Cari Blog Ini

Selasa, 28 Oktober 2014

Tentang DOA MASUK MASJID

Membaca do’a sebelum masuk masjid adalah Sunnah. Adapun lafazh do’anya ialah sebagai berikut:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻓْﺘَﺢْ ﻟِﻲْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏَ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻚَ
Allahummaftahli abwaba rohmatika.
“Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [1]

Boleh juga membaca do’a yang lebih panjang seperti berikut,
ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢِ، ﻭَﺑِﻮَﺟْﻬِﻪِ ﺍﻟْﻜَﺮِﻳﻢِ، ﻭَﺳُﻠْﻄَﺎﻧِﻪِ ﺍﻟْﻘَﺪِﻳﻢِ، ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺍﻟﺮَّﺟِﻴﻢِ، ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻭَﺳَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻓْﺘَﺢْ ﻟِﻲْ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏَ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻚََ
A’udzu billahil ‘adzim, wa biwajhihil karim, wa sulthonihil qadim, minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaftahli abwaba rahmatika.‏
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal, dari (gangguan) syaithan yang terlaknat. Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, shalawat dan salam curahkanlah kepada Muhammad. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [2]

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Tempat ke delapan dari tempat-tempat (yang disyari’atkan) bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah ketika akan masuk masjid dan ketika akan keluar darinya.” (Dinukil dari ‘Aunul Ma’bud 2/93‏)

Footnote:

[1] Dari Shahabat Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila salah seorang kalian hendak masuk masjid maka bacalah: Allahummaftahli abwaba rohmatika (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu).” (HR. Muslim no. 713)

[2] Dalil-dalil untuk gabungan do’a di atas adalah:
Dalil Isti’adzah:
Abdullah bin Amr bin ‘Ash menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila masuk masjid mengucapkan: "A’udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal, dari (gangguan) syaithan yang terlaknat).” Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seseorang membacanya, syaithan berkata: Dia telah dijaga dariku sepanjang hari ini.” (HR. Abu Daud no.466, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no.749, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud no.466, dan Ats-Tsamarul Mustathob hal. 603‏)
Dalil Shalawat dan Salam:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu alaihi wasallam jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad.” Dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).”
Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609)

Admin Warisan Salaf

Sumber: warisansalaf[dot]com

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MAKAN MAKANAN YANG DIMASAK

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga pendapat:

Pertama: Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api (dimasak) atau pun tidak. Demikian pendapat jumhur ulama dan dihikayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Darda, Amir bin Rabi’ah dan Abu Umamah. Juga pendapat jumhur tabi’in, Malik, dan Abu Hanifah.

Kedua: Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api, demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari jama’ah shahabat: Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.

Ketiga: Wajib berwudhu karena makan daging unta secara khusus, demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya dan Al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah shahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah dan ia memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (Al-Majmu’ , 2/68)
Pendapat inilah yang rajih dengan hadits Jabir ibnu Samurah:
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟﺤُُﻮْﻡِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻭَﺇِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ، ﻓَﻼَ ﺗَﻮَﺿَّﺄْ. ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄُ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮْﻡِ ﺍْﻹِﺑِﻞِ؟ ﻗﺎَﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ، ﻓَﺘَﻮَﺿَّﺄْ ﻣِﻦْ ﻟُﺤُﻮْﻡِ ﺍْﻹِﺑِﻞِ
“Apakah aku berwudhu setelah makan daging kambing?” Beliau menjawab: “Kalau engkau mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu berwudhu.” Beliau ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah setelah makan daging unta.” (Shahih HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu)

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus berwudhu setelah makan daging unta, karena makan daging unta membatalkan wudhu. Demikian pendapat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits dan sekelompok shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni, 1/122; Al-Muhalla, 1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu berkata: “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 1/46, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah, hal. 106)

Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. At-Tirmidzi no. 80 dan An-Nasai no. 185)
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan murid-murid mereka dan dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabi’ah, Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi , 1/53)

Ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam Al-Majmu’: “Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Khulafa’ur Rasyidun yang empat.”
Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau rahimahullah. Kesalahan beliau ini telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah (hal. 9) beliau menyatakan: “Adapun yang dinukilkan dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun atau jumhur shahabat bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, maka sungguh orang yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan anggapan tersebut dikarenakan adanya riwayat dari mereka bahwa mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak. Padahal yang diinginkan di sini menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta bukan disebabkan daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hal. 105)

Dari dua pendapat yang ada (tentang apakah batal wudhu seseorang yang makan daging unta), maka yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama (yang menyatakan bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu).
Adapun hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak)”, hadits ini dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya. Dan sangat dimungkinkan seorang rawinya yakni Syu’aib telah salah di dalam menyampaikan haditsnya. (Al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168)
Juga telah ada pembicaraan terhadap hadits ini di kalangan para imam Ahlul Hadits. (Lihat At-Talkhisul Habir, 1/174-176)
Hadits ini juga merupakan hadits yang lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Dan kaidah yang masyhur sebagaimana diterangkan ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu a’lam. Juga, makan daging unta itu membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena keberadaannya sebagai daging unta sehingga ia dimasak (dengan api) ataupun dimakan dalam keadaan mentah tetap keberadaannya membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; Al-Mughni , 1/122-123; Al-Majmu 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298-299; Ijabatus Sail hal. 36)

Sumber: Asy Syariah online

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MENYENTUH KEMALUAN

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Dari Busrah bintu Shafwan radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺲَّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻓَﻠْﻴَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah: “Hadits ini paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)

Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻣَﺲَّ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻓَﻼَ ﻳُﺼَﻞِّ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄَ
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)

Sementara Thalaq bin Ali radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﻭَﻫَﻞْ ﻫُﻮَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻀْﻌَﺔٌ ﻣِﻨْﻪُ؟
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya?” (HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah: “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat)

Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.

Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi, 1/56; Al-Mughni, 1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)

Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)

Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwat maka hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi baginya apabila dia berwudhu [1], dengan (dalil) hadits Thalaq. Pendapat inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36), dan yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui. Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:
[1] Juga disenangi wudhu di sini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
عن نظافة الطفل الرضيع، هل يؤثر ذلك على وضوء أمه؟
Apakah membersihkan anak yang masih menyusui bisa membatalkan wudhu ibunya?

Jawaban:
نعم، إذا مست فرجه فإنها تعيد تتطهر، ينتقض وضوئها، إذا مست فرجه ذكره أو قبل الأنثى أو حلقة الدبر فإن هذا ينقض الوضوء، إذا كانت على وضوء تعيد الوضوء كالرجل وكالمرأة. جزاكم الله خيراً
Iya. Jika dia menyentuh kemaluannya, maka dia harus wudhu ulang karena wudhunya batal.
Jika dia menyentuh kemaluannya baik qubul atau dubur atau pinggir duburnya, maka ini membatalkan wudhu. Oleh karena itu, kalau dia sudah berwudhu, maka harus mengulang wudhu baik laki-laki ataupun wanita.
Jazaakumullohu khoir.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/16786

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA GILA, TIDUR, PINGSAN, MABUK, DAN LAIN-LAIN YANG MENYEBABKAN HILANGNYA AKAL

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
1. Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
2. Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.

Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan, dan mabuk karena minum khamr, atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun lama. Sehingga bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk, atau jatuh pingsan kemudian siuman, maka wajib baginya memperbarui thaharahnya. (Al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, Al-Majmu’, 2/25)
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam bish-shawab.

Adapun Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan perkara tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan tidur. (Al-Muhalla, 1/212)

(Adapun dalam masalah tidur,) ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
1. Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah dan Humaid Al-A’raj.
2. Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya.
Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muzani, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Ishaq dan satu pendapat yang gharib dari Imam Syafi’i. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Anas.
3. Tidur yang banyak/nyenyak membatalkan wudhu bagaimanapun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan.
Demikian madzhab Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
4. Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat.
Demikian madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah.
5. Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau terlentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya.
Demikian madzhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari Asy-Syafi’i.
6. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud.
Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
7. Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud.
Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
8. Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu.
Ini merupakan pendapat yang lemah dari Al-Imam Asy-Syafi’i.
(Syarah Shahih Muslim, 4/73)

Yang rajih dari pendapat yang ada menurut penulis adalah tidur yang nyenyak/pulas membatalkan wudhu. Adapun tidur yang ringan/hanya sekedar terkantuk-kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan wudhu. [1] (Al-Mughni, 1/116)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para shahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas: “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)

Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Dawud hadits no.172 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Irwaul Ghalil, 1/149)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan [2] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran). Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) shahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan/merebahkan tubuh mereka hingga mereka dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak. Dan juga seseorang yang baru tertidur bisa saja ia dibangunkan agar ia tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekedar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)nya. Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).”
Beliau juga menyatakan: “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu [3], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur secara mutlak (membatalkan wudhu) juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam Al-Muhalla (1/213) dan Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hal. 99-103 dan silahkan pembaca melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛُﻦَّ ﺳَﻔْﺮًﺍ ﺃَﻻَّ ﺗَﻨْﺰِﻉَ ﺧِﻔَﺎﻓَﻨَﺎ ﺛَﻼَﺛَﺔَ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻭَﻟَﻴَﺎﻟِﻴَﻬُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻨَﺎﺑَﺔٍ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻣِﻦْ ﻏَﺎﺋِﻂٍ ﻭَﺑَﻮْﻝٍ ﻭَﻧَﻮْﻡٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur (tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al- Jami’us Shahih, 1/538)

[3] Seperti kencing misalnya, banyak ataupun sedikitnya kencing tetaplah membatalkan wudhu.

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA KELUAR DARAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Makhul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik, dan Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270)
Dan ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad, dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)

Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya. (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq, dan secara maushul oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)

Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.

(Para ulama juga telah berbicara tentang berbekam)
Madzhab Al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu. As-Sarkhasi berkata: “Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis (yaitu darah bekaman dianggap najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”

Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata: “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab Al-Umm disebutkan: “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan berbekam.” ( Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/14).
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu.

Adapun hadits yang menyatakan dukungan penguatan bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu [1], pada sanadnya ada pembicaraan terhadap salah seorang rawinya yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih: “Bukan seorang yang kuat.” Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir, 1/171)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:
[1] Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺣْﺘَﺠَﻢَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)

###

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta

Tanya:
Mohon penjelasan tentang apakah keluarnya darah dapat membatalkan shalat?

Jawab:
Alhamdulillah, kami belum mendapatkan dalil syar’i yang menjelaskan bahwa keluarnya darah selain darah haidh dapat membatalkan wudhu’. Pada dasarnya ia tidak membatalkan wudhu’. Kaidah asal dalam masalah ibadah adalah tauqifiyah (hanya boleh ditetapkan dengan dalil). Seseorang tidak boleh menetapkan bentuk-bentuk ibadah tertentu kecuali dengan dalil. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa jika darah yang keluar sangat banyak maka batallah wudhu’nya kecuali darah haidh (yang sedikit atau banyak tetap membatalkan wudhu’). Namun bila orang yang mengeluarkan darah tadi mengulangi wudhu’nya sebagai tindakan antisipatif dan guna menghindarkan diri dari perbedaan pendapat, tentunya hal itu lebih baik lagi. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu kepada perkara yang tidak meragukan.”
H.R An-Nasa’i VIII/328, At-Tirmidzi VII/221 (lihat Tuhfatul Ahwadzi), Al-Hakim II/13 dan IV/99

(Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/261)

Sumber: salafy[dot]or[dot]id

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MUNTAH

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Berkata Ma’dan:
Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata, “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
“Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja. Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268)
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan:
“Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (Dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)

Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:

Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i." (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)

Adapun ulama yang lain seperti Tujuh Imam yang faqih dari Madinah [1], Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama. [2]
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Makhul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur, dan Dawud. Al-Baghawi berkata: Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)

Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪَ ﻗَﻲْﺀٌ ﺃَﻭْ ﺭُﻋَﺎﻑٌ ﺃَﻭْ ﻗَﻠَﺲٌ ﺃَﻭْ ﻣَﺬِﻱٌ ﻓَﻠْﻴَﻨْﺼَﺮِﻑْ، ﻓَﻠْﻴَﺘَﻮَﺿَّﺄْ
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas (muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut), atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal/bersambung), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if." (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau mendha’ifkan hadits ini. (Bulughul Maram hal. 36)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Al-Fuqaha' As-Sab'ah adalah tujuh fuqaha kota Madinah dari kalangan tabi’in. Mereka adalah:
1. Ubaidullah bin Utbah
2. Urwah bin Zubair
3. Qasim bin Muhammad
4. Said bin Musayyab
5. Abu Bakar bin Abdirrahman
6. Sulaiman bin Yasar
7. Kharijah bin Zaid

[2] Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya shahih. (Hal. 111)

Tentang BERSABAR KETIKA DIUJI

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﺍﻟﻢ () ﺃَﺣَﺴِﺐَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻥ ﻳُﺘْﺮَﻛُﻮﺍ ﺃَﻥ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺁﻣَﻨَّﺎ ﻭَﻫُﻢْ ﻟَﺎ ﻳُﻔْﺘَﻨُﻮ
“Alif Laam Miim. Apakah manusia mengira dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?” (al-‘Ankabut: 1—2)

Asy-Syaikh As-Sa'di berkata:
“Allah telah memberitakan tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Dan hikmah Allah tidak menentukan bahwa setiap orang yang mengatakan dan mengaku dirinya beriman, akan selalu berada dalam satu kondisi, selamat dari ujian dan cobaan dan tidak datang menghampirinya segala perkara yang akan mengganggu iman dan segala cabangnya. Jika hal itu terjadi (artinya orang-orang yang mengaku beriman tidak diuji) tentu tidak bisa dipisahkan antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, serta antara orang yang benar dan orang yang salah. Sungguh sunnatullah telah berjalan dalam kehidupan orang-orang terdahulu dari umat ini. Allah menguji mereka dengan kesenangan, malapetaka, kesulitan, kemudahan, segala yang disenangi dan tidak disenangi, kaya dan fakir, kemenangan musuh dalam sebagian kondisi, memerangi mereka dengan ucapan dan perbuatan, serta berbagai ujian lainnya. Segala bentuk ujian ini kembali kepada ujian syubhat yang akan mengempas aqidah, dan syahwat yang akan menodai keinginan. Barangsiapa yang ketika datang fitnah syubhat, imannya tetap kokoh dan tidak goncang, maka kebenaran yang ada pada dirinya menghalau fitnah tersebut. Ketika datang fitnah syahwat dan segala seruan kepada perbuatan maksiat dan dosa, dorongan untuk berpaling dari perintah Allah dan Rasul-Nya, dia berusaha mengaplikasikan konsekuensi iman dan bertarung melawan syahwatnya. Ini menunjukkan kejujuran dan kebenaran imannya. Namun barangsiapa yang ketika fitnah syubhat datang memengaruhi hatinya dengan memunculkan keraguan dan kerancuan, dan ketika fitnah syahwat menghampirinya lalu dia terseret pada perbuatan maksiat atau mendorongnya untuk meninggalkan kewajiban, ini menunjukkan tidak jujur dan tidak benarnya iman yang ada pada dirinya.” (As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 576)

Allah berfirman:
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.“ (Al-Baqarah: 214)

Asy-Syaikh As-Sa’di mengatakan:
“Allah memberitakan bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan, malapetaka, dan kesulitan sebagaimana telah Dia lakukan atas orang-orang sebelum mereka. Ujian ini merupakan sunnatullah yang terus berlangsung, tidak akan berubah dan berganti. Barangsiapa yang melaksanakan ajaran agama dan syariat-Nya, pasti Dia akan mengujinya. Jika dia bersabar atas perintah Allah dan tidak peduli dengan segala rintangan yang terjadi di jalan-Nya, maka dialah orang jujur yang telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. Dan itulah jalan menuju sebuah kepemimpinan. Namun barangsiapa menjadikan ujian dari manusia bagaikan siksa Allah, seperti dia terhalangi untuk melaksanakan ketaatan karena gangguan tersebut, menghalanginya dari meraih tujuannya, maka dia berdusta dalam pengakuan keimanan. Karena iman bukan sekadar hiasan, angan-angan, dan pengakuan. Amallah yang akan membenarkan atau mendustakannya.”

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻛُﻞُّ ﻧَﻔْﺲٍ ﺫَﺍﺋِﻘَﺔُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ ۗ ﻭَﻧَﺒْﻠُﻮﻛُﻢ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻓِﺘْﻨَﺔً ۖ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻨَﺎ ﺗُﺮْﺟَﻌُﻮﻥَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﺑَﻌْﻀَﻜُﻢْ ﻟِﺒَﻌْﺾٍ ﻓِﺘْﻨَﺔً ﺃَﺗَﺼْﺒِﺮُﻭﻥَ ۗ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺑَﺼِﻴﺮًﺍ
“Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat.” (al-Furqan: 20)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menguji hamba-Nya yang beriman tidak untuk membinasakannya, tetapi untuk menguji sejauh manakah kesabaran dan penghambaannya. Sebab, sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam kondisi sulit dan dalam hal-hal yang tidak disukai (oleh jiwa), sebagaimana pula Dia Subhanahu wata’ala wajib diibadahi dalam hal-hal yang disukai. Kebanyakan orang siap mempersembahkan penghambaannya kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam hal-hal yang disukainya. Karena itu, perhatikanlah penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal yang tak disukai. Sebab, di situlah letak perbedaan yang membedakan kualitas para hamba. Kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wata’ala pun sangat bergantung pada perbedaan kualitas tersebut.” (al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 5)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata:
Allah tidaklah memberi cobaan untuk membinasakan hambanya, namun untuk menguji kesabaran dan keimanan hamba. Jika hamba ini bersabar, maka musibah menjadi anugerah dan petaka berbuah pahala. Sabar ini ada tiga macam, yaitu menahan jiwa dari amarah kepada apa yang Allah takdirkan, menahan lisan dari berkeluh kesah, dan menahan anggota badan dari perbuatan yang menunjukkan ketidak relaan kepada takdir. Sabar berporos pada tiga perkara ini. Barangsiapa yang bisa memenuhinya maka baginya pahala yang tiada batas yang Allah janjikan dalam firman-Nya,
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻮَﻓَّﻰ ﺍﻟﺼَّﺎﺑِﺮُﻭﻥَ ﺃَﺟْﺮَﻫُﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣِﺴَﺎﺏٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.” (Az Zumar: 10‏)

Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﻜْﺮَﻩُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺼْﺮَ ﻣَﻊَ ﺍﻟﺼَّﺒْﺮِ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻔَﺮَﺝَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻜَﺮْﺏِ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻌُﺴْﺮِ ﻳُﺴْﺮًﺍ
“Dan ketahuilah bahwa dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau senangi terdapat kebaikan yang sangat banyak. Ketahuilah pula, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar (kelapangan) ada bersama kesempitan/kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan itu pasti ada kemudahan.” (HR. Ahmad)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Kesabaran adalah cahaya.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Malik Al Harits bin ‘Ashim Al Asy’ary radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Tidaklah seorang hamba diberikan dengan suatu pemberian yang lebih baik dan luas dari pada sabar.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu anhu)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika engkau bersabar maka bagimu adalah surga.” (Mutafaqun ‘alaih dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhu)

Dalam ranah kehidupan beragama, ada tiga jenis ujian dan cobaan yang tak mungkin seorang muslim lepas darinya. Bagaimana pun situasi dan kondisinya, pasti dia akan menghadapinya. Tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah sebagai berikut,
1. Perintah-perintah Allah Subhanahu wata’ala yang wajib ditaati.
2. Larangan-larangan Allah Subhanahu wata’ala (kemaksiatan) yang wajib dijauhi.
3. Musibah yang menimpa (takdir buruk).
Para ulama sepakat bahwa senjata utama untuk menghadapi tiga jenis ujian dan cobaan itu adalah kesabaran, yaitu;
1. Sabar di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala, dengan selalu mengerjakan segala perintah-Nya Subhanahu wata’ala.
2. Sabar dari perbuatan maksiat, dengan selalu menahan diri dari segala yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
3. Sabar atas segala musibah yang menimpa dengan diiringi sikap ikhlas dan ridha terhadap takdir yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
(Lihat Qa’idah fish Shabr karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hlm. 90—91, Syarh Shahih Muslim karya al-Hafizh an-Nawawi 3/101, dan Madarijus Salikin karya Imam Ibnul Qayyim 2/156)