Cari Blog Ini

Sabtu, 07 Maret 2015

Tentang MENJAMAK DAN MENGQASHAR SALAT

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahulloh

Pertanyaan: Apakah boleh menyempurnakan sholat ketika safar?

Jawaban:
Menyempurnakan sholat dalam safar TIDAK BOLEH menurut sebagian ulama yang mereka berpendapat wajibnya qoshor (meringkas sholat) seperti Abu Hanifah.
Adapun menurut ulama yang lain, BOLEH AKAN TETAPI MAKRUH. Dan ini yang lebih mendekati (kebenaran).
Dalilnya, dahulu para Shahabat radhiyallohu ‘anhum tatkala Utsman radhiyallohu ‘anhu menyempurnakan sholatnya ketika di Mina, mereka mengingkari perbuatan Utsman (yang ketika itu sebagai seorang khalifah). Akan tetapi mereka tetap sholat bersama beliau dengan menyempurnakan sholat mereka. Seandainya mereka (para shahabat) berpendapat qoshor wajib, niscaya mereka tidak menyempurnakan sholat bersama Utsman. Karena ini berkonswensi menambah (raka’at) dalam sholat yang bukan bagian dari sholat tersebut.
Maka yang lebih mendekati menurut saya adalah pendapat yang terakhir, yaitu TIDAK WAJIB MENGQOSHOR, NAMUN MAKRUH (JIKA DIA MENYEMPURNAKAN SHOLATNYA). Ini selama seseorang tidak sholat bersama imam yang menyempurnakan sholatnya. Namun kalau dia sholat di belakang imam yang menyempurnakan sholatnya, maka wajib baginya untuk menyempurnakan sholatnya baik ia mendapati seluruhnya ataupun hanya sebagiannya saja.

Penanya: Bagaimana apabila orang yang safar tersebut menjadi imam dan para ma’mum dari orang yang mukim, apakah tetap makruh (jika dia menyempurnakan sholatnya)?

Asy Syaikh:
Iya. Sekalipun dia sebagai imam dan yang sholat di belakangnya orang-orang yang mukim, maka ia tetap mengqoshor sholatnya. Dia memberitahu kepada para ma’mum, “Sempurnakan sholat kalian, sesusungguhnya kami dalam keadaan safar.” Supaya nampak sunnah, dikarenakan sunnah ini sekarang tidak dikenal lagi oleh kebanyakan orang. Bahkan sebagian orang awam mengingkarinya. Namun jika engkau mengenalkannya dan orang-orang pun mengamalkannya maka sunnah tersebut menjadi perkara yang biasa di kalangan manusia dan akan dikenal sebagaimana telah dikenal dalam syari’at.
Maka seyogyanya bagi seseorang, terlebih lagi seorang tholibul ilmu yang diambil ucapannya, untuk menghidupkan sunnah yang telah sirna ini. Sehingga perkara yang ma’ruf tidak dianggap sebagai kemungkaran.

Sumber: Silsilah Liqoat Babil Maftuh (Liqo 4)

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Tanya: Bolehkah shalat orang sakit diqashar atau dijamak-qashar?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Dijamak boleh, tetapi diqashar tidak boleh. Karena qashar hanya untuk musafir.

Tanya: Apa boleh orang yang sedang safar (dalam perjalanan) dan tidak tahu kapan dia kembali ke tempat asal menjamak-qashar shalat lima waktunya?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Jika Anda musafir dalam perjalanan tanpa ada kepastian kapan pulang, boleh jamak-qashar sampai pulang. Namun, jika Anda telah turun menginap di suatu pemukiman kaum muslimin, wajib ikut shalat berjamaah di masjid setiap waktu shalat tanpa jamak dan qashar.
Kecuali jika ada teman musafir lainnya, boleh jamak qashar bersama. Afdalnya, shalat berjamaah di masjid dengan kaum muslimin.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang BERPUASA KARENA ADA HAJAT

Apa hukumnya berpuasa agar anak lulus ujian?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Hal itu tidak disyariatkan.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang BERPUASA KARENA INGIN SEHAT DAN BERAT BADAN TURUN

Bolehkah kita berpuasa berturut-turut selama tiga minggu untuk menurunkan berat badan?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Puasa adalah ibadah. Ibadah harus sesuai dengan dalil dalam 6 hal:
- jenis ibadah,
- sebabnya,
- kadarnya,
- sifatnya,
- waktunya, dan
- tempatnya.
Tidak ada dalil yang menganjurkan puasa tiga minggu berturut-turut agar berat badan turun. Namun, berpuasalah dengan puasa sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bersama dengan itu, Anda akan merasakan manfaat yang banyak termasuk dalam hal kesehatan, insya Allah.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MENGERASKAN BACAAN KETIKA SALAT SENDIRIAN PADA SALAT MAGRIB, ISYA, DAN SUBUH

Apabila shalat sendirian di rumah karena terlambat tidak ikut berjamaah di masjid pada shalat magrib, isya’, atau shubuh, bagaimana bacaannya (al-Fatihah dan surat pendek) pada rakaat 1 dan 2?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Dijahrkan (dikeraskan).

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MENERIMA MAKANAN DARI ACARA PERINGATAN KEMATIAN ATAU ACARA BIDAH LAINNYA

Tanya:
Bolehkah menerima/memakan makanan yang diberikan tetangga karena peringatan meninggal anggota keluarganya?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Tidak boleh demi mengingkari kemungkaran peringatan kematian yang merupakan bid’ah.

Asy Syariah Edisi 095

###

Tanya:
Bismillah. Apa hukumnya makan makanan dari acara kematian misalnya acara 7 harian atau 40 harian, baik daging yang disembelih dan nasi atau kue?

Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah:
Acara 7 atau 40 (hari) dalam memperingati kematian adalah acara bid'ah. Adapun daging sembelihan, jika disembelih untuk si mayit atau selain Allah, maka sembelihan itu haram dimakan.
Namun jika sembelihan tetap diperuntukkan karena Allah namun untuk acara bid'ah, maka asal hukum sembelihan itu halal, demikian pula nasi dan kuenya, tanpa menghadiri acara tersebut. Wallohu A'lam.

Sumber:
www .thalabilmusyari .web .id/2013/06/hukum-memakan-makanan-dari-acara-bid .html

TIS

Tentang SALAT SUNAH PADA WAKTU-WAKTU TERLARANG

Asy-Syaikh ibnu Baz rahimahullah

Tanya:
إذا دخل رجل المسجد وقت نهي هل يصلي تحية المسجد أم لا؟
Jika seseorang masuk masjid pada waktu-waktu yang dilarang untuk shalat, apakah dia shalat tahiyyatul masjid atau tidak?

Jawab:
الأفضل له أن يصلي تحية المسجد في أصح قولي العلماء لعموم قوله، صلى الله عليه وسلم ((إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلي ركعتين)) متفق على صحته وإن جلس ولم يصلي فلا حرج
Yang lebih utama baginya adalah dia mengerjakan shalat tahiyyatul masjid menurut pendapat paling benar dari dua pendapat ulama.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, "Jika seseorang dari kalian memasuki masjid, janganlah dia duduk kecuali setelah mengerjakan shalat 2 rakaat." (Muttafaqun 'alaihi)
Jika dia langsung duduk, tidak shalat, maka juga tidak mengapa.
(Fatawa Islamiyyah juz 2 hal 7)

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Soal:
Bagaimana jika shalat tahiyatul masjid dikerjakan pada waktu terlarang seperti menjelang azan shalat zuhur dan magrib?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Shalat tahiyatul masjid dan shalat sunnah yang ada sebabnya tetap dilaksanakan meskipun pada waktu-waktu terlarang, menurut pendapat yang rajih.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MAHAR HAFALAN AL QURAN

Bolehkah memberi mahar hafalan al-Qur’an sedangkan pengantin perempuan sudah hafal al-Qur’an?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Mahar mengajarkan surat tertentu dari al-Qur’an, artinya harga pengajaran yang menguras pikiran, tenaga, dan waktu untuk mengajari sang istri sampai hafal surat itu menjadi nilai berharga yang bisa dijadikan mahar. Jadi, bukan sekadar membacakan al-Qur’an kepadanya dan itu dianggap mahar.
Membaca al-Qur’an adalah ibadah, tidak boleh mengambil harga atasnya. Berbeda halnya dengan mengajarkan al-Qur’an hingga bisa. Hal itu mempunyai nilai yang boleh dihargai dan dijadikan sebagi mahar. Jadi, kalau calon istri sudah hafal al-Qur’an, tidak butuh diajari lagi. Beri mahar yang lain.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MENGUBUR JENAZAH DENGAN PETI

Bolehkah menguburkan jenazah tanpa menyentuh tanah? Jenazah yang dimasukkan peti kebanyakan dikuburkan tanpa dikeluarkan jenazahnya.

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Penguburan dengan peti hukumnya makruh dan tasyabuh dengan orang kafir, kecuali dalam keadaan darurat.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MEMANDIKAN JENAZAH KECELAKAAN

Tanya:
Apabila kita memandikan jenazah yang luka karena kecelakaan  bagaimana cara memandikannya? Apakah perbannya dilepas atau dibiarkan saja? Baarokallohu fiikum.

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad Sarbini hafizhahullah:
Bismillah. Perbannya dibuka dengan hati-hati agar tidak terkoyak. Mandikan seperti biasa. Bagian tubuh yg tidak luka dimandikan dengan digosok seperti lazimnya memandikan mayat. Adapun bagian yang luka, jika digosok akan membuatnya terkoyak (seperti halnya luka yang sudah membusuk), maka cukup dimandikan dengan cara diguyur air tanpa menggosoknya. Tetapi jika guyuran air juga akan berakibat mengoyaknya, maka bagian itu disucikan dengan ditayammumi. Wallahu alam.
(Tanya Jawab via WhatsApp)

Keterangan :
1. Cara mentayamumkan jenazah/mayit: Orang yang memandikannya menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, kemudian mengusap wajah dan kedua telapak tangan janazah/mayat.
2. Tayammum cukup satu kali untuk seluruh bagian yang tidak bisa diguyur air.
3. Lihat selengkapnya dalam buku Panduan Mudah Mengurus Jenazah hal (54-57), karya al-Ustadz Muhammad Sarbini.

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Jika mayat yang organ tubuhnya hancur, apakah perlu dicuci/dimandikan?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Cukup ditayammumkan.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang IBADAH KHUSUS DI BULAN RAJAB

Tanya: Apakah ada perintah melaksanakan puasa pada awal bulan Rajab?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Tidak ada anjuran khusus untuk puasa Rajab. Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menegaskan dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi Ma Warada fi Fadhli Rajab bahwa tidak ada hadits sahih yang bisa dijadikan hujah mengenai keutamaan bulan Rajab dan keutamaan puasa Rajab serta ibadah lainnya di bulan itu. Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair rahimahullah yang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang puasa Rajab. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab,
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sampai-sampai kami berkata, ‘Beliau tidak berbuka,’ dan beliau berbuka sampai-sampai kami berkata, ‘Beliau tidak berpuasa’.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memberi jawaban yang bersifat umum, karena tidak ada sunnah Rasul secara khusus untuk puasa Rajab. Urusan puasa di bulan Rajab sama seperti di bulan-bulan lainnya yang tidak memiliki keutamaan khusus.
Akan tetapi, ada sunnah puasa tiga hari setiap bulan dan puasa Senin-Kamis. Kecuali bulan tertentu yang dianjurkan berpuasa padanya, seperti Muharam dan Sya’ban.

Tanya:
“Allahumma bariklana fii Rajab wa Sya’ban wa balighna Ramadhan.”
“Ya Allah, Berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke dalam bulan Ramadhan.”
Apakah hadits tersebut sahih?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr al-Bazzar dalam Musnad-nya dengan kelemahan yang keras sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab Tabyin al-‘Ajab bi Ma Warada fi Syahri Rajab. Dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir, dinyatakan dha’if (lemah) oleh al-Albani dalam kitab Dha’if al-Jami’ no. 4395. Alhasil, tidak ada hadits yang tsabit (benar) dalam hal keutaman bulan Rajab dan keutamaan ibadah secara umum di bulan Rajab, termasuk shalat dan puasa.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MENYIMPAN DAGING AKIKAH DAN DAGING KURBAN

Apakah daging akikah harus habis pada waktu itu juga?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Tidak harus habis hari itu juga. Boleh disimpan sesuai hajat, seperti halnya daging kurban.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang MENYIMPAN FOTO DI DALAM HP ATAU KOMPUTER

Apakah hukum menyimpan foto di dalam HP/komputer?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Menyimpan foto makhluk bernyawa dalam HP atau komputer tanpa hajat hukumnya haram.

Asy Syariah Edisi 095

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah berkata:
“Kami telah mengingatkan larangan menggambar lebih dari sekali. Jangan mengambil gambar dengan HP atau dengan selain HP. Kami tidak mengizinkan hal itu dan orang yang melakukannya berdosa. Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْمُصَوِّرِيْنَ
“Allah melaknat orang-orang yang menggambar.”
Laknat, laknat, laknat, pahamkah kalian apakah laknat itu? Allah melaknat orang-orang yang menggambar. Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda: “Allah melaknat orang-orang yang menggambar.” Rasulullah shallallahu alaihi was salam melaknat setiap orang yang menggambar makhluk yang bernyawa. Beliau juga bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menggambar.” (HR. Muslim no. 2109)
Oleh karena itu saya tidak mengizinkan seorang pun untuk mengambil gambar baik dengan HP atau dengan selainnya. Hapuslah atau saya akan mendoakan keburukan atasmu.

Tentang MENIKAHI WANITA PEZINA

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:

1. Wanita itu bertaubat kepada Allah, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”

2. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah [1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):  “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111):  “Seorang wanita yang khulu’ [2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

Footnote:

[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan:
هذه رسالة وردت من المستمع شكيوي عياد سليمان من الأردن يقول في رسالته أرجو عرض أو معرفة حكم الشريعة الإسلامية في إنسان تزوج من فتاة وقبل الزواج بشهر تقريباً اجتمع بها وكانت في هذه الحالة قبل زواجها إنسانة خاطئة وكذلك هو الآخر فأرجو معرفة حكم الشريعة الإسلامية وهل يجوز أو يصح زواجهم أم لا ولكم جزيل الشكر؟
Sebuah pertanyaan dari Iyad Sulaiman asal Yordania berbunyi: Apa hukum syariat Islam terhadap seseorang yang menikah dengan seorang gadis, tetapi kurang lebih satu bulan sebelum menikah, mereka berdua bertemu dan melakukan sebuah hubungan terlarang. Saya mengharapkan jawaban tentang hukum syariat Islam, apakah pernikahan ini sah atau tidak?

Jawaban:
إذا كان اتصاله بها قبل الدخول وبعد العقد يعني قبل إجراء حفل الزواج لكنه بعد العقد فهذا لا بأس به لأنها زوجته حيث عقد عليها وإن كانت مخطوبة وإلى الآن لم يتم العقد فإن هذا حرامٌ عليه وهو زنا لأنها أجنبيةٌ منه حتى يتم عليها العقد وفي هذه الحال يجب عليهما جميعاً أن يتوبا إلى الله فإذا تابا إلى الله ورجعا عما فعلا حلت له ولكن في هذه الحال لو تزوجها يجب أن يستبرئها بحيضة بمعنى أن لا يجامعها حتى تحيض لأنه يحتمل أن تحمل من الجماع الأول السابق على عقد النكاح وهذا الولد الذي أتى من الجماع الأول السابق على عقد النكاح يعتبر ولد زنا لا يلحق والده لأنه ليس على عقدٍ شرعي اللهم إلا أن يكون لهذا الواطئ أو لهذا الرجل شبهة ويعتقد أنه يطؤها علىأبيهٍ حلال فإنه يكون حينئذٍ مولودا من وطئ شبهة وينسب إلى أبيه
Jika pertemuan tersebut terjadi setelah akad nikah, tetapi belum dilakukan resepsi pernikahan dan akad sudah terjadi, maka tidak mengapa dikarenakan dia sudah menjadi istrinya.
Akan tetapi, jika sekadar baru dilamar saja dan belum terjadi akad nikah, maka perbuatan mereka tersebut haram dan merupakan zina dikarenakan wanita itu masih ajnabiyah sampai adanya akad. Jika ini terjadi, wajib bagi mereka berdua untuk bertaubat kepada Allah. Dan kalau sudah bertaubat dari perbuatannya, maka wanita itu sudah halal baginya.
Akan tetapi, sebelum dia menikahinya, wajib baginya melakukan istibro (pembersihan rahim) dengan satu kali haid, yaitu jangan menjima dia sampai dia haid dikarenakan ada kemungkinan dia hamil pada saat hubungan yang pertama tadi sebelum akad nikah.
Maka, jika dia melahirkan anak dari hasil hubungan pertama tadi, anaknya dianggap anak zina sehingga tidak dinisbahkan kepada bapaknya dikarenakan tidak adanya akad syari.
Kecuali jika ketika melakukan hubungan pertama tadi, laki-laki ini ditimpa sebuah syubhat sehingga dia anggap perbuatannya ini halal, maka anak ini lahir dari sebuah hubungan yang syubhat dan tetap dinisbahkan kepada ayahnya.

Sumber:
www .ibnothaimeen .com/all/noor/article_6271 .shtml

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MENIKAH DALAM KEADAAN HAMIL

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Soal:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.

1.  Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah [1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):  “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111):  “Seorang wanita yang khulu’ [2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

2.  Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu  ‘Utsaimin pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an [3] di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi yang muttafaq ‘alaih.

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya [4]. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah [5] wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya [6].

Catatan Kaki:

[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

[3] Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah atasnya dirinya jika suaminya benar.

[4] Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).

[5] Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.

[6] Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah

Tanya:
Bagaimana hukum menikah setelah hamil duluan? Karena saat ini ini marak terjadi di masyarakat.

Jawab:
Akibat pergaulan bebas, tidak ada aturan. Dan yang sangat disayangkan, sebagian orang tua membiarkan hal ini, dibiarkan. Kalau ada teman laki-lakinya yang ingin bertamu ke rumah, maka alasan orang tuanya ke belakang, “Maaf, ada kebutuhan di belakang.”
Dia dibiarkan berdua.
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)
Setan yang bermain di situ, akhirnya terjadi perzinaan, wal’iyadzubillah. Sehingga, tidak sedikit para wanita, mereka dalam kondisi hamil sebelum menikah. Hamil diluar pernikahan, Allahul musta’an.
Para wanita yang tidak memelihara kehormatannya, hidup bebas. Mendapatkan godaan dari seorang laki-laki, akhirnya tergoda. Dengan mudahnya dia dipengaruhi. Sehingga dalam keadaan belum menikah dia sudah dalam keadaan hamil.
Ini apa hukum menikah dalam keadaan seperti ini?
Hukumnya tidak sah.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
(QS: Ath-Thalaaq Ayat: 4)
Adapun pada saat dia hamil, lalu kemudian dia menikah maka pernikahan itu tidak sah. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang tidak sah. Dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang telah mengetahui hukum ini, lalu kemudian dia menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil.
Apabila dia mengetahui hukumnya, lalu dia masa bodoh, dan dia tetap menikahi wanita tersebut, maka pernikahannya itu bathil. Sebab wanita itu belum hilang masa iddahnya. Dalam artian dia harus ditunggu sampai melahirkan. Setelah itu dinikahkan.
Ada sebagian mengatakan,
“Ya tapi malu, bagaimana? Masa dia hamil dalam keadaan tidak punya suami? Malu.”
Sudah sejak awal, dia tidak punya rasa malu. Dari awal, dia sudah tidak punya rasa malu. Kenapa dia biarkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan nista seperti itu?
Kalau dia punya rasa malu, hendaknya dia memelihara kehormatannya.
Apakah setelah kemudian terjadi kecelakaan, lalu kemudian hendak ditutupi rasa malu ini? Lalu kemudian kita melanggar syari’at Allah subhanahu wata’ala?
Menikahkan begitu saja dalam keadaan hamil?
Sekarang ini subhanallah. Akhirnya semakin maraknya hal ini, sebagian pemuda menganggap enteng permasalahan ini.
Orang tua tidak setuju?
Gampang. Katanya orang Makassar, silariang. Sudah bawa lari saja sekalian, bawa lari sehari, dua hari, kecelakaan, Allahul musta’an. Sudah, lalu kemudian menggampangkan permasalahan ini. Orang tuanya ngamuk-ngamuk sementara waktu. Pikirnya seperti itu.
Sudah, dinikahkan saja. Menuntut tanggung jawab. Laki-laki ya mau saja dia bertanggung jawab. Tapi tidak seperti itu keadaannya. Tidak seperti itu keadaannya, tidak diperbolehkan. Kecuali apabila dia telah melahirkan.
Jika dilakukan dalam keadaan tidak tahu, bagaimana hubungan nasab anak dan ayahnya? Karena yang ana tahu, anak hasil zina dinisbatkan kepada ibunya. Sedangkan dalam kasus tersebut, status anak adalah hasil zina. Tapi yang menikahi ibunya juga ternyata ayah kandungnya?
Berbeda halnya apabila seorang tidak mengetahui hukum. Orang tuanya menyangka bahwa itu boleh-boleh saja. Boleh menikahkan anak meskipun dalam keadaan hamil. Berpegang kepada fatwa sebagian ustadz misalnya. Akhirnya terjadilah pernikahan, anaknya dalam keadaan hamil menikah. Ini apa hukumnya? Maka hukumnya sah, dibangun di atas pengetahuan dia yang jahil ketika itu. Atau ada seorang yang telah memfatwakan kepadanya dengan fatwa tersebut. Maka dibangun di atas hukum yang diyakini ketika itu.
Meskipun kita mengatakan, yang shahih dalam permasalahan ini bahwa seorang wanita menikah dalam keadaan hamil hukumnya tidak sah. Makanya kita mengatakan bagi orang yang sudah mengetahui hukum ini, lalu dia melakukannya maka pernikahannya bathil.
Tapi seorang misalnya tidak mengetahui, dia menyangka bahwa itu boleh. Mungkin ada yang memfatwakan kepadanya. Maka dibangun di atas persangkaan sebelumnya bahwa yang demikian menurut mereka sebelum itu adalah diperbolehkan. Maka tidak perlu diulangi, sah.
Oleh karena itu, para sahabat yang mereka masuk ke dalam islam, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akad pernikahannya. Tapi dibangun di atas keyakinan mereka dahulu. Keyakinan jahiliyah. Mereka menganggap pada masa itu, pernikahan mereka di masa jahiliyah itu sah, maka itu sah. Padahal kalau kita membaca sejarah pernikahan jahiliyah, macam-macam cara mereka. Dan sekian banyak cara itu tidak sejalan dengan syari’at islam.
Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mempertanyakan itu. Ketika mereka semua masuk ke dalam islam, nabi tidak pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akadnya. Untuk mengulangi akad pernikahan. Dibangun di atas keyakinan mereka dahulu bahwa yang demikian sah. Bahkan ada seorang sahabat (Ghailan As-Tsaqafi) ketika dia masuk islam, datang kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia mengatakan, “Ya rasulullah, saya masuk islam dan saya memiliki sembilan istri, apa yang harus saya lakukan?”
Kata nabi ‘alaihi shallatu wasallam:
أَمْـسِكَ أَرْبَـعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ
“Pertahankanlah istrimu empat saja, dan ceraikan istri-istrimu yang lainnya.”
(Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)
Rasul tidak mengatakan, lepaskan dulu semua, nanti akad baru. Tidak demikian, maka ini menunjukkan bahwa apa yang diyakini sebelumnya, maka dibangun di atas keyakinan sebelumnya.
Adapun status anak tersebut, maka anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Dia tidak punya ayah, meskipun laki-laki tersebut dia yang melakukannya. Tetap tidak boleh dinisbatkan kepadanya itu ayah. Dinisbatkan kepada ibunya. Karena itu bukan orang tuanya secara syar’i. Bukan orang tuanya secara syar’i. Tetapi tetap tidak diperbolehkan bagi dia untuk menikahi anak tersebut.
Kalau misalnya ada seorang laki-laki, dia berzina dengan seorang wanita. Akhirnya wanita itu melahirkan anaknya dalam keadaan laki-laki ini tidak menikah dengan wanita tersebut. Anaknya ini dewasa akhirnya menjadi remaja, bolehkah laki-laki yang pernah berzina dengan ibunya menikahi anaknya?
Jawabannya tidak boleh, karena itu bagian darinya meskipun tidak berstatus sebagai ayah. Meskipun secara syar’i tidak berstatus sebagai ayah, tapi itu bagian dari dirinya dan tidak diperbolehkan.

http://www.thalabilmusyari.web.id/2013/08/hukum-menikah-karena-hamil-duluan.html

TIS

Hanya Sedikit Faedah

Tentang STATUS ANAK HASIL ZINA

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Soal:
1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?
2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?
3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.

1.  Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:
a. Wanita itu bertaubat kepada Allah, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:
“Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”
b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu. Maka wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya. Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah [1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar): “’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):  “Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”
Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111):  “Seorang wanita yang khulu’ [2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”
Syaikhul Islam (32/110) juga berkata: “Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru. Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”
Adapun dalil-dalil tentang istibra` pada budak wanita adalah:
a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا
“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137. Hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat)
b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda tentang para sabaya Authas:
لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi. Namun yang benar sanadnya lemah karena Syarik bin Abdillah Al-Qadhi hafalannya jelek. Akan tetapi hadits ini memiliki syawahid/penguat-penguat sehingga dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302)

2.  Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu  ‘Utsaimin pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:
a. Keduanya tidak saling mewarisi.
b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.
c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.
d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).
Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an [3] di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi yang muttafaq ‘alaih.

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya [4]. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah [5] wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya [6].

4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154): “Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”
Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) dan guru besar kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493))
Ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salam (3/187): “Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya [7].”
Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?
Jawabannya: Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

[3] Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah atasnya dirinya jika suaminya benar.

[4] Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).

[5] Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.

[6] Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).

[7] Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari

Tolong jelaskan hukumnya dengan dalil yang lengkap. Seseorang berzina kemudian punya anak perempuan. Setelah anak itu dewasa mau dinikahi oleh si bapak tersebut, soalnya ada dalil yang membolehkannya, katanya.
Dari Jay—Denpasar

Jawab:

Hal itu tidak benar. Satu-satunya dalil yang bisa dijadikan hujah untuk membolehkan hal itu adalah hadits:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ، إِنَّمَا يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ حَلاَلٍ
“Percampuran yang haram tidaklah mengharamkan. Sesungguhnya yang mengharamkan hanyalah pernikahan yang halal (sah).”
(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi)

Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits yang batil oleh al-Imam al-Muhaddits al-Albani dalam adh-Dha’ifah, karena pada sanadnya terdapat:
- Utsman bin ‘Abdirrahman al-Waqqashi yang kadzdzab (pendusta) sebagaimana kata Ibnu Ma’in.
- Al-Mughirah bin Isma’il yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana kata adz-Dzahabi.

Kata al-Albani dalam adh-Dha’ifah, “Fuqaha mazhab Syafi’i dan lainnya berdalil dengan hadits ini untuk menghalalkan seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya, padahal Anda telah mengetahui bahwa hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak ada hujah dalam hal ini.”

Sebaliknya, sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal itu tidak boleh juga berdalil dengan hadits yang tidak ada asal usulnya, yaitu hadits:
مَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلَ وَالْحَرَامَ إِلاَّ غَلَبَ الْحَرَامُ
“Tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram melainkan yang haram menang.”

Kata al-Albani dalam adh-Dha’ifah, “Hadits ini tidak ada sumbernya. Hal ini dinyatakan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi pada kitab Takhrij al-Minhaj, kemudian dinukil oleh al-Munawi pada kitab Faidhul Qadir dan ia menyetujuinya.
Hadits ini dijadikan dalil tentang haramnya seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya, dan ini adalah pendapat fuqaha mazhab Hanafi.
Meskipun pendapat ini benar ditinjau dari sisi makna, tetapi tidak boleh berdalilkan dengan hadits batil semisal ini.”

Berikutnya, al-Albani berkata dalam adh-Dha’ifah,
“Masalah ini telah diperselisihkan di kalangan salaf. Setiap pihak tidak memiliki nash sebagai dalilnya, tetapi tinjauan makna dan qiyas (analogi) menuntut haramnya hal itu.
Ini adalah mazhab Ahmad dan selainnya, serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.” (1)

Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh al-Imam al-Faqih Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat ini dinisbatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada jumhur (mayoritas) ulama, dan inilah yang benar. Tinjauan makna dan qiyas (analogi) menuntut haramnya hal itu.

Adapun tinjauan makna, hal itu haram karena anak itu adalah darah dagingnya sendiri yang berasal dari air maninya sehingga merupakan anaknya secara hukum kauni qadari (ketetapan takdir Allah Subhanahuwata'ala), meskipun secara hukum syar’i (ketentuan syariat) anak itu bukan anaknya karena lahir di luar pernikahan yang sah.

Adapun tinjauan secara qiyas (analogi), hal itu haram seperti haramnya seorang lelaki menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya.

Jika anak susuan seseorang haram atasnya, padahal faktornya hanyalah karena anak itu meminum air susu istrinya yang terproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan, tentulah seorang anak zina yang berasal dari air maninya, yang merupakan darah dagingnya sendiri, lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya.

Wallahu a’lam. (2)

PERINGATAN

Pada kesempatan ini kami hendak mengingatkan kesalahan sebagian orang yang menisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau hanya berpendapat makruh (tidak haram).
Kata al-Imam al-Albani dalam kitab Tahdzir as-Sajid (hlm. 37), “Benar-benar telah keliru orang yang menisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i bahwa beliau berpendapat bolehnya seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya dengan hujah bahwa al-Imam asy-Syafi’i telah menegaskan makruhnya hal itu, sedangkan hukum makruh yang bersifat tanzih (untuk membersihkan diri dari hal-hal yang dibenci tetapi tidak haram) tidaklah berkontradiksi dengan hukum mubah (boleh).”
Al-Albani kemudian menukil ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah dari kitab I’lam al-Muwaqqi’in, “Asy-Syafi’i menegaskan bahwa makruh (dibenci) bagi seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya. Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa hal itu boleh (mubah/ja’iz). Yang selaras dengan kemuliaan dan keimaman serta kedudukan yang disandangnya dalam agama ini, yang beliau maksud dengan makruh (dibenci) di sini adalah makruh yang bersifat haram. Beliau memutlakkan kata makruh (menggunakannya secara lepas) dalam masalah ini, karena di sisi Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya perkara yang haram itu adalah sesuatu yang makruh. Allah Subhanahuwata'ala berfirman menyebutkan hal-hal yang haram mulai dari ayat:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (al-Isra’: 23)
Sampai firman Allah Subhanahuwata'ala:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (al-Isra’: 33)
Sampai firman Allah Subhanahuwata'ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’: 36)
Sampai akhir ayat ke-37.
Kemudian Allah Subhanahuwata'ala berfirman:
“Semua itu kejelekannya amat dibenci (makruh) di sisi Rabb-mu.” (al-Isra’: 38)
Dalam kitab ash-Shahih (3) Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاً: قِيْلَ وَقاَلَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الماَلِ
“Sesungguhnya Allah membenci tiga perkara untuk kalian: ucapan ini dan itu (ucapan sia-sia), banyak meminta dan bertanya, serta membuang harta dengan sia-sia.”
Jadi, kaum salaf terbiasa menggunakan kata makruh (dibenci) dengan makna yang digunakan dalam ucapan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya.
Akan tetapi, orang-orang belakangan menjadikan kata makruh sebagai istilah untuk masalah yang tidak haram tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kemudian ada di antara mereka yang menggiring ucapan imam-imam Islam ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut sehingga dia pun keliru karenanya.
Yang lebih parah kesalahannya daripada ini adalah yang menggiring kata ‘makruh’ dan ‘la yanbaghi’ (tidak sepantasnya) dari ucapan Allah Subhanahuwata'ala dan Rasul-Nya ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut.” (4)

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Catatan Kaki:

(1) Lihat kitab adh-Dha’ifah (1/565—566).

(2) Lihat kitab Majmu’ Fatawa (32/134—137, 138—140), al-Akhbar al-‘Ilmiyyah min al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm. 303, asy-Syarhul Mumti’ (5/170).

(3) Maksudnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim (muttafaq ‘alaih) dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahuanhu.
Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahuanhu yang dikeluarkan oleh Muslim.

(4) Lihat kitab I’lam al-Muwaqqi’in (2/80—81, cetakan Dar Ibnil Jauzi).

Sumber: http://
asysyariah.com/lelaki-menikahi-anak-hasil-zinanya-sendiri/

Tentang SAKSI DALAM AKAD NIKAH

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Salah satu syarat nikah adalah persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah secara marfu’:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:
Pasal 24
1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

Tentang KERIDOAN DARI CALON MEMPELAI WANITA

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Salah satu syarat nikah adalab keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

Tentang LAFAL DALAM AKAD NIKAH

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Adanya ijab dan qabul merupakan rukun nikah.
Ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
Qabul yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha [1] (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya:
“Janganlah kalian menikahi (tankihu [2]) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)
Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijab qabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)

Footnote:
[1] Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.
[2] Lafadz inkah yaitu ankahtuka.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

Tentang WALI NIKAH BAGI CALON MEMPELAI WANITA

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Adanya wali bagi calon mempelai wanita adalah syarat nikah. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 1839)
Beliau shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah [1], saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara laki-laki ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)
Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst). Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha…, dst). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya [2] dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

Syarat-syarat Wali
Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:
1. Laki-laki
2. Berakal
3. Beragama Islam
4. Baligh
5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)
Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.
Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.
Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:
Pasal 19
Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Catatan Kaki:

[1] Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.

[2] Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

Sumber: Asy Syariah Edisi 039

###

Soal:
Seorang pemuda yang taat beragama sekaligus memiliki sifat-sifat yang terpuji melamar saya. Akan tetapi, ayah saya menolak lamarannya dengan alasan tidak sekufu dengan saya dari sisi kedudukan dan nasab. Ayah menginginkan saya menikah dengan seorang pemuda dari keluarga ningrat yang kaya dan punya martabat/kedudukan.
Sementara itu, saya telah ridha dengan pemuda yang melamar saya dan tidak menginginkan yang selainnya. Apakah dibolehkan bagi saya menikah dengannya tanpa sepersetujuan wali saya? Saya pernah membaca dalam Fiqh as-Sunnah, bahwa Abu Hanifah membolehkan pernikahan yang demikian.
Sungguh Allah ‘azza wa jalla menyerahkan urusan seorang hamba kepada dirinya sendiri, termasuk di antaranya urusan pernikahan. Apabila ayah saya menghalangi saya untuk menikah dengan lelaki yang sesuai bagi saya, seorang lelaki yang begitu bersungguh-sungguh ingin menjaga kemuliaan saya, menjaga kehormatan saya, dan dia sendiri seorang yang berpegang teguh dengan agama, namun ayah saya justru ingin saya menikah dengan lelaki yang tidak memiliki sifat-sifat yang saya sebutkan; bukankah berarti saya berhak untuk tidak meminta izinnya dalam urusan pernikahan saya dengan seorang yang salih tersebut?
Saya urusi sendiri pernikahan saya di hadapan qadhi (hakim) atau saya meminta izin kepada salah seorang kerabat saya yang lain yang mau menerima pandangan saya dan menjadi wali dalam urusan pernikahan saya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berfatwa sebagai berikut.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Siapa pun yang melakukannya, pernikahan tersebut batil, menurut mayoritas ulama, baik yang terdahulu maupun yang belakangannya. Sebab, dalam urusan pernikahan, Allah ‘azza wa jalla menujukan pembicaraan kepada para wali yang mengurusi para wanita (bukan wanita yang diajak bicara).
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri (belum punya pasangan) di antara kalian dan orang-orang salih dari kalangan budak-budak kalian.” (an-Nur: 32)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ ديْنَهُ وَحُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
“Apabila datang kepada kalian (untuk melamar wanita kalian) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan wanita yang berada di bawah perwalian kalian).”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ نكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”[2]
Adapun pendapat yang Anda baca dalam sebagian kitab fiqih bahwa wanita boleh menikahkan dirinya sendiri, itu adalah pendapat yang dhaif/lemah dan marjuh (tidak kuat, lawan dari rajih). Pendapat yang benar, yang tegak di atas dalil, adalah pendapat yang menyelisihinya, sehingga pendapat yang lemah tersebut tidak boleh diamalkan.
Penanya mengajukan pertanyaan terkait dengan adanya perselisihan pendapat antara dia dan ayahnya. Ayahnya menginginkannya bersuamikan seseorang yang punya martabat, dari keturunan yang sekufu dengan dirinya, sementara si wanita sendiri tidak memandang demikian. Dia hanyalah condong untuk menikah dengan seorang lelaki yang dipandangnya memiliki agama, walaupun tidak memiliki kedudukan dan tidak bernasab tinggi.
Dalam hal ini, kebenaran bersama ayahnya karena ayahnya lebih jauh pandangannya daripada dirinya. Terkadang dibayangkan oleh si wanita bahwa lelaki yang datang melamarnya tersebut sesuai untuknya padahal sebenarnya tidak sesuai.[3] Oleh karena itu, tidak sepantasnya dia menentang ayahnya selama si ayah menginginkan kemaslahatan putrinya.
Namun, jika ternyata dipastikan lelaki yang datang melamar si wanita itu memang sesuai, pantas dan cocok dengannya, sekufu dalam hal kedudukan, martabat, dan agamanya, sementara si ayah enggan menikahkan putrinya dengan lelaki yang demikian, si ayah menjadi ‘adhil.[4] Jika demikian, perwalian dalam pernikahan berpindah kepada wali yang berikutnya setelah sang ayah.
Akan tetapi, urusan ini harus dengan pertimbangan qadhi/hakim yang nantinya memindahkan perwalian dari ayah yang berbuat ‘adhal kepada wali yang setelahnya dari kalangan para lelaki yang berhak menjadi wali si wanita.
Dalam hal ini, si wanita tidak boleh mengurusi sendiri urusan seperti ini. Tidak boleh pula salah seorang wali mengurusinya tanpa ada keridhaan dari ayahnya. Jadi, dalam urusan ini harus kembali kepada qadhi yang syar’i. Hakim yang akan melihat permasalahan dan menilai fakta yang ada. Apabila dia memandang bolehnya perpindahan wali kepada yang lain, dipindahkan sesuai kemaslahatan. Oleh karena itu, dalam hal pernikahan ini harus dipastikan perkaranya.
Para wanita tidak boleh mengurus sendiri urusan pernikahannya. Urusan ini harus ditangani dengan semestinya oleh walinya yang berhak. Sebab, wanita itu pandangannya terbatas/dangkal, tidak jauh ke depan. Para wali dari kalangan lelaki yang mengurus wanita tentu harus memiliki semangat untuk memberikan penjagaan kepada wanita yang di bawah perwaliannya dan punya kecemburuan terhadap mereka. Semua ini tentu tidak dimiliki oleh para wanita. Oleh karena itu, sepantasnya hal ini menjadi perhatian.”

(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, 2/536—537)

[1] HR at-Tirmidzi (no. 1085), Ibnu Majah (no. 1968), dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami no. 270.

[2] HR ad-Daraquthni dalam as-Sunan (3/226), Ibnu Hibban (no. 1247) dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ (no. 7557).

[3] Sebab, wanita lebih sering menilai dengan perasaannya, tanpa pertimbangan yang matang dan jauh ke depan sebagaimana halnya kaum lelaki.

[4] Lafadz ‘adhal, yang pelakunya disebut ‘adhil, terambil dari ayat,
فَلَا تَعۡضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحۡنَ أَزۡوَٰجَهُنَّ
“… maka janganlah kalian (para wali) berbuat ‘adhal/mencegah atau menghalangi mereka (wanita yang di bawah perwalian kalian) untuk menikah kembali dengan (mantan) suami-suami mereka.” (al-Baqarah: 232)
Makna ‘adhal sama dengan mana’a, yaitu menahan, mencegah, atau menghalangi.
Apabila seorang ayah mencegah, melarang, atau tidak menerima pinangan seorang lelaki terhadap putrinya dan enggan menikahkannya, padahal si lelaki sekufu dengan putrinya dalam hal agama, akhlak, atau harta, dalam keadaan putrinya sendiri ridha/suka dengan si lelaki, perwalian ayah bisa dipindahkan kepada wali berikutnya. Misalnya, saudara laki-laki si wanita, paman (dari pihak ayah/saudara lelaki ayah), atau keponakan lelaki dari saudara lelakinya. Sebab, tidak ada hak bagi si ayah untuk menolak pinangan lelaki baik-baik tersebut. Sebagai wali, seharusnya dia melakukan apa yang paling bermaslahat atau yang terbaik untuk putrinya. Apabila si ayah tidak mau melakukannya, hak perwaliannya berpindah kepada selainnya. Demikian keterangan dalam asy-Syarhu al-Mumti’ (12/86).

Sumber: Asy Syariah Edisi 105

###

Soal:
Bagaimana hukum seorang wanita yang menikah tidak didampingi oleh walinya, hanya didampingi oleh saudara sepupu ibunya (wanita), padahal ia masih punya ayah? Waktu itu ia diperantauan, jauh dari orang tua. Selain itu, ia juga jahil, tidak tahu hukumnya. Kalau mempunyai anak, status anaknya bagaimana?

Jawab:
Jika dia menyangka menikah tanpa wali boleh -sebagaimana pendapat sebagian ulama-, pernikahan tersebut berstatus nikah syubhat yang harus diulangi dengan pernikahan yang sah, sedangkan anaknya sah sebagai anak keduanya. Jika ia menikah semaunya saja dan atas dasar hawa nafsu tanpa dasar ilmu yang disangkanya benar, hal itu batil dan anak tersebut adalah anak zina. Keduanya harus berpisah sampai menikah kembali dengan cara yang sah. (al-Ustadz Muhammad as-Sarbini)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081