginan ini berarti karunia Allah untuk dirinya cukup besar. Sehingga wajar jika pengobatan ruqyah telah dikenal secara luas di tengah masyarakat jahiliyyah.

Ruqyah adalah salah satu cara pengobatan yang mereka yakini dapat menyembuhkan penyakit dan menjaga kesehatan. Kala itu, ruqyah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti tersengat binatang berbisa, terkena sihir, kekuatan ‘ain (mata jahat), dan lainnya.

Namun yang disayangkan, ruqyah sering menjadi media untuk penyebarluasan berbagai kesyirikan di kalangan mereka. Pengobatan ruqyah yang dilakukan tak luput dari pelanggaran syariat. Di antaranya adalah pengakuan mengetahui perkara ghaib, menyekutukan Allah, menyandarkan diri kepada selain Allah, berlindung kepada jin, dll.

Setelah Islam datang, seluruh ruqyah dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Islam mengajarkan kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan ruqyah. Sehingga mereka tidak terjatuh ke dalam pengobatan ruqyah yang mengandung bid’ah atau syirik.
‘Auf bin Malik berkata:
“Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’.” (HR. Muslim no. 2200)

Kebanyakan manusia terpedaya dengan penampilan ‘shalih’ dari orang yang meruqyah. Sehingga mereka tak lagi memperhatikan tata cara dan isi ruqyah yang dibacakan.
Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh hafizhahullah berkata: “Penyebaran kesyirikan banyak terjadi di negeri-negeri Islam melalui para tabib, orang yang mengobati dengan ramu-ramuan dan mengobati dengan Al-Qur`an. Ibnu Bisyr menyebutkan pada permulaan Tarikh Najd, di antara faktor penyebab tersebarnya kesyirikan di negeri Najd adalah keberadaan para tabib dan ahli pengobatan dari orang-orang Badwi di berbagai kampung sewaktu musim buah. Manusia membutuhkan mereka untuk keperluan meruqyah dan pengobatan. Maka mereka memerintahkan manusia dengan kesyirikan dan cara-cara yang tidak disyariatkan….” (Ibid, hal. 2)

Hukum Ruqyah

Ruqyah telah dikenal oleh masyarakat jahiliyyah sebelum Islam. Tetapi kebanyakan ruqyah mereka mengandung kesyirikan. Padahal Islam datang untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan. Alasan inilah yang membuat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  melarang para shahabat untuk melakukan ruqyah. Kemudian beliau membolehkannya selama tidak mengandung kesyirikan. Beberapa hadits telah menjelaskan kepada kita tentang fenomena di atas. Di antaranya:
1. Dari Abdullah bin Mas’ud bahwa beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani juga menshahih-kannya. Lihat Ash-Shahihah no. 331)
2. Dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i, bahwa beliau berkata:
Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Beliau menjawab: “Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik.” (HR. Muslim no. 2200)
3. Dari Jabir bin Abdillah, bahwa beliau berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari segala ruqyah. Lalu keluarga ‘Amr bin Hazm datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena (sengatan) kala-jengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah.” Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada beliau. Beliau bersabda: “Tidak mengapa, barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
4. Dari Jabir bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam beliau berkata:
“Dahulu pamanku meruqyah karena (sengatan) kalajengking. Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari segala ruqyah. Maka pamanku mendatangi beliau, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau melarang dari segala ruqyah, dan dahulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking.’ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda: ‘Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka hendaknya dia lakukan.” (HR. Muslim no. 2199)
5. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit beliau berkata:
“Di masa jahiliyyah dulu aku meruqyah karena (sengatan) kalajengking dan ‘ain (sorotan mata yang jahat). Tatkala aku masuk Islam, aku memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Perlihatkan ruqyah itu kepadaku!’ Lalu aku menunjukkannya kepada beliau. Beliau pun bersabda: ‘Pakailah untuk meruqyah, karena tidak mengapa (engkau) menggunakannya’.” (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh Al-Haitsaimi dalam Majma’ Az-Zawa`id. Lihat tahqiq Al-Huwaini terhadap kitab Al-Amradh karya Dhiya`uddin Al-Maqdisi, hal. 220)
6. Dari Syifa` bintu Abdullah:
“Dahulu dia meruqyah di masa jahiliyyah. Setelah kedatangan Islam, maka dia berkata: ‘Aku tidak meruqyah hingga aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.’ Lalu dia pun pergi menemui dan meminta izin kepada beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya: ‘Silahkan engkau meruqyah selama tidak mengandung perbuatan syirik’.” (HR. Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan yang lainnya. Al-Huwaini berkata: “Sanadnya muqarib.” Ibid, hal. 220)

Demikianlah mereka melakukan ruqyah di masa jahiliyyah. Ruqyah mereka mengandung perbuatan syirik sehingga dilarang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kemudian beliau membolehkannya bagi mereka selama tidak mengandung kesyirikan. Beliau membolehkannya karena ruqyah itu bermanfaat bagi mereka dalam banyak hal.

Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Hadits-hadits sebelumnya menunjukkan bahwa hukum asal seluruh ruqyah adalah dilarang, sebagaimana yang tampak dari ucapannya: ‘Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang dari segala ruqyah.’ Larangan terhadap segala ruqyah itu berlaku secara mutlak. Karena di masa jahiliyyah mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah yang syirik dan tidak dipahami. Mereka meyakini bahwa ruqyah-ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya. Ketika mereka masuk Islam dan hilang dari diri mereka yang demikian itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang mereka dari ruqyah secara umum agar lebih mantap larangannya dan lebih menutup jalan (menuju syirik). Selanjutnya ketika mereka bertanya dan mengabarkan kepada beliau bahwa mereka mendapat manfaat dengan ruqyah-ruqyah itu, beliau memberi keringanan sebagiannya bagi mereka. Beliau bersabda: ‘Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa menggunakan ruqyah-ruqyah selama tidak mengandung syirik’.” (Ahkamur Ruqa wa At-Tama`im hal. 35)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada ruqyah kecuali karena ‘ain (sorotan mata yang jahat) atau humah (sengatan kalajengking).” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari shahabat ‘Imran bin Hushain)

Menurut sebagian pendapat bahwa ruqyah tidak diperbolehkan kecuali karena dua hal yang telah disebutkan dalam hadits di atas. (Lihat Fathul Bari, 10/237, cetakan Darul Hadits)

Ini adalah pendapat yang lemah karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memaksudkan dengan sabdanya tersebut untuk melarang ruqyah pada yang selain keduanya. Yang beliau maksudkan bahwa ruqyah yang paling utama dan bermanfaat adalah ruqyah yang disebabkan karena ‘ain atau humah. Hal ini terlihat dari uraian hadits. Ketika Sahl bin Hunaif terkena ‘ain, dia bertanya: “Adakah yang lebih baik dalam ruqyah?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada ruqyah kecuali karena satu jiwa dan humah (sengatan kalajengking).”
Demikian pula hadits-hadits yang lain, baik yang bersifat umum atau khusus, seluruhnya mengarah kepada makna di atas. (Lihat Zadul Ma’ad, 4/161, cet. Muassasah Ar-Risalah)

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Para ulama berkata: ‘Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memaksudkan untuk membatasi ruqyah hanya pada keduanya dan melarang dari selain keduanya. Yang beliau maksudkan adalah tidak ada ruqyah yang lebih benar dan utama daripada ruqyah karena ‘ain dan hummah karena bahaya keduanya sangat dahsyat.” (Syarh Shahih Muslim 14/177, cet. Al-Maktab Ats-Tsaqafi)

Syarat-syarat Ruqyah

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang bolehnya ruqyah ketika terpenuhi tiga syarat:
1. Menggunakan Kalamullah atau nama-nama dan sifat-Nya.
2. Menggunakan lisan (bahasa) Arab atau yang selainnya, selama maknanya diketahui.
3. Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, namun dengan sebab Dzat Allah.
Mereka berselisih mengenai tiga hal di atas bila dijadikan sebagai syarat. Yang kuat adalah pendapat yang mengharuskan untuk memenuhi tiga syarat yang disebutkan.” (Fathul Bari, 10/237)

Dengan penjelasan di atas, berarti segala ruqyah yang tidak memenuhi tiga syarat itu tidak diperbolehkan. Jika kita rinci, ada tiga jenis ruqyah yang tidak diperbolehkan:

1. Ruqyah yang mengandung permo-honan bantuan dan perlindungan kepada selain Allah.

Ruqyah-ruqyah seperti ini sering dipakai oleh para dukun, tukang sihir, dan paranormal. Mereka memohon bantuan dan perlindungan dengan menyebut nama-nama jin, malaikat, nabi, dan orang shalih. Terkadang mereka melakukan kesyirikan ini dengan kedok agama. Banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan sebagian mereka yang memakai atribut agama. Padahal ruqyah yang mereka lakukan dan ajarkan berbau mistik serta sarat dengan kesyirikan.

2. Ruqyah dengan bahasa ‘ajam (non Arab) atau sesuatu yang tidak dipahami maknanya.

Mayoritas ruqyah yang berbahasa ‘ajam mengandung penyebutan nama-nama jin, permintaan tolong kepada mereka, dan sumpah dengan nama orang yang meng-agungkannya. Oleh karena itu, para setan segera menyambut dan menaati orang yang membacanya. Keumuman ruqyah yang tersebar di tengah manusia dan tidak menggunakan bahasa Arab banyak mengandung syirik. Demikian yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19/13-16)

Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami berkata: “Adapun ruqyah yang tidak memakai lafadz-lafadz Arab, tidak diketahui maknanya, tidak masyhur, dan tidak didapatkan dalam syariat sama sekali, maka bukanlah perkara yang datang dari Allah dan tidaklah berada dalam naungan Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan hal itu merupakan bisikan setan kepada para walinya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan sesungguhnya para setan mewahyukan kepada wali-wali mereka untuk mendebat kalian.” (Al-An’am: 121)
Ruqyah semacam inilah yang dimaksud Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya:
“Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.”
Hal itu karena orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apakah ruqyahnya menggunakan nama-nama Allah, para malaikat, atau para setan. Dia pun tidak mengetahui apakah di dalamnya terdapat kekafiran atau keimanan, kebenaran atau kebatilan, kemanfaatan atau marabahaya, dan apakah itu ruqyah atau sihir. Demi Allah, mayoritas manusia benar-benar tenggelam dalam berbagai malapetaka ini. Mereka menggunakannya dengan bentuk yang cukup banyak dan jenis yang beraneka ragam….” (Ma’arijul Qabul, 1/406, cet. Darul Hadits)

Sebagian kalangan membolehkan setiap ruqyah, walaupun maknanya tidak diketahui, asalkan terbukti memberi kemanfaatan. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada keluarga ‘Amr bin Hazm sewaktu mereka bertanya tentang ruqyah:
“Aku lihat tidak mengapa. Barangsiapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya hendaklah dia lakukan.”
Tetapi pendapat mereka ini terbantah dengan hadits ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i. Dia meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Perlihatkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa kalian menggunakan ruqyah-ruqyah itu selama tidak mengandung syirik”.
Hadits ‘Auf ini menunjukkan dilarangnya seluruh ruqyah yang mengarah kepada kesyirikan. Setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya, tidak dirasa aman, akan membawa kepada syirik. Sehingga setiap ruqyah yang tidak dimengerti maknanya dilarang dalam rangka berhati-hati. (Lihat Fathul Baari, 10/237)

3. Ruqyah yang diyakini bahwa pelakunya bisa menyembuhkan dengan sendirinya tanpa kekuasaan Allah.

Tentu yang demikian ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Karena ruqyah merupakan sebab, berarti pelaku ruqyah adalah pelaku sebab. Peruqyah ibarat dokter, sedangkan ruqyah ibarat obat. Obat adalah sebab dan dokter adalah pelaku sebab. Adapun pencipta sebab adalah Allah. Suatu sebab akan bermanfaat jika dikehendaki oleh Allah. Dahulu bangsa jahiliyah meyakini bahwa ruqyah dipastikan berpengaruh dengan sendirinya. Oleh karena itu mereka sangat mengagungkan ruqyah dan pelakunya. Ini merupakan syirik kepada Allah. Seorang hamba diperintahkan untuk menjalani sebab untuk mendapatkan akibat. Namun hatinya tidak boleh bergan-tung kepada selain Allah, karena Allah adalah Pencipta segala sebab dan akibat. Di tangan-Nya seluruh kekuasaan langit dan bumi. Allah berfirman:
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.” (Fathir: 2)
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (Al-An’am: 17)
Seorang hamba hendaknya meng-harapkan kesembuhan hanya kepada Allah dan hanya bergantung kepada-Nya tatkala melakukan ruqyah.

Sifat-sifat Peruqyah dan Pasiennya

Ruqyah merupakan perkara yang disyariatkan. Tentunya seorang peruqyah perlu memperhatikan rambu-rambu syariat dalam meruqyah. Sehingga dia tidak ngawur dan melanggar syariat Allah. Hendaknya dia memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Ikhlas kepada Allah dalam setiap ucapan dan perbuatannya.
Semestinya dia bertauhid kepada Allah dalam seluruh ibadahnya tanpa sedikit pun berbuat syirik kepada Allah. Jika meruqyah, hendaknya mengikhlaskan permintaan tolong dan perlindungannya hanya kepada Allah untuk menggapai kemanfaatan dari ruqyah yang dia lakukan.
b. Memiliki ilmu syar’i tentang ruqyahnya.
Seharusnya dia mengetahui bahwa ruqyah yang digunakannya termasuk yang disyariatkan. Hendaknya dia mengambil ruqyahnya dari Al-Qur`an, As-Sunnah, dan doa-doa yang ma’ruf. Jika dia tidak mengetahui ruqyahnya disyariatkan atau tidak, semestinya bertanya kepada orang yang berilmu. Bila dia seorang yang bodoh, bukan ahlul ilmi, dan tidak mampu untuk menelaah ruqyah yang digunakan atau ditinggalkannya, berarti ini merupakan tanda bahwa dia tidak bisa. Dia tidak diperbolehkan bahkan tidak pantas diberi kesem-patan untuk meruqyah.
c. Bertujuan untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain.
Sudah seharusnya dia bertujuan dengan ruqyahnya itu untuk memberi kemanfaatan kepada saudaranya yang membutuhkan. Ini adalah sifat yang mulia dan dianjurkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya maka hendaknya dia lakukan.”
Memberi kemanfaatan kepada saudara kita yang membutuhkan atau sakit adalah perbuatan baik, yang sangat dituntut sesama hamba Allah. Hamba yang paling dicintai oleh Allah adalah seorang yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya.
d. Membuat orang yang diruqyah hanya bergantung kepada Allah
Bila meruqyah, seharusnya dia tidak membuat orang yang diruqyah bergantung kepada dirinya. Jika dia telah sering meruqyah orang lain sampai sembuh, maka tidak perlu dia menceritakannya kepada yang akan diruqyah, sehingga tidak menimbulkan keyakinan yang salah terhadap dirinya. Sepantasnya dia menanamkan kepada orang yang akan diruqyah bahwa yang mampu menyembuhkan adalah Allah semata. Adapun ruqyah adalah sebab, demikian pula dirinya bukan pencipta akibat. Namun sangat disayangkan, kebanyakan peruqyah membuat orang yang diruqyah merasa yakin terhadap dirinya seolah-olah dialah yang menyembuhkan. Dalam hal ini korban yang paling banyak adalah para wanita dan orang-orang yang bodoh.
e. Khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri hanya kepada Allah.
Ini adalah kelanjutan dari pembahasan yang sebelumnya. Seharusnya dia tidak membesar-besarkan dirinya di hadapan orang yang akan diruqyah. Sebagaimana dia juga tidak merasa besar terhadap dirinya sendiri. Niatnya adalah memberi kemanfaatan kepada orang lain dengan seizin Allah, bukan untuk merasa besar dan membesar-besarkan diri. Sehingga dia tidak membuat manusia bergantung kepada dirinya, tetapi kepada Allah dengan menggunakan dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan di dalam As-Sunnah.
f. Menghindarkan diri dari celah-celah dosa dan fitnah.
Seharusnya dia tidak mengikuti langkah-langkah setan yang bisa menggelincirkannya ke dalam kubangan dosa dengan alasan ruqyah. Terlebih lagi bila yang diruqyah adalah wanita. Seringkali setan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan peruqyah ke dalam dosa. Misalnya, setan menggodanya untuk berkhalwat (berduaan) dengan wanita yang diruqyah padahal bukan mahramnya. Atau menggodanya untuk menyentuh bagian tubuh wanita itu dengan tangannya, dengan alasan agar ruqyahnya lebih manjur, dsb. Oleh karena itu, banyak dari kalangan peruqyah yang rusak agamanya rusak setelah terlibatan dalam dunia ruqyah. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus-Syaikh hal. 7-8)

Insya Allah nanti akan kita jelaskan praktek-praktek ruqyah yang menyimpang supaya kaum muslimin tidak mudah diperdaya oleh para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah.

Adapun orang yang diruqyah hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Memperbesar harapannya kepada Allah dalam meminta pertolongan dan perlindungan.
Karena Allah berfirman:
“Jika Allah menimpakan kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Yunus: 107)
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 17-18)
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
b. Meninggalkan rasa was-was.
Seharusnya dia tidak mengikuti rasa was-was yang muncul pada dirinya, karena hal itu berasal dari setan. Bila dia larut dalam rasa was-was itu, justru secara tidak langsung dia telah membantu setan untuk lebih menguasai dirinya. Karena itulah kita melihat kebanyakan orang yang tertimpa oleh penyakit was-was gampang dimasuki oleh jin atau terkena penyakit lainnya.
Di samping itu, orang yang dihantui perasaan was-was akan membayangkan hal-hal yang bersifat halusinasi, sehingga dia akan semakin lemah dan bertambah penyakitnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Maka wajib atas orang yang memiliki was-was untuk memperkuat tawakalnya kepada Allah dan menjalani berbagai sebab yang disyariatkan guna menyembuhkan penyakitnya. Demikian pula, hendaknya dia melawan segala rasa was-was itu dan tidak mengikutinya dengan cara berlindung kepada Allah.
c. Mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan.
Seharusnya dia tidak selalu menggunakan orang lain dalam meruqyah dirinya. Hendaknya dia mulai menanamkan keyakinan bahwa dirinya mampu untuk meruqyah sendiri tanpa membutuhkan orang lain. Kemudian dia bersungguh-sungguh mempelajari wirid, bacaan, dan doa-doa yang disyariatkan untuk dipakai meruqyah dirinya sendiri. Ruqyah-ruqyah yang dipelajarinya itu sangat bermanfaat guna mengobati atau membentengi dirinya dari berbagai gangguan setan dan penyakit. Untuk meruqyah dirinya, dia bisa membaca seperti surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas, Ayat Kursi, dan yang lainnya. Dia bisa membaca ruqyah-ruqyah itu sebelum tidur, di pagi dan sore hari, setelah shalat wajib, atau waktu-waktu lain sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Wirid-wirid yang dibacanya itu ibarat baju atau besi yang dipakai untuk membentengi dari beragama bahaya. Wirid-wirid itu adalah sebab yang bermanfaat untuk melindungi dirinya. Sedangkan pemberi manfaat dan penolak bahaya yang sebenarnya adalah Allah. (Ibid, hal. 8)

Bacaan dan Tata Cara Ruqyah

Tentunya bacaan dan wirid terbaik untuk meruqyah adalah kalam Pencipta, Pemilik dan Pengatur alam semesta ini. Menggunakan kalam-Nya dalam meruqyah mengandung keberkahan Ilahi yang tak terkira. Ketika seorang peruqyah meng-harapkan kesembuhan hanya dari Allah, maka sangat tepat dan utama bila dia menggunakan Kalamullah. Ucapan Allah yang berupa Al-Qur`an sendiri memang diturunkan oleh Allah sebagai penyembuh dari segala jenis penyakit. Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an sesuatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
“Katakanlah: ‘(Al-Qur`an) itu adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)
Alam semesta ini adalah ciptaan, milik, dan aturan Allah. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu berhadapan dengan kemahakuasaan Allah. Para malaikat pingsan dan tersungkur sujud tatkala mendengar firman-firman Allah di atas langit sana. Sedangkan langit-langit bergemuruh dengan dahsyat karena takut kepada Allah. Sebagaimana hal ini telah dikabarkan oleh Rasul yang jujur lagi dibenarkan ucapannya, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Allah berfirman:
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (Al-Hasyr: 21)
Ibnul Qayyim berkata: “Termasuk perkara yang dimaklumi bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan kemanfaatan yang telah teruji. Maka bagaimana kita menganggap ucapan Rabb semesta alam ini? Tentunya keutamaan ucapan-Nya atas segala ucapan yang lain seperti keutamaan Allah atas seluruh makhluk-Nya. Ucapan-Nya merupakan penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat, cahaya yang memberi petunjuk, dan rahmat yang menyeluruh. Ucapan-Nya yang sekiranya diturunkan kepada sebuah gunung niscaya akan pecah karena keagungan dan kemuliaan-Nya.” (Lihat Zadul Ma’ad cet. Muassasah Ar-Risalah hal. 162-163)

Berobat dengan Al-Qur`an adalah penyembuhan yang mujarab. Terlebih lagi jika dibacakan oleh seorang yang memiliki kekuatan iman. Dengan demikian, pengaruh bacaan itu akan bertambah ampuh untuk pengobatan segala penyakit dengan seizin Allah. Penyembuhan dengan Al-Qur`an tak hanya bagi penyakit jiwa, bahkan juga sangat mumpuni bagi penyakit jasmani. Cukuplah sebagai bukti konkretnya peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri (lihat rubrik Hadits).

Bolehnya meruqyah dengan Al-Qur`an tak terbatas pada surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Naas, dan Al-Ikhlas. Karena Al-Qur`an secara keseluruhan merupakan obat bagi segala penyakit. Oleh karena itu, boleh meruqyah dengan ayat atau surat mana saja dari Al-Qur`an. Ibnu Baththal berkata: “Bila diperbolehkan meruqyah dengan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas) yang keduanya merupakan dua surat dari Al-Qur`an, berarti meruqyah dengan yang selebihnya dari Al-Qur`an juga diperbolehkan. Karena seluruhnya adalah Al-Qur`an.” (Dinukil dari kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 38)

Demikian pula boleh meruqyah dengan nama dan sifat Allah, karena Al-Qur`an juga mengandung keduanya. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan bahwa Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Jibril bertanya: “Wahai Muhammad, apakah engkau mengeluhkan rasa sakit?” Nabi menjawab: “Iya.” Maka Jibril membacakan:
“Dengan nama Allah, aku meruqyah-mu dari segala sesuatu yang mengganggumu dan keburukan setiap jiwa atau sorotan mata yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” (HR. Muslim)

Adapun doa-doa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk meruqyah juga merupakan pengobatan yang mujarab. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memiliki kata-kata yang ringkas dan padat (jawami’ul kalim) sehingga doa-doa yang beliau baca benar-benar barakah. Inilah keistimewaan yang telah diberikan Allah kepada beliau shallallahu alaihi wasallam. Bila kita memakai doa-doa beliau shallallahu alaihi wasallam untuk meruqyah dengan keyakinan yang mantap, niscaya manfaatnya akan tampak nyata dengan seizin Allah.

Dalam tulisan ini kami akan menyebutkan sebagian doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam itu. Namun bukan berarti tidak ada yang lain lagi. Selama suatu doa dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang shahih untuk meruqyah dirinya atau orang lain maka kita diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menggunakannya. Sebaik-baik teladan adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Wallahu a’lam.

Mengenai doa-doa yang kami maksud adalah sebagai berikut:

1. Dari Anas bin Malik bahwa beliau berkata kepada Tsabit Al-Bunani: “Maukah engkau aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Tsabit menjawab: “Ya”. Maka Anas membaca:
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, yang menghilangkan segala petaka, sembuhkanlah, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain dari ‘Aisyah, beliau berkata: “Dahulu bila salah seorang dari kami mengeluhkan rasa sakit maka beliau shallallahu alaihi wasallam mengusapnya dengan tangan kanan beliau dan membaca:
“Ya Allah, Rabb sekalian manusia, hilangkanlah petakanya dan sembuhkanlah dia, Engkaulah Yang Maha Penyembuh, tak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau, sebuah penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Dari ‘Aisyah, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meruqyah dengan membaca:
“Hapuslah petakanya, wahai Rabb sekalian manusia. Di tangan-Mu seluruh penyembuhan, tak ada yang menyingkap untuknya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Dari ‘Aisyah, bahwa beliau berkata: “Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila meruqyah beliau membaca:
“Dengan nama Allah. Tanah bumi kami dan air ludah sebagian kami, semoga disembuhkan dengannya orang yang sakit di antara kami, dengan seizin Rabb kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Dari Abu Al-‘Ash Ats-Tsaqafi, bahwa beliau mengeluhkan sakit yang dirasakannya di tubuhnya semenjak masuk Islam kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Letakkanlah tanganmu pada tempat yang sakit dari tubuhmu dan ucapkanlah, ‘Bismillah (Dengan nama Allah)’ sebanyak tiga kali. Lalu ucapkanlah:
‘Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan sesuatu yang kurasakan dan kuhindarkan,’ sebanyak tujuh kali.” (HR. Muslim)

5. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa mengunjungi orang sakit selama belum datang ajalnya, lalu dia bacakan di sisinya sebanyak tujuh kali:
‘Aku memohon kepada Allah Yang Maha Agung, Pemilik ‘Arsy yang besar, semoga menyembuhkanmu,’ niscaya Allah akan menyembuhkannya dari penyakit itu.” (HR. Abu Dawud, At-Turmudzi, dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Takhrij Al-Adzkar)

6. Dari Sa’d bin Abi Waqqash, beliau berkata: “Nabi shallallahu alaihi wasallam mengunjungiku (ketika aku sakit) dan beliau membaca:
“Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d. Ya Allah, sembuhkanlah Sa’d.” (HR. Muslim)

Sumber: Asy Syariah Edisi 024

###

Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah

Soal:
Al-Quran di dalamnya ada obat dan rahmat bagi manusia. Kami berharap anda bisa menyebutkan ayat-ayat yang disyariatkan untuk dibacakan kepada orang sakit, berapa kali dibaca dan bagaimana tata cara meniupnya. Semoga Allah membalas Anda kebaikan. Karena di sisi kami ada seorang yang tertimpa sakit dan kami ingin meruqyahnya?

Jawab:
Setiap Al-Quran itu adalah obat, setiap Al-Quran itu obat dari awalnya hingga akhirnya. Dan jika membaca Surat Al-Fatihah maka itu surat yang paling agung dalam Al-Quran. Mengulang-ulangnya, sebagaimana shahabat membacakannya untuk meruqyah orang yang tersengat (binatang berbisa) ketika melewatinya di sebagian perkampungan arab. Sebagian shahabat membaca surat Al-Fatihah dan mengulang-ulangnya kemudian Allah menyembuhkannya. Maka jika membaca surat Al-Fatihah dan ditambah membaca ayat kursi bersamanya atau sebagian ayat lainnya, semuanya bagus. Dan jika membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq dan surat An-Nas dibaca tiga kali itu juga bagus, termasuk sebab kesembuhan. Dan setiap Al-Quran itu adalah obat. Jika membaca darinya apa yang Allah mudahkan dari Surat Al-Baqarah, surat Ali Imran, surat An-Nisa, surat Al-Maidah, dari surat Al-Quran yang lainnya, semuanya obat. Sebagaimana Allah yang Maha Agung dan Maha Tinggi berfirman:
ﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻫُﺪًﻯ ﻭَﺷِﻔَﺎﺀ
”Katakanlah, Al-Quran itu adalah petunjuk dan obat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat 44)
Allah berfirman :
ﻭَﻧُﻨَﺰِّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟِّﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
”Dan Kami turunkan dari Al-Quran berupa obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra 82)
Yakni semuanya obat. Maka jika dia memilih sebagian ayat-ayat dan membacanya, semuanya bagus. Akan tetapi yang paling penting dibaca adalah Al-Fatihah dan ayat kursi, surat Al-Ikhlas dan Al-Mu’awwidzatain (surat An-Nas dan Al-Falaq). Semua surat ini yang paling penting dibacakan kepada orang sakit.

###

Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Pertanyaan:
Saya seorang ibu rumah tangga yang telah menjalani pernikahan selama 17 tahun, dan telah dikarunia 6 anak. Selama 17 tahun berumah tangga, hanya 5 tahun saya hidup bahagia. Selebihnya, saya jadi benci kepada suami saya. Saya tidak suka dia berhubungan dengan saya sebagaimana hubungan suami istri. Saya merasa tidak sanggup tidur bersamanya. Saya mengira semua ini karena pengaruh sihir, maka untuk menanggulanginya saya pergi ke tukang sihir dan orang pintar. Mereka memberi saya beberapa jimat, namun saya tidak mendapatkan manfaat apapun darinya. Sebenarnya saya tidak percaya dengan seorang pun dari mereka. Saya juga pergi ke para dokter ahli jiwa (psikiater), namun juga tidak mendapat faedah apa-apa. Saya menginginkan suamiku dan tidak menginginkan seorang pun selainnya. Namun rumah tangga saya hampir hancur. Apa yang harus saya lakukan -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi anda-?

Jawab:

Penyakit yang datang belakangan itu memang bisa jadi karena pengaruh sihir. Bisa jadi pula pengaruh ‘ain (mata), atau yang dinamakan orang dengan nazhlah dan nafs. Mungkin juga karena penyakit lain yang menyebabkan timbulnya hal tersebut.

Dalam ajaran Islam, tidak diperkenankan mendatangi tukang sihir dan dukun/tukang ramal serta bertanya kepada mereka. Jadi, perbuatan anda mendatangi tukang sihir dan dukun/tukang ramal merupakan perkara yang tidak diperbolehkan. Anda benar-benar telah berbuat salah. Anda harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda, “Siapa yang mendatangi ‘arraf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
‘Arraf adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara-perkara (gaib), dengan bantuan jin, dengan cara gaib atau tersembunyi. Orang seperti ini tidak boleh dijadikan tempat bertanya (ketika ada masalah) dan tidak boleh dibenarkan, karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang mendatangi ‘arraf atau kahin (dukun) lalu ia membenarkan apa yang diucapkannya, maka orang itu telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Maka tidak boleh mendatangi kahin (dukun), tidak pula tukang sihir, serta bertanya kepada mereka.

Namun, anda bisa berobat kepada tabib (dokter) yang ma’ruf (dikenal) yang bisa jadi mengetahui obat apa yang dikenal bisa menyembuhkan perkara-perkara tersebut, baik berupa suntikan, pil, atau yang lainnya. Atau anda bisa mendatangi seorang pembaca Al-Qur`an atau seorang wanita shalihah yang akan membacakan ayat-ayat Al-Qur`an (pada tangannya) lalu meniup-niupnya (dan diusapkan) kepada anda. Tentunya meminta bantuan kepada wanita shalihah untuk mengobati anda lebih diutamakan (karena kalian sama-sama wanita) daripada memintanya kepada seorang lelaki. Semoga dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan pengaruh ‘ain atau sihir tersebut. Kalau terpaksa berobat kepada seorang lelaki, maka jangan sampai terjadi khalwat (berdua-duaan dengannya). Anda harus disertai orang lain, baik ibu anda, saudara laki-laki anda, ayah anda atau semisal mereka. Orang itu cukup membacakan ayat-ayat Al-Qur`an dan anda mendengarkannya.

Mungkin pula pengobatan dengan cara menyediakan air dalam wadah, lalu dibacakan padanya surat Al-Fatihah, ayat Kursi, ayat-ayat yang berbicara tentang sihir dalam surat Al-A’raf (ayat 117-122), surat Yunus (ayat 81-82), dan surat Thaha (ayat 69). Juga membaca surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas). Dibacakan pula di air tersebut doa-doa seperti:
“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan/ penyakit ini, sembuhkanlah. Sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh, tidak ada kesembuhan melainkan dengan kesembuhanmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan sakit."
"Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakiti/mengganggumu, dan dari kejelekan setiap jiwa atau mata yang hasad, semoga Allah menyembuhkanmu."
"Dengan nama Allah aku meruqyahmu."
Doa ini dibaca tiga kali, karena doa ini tsabit (pasti datangnya) dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam (sebagaimana termuat dalam Ash-Shahihain).
Bila orang yang mengobati anda telah melakukan hal di atas, maka sebagian air itu anda minum, sisanya untuk membasuh tubuh anda. Pengobatan seperti ini mujarab untuk menyembuhkan pengaruh sihir dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula untuk mengobati seorang suami yang tercegah (tidak dapat) untuk menggauli istrinya. Juga untuk pengobatan ‘ain, karena ‘ain itu diobati dengan ruqyah sebagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada pengobatan dengan ruqyah (yang paling tampak hasilnya/mujarab) kecuali dari pengaruh ‘ain atau sengatan binatang berbisa.”

Pengobatan seperti di atas merupakan faktor-faktor kesembuhan yang terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya bermanfaat. Bisa pula pengobatan dengan cara mencampur air dengan tujuh daun sidr (bidara) hijau yang telah ditumbuk, lalu dibacakan bacaan-bacaan yang telah disebutkan di atas. Pengobatan seperti ini terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan bermanfaat. Dan kami telah melakukannya untuk mengobati banyak orang, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjadikannya bermanfaat. Cara ini disebutkan oleh ulama, di antaranya Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh penulis kitab Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid. Beliau sebutkan dalam bab Ma Ja`a fin Nusyrah. Bila anda memiliki kitabnya, silahkan menelaahnya. Atau tanyakan kepada orang-orang yang berilmu dien, mereka Insya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menunaikan apa yang pantas.

Adapun kepada tukang sihir, kahin dan ‘arraf, janganlah anda bertanya dan membenarkan mereka. Hendaknya anda menemui orang-orang yang berilmu haq dan para pembaca Al-Qur`an yang dikenal dengan kebaikan, sehingga mereka mengobati anda dengan bacaan-bacaan ruqyah. Atau anda mendatangi wanita-wanita shalihah dari kalangan pengajar/guru agama dan selain mereka yang dikenal dengan kebaikan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kesembuhan dan kesehatan kepada anda dengan sebab-sebab tersebut.

Termasuk perkara yang sepantasnya anda amalkan adalah berdoa. Anda mohon kepada Allah agar menghilangkan gangguan yang menimpa anda, karena Allah.Subhanahu wa Ta’ala menyukai bila.diajukan permintaan pada-Nya. Dia.telah berfirman, “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.” (Ghafir: 60)
Dan juga firman-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Al-Baqarah : 186)
Sepantasnya anda mohon kesehatan dan kesembuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian pula suami anda, ayah dan ibu anda, karena seorang mukmin itu seharusnya mendoakan kebaikan untuk saudaranya. Doa itu senjata orang mukmin, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah menjanjikan untuk mengabulkan doa. Maka anda harus bersungguh-sungguh dan jujur dalam doa anda, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi kesembuhan.

Selain itu, aku nasehatkan agar menjelang tidur, anda menggabungkan dua telapak tangan anda, lalu meniupnya dengan sedikit meludah dengan membacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas, tiga kali. Setelahnya dengan kedua telapak tangan tersebut anda mengusap kepala, wajah dan dada (berikut apa yang bisa dicapai oleh kedua telapak tangan dari bagian tubuh), dilakukan sebanyak tiga kali. Perbuatan seperti ini termasuk sebab kesembuhan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri melakukannya saat menjelang tidur dan ketika sakit, sebagaimana disebutkan dalam berita yang shahih dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha (dan ketika sakitnya bertambah parah, beliau memerintahkan ‘Aisyah agar melakukannya untuk beliau).
Wallahu a’lam.

[Kitab Fatawa Nur ‘alad Darb, hal. 200-203]

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
بعض الذين يقومون بالرقية يأمر المريض بأن يقرأ سورة البقرة كاملة في جلسة واحدة و البعض الاخر يقول ليس هناك دليل يخصص ذلك هل قراءة سورة البقرة كاملة على المريض فيها شيْ؟
Sebagian orang yang biasa melakukan ruqyah memerintahkan kepada pasiennya untuk membaca surah al-Baqarah secara utuh satu surah dalam satu majelis, dan sebagian lagi mengatakan tidak ada dalil yang mengkhususkan perkara tersebut.
Apakah boleh membaca surah al-Baqarah secara keseluruhan kepada orang sakit?

Jawaban:
لا اصل لهذا، قراءة البقرة كاملة هذا يشق، و لا ورد به دليل، إنما يقرأ على المريض السور الثلاث: سورة الإخلاص و الفلق و الناس، تقرأ عيله سورة الفاتحة، و يعوذ بالتعويذات الشرعيه، و هذا من أعظم الأسباب للشفاء بأذن الله، أما قراءة البقرة كاملة فهذا ما ورد به دليل أنه تقرأ على المريض، إنما ورد (أن الشيطان يفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة). نعم
Perkara ini (membaca al-Baqarah secara utuh kepada orang sakit) tidak ada dasarnya, membacanya secara utuh bisa memberatkan dan juga tidak ada dalilnya. Akan tetapi, yang dibacakan pada orang sakit adalah tiga surah: al-Ikhlas, al-Falq, dan an-Nas, juga bisa dengan al-Fatihah atau dengan taawwudz (doa perlindungan), yang disyariatkan yang ini semua merupakan sebab-sebab kesembuhan yg terbesar dengan izin Allah. Adapun membaca al-Baqarah secara utuh maka tidak ada dalilnya, tetapi yang ada dalilnya adalah syaithon akan lari dari rumah yang dibacakan padanya surah al-Baqarah.
Naam.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=151955#entry711354

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia