Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Mei 2015

Tentang DETIK-DETIK MENJELANG KEMATIAN

Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi

Para pembaca yang berbahagia.
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorangpun yang dapat menolak atau menghindar dari kematian. Kematian akan datang secara tiba-tiba tanpa bisa diperkirakan kapan saatnya. Dan detik-detik menjelang kematian adalah saat yang sangat menegangkan yang akan menentukan masa depan seorang apakah termasuk penduduk surga ataukah penduduk neraka. Oleh karena itulah, hendaklah kita memberikan bekal berupa nasehat kepada saudara kita yang sedang mengalami saat-saat yang paling menentukan dalam akhir kehidupannya. Beberapa bekal nasehat yang dapat kita berikan kepada saudara kita yang sedang menunggu detik-detik kematian adalah sebagai berikut:

(1) Berprasangka Baik Kepada Alloh

Tiga hari menjelang wafatnya Rasululloh, beliau sempat memberikan wasiat:
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللهِ الظَّنَّ
Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan berprasangka baik kepada Alloh. (HR. Muslim no. 2877)
Hadits ini memberikan peringatan kepada kita semua untuk tidak boleh putus asa dari rahmat Alloh dan memberikan motivasi untuk berharap mendapatkan akhir kehidupan yang baik.
Makna seorang berprasangka baik kepada Alloh adalah dia berprasangka bahwa Alloh akan merahmatinya dan memaafkan dosa-dosanya.
Seorang hamba tatkala berada di ambang kematian hendaklah memperbesar prasangka baiknya kepada Alloh, lebih besar kadarnya dibandingkan tatkala dalam keadaan sehat. Dan kepada orang-orang yang hadir di dekatnya, hendaklah mengingatkannya untuk selalu berprasangka baik kepada Alloh. Dan tidak mengapa bagi seorang di saat menjelang kematiannya untuk menyebutkan kebaikan-kebaikan dirinya dalam rangka memperkuat hatinya dan menumbuhkan prasangka baiknya kepada Alloh. Sebagaimana kisah Abu Sufyan di saat menjelang kematiannya, beliau mengatakan kepada keluarganya: Janganlah kalian menangisi aku, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengucapkan suatu kesalahan semenjak aku masuk Islam. (ats-Tsabat Indal Mamat, hal. 120)
Dikisahkan dari Ibrahim bin Abu Bakr bin Ayyasy bahwasanya beliau menangis tatkala menyaksikan ayahnya berada di ambang kematian. Kemudian sang ayah berkata: Apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau melihat bahwasanya Alloh menyia-nyiakan ayahmu selama 40 tahun, mengkhatamkan al-Quran setiap malam? (Shifatu Shofwah, juz 2 hal. 96)

(2) Menghadirkan Rasa Takut Dan Harapan

Para ulama mengatakan bahwa tatkala seorang hamba berada dalam keadaan sehat maka hendaklah dia menyeimbangkan antara rasa takut dan harapan. Namun ada yang berpendapat bahwa hendaklah rasa takutnya lebih diperbesar dibandingkan harapannya. Kemudian tatkala mendekati kematian, maka rasa harapanlah yang lebih diperbesar dibandingkan rasa takutnya.
Yang dimaksud dengan rasa takut di sini adalah takut kepada Alloh dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Adapun rasa harapan adalah berharap kepada Alloh untuk mendapatkan ampunan dan rahmat.
Suatu ketika Rasululloh shallallahu alaihi wasallam menjenguk seorang pemuda yang sedang di ambang kematiannya. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada si pemuda: Bagaimana engkau mendapati dirimu? Si pemuda menjawab: Aku berharap kepada Alloh wahai Rasululloh dan aku takut terhadap dosa-dosaku. Maka Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah terkumpul 2 sifat ini (yaitu takut dan harapan) dalam hati seorang hamba dalam kondisi yang seperti ini (di ambang kematian) melainkan Alloh akan berikan kepadanya apa yang dia harapkan dan akan menjaganya dari apa yang dia takuti. (HR. at-Tirmidzi no. 983, lihat ash-Shahihah no. 1051)

(3) Memperbaiki  Dan Memperbarui Keimanan

Orang yang akan meninggal dunia hendaklah diberi nasehat untuk memperbaiki dan memperbarui keimanannya apakah terdapat keraguan dalam hatinya terhadap Islam, pemahaman yang menyimpang  atau bahkan noda-noda kesyirikan. Sehingga jangan sampai ia mati diatas keadaan yang demikian. Naudzubillah min dzalika.
Maka wajib baginya untuk bersungguh-sungguh dalam memperhatikan keimanannya, bertaubat dari berbagai kesalahan dan mencari keridhoan Alloh.

(4) Dituntun Untuk Mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah

Rasululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Talkinkanlah (tuntunlah) orang yang akan meninggal dunia diantara kalian dengan bacaan Laa Ilaaha Illallaah. (HR. Muslim no. 916 dan 917)
Orang yang hadir di sisi orang yang akan meninggal dunia hendaklah menuntunnya agar bisa mengucapkan kalimat tauhid tersebut. Para ulama mengatakan bahwa menuntun orang yang akan meninggal dunia agar bisa mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah adalah sunnah yang telah diamalkan oleh kaum muslimin. Tujuannya adalah agar akhir ucapannya mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, sehingga sang mayit pun akan mendapatkan jaminan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasululloh shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله دَخَلَ الْجَنَّة
Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallaah maka dia akan masuk surga. (HR. Abu Dawud no. 3116, lihat al-Irwa no. 687)
Bimbinglah orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah dengan cara yang lembut, agak ditinggikan suaranya dan penuh kesabaran. Kemudian apabila dia telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah maka hendaklah diam dan jangan berkata sesuatu apapun. Kemudian apabila orang tersebut telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah namun mengucapkan kalimat yang lain seperti berilah aku minum atau yang lainnya maka hendaklah dituntun kembali dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, sampai dia meninggal dalam keadaan kalimat terakhir yang dia diucapkan adalah Laa Ilaaha Illallaah.
Dan dengan terus membimbing orang yang akan meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah, maka akan menjaganya dari godaan setan. Karena sesungguhnya setan akan selalu hadir di hadapan orang yang akan meninggal dunia, berusaha untuk merusak akidahnya. Oleh karena itulah penting kiranya bagi orang-orang yang hadir terutama keluarganya untuk lebih perhatian dalam masalah ini.

(5) Peringatan Dari Bahaya Suul Khatimah

Sungguh benar, seorang hamba yang sedang berada di ambang kematian maka setan akan hadir di hadapannya. Demikian pula teman-teman duduknya dahulu ketika di dunia. Yang mana dikhawatirkan dari hal ini, orang yang akan meninggal tersebut akan mengalami suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
Al-Imam Mujahid berkata: Tidaklah seorang yang akan meninggal dunia melainkan akan hadir di hadapannya teman-teman duduknya, apabila mereka adalah orang-orang yang suka main-main berarti dia adalah orang yang suka main-main. Apabila mereka adalah orang-orang yang suka berdzikir berarti dia adalah orang yang suka berdzikir. (at-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirat, hal. 188)
Disebutkan oleh al-Imam al-Qurthubi dalam kitab at-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirat, beberapa kisah tentang orang-orang yang mengalami suul khatimah. Di antaranya adalah ketika dikatakan kepada seorang yang akan meninggal dunia di negeri Syam, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, namun akhir kehidupannya ditutup dengan ucapan: Minumlah, berilah aku minum. Kemudian dikatakan kepada seorang tukang timbangan di negeri Ahwaz yang sedang berada diambang kematian, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, namun akhir kehidupannya ditutup dengan ucapan: Sepuluh, sebelas, dua belas. Dan kisah tentang beberapa tukang makelar tatkala menjelang kematiannya, kemudian ada yang berkata, Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah. Namun akhir kehidupan mereka ditutup dengan ucapan, Tiga setengah, empat setengah. Naudzubillah min dzalik.
Dan bahaya akibat pertemanan dengan orang-orang yang jelek akan berpengaruh pada akhir kehidupan seseorang. Sebagaimana hal ini terjadi pada diri Abu Tholib, paman Rasululloh shallallahu alaihi wasallam yang pembelaannya terhadap perjuangan Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dalam menyebarkan Islam sungguh luar biasa. Tatkala menjelang kematian Abu Tholib, hadir di hadapannya Rasululloh shallallahu alaihi wasallam dan 2 orang pembesar musyrikin Quraisy yaitu Abu Jahl dan Abdulloh bin Abi Umayyah. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam berkata kepada Abu Tholib: Wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah, sebuah kalimat yang akan menjadi saksi bagimu di hadapan Alloh. Rasululloh shallallahu alaihi wasallam sungguh sangat berharap dengan keislaman Abu Tholib. Sementara Abu Jahl dan Abdulloh bin Abi Umayyah mengatakan: Apakah engkau membenci agama Abdul Mutholib? Dua pembesar musyrikin Quraisy tersebut berusaha menghalang-halangi Abu Tholib untuk masuk ke dalam Islam. Namun Rasululloh shallallahu alaihi wasallam terus menerus mengulang ucapannya, sementara 2 orang tersebut juga terus-menerus mengulang ucapan yang sama. Sampai akhirnya kalimat terakhir yang diucapkan oleh Abu Tholib adalah tetap berada di atas agama Abdul Mutholib yaitu agama kesyirikan. Naudzubillahi min dzalika min suil khatimah.

Nurussunnah Tegal

###

Apabila dirinya mempunyai kewajiban (seperti hutang, pinjaman, dll), atau amanah yang belum dia tunaikan, atau kezaliman terhadap hak orang lain yang dia lakukan, hendaknya dia bersegera menyelesaikannya dengan yang bersangkutan, bila memungkinkan.

Bila tidak memungkinkan, karena jauh tempatnya, atau belum ada kemampuan, atau sebab lainnya, hendaknya dia berwasiat (kepada ahli warisnya) dalam perkara tersebut. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)

Dari Abu Huraiah radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِيْنَارٌ وَدِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa berbuat kezaliman terhadap saudaranya, baik pada harga dirinya atau sesuatu yang lain, hendaknya dia minta agar saudaranya itu menghalalkannya (memaafkannya) pada hari ini, sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinar maupun dirham. Apabila dia memiliki amal shalih, akan diambil darinya sesuai kadar kezalimannya (lalu diberikan kepada yang dizaliminya). Apabila dia tidak memiliki kebaikan-kebaikan, akan diambil dari kejelekan orang yang dizalimi lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari Jabir radhiyallahu'anhu, dia berkata:
لَمَّا حَضَرَ أُحُدٌ دَعَانِي أَبِي مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ: ماَ أُرَانِي إِلاَّ مَقْتُولاً فِي أَوَّلِ مَنْ يُقْتَلُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ وَإِنِّي لاَ أَتْرُكُ بَعْدِي أَعَزَّ عَلَيَّ مِنْكَ غَيْرَ نَفْسِ رَسُولِ اللهِ وَإِنَّ عَلَيَّ دَيْنًا فَاقْضِ وَاسْتَوْصِ بِإِخْوَتِكَ خَيْرًا. فَأَصْبَحْنَا فَكَانَ أَوَّلَ قَتِيلٍ
“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)

Disyariatkan segera menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.

Allah Ta'ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhum, dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam, beliau berkata:
مَا حَقَّ امْرُؤٌ مُسْلِمٌ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ وَلَهُ شَيْءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ إِلاَّ وَوَصَّيْتُهُ عِنْدَ رَأْسِهِ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: مَا مَرَّتْ عَلَيَّ لَيْلَةٌ مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ قَالَ ذَلِكَ إِلاَّ وَعِنْدِي وَصِيَّتِي
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”

Dan Ibnu Umar radhiyallahu'anhum berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata (At-Tamhid, 14/292): “Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu.

Diperbolehkan baginya mewasiatkan sebagian harta yang ditinggalkan, maksimal sepertiganya. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Ibnu Abbas radhiyallahu'anhum berkata: “Aku senang bahwa orang mengurangi dari jumlah 1/3 menjadi ¼ dalam hal wasiat. Nabi Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: ‘Sepertiga itu banyak’.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Al-Baihaqi)

Wasiat tersebut tidak boleh untuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, kecuali dengan kerelaan dari seluruh ahli waris lainnya. Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa`)

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata (Al-Ijma’ hal. 100): “Para ulama sepakat bahwa tidak ada wasiat untuk ahli waris kecuali para ahli waris (yang lain) memperbolehkannya.”

Ibnu Katsir rahimahullah berkata (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/471): “Ketika wasiat itu adalah rekayasa dan jalan untuk memberi tambahan kepada sebagian ahli waris, serta mengurangi dari sebagian mereka, maka wasiat itu haram hukumnya, berdasarkan ijma’ dan dengan Al-Qur`an:

“(Wasiat itu) tidak memberi mudarat (kepada sebagian pihak). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Al-Ma`idah: 12)

Adapun wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka wasiat tersebut batil dan tidak boleh dilaksanakan. Dari Aisyah radhiyallahu'anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru pada urusan (agama) ku ini apa yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak.” (Muttafaqun ‘alaih)

Berwasiat agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata (Ahkamul Jana`iz, hal. 17-18): “Ketika adat kebiasaan yang dilakukan mayoritas kaum muslimin pada masa ini adalah bid’ah dalam urusan agama, lebih-lebih dalam masalah jenazah, maka termasuk perkara yang wajib adalah seorang muslim berwasiat (kepada ahli warisnya) agar jenazahnya diurus dan dikuburkan sesuai As-Sunnah, untuk mengamalkan firman Allah Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

Oleh karena itulah, para sahabat mewasiatkan hal tersebut. Atsar-atsar dari mereka (dalam hal ini) banyak sekali. Di antaranya:

a. Dari Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, bahwa ayahnya (yakni Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu'anhu) berkata ketika sakit yang mengantarkan kepada wafatnya:
أَلْحِدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ نَصْبًا اللَّبِنَ كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللهِ
“Buatlah liang lahat untukku, dan tegakkanlah atasku bata sebagaimana dilakukan demikian kepada Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.”

b. Dari Abu Burdah dia berkata: Abu Musa radhiyallahu'anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal: “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya: “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasalam tentang hal itu?” Dia menjawab: “Ya, dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Al-Adzkar: “Disunnahkan baginya dengan kuat untuk mewasiatkan kepada mereka (ahli waris) untuk menjauhi adat kebiasaan yang berupa bid’ah dalam pengurusan jenazah. Dan dikuatkan perkara tersebut (dengan wasiat).”

Wallahu a’lam bish-shawab.

Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan
Asysyariah.com

Tentang DAI YANG SUKA MELUCU

Fadhilatus Syaikh Shalih bin al Fauzan

Pertanyaan:
Disela-sela ceramah, sebagian para dai menjadikan senda gurau sebagai trik dalam berdakwah kepada manusia agar mengikuti hidayah dan taubat kepada Allah. Apa hukum trik seperti ini?

Jawab:
Kapan pun yang namanya senda gurau dan guyon BUKANLAH metode dalam berdakwah menuju jalan Allah.
Berdakwah di jalan Allah dilakukan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, dengan disertai nasehat dan peringatan.
Ada pun metode berdakwah dengan senda gurau dan humor, maka ini dapat MEMATIKAN HATI sekaligus menjadikan manusia selalu ingin bercanda dan tertawa, sehingga mereka datang ke tempat ini (tempat ilmu) BUKAN untuk menimba ilmu, tapi untuk hiburan!
Metode ini tidak dibenarkan sama sekali, dan TIDAK TERMASUK metode dalam berdakwah. Tidak lain cara seperti itu hanyalah sarana hiburan.

(Sumber kitab al-Ijabah al-Muhimmah fi al-Masyakil al-Mudlahamah, pertanyaan no. 156, karya asy-Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan al Fauzan; anggota haiah Kibar Ulama dan anggota al-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta)

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang PEKERJAAN SEBAGAI TUKANG BEKAM

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan:
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan wahai Syaikh kami. Ini adalah pertanyaan kelima belas dan terakhir. Seorang wanita dari Tunisia bertanya:
Saya biasa membekam sebagian Akhwat dan saya meminta bayaran sebagai ganti pembelian alat-alat yang terpakai. Apakah hukum perbuatan ini?

Jawaban:
Yang pertama:
Wahai anakku dari Tunisia,
sungguh Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah berbekam, dan memberi upah kepada tukang bekam tersebut.
Yang kedua:
Mungkin saja akhwat-akhwat lain mengkritik perbuatan anda dikarenakan telah sampai kepada mereka sebuah hadits:
Upah bekam adalah jelek. (Hadits ini shahih)
Akan tetapi, untuk mengkompromikan kedua riwayat hadits yang kita telah sebutkan maka kesimpulannya: Larangan dalam riwayat menunjukan hukumnya makruh.
Adapun riwayat yang menyebutkan bahwah Nabi memberikan upah kepada tukang bekam ini menunjukan hukum pembolehan.
Maka hadits: Upah bekam adalah jelek, menunjukan larangan. Untuk mengkompromikannya adalah, bahwasannya larangan di sini -yang mencela perbuatannya- menunjukan larangan yang bersifat makruh, bukan larangan yang bersifat haram.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=143447#entry687806

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMBACA SYAIR ATAU BACAAN TERTENTU SEBELUM ATAU SETELAH SALAT

Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 9953
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Pertanyaan:
يقول الناس في كل أسبوع بعد الجمعة أبياتا هل يجوز أم لا؟ أقول تلك البيوت
Sebagian orang membaca sya’ir/bacaan tertentu setelah shalat Jum’at, apakah ini boleh? Sya’ir/bacaan tersebut contohnya:
إلهي لست للفردوس أهلا ولا أقوى على نار الجحيم
فهب لي توبة واغفر ذنوبي فإنك غافر الذنب العظيم
Ilahi, aku tidak pantas untuk surga Firdaus
Tapi aku tidak kuat terhadap neraka Jahannam
Berilah aku taubat dan ampunilah dosa-dosaku
Engkau adalah Yang mengampuni dosa besar.

Jawab:
يشرع للمسلم الدعاء والتضرع إلى الله عز وجل في كل وقت وفي جميع أحيانه، قال تعالى: {وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ} سورة غافر الآية 60 وقال: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} سورة البقرة الآية 186 وفي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم: «الدعاء هو العبادة» سنن الترمذي (2969)، لكن إنشاد ذلك الشعر بعد الجمعة واتخاذ ذلك سنة ليس بمشروع، بل بدعة من البدع الممنوعة، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد» البخاري (2697)، مسلم (1718). وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Disyari’atkan untuk setiap muslim berdo’a dan tadharru’ (memohon dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada setiap waktu dan segala kondisinya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Rabb-mu telah berfirman, ‘Berdoalah kalian kepadaku, niscaya aku kabulkan untuk kalian.” (Ghafir: 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permintaan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a.” (al-Baqarah: 186)
Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:
الدعاء هو العبادة
“Do’a, dia adalah ibadah.” (HR. at-Tirmidzi 2969)
Namun mendendangkan/membaca sya’ir usai shalat Jum’at dan menjadikannya sebagai kebiasaan/tradisi, adalah perbuatan yang TIDAK DISYARI’ATKAN. Bahkan itu adalah BID’AH YANG TERLARANG.
Telah pasti dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam bahwa beliau bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat hal baru dalam agama kami yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak.” (HR. al-Bukhari 2697, Muslim 1718)
Wa billahi at-Taufiq. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.

Majmuah Manhajul Anbiya

Jumat, 29 Mei 2015

Tentang JUAL BELI DENGAN PEDAGANG KAFIR

Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 3323
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Tanya:
ما حكم ترك المسلمين التعاون بينهم بأن لا يرضى ولا يجب أن يشتري من المسلمين، ويرغب في الشراء من دكاكين الكفار، هل هذا حلال أم حرام؟
Apa hukumnya ketika kaum muslimin meninggalkan ta’awun antar sesama mereka, tidak ridha dan tidak suka membeli dari sesama muslimin. Sebaliknya lebih senang membeli dari toko-toko orang kafir. Apakah ini halal atau haram?

Jawab:
الأصل جواز شراء المسلم ما يحتاجه مما أحل الله له من المسلم أو من الكافر، وقد اشترى النبي صلى الله عليه وسلم من اليهود، لكن إذا كان عدول المسلم عن الشراء من أخيه المسلم من غير سبب من غش ورفع أسعار ورداءة سلعة إلى محبة الشراء من كافر والرغبة في ذلك وإيثاره على المسلم دون مبرر فهذا حرام؛ لما فيه من موالاة الكفار ورضاء عنهم ومحبة لهم، ولما فيه من النقص على تجار المسلمين وكساد سلعهم، وعدم رواجها إذا اتخذ المسلم ذلك عادة له، وأما إن كانت هناك دواع للعدول من نحو ما تقدم فعليه أن ينصح لأخيه المسلم بترك ما يصرفه عنه من العيوب، فإن انتصح فالحمد لله، وإلا عدل عنه إلى غيره، ولو إلى كافر يحسن تبادل المنافع ويصدق في معاملته. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Hukum asalnya seorang muslim boleh membeli apa yang dia butuhkan dari apa yang Allah halalkan untuknya, baik membeli dari seorang muslim atau kafir.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli dari orang Yahudi.
Tapi kalau seorang muslim itu tidak mau membeli dari saudaranya sesama muslim tanpa ada sebab, baik penipuan, atau harga lebih tinggi, dan barang yang jelek, namun justru disebabkan karena cinta membeli dari orang kafir, senang dengan itu, lebih mengutamakan orang kafir atas orang muslim tanpa ada alasan, maka INI HARAM.
Karena pada perbuatan/sikap ini terdapat loyalitas kepada orang-orang kafir dan ridha kepada mereka.
Juga karena pada sikap ini celaan kepada para pedagang muslim dan membuat barang dagangan mereka tidak laku dan tidak beredar apabila itu menjadi kebiasaan muslim.
Adapun apabila di sana ada faktor-faktor tertentu yang menyebab dia berpaling dari itu (yakni tidak mau membeli dari orang muslim) maka hendaknya dia menasehati saudaranya muslim tersebut (yakni penjual muslim) agar meninggalkan aib-aib yang menyebabkan pembeli berpaling darinya. Kalau dia mau menerima nasehat tersebut, maka Alhamdulillah. Kalau tidak, maka boleh beralih darinya kepada penjual lain, walaupun kepada orang kafir namun yang bagus dalam bertransaksi dan jujur dalam muamalahnya.
Wa billah at-Taufiq wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Shahbihi wa Sallam.

Majmuah Manhajul Anbiya

Kamis, 28 Mei 2015

Tentang NABI DARI KALANGAN PEREMPUAN

Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di berkata: “Maknanya, engkau bukanlah rasul yang baru (pertama). Kami tidak pernah mengutus sebelummu malaikat, namun yang Kami utus adalah laki-laki sempurna, bukan dari kalangan wanita.”
Ibnu Katsir berkata: “Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah –dan ini dinukilkan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dari mereka– bahwa tidak ada nabi dari kalangan perempuan. Yang ada di kalangan mereka adalah shiddiqah, sebagaimana Allah mengabarkan tentang wanita yang paling mulia, Maryam bintu ‘Imran:
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Allah menyebutnya sebagai shiddiqah (seorang yang sangat benar) dalam kedudukan yang paling mulia. Kalau seandainya dia adalah nabi, niscaya akan disebutkan dalam rangka memuliakan dan mengagungkannya. Dia adalah shiddiqah berdasarkan nash Al-Qur`an.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Abdurahman As-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah:
“Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.” (Al-Ma`idah: 75)
Beliau berkata: “Ini adalah dalil bahwa Maryam bukanlah nabi. Bahkan derajat tertinggi baginya adalah shiddiqah. Cukuplah hal ini sebagai kemuliaan dan keutamaan. Demikian pula seluruh wanita, tidak ada seorangpun dari mereka yang menjadi seorang nabi. Karena Allah menyebutkan bahwa kenabian adalah dari jenis yang paling sempurna yaitu kaum pria. Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di hal. 240)
Ijma’ tentang masalah ini telah dinukil oleh Al-Qadhi Abu Bakr, Al-Qadhi Abu Ya’la, Abul Ma’ali, dan Al-Kirmani serta selain mereka. (Lihat tahqiq Yasin terhadap Syarh Al-Wasithiyyah)

Sumber: Asy Syariah Edisi 041

Tentang PERBEDAAN ANTARA NABI DAN RASUL

Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak

Seluruh rasul adalah nabi. Namun para ulama menjelaskan perbedaan nabi dengan rasul:
1. Sebagian ulama menjelaskan bahwa nabi adalah laki-laki yang diberi wahyu dan tidak diperintah untuk berdakwah. Adapun rasul, diperintah untuk berdakwah.
2. Sebagian ulama menjelaskan bahwa rasul diutus dengan risalah yang baru, sedangkan nabi melanjutkan syariat rasul sebelumnya. Pendapat ini disebutkan oleh Al-Alusi dan dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
3. Syaikhul Islam menyebutkan bahwa rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah dan diutus kepada orang yang menyelisihi perintah Allah. Adapun jika mengamalkan syariat rasul sebelumnya dan tidak diutus kepada kaum tertentu, maka dia adalah nabi bukan rasul.
Kesimpulannya adalah apa yang diucapkan Ibnu Abil ‘Izzi: “Rasul lebih khusus dari nabi. Semua rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul.” (Lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, hal 180, Tanbihat Saniyah, hal. 9)

Sumber: Asy Syariah Edisi 041

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin رحمه الله

Pertanyaan: 
أيضاً لدى ناصر دواره من الجمهورية العربية السورية سؤال آخر يقول: ما الفرق بين النبي والرسول؟
Pertanyaan lainnya masih juga dari Nashir Dawaruh dari Republik Arab Suriah. Ia mengatakan: Apakah perbedaan antara nabi dan rasul?

Jawaban:
المشهور عند أهل العلم أن الفرق بينهما أن النبي أوحي إليه بشرع ولم يؤمر بتبليغه، والرسول أوحي إليه بشرع وأمر بتبليغه. هذا هو الفرق عند جمهور أهل العلم، وقيل: إن الفرق أن النبي من لم يأت بشرع جديد، وإنما يكون مبلغاً بشرع من قبله. أي أنه يحكم بشريعة من قبله بدون وحي جديد يوحى به إليه، كما في قوله تعالى: ﴿إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدىً وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ﴾ يحكم بها النبيون بما أسلموا، فهم يحكمون بما في التوراة، فأما إذا أتى بشرع جديد ولو كان تكميلاً لشرع من قبله فإنه يكون رسولاً. ولا يرد على هذا التعريف إلا آدم، فإن آدم كان نبياً وليس برسول؛ لأن أول رسول نوح، وآدم نبي أوحي إليه بشرع فعمل به، فأخذت به ذريته الذين كانوا في عهده
Yang masyhur di sisi para ‘ulama bahwa beda antara keduanya ialah nabi diberi wahyu berupa syari’at dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya, sedangkan rasul diberi wahyu berupa syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannya.
Inilah perbedaan antara nabi dan rasul menurut jumhur ‘ulama. Dan ada yang mengatakan bahwa perbedaannya ialah nabi seorang yang datang tidak dengan membawa syari’at baru, tetapi hanya menyampaikan syari’at nabi sebelumnya.
Yaitu dia berhukum (memutuskan perkara) berdasarkan syari’at nabi sebelumnya tanpa wahyu baru yang diwahyukan kepadanya. Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala:
إنا أنزلنا التوراة فيها هدى ونور يحكم بها النبيون الذين أسلموا للذين هادوا والربانيون والأخبار بما استحفظوا من كتاب الله وكانوا عليه شهداء
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Dengan kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang-orang Yahudi, demikian juga para ‘ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab Allah dan menjadi saksi atasnya.”
Para nabi sebab mereka orang-orang yang berserah diri kepada Allah memberi putusan berdasarkan kitab itu. Mereka memberi putusan dengan apa yang terdapat di dalam Taurat. Adapun bila seseorang itu datang dengan membawa syari’at yang baru meskipun hanya penyempurna bagi syari’at sebelumnya, maka ia adalah seorang rasul.
Dan definisi ini tidaklah tertolak kecuali pada Adam. Karena Adam adalah nabi dan bukan rasul, karena rasul yang pertama adalah Nuh. Adam adalah nabi yang diberi wahyu berupa syari’at sehingga ia beramal dengannya. Kemudian syari’at itu diambil oleh anak keturunannya yang berada di masanya.

Sumber: Silsilah Fatawa Nurun ‘alad Darb> kaset no. 40

Alih bahasa : Syabab Forum Salafy

Rabu, 27 Mei 2015

Tentang MEMBERIKAN SEDEKAH DAN ZAKAT KEPADA NON MUSLIM

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan:
أحسنَ اللهُ إليكم- السؤال السادس عشر من الكويت هل تجوز الصدقة على غير المُسلِم؟
Semoga Allah berbuat baik kepada anda, pertanyaan keenam belas dari Kuwait:
Bolehkah bersedekah kepada orang selain muslim?

Jawaban:
صدقة الفرض لا تجوز على غير المسلم، إذا كانَ يتألفُه يرى منه لينًا(..) للإسلام أو (..) أحب الإسلام لكنه لم يُسلِم هو يجعله في هذا، نعم، أو كذلك لو كان له نُظراء يتصدق إليه باسم نظيره، لو كانَ مُطاعًا ويرى أن (..) غيرهُ فهو يتألفهُ
Kalau sedekah wajib maka tidak boleh kepada selain muslim, kecuali:
Dalam rangka talif (melembutkan hatinya untuk masuk islam), dikarenakan melihat kecintaan dia kepada islam akan tetapi dia belum masuk islam, maka boleh memberikan dia sedekah wajib tersebut.
Atau diberikan kepada pemuka kaum yang ditaati di tengah kaumnya dan diharapkan dia bisa melembutkan hati kaumnya (untuk menerima islam).
أما صدقة التطوع(..) لكني أرى أن كانَ هذا الكافر عدو، يُكشرُ عن أنياب العداوة يُظهر العداوة للإسلام وأهله فلا يُعطى، لا تطوع ولا فريضة
Adapun sedekah sunnah maka boleh diberikan kepada selain muslim.
Akan tetapi saya berpandangan, kalau dia seorang kafir yang keras permusuhannya terhadap islam, dan dia menampakkan permusuhan terhadap islam dan kaum muslimin, maka tidak boleh memberikan sedekah kepadanya, baik itu sedekah sunnah atau sedekah wajib.

Sumber:
ar .alnahj .net/fatawah/open-session-with-sh-obaid-al-jabri/08/01-08-1435h

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang WANITA MEMAKAI PAKAIAN YANG BERHIASKAN RENDA, BORDIRAN, ATAU HIASAN LAINNYA

Al Ustadz Luqman Ba'abduh hafizhahullah

Tanya:
Apa hukumnya, pakaian seorang wanita untuk keluar rumah yang berhiaskan seperti renda, atau bordir, atau warna yang berbeda-beda?

Jawab:
Jadi gambarannya, pakaian wanita sudah menutup auratnya, hanya saja pada bagian-bagian tertentu, itu ada rendanya, kemudian ada bordirnya. (Sekarang ditanya saja) renda itu tujuannya dipasang untuk memperkuat jahitan atau untuk memperindah baju? Memperindah? (Yang boleh menjawab yang penjahit, ada penjahit tidak disini?)
Itu dalam rangka supaya semakin kuat atau semakin indah? Semakin indah ya?
Bordiran itu tujuannya untuk apa? Sama juga? Memperindah?
Berarti tidak boleh wanita keluar dengan menggunakan pakaian yang mengandung unsur perhiasan atau keindahan. Tidak boleh! Jawabannya tidak boleh. Maka hati-hati kepada ummahat, baik itu yang memakai, atau yang menjual, kalau ada renda-rendanya ataupun bordir, tidak boleh dipakai dan tidak boleh dijual. Barakallahufiikum.
Karena dilarang sama Allah Subhanahu Wata'ala.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Selasa, 26 Mei 2015

Tentang MENYAMBUT BULAN RAMADAN

Tak terasa, kita akan memasuki bulan Ramadhan yang mulia. Saat bulan yang penuh barokah ini tiba, umat Islam di seluruh penjuru dunia menyambutnya dengan hati gembira. Kebahagiaan bercampur kerinduan yang mendalam mewarnai rumah-rumah kaum muslimin. Jiwa-jiwa mereka pun siap menyongsongnya.

Di antara persiapan yang paling baik untuk menyongsong bulan Ramadhan adalah mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai ibadah di bulan suci tersebut. Agar amalan yang akan dilakukan bisa lebih bermakna.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah: "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil)." [al-Baqarah: 185]

Melalui lisan Nabi-Nya tersampaikan pula bahwa pada bulan yang mulia ini, para setan dibelenggu, pintu surga (al-Jannah) dibuka, dan pintu neraka (an-Nar) ditutup. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Bila datang Bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu Jannah, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah para setan." (HR. al-Bukhari no. 1899 dan Muslim no. 1079 dari Abu Hurairah)

Kita sebagai manusia yang banyak terjatuh dalam perbuatan dosa baik yang disengaja maupun tidak, namun kita berharap bisa terampuni dengan ibadah puasa Ramadhan ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda, "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan penuh harap, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. al-Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760 dari Abu Hurairah)

Ibadah puasa memiliki kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda sesuai kualitas puasa yang dikerjakan seorang hamba. Semakin tinggi kualitas puasanya, semakin melimpah pahala yang akan didapat. Yaitu, puasa yang tak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga.

Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah serta meneladani sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah. Nabi shallallahu alaihi wasallam  bersabda, "Setiap amalan anak Adam diIipat gandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berfirman: Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku." (HR. Muslim no. 1151 dari Abu Hurairah)

Hadits di atas juga menunjukkan betapa agungnya nilai ibadah puasa. Allah melipat gandakan balasan bagi orang yang berpuasa bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat, namun akan dibalas sesuai dengan kehendak-Nya.

Hikmah dari perkara ini adalah bahwasanya orang yang berpuasa telah meninggalkan makan dan minum karena Allah. Dia begitu ikhlas menjalankan ibadah dengan menahan lapar dan dahaga, sementara di sekitarnya terdapat makanan dan minuman.

Di samping itu, dia juga menahan hawa nafsunya dari semua hal yang bisa membatalkan puasa, mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan dari Allah semata.

Sesungguhnya puasa itu akan menumbuhkan akhlak-akhlak yang mulia. Melatih jiwa untuk menjadi seorang hamba yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Rabb semesta alam.

Orang yang berpuasa hendaknya menjaga anggota badannya dari segala yang diharamkan oleh Allah. Bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa diperbolehkan melakukannya. Namun, perbuatan maksiat bila dilakukan di bulan yang mulia ini dapat menghapus pahala puasa pelakunya.

Semestinya seorang hamba menjaga lisannya dari dusta, ghibah, namimah (adu domba), berkata kasar kepada orang tua, dan selainnya. Hendaknya pula menjaga pandangannya dari memandang lawan jenis yang bukan mahramnya. Baik secara langsung, maupun di dunia maya seperti Facebook dan semisalnya. Karena tidak bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatif dari Facebook sangatlah besar. Juga menjaga telinga, tangan, kaki, dan anggota badan yang lain dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah ketika berpuasa. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang mengandung kedustaan, maka Allah tidak butuh untuk dia meninggalkan makan dan minumnya." (HR. al-Bukhari no. 1903 dari Abu Hurairah)

Demikian pula, hendaknya bagi orang yang berpuasa untuk lebih bersabar dalam menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan kepadanya. Apabila seorang hamba dapat menahan diri dari membalas kejelekan, maka tentunya dia akan dijauhkan dari memulai melakukan kejelekan kepada yang lain.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan berbuat keributan dengan mengangkat suara. Jika dia dicela atau disakiti, maka katakanlah saya sedang berpuasa." (HR. al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151)

Salah satu keutamaan ibadah puasa adalah adanya prosesi makan sahur, meskipun hanya minum seteguk air. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terdapat barokah." (HR. al-Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095 dari Anas bin Malik)

Rasullullah shallallahu alaihi wasallam  mengakhirkan makan sahur hingga mendekati terbit fajar kedua (mendekati waktu Shubuh). Adapun hukum makan sahur adalah sunnah.

Al-Imam an-Nawawi berkata, "Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban." (Syarh Shahih Muslim 7/ 206)

Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan bahwa barokah dalam sahur dapat diperoleh dalam beberapa bentuk; (di antaranya) mengikuti sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, menyelisihi Ahlul Kitab, menambah kemampuan untuk beribadah, mencegah akhlak yang buruk karena pengaruh lapar, serta berkesempatan untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab. (Fathul Bari 4/140)

Kebahagiaan yang tak terhingga akan dirasakan oleh orang yang berpuasa, tatkala tiba saat berbuka bersama keluarga. Lapar dan dahaga menjadi sirna dengan berbagai hidangan yang ada. Semoga umat Islam di seluruh dunia turut merasakannya. Kaum muslimin di Palestina yang dijajah oleh bangsa Yahudi, di Suriah yang tersudutkan oleh Jabhatun Nushrah, di Irak yang terancam oleh ISIS dan al-Qaedah. Demikian pula kaum muslimin di Yaman yang menjadi sasaran milisi pemberontak Syi'ah Hautsi dan tentunya di berbagai negara lainnya. Amin Ya Mujibas sailin.

Kebaikan akan selalu meliputi umat Islam selama mereka menyegerakan berbuka (ifthar). Hendaknya bagi setiap muslim bersegera dalam berbuka. Tidak boleh menundanya meski dia merasa masih kuat untuk berpuasa. Hal ini demi meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menyelisihi Ahlul Kitab yang mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang di langit. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Agama ini akan senantiasa tampak selama manusia bersegera dalam berbuka puasa, karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan berbuka." (HR. Abu Dawud no. 2006 dari Abu Hurairah, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/58)

Hadits ini menunjukkan bahwa penopang agama yang lurus adalah dengan menyelisihi Yahudi dan Nashrani. Karena sikap selalu mencocoki mereka adalah keretakan dalam agama. (Syarhu ath-Thiibi 5/1589)

Dari Sahl bin Sa'd Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. al-Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Al-Imam Ibnu Daqiqil 'led berkata, "Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap kaum Syi'ah yang mengakhirkan berbuka puasa hingga tampak bintang-bintang." (Fathul Bari 4/199)

Pembaca yang dimuliakan Allah, tentunya besar harapan dalam jiwa akan dapat kembali memasuki Bulan Ramadhan. Menghapus jejak-jejak penuh luka, menutup lembaran lama. Semoga Allah memudahkan kita untuk dapat berpuasa, memperbanyak shalat, bacaan al-Qur'an, shadaqah, dzikir, doa dan berbagai amalan ibadah lainnya. Amin.

Marhaban Ya Ramadhan...
Selamat datang Bulan suci Ramadhan...

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Muhammad Hadi

Buletin Al Ilmu Edisi No. 30/VIII/XIII/1436 H

###

Asy Syaikh Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
ما نصيحتكم للمسلمين بمناسبة اقتراب شهر رمضان؟
Apa nasehat anda kepada kaum muslimin terkait telah dekatnya bulan Ramadhan?

Jawaban:
الواجب على المسلم يسأل الله أن يبلغه رمضان وأن يعينه على صيامه وقيامه، والعمل فيه، لأنه فرصة في حياة المسلم: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، فهو فرصة في حياة المسلم قد لا يعود عليه مرة ثانية
Wajib bagi kaum muslimin untuk memohon kepada Allah agar dia bisa sampai ke bulan Ramadhan, dan diberi kemampuan untuk berpuasa serta melaksanakan shalat tarawih padanya, dan juga bisa beramal saleh pada bulan Ramadhan. Dikarenakan bulan tersebut merupakan kesempatan besar di kehidupan seorang muslim.
Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang terdahulu. (H.R al-Bukhari)
Barang siapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan dikarenakan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang terdahulu. (H.R al-Bukhari)
Maka ini merupakan kesempatan besar bagi setiap muslim -untuk beramal- yang mungkin saja dia tidak bisa mendapatkan kesempatan kedua setelahnya.
فالمسلم يفرح بقدوم رمضان ويستبشر به، ويستقبله بالفرح والسرور، ويستغله في طاعة الله ليله قيام، ونهاره صيام وتلاوة للقرآن والذكر فهو مغنم للمسلم، أما الذين إذا أقبل رمضان يعدون البرامج الفاسدة والملهية والمسلسلات والخزعبلات والمسابقات ليشغلوا المسلمين فهؤلاء جند الشيطان، الشيطان جندهم لهذا، فعلى المسلم أن يحذر من هؤلاء ويحذر منهم، رمضان ما هو وقت لهو ولعب ومسلسلات وجوائز ومسابقات وضياع للوقت
Maka seorang muslim hendaknya bergembira dan merasa senang dengan datangnya bulan Ramadhan, menyambutnya dengan penuh kegembiraan, menggunakan kesempatan pada bulan tersebut untuk memperbanyak ketaatan. Shalat di malam hari dan pada siang harinya berpuasa, membaca Al-quran dan berdzikir, yang mana ini semua merupakan ghanimah bagi setiap muslim.
Adapun orang-orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mempersiapkan berbagai kegiatan-kegiatan yang negatif, seperti acara musik, acara drama yang bersambung, acara-acara lawakan atau perlombaan kuis, yang semua ini melalaikan kaum muslimin -dari ibadah-, maka mereka ini adalah bala tentara Syaithan.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati dari mereka, dan mentahzir mereka.
Bulan Ramadhan bukanlah waktu untuk bermain-main atau perkara sia-sia seperti kuis-kuis dan semisalnya yang semua ini menyia-nyiakan waktu.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14849

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Sabtu, 23 Mei 2015

Tentang HUKUM MUNTAH DAN MUNTAHANNYA

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
إن طفلي يرضع الحليب الاصطناعي، وهو يسترجع باستمرار عدة مرات في الساعة الواحدة، وقد يصيب ملابسي بعض الأحيان، وأنا أصلي بها دون غسل، فهل يلزمني أن أجدد وضوئي أو أغير ملابسي، وهل صلاتي جائزة دون ذلك؟
Anak saya yang masih kecil meminum susu formula, tetapi dia sering memuntahkan susu tersebut berkali-kali dan terkadang mengenai pakaianku. Saya shalat memakai pakaian tersebut tanpa mencucinya, apakah harus bagi saya untuk mengulang wudhu dan mengganti pakaianku? Ataukah shalatku tetap sah tanpa melakukan itu semua?

Jawaban:
كأنها تعني القيء، أنه يقيء من هذا الحليب الذي يشربه، المشروع لك أن تغسلي ما أصابك لأن بعض أهل العلم يرى هذا القيء كبوله، فالمشروع لك أن تغسلي هذه الملابس التي يصيبها إذا كان الشيء كثيراً، أما إن كان يسيراً يعفى عنه هذا هو المشروع والأحوط أنك تغسلين ما أصابك أما الطهارة صحيحة الطهارة هنا ما تنتقض الطهارة لكن ما أصاب الثوب من بوله وقيئه يغسل هذا هو الأحوط خروجاً من خلاف العلماء
Jika yang dimaksud di sini adalah muntah yang dikeluarkan dari susu yang diminumnya, maka yang disyariatkan adalah Anda mencuci bagian yang terkena muntah pada diri Anda.
Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwasanya muntah sama dengan kencing.
Maka yang disyariatkan bagimu, Anda mencuci pakaian yang terkena muntah tersebut jika muntahnya cukup banyak. Adapun jika sedikit, maka tidak mengapa.
Namun, lebih hati-hati lagi jika anda tetap mencucinya. Walaupun keadaan anda tetap suci, tidak membatalkan wudhu, hanya saja sebaiknya Anda mencuci bagian yang terkena kencing atau muntah agar lebih berhati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat ulama.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/16877

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang UTANG DENGAN JAMINAN MOTOR ATAU MOBIL

Gadai Motor, Bolehkan Dimanfaatkan?
(oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Soal:
Bolehkah benda gadai berupa motor atau mobil kita manfaatkan dengan kita membayar bahan bakarnya?

Jawab :
Sebatas yang kami ketahui, jika barang tersebut adalah barang gadaian dari sebuah piutang, tidak boleh dimanfaatkan walaupun kita yang membayar bahan bakarnya. Sebab, pemakaian itu sendiri sudah punya nilai. Buktinya, ada penyewaan sepeda motor dan mobil. Dengan demikian, penggadai/penerima gadai/murtahin dengan piutangnya telah mengambil manfaat, maka itu riba.
Tidak dapat pula dikiaskan antara mobil atau motor dan punggung unta atau sapi yang dapat ditunggangi karena murtahin memberi makan kepadanya. Hewan adalah makhluk hidup yang sangat tergantung pada kebutuhan hidup berupa makanan. Oleh karena itu, siapa yang memberi makan, dia yang memanfaatkan, baik pegadai maupun penggadai. Sebaliknya, benda mati tidak membutuhkan makanan. Seandainya dua belah pihak tidak memedulikan barang tersebut, tidak begitu bermasalah.
 
Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tentang UTANG DENGAN JAMINAN BPKB

Menggadaikan BPKB
(oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi)

Soal:
Apakah penyerahan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah berarti qabdh (berkuasa/ambil alih) terhadap kendaraan bermotor yang dijadikan gadai?

Jawab:
Ini termasuk masalah kontemporer yang insya Allah akan kami tanyakan kepada para ulama. Namun, untuk kehati-hatian, kami memandang bahwa hal itu belum termasuk qabdh. Sebab, pada kenyataannya ada orang yang menggadaikan BPKB di suatu tempat, lantas ia menggadaikan kendaraan bermotornya di tempat yang lain.
Ada pula penjualan kendaraan bermotor tanpa BPKB. Atas dasar itu, untuk qabdh (penguasaan/
pengambilalihan) kendaraan bermotor harus benar-benar kendaraan tersebut diserahkan kepada murtahin/penerima gadai. Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Jumat, 22 Mei 2015

Tentang PERSYARATAN DAN KESEPAKATAN DALAM GADAI YANG DIPERBOLEHKAN DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN

Syarat antara rahin (orang yang menggadaikan hartanya kepada murtahin) dan murtahin (orang yang menerima gadai dari rahin) dalam rahn (gadai/utang dengan jaminan), syarat sah dan syarat fasid

Oleh: al Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Persyaratan yang terjadi antara kedua belah pihak pada barang gadaian dibagi menjadi dua, syarat yang sahih (benar) dan syarat yang fasid (rusak/batal).

Syarat sahih, misalnya, salah satunya memberikan syarat bahwa barang gadaian diamanatkan kepada seorang jujur yang dia tentukan, atau dua orang, atau sekelompok orang. [1]
Atau ia mempersyaratkan, nanti yang menjualnya adalah orang yang jujur tersebut di saat jatuh tempo dan rahin tidak dapat membayar. [2] Kata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang sahnya hal ini.” Atau, ia mensyaratkan bahwa yang menjualnya nanti adalah penggadai/ murtahin. Ini juga sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Sementara itu, asy-Syafi’i memandang tidak sah pada syarat yang terakhir ini. Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa selama boleh mewakilkan kepada selain murtahin, boleh pula mewakilkan kepada murtahin, sebagaimana penjualan barang-barang yang lain.

Syarat fasid, globalnya adalah semisal syarat yang bertolak belakang dengan maksud rahn. Contohnya:
1. Agar barang gadaian tidak dijual ketika jatuh tempo dan tidak bisa bayar. [3]
2. Agar utang tidak dilunasi dengan nilai dari barang itu.
3. Tidak boleh dijual saat dikhawatirkan rusak. [4]
4. Barang dijual berapa pun harganya.
5. Tidak dijual selain dengan harga yang diridhai oleh rahin.
Ini semua (poin no. 1 sampai no. 5) adalah syarat-syarat yang rusak karena menghilangkan tujuan pelunasan.
6. Agar rahin punya hak khiyar (pilih).
7. Akad rahn tidak menetap padanya. [5]
8. Rahn dibatasi waktu tertentu.
9. Sehari menjadi barang gadaian, sehari tidak.
10. Rahn/barang gadaian harus berada di tangan rahin.
11. Murtahin/penggadai boleh memanfaatkannya. [6]
12. Rahin/pegadai memanfaatkannya. [7]
13. Apabila rusak, ditanggung murtahin. [8]
14. Apabila rusak, ditanggung oleh orang yang diamanati.
Ini semua (poin no. 6 sampai no. 14) adalah syarat yang rusak, karena di antaranya ada syarat yang bertentangan dengan maksud akad pergadaian atau tidak sejalan dengan akad pergadaian, serta tidak memerhatikan maslahat barang gadaian tersebut.
15. Termasuk syarat yang rusak adalah apabila jatuh tempo dan rahin tidak mampu bayar, maka barang menjadi milik murtahin, dan telah dibahas sebelum ini. [9]

Apabila terjadi persyaratan yang fasid, apakah akad pergadaiannya batal?
Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)

Catatan kaki:

[1] Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih; Ini termasuk kesepakatan yang diperbolehkan. Orang tersebut menjadi wakil murtahin dalammengqabdh barang gadaian tersebut. Ini adalah pendapat Atha’, Thawus, Malik, asy-Syafi’i, dan yang lain. Apabila diamanatkan kepada dua orang, keduanya harus menjaga rahn sesuai dengan amanat. Ketika orang yang diamanati menyatakan ketidaksanggupan, harus diterima. (al-Mughni, 6/470—472)

[2] Apabila kedua belah pihak juga sepakat bahwa orang yang diamanatilah yang menjual barang tersebut apabila telah jatuh tempo, ini adalah kesepakatan atau persyaratan yang sah menurut Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
Apabila pegadai membatalkan amanat, hal ini juga sah menurut asy-Syafi’i. (Lihat al-Mughni, 6/473)

[3] Apabila telah datang waktu pelunasan utang, pegadai/rahin diminta untuk membayar utangnya sebagaimana layaknya utang lainnya yang tidak melibatkan barang gadaian. Namun, apabila ia tidak bisa membayarnya, barang gadaian itu digunakan untuk melunasi utang dengan cara yang dijelaskan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagaimana berikut ini:
- Apabila barang gadaian itu sama jenisnya dengan barang yang diutang dan seukuran/senilai dengan utangnya, barang tersebut bisa diambil oleh penggadai/ murtahin sebagai pelunasannya. Jika ternyata nilainya lebih besar daripada utangnya, dia ambil haknya dan mengembalikan kelebihannya. Apabila ternyata kurang, dia ambil seluruhnya dan kekurangannya tetap menjadi tanggungan pegadai/rahin.
- Apabila barang gadaian itu dari jenis yang berbeda (dengan yang diutang) dan keduanya bersepakat (setelah tiba waktu pelunasan) untuk menjadikannya sebagai ganti utangnya, hal itu diperbolehkan sesuai dengan persetujuan mereka berdua. Namun, apabila penggadai/murtahin tetap meminta pelunasan dalam bentuk barang yang sejenis dengan yang dia utangkan, barang tersebut dijual dan hasil penjualannya diberikan kepadanya (sesuai dengan nilai utangnya). (Lihat Mudzakkirah Fiqih 2/342—343, al-Mughni 6/5531, Manarus Sabil, 2/88)
Apabila rahin tidak mau menjual barang gadaian atau melunasi utangnya, hakim berhak menjual barang tersebut atau menghukumnya. Asy-Syaikh al-Fauzan berkata, “Apabila dia tidak mau, berarti dia mumathil (orang yang menunda-nunda utang padahal ada kemampuan). Ketika itu, hakim memaksanya untuk membayar utang. Kalau tidak mau juga, hakim memenjarakannya dan memberikan sanksi ta’zir (sanksi yang diberikan oleh hakim sesuai dengan kebijaksanaannya dalam rangka membuat pelakunya jera) sampai dia mau melunasi utang yang ditanggungnya dari hartanya sendiri, atau menjual barang gadaiannya dan melunasi utangnya dari hasil penjualan barang gadai tersebut. Apabila tidak mau juga, hakim berhak menjual barang tersebut dan melunasi utang rahin dengannya karena ini adalah kewajiban atas orang yang berutang, sehingga hakim mewakilinya saat ia tidak mau melakukan pembayaran. Selain itu, barang tersebut adalah jaminan atas utangnya yang dijual saat jatuh tempo. Apabila ternyata ada sisa setelah dibayarkan utangnya, itu menjadi milik pegadai/rahin dan dikembalikan kepadanya karena itu adalah hartanya. Namun, kalau belum tertutupi dengan hasil penjualan barang gadaian itu, utangnya tetap menjadi tanggungan pegadai/rahin dan wajib dia lunasi.” (al-Mulakhashal-Fiqhi 2/55, al-Mughni 6/531, Manarus Sabil, 2/88)

[4] Barang yang cepat rusak semacam buah-buahan, baik yang membutuhkan pengeringan -seperti anggur dan kurma- maupun yang tidak -seperti semangka- apabila perlu diawetkan dengan cara dijemur karena waktu pembayaran belum tiba, biaya penjemuran ditanggung oleh pegadai/rahin. Adapun yang tidak mungkin dikeringkan dan dikhawatirkan rusak, barang tersebut dijual dan hasil penjualannya menjadi pengganti barang gadaian sebelumnya. (Lihat al-Mughni 6/459 dan al-Muhalla 8/100)

[5] Gadai adalah lazim atas pegadai/rahin. Lazim yang dimaksud di sini adalah sebuah istilah dalam transaksi syar’i untuk menyebut sebuah transaksi yang bersifat tetap dan tidak boleh dibatalkan selain dengan kerelaan dua belah pihak yang bertransaksi.
“Rahn/gadai bagi penggadai/murtahin adalah hak baginya. Adapun bagi pegadai/rahin, itu adalah tanggungan baginya. Pemilik hak (murtahin) boleh menggugurkan atau merelakan tanpa kerelaan pihak yang lain (rahin), sedangkan penanggung hak (rahin) tidak boleh membatalkannya selain dengan kerelaan pihak yang lain.” (Mudzakkirah Fiqih 2/340)

[6] Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan:
Pertama, yang tidak membutuhkan biaya, seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya. Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”
Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin, selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan memberi biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR. al-Bukhari)
Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah.
Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.
Pendapat pertama lebih kuat, sesuai dengan teks hadits.
Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat diambil susunya atau ditunggangi.
Barang seperti ini bisa dibagi menjadi dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan, budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan dinaiki karena adanya hadits.”
Pendapat lain membolehkan jika pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin memperbaikinya, itu dianggap sedekah.
Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya, menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian, menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya, karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai. (lihat al-Mughni, 6/509—513)

[7] Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi pegadai memanfaatkan barang gadaiannya dan tidak boleh bertransaksi atasnya, baik menyewakan, meminjamkan, atau selain keduanya tanpa keridhaan murtahin. Ini adalah pendapat ats-Tsauri. Adapun menjaga dan memperbaikinya, ini adalah keharusan bagi rahin.”(al-Mughni, 6/516—517)
Akan tetapi, apabila pegadai/rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian ditunggangi dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan susu hewan yang mengeluarkan susu dapat diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan kewajiban yang menunggangi dan meminum adalah member nafkah.” (Shahih, HR. al- Bukhari dan yang lain)
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa barang siapa menggadaikan hewan yang dapat diperah dan ditunggangi, ia tidak dihalangi untuk memerah susunya dan menungganginya. Namun, tentu pemanfaatan tersebut selama tidak bermudarat terhadap barang gadaian. (Abhats Hai’ah Kibar Ulama, Bab “ar-Rahn”)

[8] Apabila terjadi kerusakan pada sebagian barang gadaian, yang masih tersisa tetap menjadi barang gadaian sebagai jaminan atas seluruh utangnya. Namun, kerusakan selama dalam pegangan penggadai/murtahin, siapakah yang menanggungnya? Ada dua kemungkinan.
a. Kerusakan tersebut karena kesengajaan penggadai atau kelalaiannya, maka dia yang menanggungnya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Apabila murtahin melakukan perusakan pada barang gadaian atau menyepelekan penjagaan barang gadaian yang berada dalam pemeliharaannya, dia harus menanggung ganti rugi. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal wajibnya ditanggung penggadai. Sebab, ini adalah amanat yang ada di tangannya. Ia juga wajib menggantinya apabila rusak karena kesengajaan atau kelalaiannya, layaknya sebuah barang titipan (wadi’ah).”
b. Apabila rusak tanpa kesengajaan atau kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti. Kerusakan ini jika terjadi pada harta pegadai/rahin. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, dan dipegangi oleh Atha’, az-Zuhri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 6/522)

[9] Persyaratan ini adalah persyaratan yang batil atau rusak.
“Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Syuraih, an-Nakha’i, Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan ashabur ra’yi, tidak kami ketahui seorang pun menyelisihi mereka,” demikian kata Ibnu Qudamah (al-Mughni 6/507).
Dalam hal ini diriwayatkan sebuah hadits yang mursal,
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup.” (HR. Ibnu Majah, Malik, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi. Lihat Irwa’ul Ghalil no.1410)
Akan tetapi, para ulama menerima maknanya dan mereka berpendapat sesuai dengan kandungannya.
Al-Imam Ahmad rahimahullah menerangkan makna hadits tersebut ketika al-Atsram bertanya kepadanya, “Apa makna barang gadaian tidak boleh ditutup?” Beliau menjawab, “Seseorang tidak boleh menggadaikan barangnya kepada orang lain lantas mengatakan, ‘Kalau aku datang membayar dengan uang dirham sampai waktu tertentu (maka aku ambil kembali barang itu). Kalau tidak, barang itu menjadi milikmu’.” (Lihat al-Mughni 6/507, Manarus Sabil 2/87)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081

Tentang HUKUM-HUKUM BARANG GADAIAN SELAMA DALAM STATUS DIGADAIKAN

Hukum-Hukum Barang Gadaian Selama Dalam Status Digadaikan
(Oleh: al-Ustadz Qomar Suaidi)

1. Biaya barang gadaian/rahn ditanggung oleh pegadai/rahin

Pembiayaan barang gadaian ditanggung oleh pegadai/rahin, mulai makannya, pakaiannya, tempat tinggal atau penyimpanannya, penjaganya, pengawetannya, hingga apa saja yang memerlukan pembiayaan. Ini adalah pendapat Malik dan asy-Syafi’i. Alasannya, pembiayaan tersebut adalah bagian dari nafkah terhadapnya, dan barang tersebut tetap berstatus sebagai miliknya. Dalam hal ini ada sebuah riwayat yang mursal (lemah),
لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
“Barang gadaian tidak boleh ditutup, miliknyalah keuntungannya dan atasnyalah kerugiannya.” (HR. ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi. Lihat Irwa’ul Ghalil no. 1410)
Namun, banyak ulama yang sependapat dengan kandungan riwayat tersebut karena selaras dengan alasan bahwa barang itu masih menjadi miliknya, sebagaimana apabila berkembang tetap miliknya, ketika berkurang dan membutuhkan biaya pun menjadi tanggungannya. (al-Mughni 6/517, ManarusSabil 2/89, al-Mulakhash al-Fiqhi 2/55)

2. Apabila penggadai/murtahin mengeluarkan biaya, bolehkah ia meminta ganti kepada rahin?

Apabila penggadai mengeluarkan biaya, ada dua kemungkinan:
a. Dengan niat sedekah, maka tidak ada hak meminta ganti tentunya.
b. Dengan niat meminta kembali, ini pun ada beberapa macam :
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin lantas ia tidak memintanya, maka ia tidak boleh meminta ganti rugi karena ini adalah kesalahannya.
• Dalam keadaan mungkin untuk meminta izin dan ia memintanya, maka boleh meminta ganti rugi karena dia di sini ibarat wakil pemilik barang.
• Dalam keadaan tidak mungkin meminta izin karena halangan tertentu yang diterima secara syar’i, maka ia boleh meminta ganti rugi karena diamengeluarkan biaya demi menjaga haknya. Bahkan, ia telah berbuat baik kepada pegadai/rahin.(ManarusSabil, 2/89)

3. Murtahin memanfaatkan barang gadaian/rahn

Untuk menerangkan masalah ini, barang gadaian dibagi menjadi dua keadaan:
Pertama, yang tidak membutuhkan biaya, seperti rumah dan perhiasan. Barang jenis ini tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin pegadai/rahin. Bahkan, dengan izin pun tidak boleh dimanfaatkan apabila itu adalah barang gadaian dari sebuah utang, karena memanfaatkannya berarti telah mengambil sebuah manfaat dari utangnya. Sementara itu, kaidah menyebutkan, “Setiap utang yang membawa kepada pengambilan manfaat, maka itu adalah riba.”
Kedua, yang membutuhkan biaya, maka sama dengan sebelumnya. Lain halnya apabila dalam bentuk hewan yang menghasilkan susu dan hewan yang dapat ditunggangi. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Sebagian ulama membolehkan pengambilan manfaat dari susu dan punggungnya walaupun tanpa seizing pegadai/rahin, selama dia mengeluarkan biaya makan hewan tersebut, maka ia dapat memanfaatkan seukuran biayanya. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian dapat ditunggangi dengan memberi biayanya apabila dalam keadaan tergadai, dan susu juga dapat diminum dengan nafkahnya apabila dalam keadaan tergadai, dan kewajiban yang menaiki dan meminumnya untuk memberi nafkah.” (Shahih, HR. al-Bukhari)
Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah.
Pendapat lain, tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut sama sekali. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i rahimahumullah.
Pendapat pertama lebih kuat, sesuai dengan teks hadits.
Masalah lain, barang gadaian selain yang dapat diambil susunya atau ditunggangi.
Barang seperti ini bisa dibagi menjadi dua: (1) hewan atau budak; (2), rumah dan semisalnya. Adapun hewan, budak, dan sejenisnya, tidak boleh dimanfaatkan menurut pendapat yang rajih. Abu Bakr al-Atsram mengatakan, “Yang diamalkan adalah tidak boleh memanfaatkan barang gadaian sedikit pun selain yang dikhususkan oleh syariat. Sebab, qiyasnya menuntut, tidak boleh memanfaatkan sedikit pun darinya. Adapun kami membolehkan pemanfaatan hanya pada yang diperah dan dinaiki karena adanya hadits.”
Pendapat lain membolehkan jika pemilik/rahin tidak mau menafkahi. Namun, pendapat ini lemah. Adapun rumah yang butuh pembiayaan, misalnya rumah yang rusak, murtahin tidak boleh memanfaatkannya walaupun telah memperbaikinya. Sebab, pemiliknya saja tidak punya kewajiban memperbaiki, sehingga apabila murtahin memperbaikinya, itu dianggap sedekah.
Catatan: Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, apabila murtahin memanfaatkan rahn dengan memakainya, menungganginya (selain cara yang dibolehkan), mengenakan baju gadaian, menyusukan anak kepadanya (apabila seorang budak wanita), memanfaatkan hasil lainnya, menempatinya, atau selainnya, hal itu dihitung sebagai pengurang piutangnya seukuran itu. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa utang pegadai/rahin dianggap terbayar seukuran dengan nilainya, karena manfaat dari barang gadai tersebut adalah milik pegadai. (lihat al-Mughni, 6/509—513)

4. Rahin memanfaatkan barang gadaian/rahn

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh bagi pegadai memanfaatkan barang gadaiannya dan tidak boleh bertransaksi atasnya, baik menyewakan, meminjamkan, atau selain keduanya tanpa keridhaan murtahin. Ini adalah pendapat ats-Tsauri. Adapun menjaga dan memperbaikinya, ini adalah keharusan bagi rahin.”(al-Mughni, 6/516—517)
Akan tetapi, apabila pegadai/rahin diberi izin oleh murtahin untuk memanfaatkannya, hal ini diperbolehkan. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dasarnya adalah keumuman hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian ditunggangi dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan susu hewan yang mengeluarkan susu dapat diminum dengan nafkahnya apabila digadaikan, dan kewajiban yang menunggangi dan meminum adalah member nafkah.” (Shahih, HR. al- Bukhari dan yang lain)
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa barang siapa menggadaikan hewan yang dapat diperah dan ditunggangi, ia tidak dihalangi untuk memerah susunya dan menungganginya. Namun, tentu pemanfaatan tersebut selama tidak bermudarat terhadap barang gadaian. (Abhats Hai’ah Kibar Ulama, Bab “ar-Rahn”)

5. Hasil dari rahn

Globalnya, seluruh perkembangan dan hasil dari rahn menjadi barang gadaian di tangan pemegang barang gadaian tersebut, seperti pokoknya. Apabila dibutuhkan untuk dijual maka dijual bersama pokoknya, baik hasil yang berkembang itu tersambung dengan pokoknya -seperti kegemukan atau kepintaran-maupun yang terpisah- seperti penghasilan keterampilan, upah, anak, buah, susu, wol, dan bulu. Pendapat semacam ini yang diambil oleh an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Alasannya, hukum gadai telah tetap pada barang tersebut dengan akad dari pemilik sehingga termasuk di dalamnya perkembangan dan manfaat yang dihasilkannya, sebagaimana kepemilikan dalam hal pembelian dan perkembangan itu adalah perkembangan dari barang gadaian tersebut. (al-Mughni, 6/513)
Masih ada pendapat lain selain pendapat di atas, namun inilah yang rajih.

6. Apabila rahn rusak atau mati

Apabila terjadi kerusakan pada sebagian barang gadaian, yang masih tersisa tetap menjadi barang gadaian sebagai jaminan atas seluruh utangnya. Namun, kerusakan selama dalam pegangan penggadai/murtahin, siapakah yang menanggungnya? Ada dua kemungkinan.
a. Kerusakan tersebut karena kesengajaan penggadai atau kelalaiannya, maka dia yang menanggungnya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Apabila murtahin melakukan perusakan pada barang gadaian atau menyepelekan penjagaan barang gadaian yang berada dalam pemeliharaannya, dia harus menanggung ganti rugi. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal wajibnya ditanggung penggadai. Sebab, ini adalah amanat yang ada di tangannya. Ia juga wajib menggantinya apabila rusak karena kesengajaan atau kelalaiannya, layaknya sebuah barang titipan (wadi’ah).”
b. Apabila rusak tanpa kesengajaan atau kelalaiannya, ia tidak wajib mengganti. Kerusakan ini jika terjadi pada harta pegadai/rahin. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, dan dipegangi oleh Atha’, az-Zuhri, al-Auza’i, asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir. (al-Mughni, 6/522)

Sumber: Asy Syariah Edisi 081