Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:
“Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻳَﻤْﺴَﺴْﻚَ ﺍﻟﻠﻪُُ ﺑِﻀُﺮٍّ ﻓَﻼَ ﻛَﺎﺷِﻒَ ﻟَﻪُ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ ﻭَﺇِﻥْ ﻳُﺮِﺩْﻙَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻓَﻼَ ﺭَﺍﺩَّ ﻟِﻔَﻀْﻠِﻪِ
“Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖِ ﺍْﻷُﻣَّﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻚَ، ﻭَﺇِﻥِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ، ﺭُﻓِﻌَﺖِ ﺍْﻷَﻗْﻼَﻡُ ﻭَﺟَﻔَّﺖِ ﺍﻟﺼُّﺤُﻒُ
“Seandainya umat berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302]
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻻَ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat:
ﻻَ ﻧَﻮْﺀَ ﻭَﻻَ ﻏُﻮْﻝَ
“Tidak ada nau` [1] dan tidak ada ghul [2].” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ( ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat.
Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
ﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﻌْﺒُﺪُ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻦُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
ﻓَﺎﻋْﺒُﺪْﻩُ ﻭَﺗَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺗَﻮَﻛَّﻠْﺖُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺃُﻧِﻴْﺐُ
“Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan."
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, hal. 87-89.
Footnote:
[1] Nau` adalah bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya. Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh bintang ini.” Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/568)
[2] Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)
###
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
(Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa)
Kerajaan Saudi ‘Arabia
Pertanyaan:
Sungguh kami telah mendengar tentang keyakinan-keyakinan bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya. Kami memohon penjelasan dalam masalah tersebut sesuai bimbingan syari’at islam. Semoga Allah menjaga anda sekalian.
(Fatwa no. 10.775)
Jawab:
Keyakinan tersebut, yaitu tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya pada bulan Shafar merupakan salah satu bentuk perbuatan menganggap sial bulan tersebut. Perbuatan menganggap sial bulan-bulan tertentu, hari-hari tertentu, burung atau hewan-hewan tertentu lainnya adalah perbuatan yang tidak boleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
###
Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(Mufti Umum Kerajaan Saudi ‘Arabia)
Pertanyaan:
“Banyak orang berkata bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Sebagian orang awam menganggap sial bulan tersebut dalam banyak perkara. Contohnya mereka meyakini tidak boleh melakukan akad nikah pada bulan tersebut. Demikian sebagian orang meyakini bahwa dalam acara akad nikah tidak boleh mematahkan kayu, atau mengikat tali, atau menyilangkan jari-jemari, karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan kesialan pada pernikahan tersebut dan tidak akurnya kedua mempelai.
Karena permasalahan ini sangat terkait dengan aqidah, maka kami memohon nasehat dan penjelasan hukum syar’i.
Semoga Allah memberi taufiq kita semua kepada apa yang Ia cintai dan Ia ridhai.
Jawab:
Menganggap sial bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.
Demikian juga menganggap sial perbuatan menyilangkan jari-jemari, atau mematahkan kayu, atau semisalnya ketika akad nikah, merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya, tidak boleh meyakini hal tersebut. Bahkan itu merupakan keyakinan yang batil. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.
(Dipublikasikan di majalah “Ad-Da’wah” edisi 1641, tanggal 18 Muharram 1419 H. Tercantum dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXVIII/356-357)
###
Maalisy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Anggota Majelis Tinggi Ulama Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
Segala puji bagi Allah yang hanya milik-Nya lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Hanya milik-Nyalah segala pujian di akhirat, Dia Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nyalah kerajaan, hanya milik-Nyalah pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pembawa berita gembira sekaligus pembawa peringatan, sebagai cahaya yang sangat terang. Shalawat Allah atasnya, keluarga, para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan semoga Allah memberi keselamatan dengan sebenar-benarnya.
Wahai umat manusia,
Bertaqwalah kalian kepada Allah Taala. Gantungkan segala harapan kalian kepada Allah, bertawakkallah kepada-Nya, berharaplah akan pahala-Nya, dan takutlah kalian dari hukuman-Nya. Allah berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan beribadahlah kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kalian akan dikembalikan. [Al-'Ankabut: 17]
Di antara manusia ada yang menganggap sial keberadaan orang-orang tertentu, atau waktu-waktu tertentu. Mereka beranggapan bahwa dirinya akan tertimpa kejelekan darinya, dengan semata-mata sebab dzat orang atau waktu tertentu tersebut, bukan karena ketentuan taqdir Allah. Inilah bentuk thiyarah (anggapan sial) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dan beliau nyatakan sebagai perbuatan syirik. Karena orang yang melakukan thiyarah atau menganggap sial (sesuatu) meyakini bahwa kejelekan yang menimpanya tidak lain disebabkan kejelekan makhluk, baik waktu/zaman, tempat, maupun orang. Maka ia pun membenci orang tersebut, atau waktu/zaman tersebut, atau tempat tersebut, serta menghindar darinya dengan keyakinan bahwa itu bisa menimpakan kejelekan pada dirinya. Sementara ia lupa atau pura-pura bodoh bahwa sebenarnya segala yang menimpanya tidak lagi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, dan karena dosanya. Sebagaimana Allah sebutkan tentang umat yang kafir, bahwa mereka menganggap sial orang yang membawa kebaikan, baik para nabi maupun kaum mukminin. Allah Taala berfirman tentang kaum Firaun:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَه
Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. [Al-A'raf: 131]
Demikian juga kaum Tsamud, menganggap sial nabi mereka Shalih alaihis salam:
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ
Mereka menjawab: Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu. [An-Naml: 47]
Demikian juga kaum musyrikin arab, mereka menganggap sial Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, sebagaimana Allah berfirman tentang mereka:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). [An-Nisa` : 78]
Maka Allah bantah mereka, bahwa segala yang menimpa mereka, berupa hukuman dan kesulitan, tidak lain dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, serta dengan sebab dosa-dosa mereka. Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisa` : 78-79]
Ini merupakan bentuk keterbalikan fitrah mereka, ketika mereka justru meyakini kejelekan pada orang yang menjadi sumber kebaikan dan perbaikan.
Wahai hamba-hamba Allah,
Di antara bentuk tasya`um (anggapan sial) adalah apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan tersebut bulan sial. Sehingga mereka tidak mau melakukan aktivitas mubah yang mereka biasa rutin melakukannya pada bulan-bulan lainnya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam membatalkan keyakinan tersebut dengan sabdanya:
لا عدوى، ولا هامة، ولا صفر
Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada burung hantu, tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ini merupakan bantahan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya, tanpa keyakinan adanya taqdir Allah dalam hal itu. Padahal Allah Taala telah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. [Al-Hadid : 22]
Sabda Nabi Shallahu alaihi wa Sallam: tidak ada (kesialan) pada burung hantu, maknanya penafian terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah padanya, yaitu apabila burung tersebut hinggap pada rumah salah seorang mereka, maka dia akan mendapat kesialan, seraya mengatakan: Burung ini membawa kabar buruk tentang aku, atau salah seorang penghuni rumahku.
Maka ia meyakini bahwa dirinya akan mati, atau salah satu anggota keluarganya akan mati, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menafikan dan membantah keyakinan tersebut.
Makna sabda Nabi: tidak ada (kesialan) pada bulan shafar, pendapat yang benar bahwa orang-orang jahiliyyah dulu menganggap sial bulan Shafar, mereka mengatakan bahwa bulan itu adalah bulan sial. Maka Nabi membantah keyakinan tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan jahiliyyah ini terus menerus ada pada sebagian orang hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa tidak harmonis/tidak cocok. Sebagaimana dulu orang-orang jahiliyyah menganggap sial bulan Syawwal, sehingga mereka tidak melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut. Sungguh Nabi Shallahu alaihi wa Sallam telah membatalkan keyakinan tersebut. Beliau menikah dengan Aisyah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal, demikian juga beliau menikah dengan Ummu Salamah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal.
Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya kebaikan dan kejelekan, nikmat dan musibah, semuanya terjadi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّه
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. [An-Nisa` : 78]
Dia-lah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki dan Dia berhak memilih. Segala yang menimpa hamba berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah-lah yang telah menentukannya atas mereka, dengan sebab dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan mereka.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. [Asy-Syura : 30]
Makhluk tidak punya andil untuk menentukan dan mewujudkannya. Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda:
واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف
Ketahuilah, kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan apa yang yang telah untuk tuliskan untukmu. Kalau seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu, maka mereka tidak akan mampu mencelakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan atasmu. Sungguh pena telah diangkat dan lembaran (catatan taqdir) telah kering (yakni sudah sempurna dan paten tertulis tidak bisa diubah lagi). [HR. At-Tirmidzi, dan berkata: hadits hasan shahih] [1]
Hal ini tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai sebab datangnya kebaikan atau kejelekan. Namun yang menyebabkan timbulnya kebaikan atau kejelekan tersebut bukan sebab-sebab itu sendiri. Hanyalah itu semua kembali kepada penyebab (pencipta) sebab-sebab tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Yang dituntut dari seorang hamba adalah dia berupaya mendatangkan sebab-sebab kebaikan, dan menghindari sebab-sebab kejelekan. Allah Taala berfirman :
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah : 195]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
"Pengkhususan anggapan sial untuk satu waktu tertentu tidak pada waktu lainnya, seperti bulan Shafar atau lainnya, maka itu tidak benar. Hanyalah zaman/waktu semuanya adalah ciptaan Allah Taala. Padanyalah terjadi amal perbuatan anak Adam. Setiap zaman/waktu, yang seorang mukmin mengisinya dengan ketaatan kepada Allah, maka itu merupakan zaman/waktu yang diberkahi atasnya. Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa mendatangkan kemarahan Allah Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat. Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Taala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan."
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan, harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr, "Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang telah menimpa mereka." [2]
Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan dan para pelakunya termasuk hijrah yang diperintahkan. Karena seorang muhajir sejati itu adalah orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang ingin bertaubat maka hendaknya ia keluar dari tempat-tempat kezhaliman dan meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang dulu bergaul dengannya." Yaitu para pelaku kemaksiatan.
Maka waspadailah dosa-dosa, karena itu merupakan sebab kesialan dan hukumannya sangat pedih. Tempat dan daerah pada asalnya adalah bersih dan suci, namun dosa-dosa manusia telah mengotori dan merusaknya dengan kesialan kemaksiatan. Zaman dan waktu sebenarnya digunakan untuk beramal kebajikan, namun hamba telah mengotorinya dengan perbuatan jelek. Sebagaimana dikatakan dalam syair :
نعيب زماننا والعيب فينا
وما لزماننا عيب سوانا
Kita mencela waktu-waktu kita padahal aib itu ada pada diri kita
Tidak ada pada zaman kita suatu kejelekan kecuali diri kita sendiri
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah.
Ramaikanlah rumah-rumah kalian dan waktu-waktu kalian dengan ketaatan kepada Allah. Gantungkanlah hati kalian kepada Allah, dalam bentuk takut, berharap, dan cinta kepada-Nya. Celalah diri kalian sendiri, dan ketahuilah bahwa apa yang menimpa kalian dari suatu yang kalian benci tidak lain itu adalah dengan sebab dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan zaman/waktu dan tempat. Itu tidak lain karena kejelekan amal perbuatan manusia. Barangsiapa yang menganggap sial salah satu bulan, atau salah satu waktu, atau salah satu jam, atau mencela salah satunya, maka sungguh berarti ia telah mencela Allah dan mengganggu-Nya. Sebagaimana dalam kitab Ash-Shahih dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, bahwa Allah Taala berfirman:
يؤذيني ابن آدم يسب الدهر وأنا الدهر أقلب الليل والنهار
Anak Adam mengganggu Aku, dia mencela zaman/waktu. Padahal Aku adalah pengatur dan pengendali zaman, Aku membolak-balikkan siang dan malam. [3]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر
Janganlah kalian mencela waktu, karena sesungguhnya Allah Dia adalah pengatur dan pengendali waktu. [4]
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah:
"Maknanya, bahwa bangsa arab dulu, di antara kebiasaannya adalah mencela waktu, yakni mencelanya ketika terjadi musibah. Karena mereka dulu menisbahkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami pada waktu. Mereka mengatakan, Kejelekan-kejelekan dan kerusakan-kerusakan zaman telah menimpa mereka. Maka apabila mereka menisbahkan segala musibah yang alami kepada waktu, berarti mereka telah mencela penciptanya. Sehingga celaan terhadap waktu itu kembalinya kepada Allah Azza wa Jalla, karena pada hakekat-Nya Dia-lah penyebab/pencipta. Segala kebaikan atau kejelekan yang terjadi pada waktu, maka itu terjadi dengan kehendak Allah. Kebaikan merupakan fadhilah (keutamaan) dari Allah, sedangkan kejelekan dengan sebab dosa hamba dan kemaksiatan mereka.
Allah Taala berfirman:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا *مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Cukuplah Allah menjadi saksi. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sungguh berarti ia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. [An-Nisa` : 78-80]
(Dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah)
catatan kaki:
[1] HR. At-Tirmidzi no. 2516. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 5302.
[2] Dalam Shahih Muslim:
إن عبدالله بن عمر قال : مررنا مع رسول الله على الحجر، فقال لنا رسول الله r لا تدخلوا مساكن الذين ظلموا أنفسهم، إلا أن تكونوا باكين حذرا أن يصيبكم مثل ما أصابهم، ثم زجر، فأسرع حتى خلفها
Abdullah bin Umar berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum Tsamud), maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada kami: Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka. Kemudian beliau menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]
[3] HR. Al-Bukhari 4862, Muslim 2446.
[4] HR. Muslim 2446.
Sumber: Situs Resmi Mahad As-Salafy 2014