Cari Blog Ini

Minggu, 28 September 2014

Tentang ANGKA HOKI DAN ANGKA SIAL, HARI BAIK DAN HARI NAHAS, BULAN BAIK DAN BULAN SIAL

Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:

“Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﺇِﻥْ ﻳَﻤْﺴَﺴْﻚَ ﺍﻟﻠﻪُُ ﺑِﻀُﺮٍّ ﻓَﻼَ ﻛَﺎﺷِﻒَ ﻟَﻪُ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ ﻭَﺇِﻥْ ﻳُﺮِﺩْﻙَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻓَﻼَ ﺭَﺍﺩَّ ﻟِﻔَﻀْﻠِﻪِ
“Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻮِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖِ ﺍْﻷُﻣَّﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻚَ، ﻭَﺇِﻥِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَّﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻭْﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ، ﺭُﻓِﻌَﺖِ ﺍْﻷَﻗْﻼَﻡُ ﻭَﺟَﻔَّﺖِ ﺍﻟﺼُّﺤُﻒُ
“Seandainya umat berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻻَ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat:
ﻻَ ﻧَﻮْﺀَ ﻭَﻻَ ﻏُﻮْﻝَ
“Tidak ada nau` [1] dan tidak ada ghul [2].” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ( ﻭَﻻَ ﺻَﻔَﺮَ ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat.

Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”

Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.

Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
ﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﻌْﺒُﺪُ ﻭَﺇِﻳَّﺎﻙَ ﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻦُ
“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
ﻓَﺎﻋْﺒُﺪْﻩُ ﻭَﺗَﻮَﻛَّﻞْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺗَﻮَﻛَّﻠْﺖُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺃُﻧِﻴْﺐُ
“Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan."

(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, hal. 87-89.

Footnote:

[1] Nau` adalah bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya. Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh bintang ini.” Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 1/568)

[2] Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)

###

Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`
(Komite Tetap untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa)
Kerajaan Saudi ‘Arabia

Pertanyaan:
Sungguh kami telah mendengar tentang keyakinan-keyakinan bahwa pada bulan Shafar tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya. Kami memohon penjelasan dalam masalah tersebut sesuai bimbingan syari’at islam. Semoga Allah menjaga anda sekalian.

(Fatwa no. 10.775)

Jawab:
Keyakinan tersebut, yaitu tidak boleh melakukan pernikahan, khitan, atau semisalnya pada bulan Shafar merupakan salah satu bentuk  perbuatan menganggap sial bulan tersebut. Perbuatan menganggap sial bulan-bulan tertentu, hari-hari tertentu, burung atau hewan-hewan tertentu lainnya adalah perbuatan yang tidak boleh. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu  bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Menganggap sial bulan Shafar sekaligus termasuk salah satu jenis tathayyur yang terlarang. Itu termasuk amalan jahiliyyah yang telah dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta`

Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan
Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

###

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah
(Mufti Umum Kerajaan Saudi ‘Arabia)

Pertanyaan:
“Banyak orang berkata bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Sebagian orang awam menganggap sial bulan tersebut dalam banyak perkara. Contohnya mereka meyakini tidak boleh melakukan akad nikah pada bulan tersebut. Demikian sebagian orang meyakini bahwa dalam acara akad nikah tidak boleh mematahkan kayu, atau mengikat tali, atau menyilangkan jari-jemari, karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan kesialan pada pernikahan tersebut dan tidak akurnya kedua mempelai.
Karena permasalahan ini sangat terkait dengan aqidah, maka kami memohon nasehat dan penjelasan hukum syar’i.
Semoga Allah memberi taufiq kita semua kepada apa yang Ia cintai dan Ia ridhai.

Jawab:
Menganggap sial bulan Shafar termasuk kebiasaan jahiliyyah. Perbuatan itu tidak boleh. Bulan (Shafar) tersebut seperti kondisi bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Kebaikan yang ada datangnya dari Allah, sedangkan kejelekan yang ada terjadi dengan taqdir-Nya. Telah sah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau telah membatalkan keyakinan sialnya bulan Shafar tersebut. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari 5437, Muslim 2220, Abu Dawud 3911, Ahmad II/327)
Hadits ini telah disepakati keshahihannya.
Demikian juga menganggap sial perbuatan menyilangkan jari-jemari, atau mematahkan kayu, atau semisalnya ketika akad nikah, merupakan perbuatan yang tidak ada dasarnya, tidak boleh meyakini hal tersebut. Bahkan itu merupakan keyakinan yang batil. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

(Dipublikasikan di majalah “Ad-Da’wah” edisi 1641, tanggal 18 Muharram 1419 H. Tercantum dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXVIII/356-357)

###

Maalisy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Anggota Majelis Tinggi Ulama Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia

Segala puji bagi Allah yang hanya milik-Nya lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Hanya milik-Nyalah segala pujian di akhirat, Dia Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nyalah kerajaan, hanya milik-Nyalah pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pembawa berita gembira sekaligus pembawa peringatan, sebagai cahaya yang sangat terang. Shalawat Allah atasnya, keluarga, para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan semoga Allah memberi keselamatan dengan sebenar-benarnya.
Wahai umat manusia,
Bertaqwalah kalian kepada Allah Taala. Gantungkan segala harapan kalian kepada Allah, bertawakkallah kepada-Nya, berharaplah akan pahala-Nya, dan takutlah kalian dari hukuman-Nya. Allah berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan beribadahlah kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kalian akan dikembalikan. [Al-'Ankabut: 17]

Di antara manusia ada yang menganggap sial keberadaan orang-orang tertentu, atau waktu-waktu tertentu. Mereka beranggapan bahwa dirinya akan tertimpa kejelekan darinya, dengan semata-mata sebab dzat orang atau waktu tertentu tersebut, bukan karena ketentuan taqdir Allah. Inilah bentuk thiyarah (anggapan sial) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dan beliau nyatakan sebagai perbuatan syirik. Karena orang yang melakukan thiyarah atau menganggap sial (sesuatu) meyakini bahwa kejelekan yang menimpanya tidak lain disebabkan kejelekan makhluk, baik waktu/zaman, tempat, maupun orang. Maka ia pun membenci orang tersebut, atau waktu/zaman tersebut, atau tempat tersebut, serta menghindar darinya dengan keyakinan bahwa itu bisa menimpakan kejelekan pada dirinya. Sementara ia lupa atau pura-pura bodoh bahwa sebenarnya segala yang menimpanya tidak lagi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, dan karena dosanya. Sebagaimana Allah sebutkan tentang umat yang kafir, bahwa mereka menganggap sial orang yang membawa kebaikan, baik para nabi maupun kaum mukminin. Allah Taala berfirman tentang kaum Firaun:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَه
Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. [Al-A'raf: 131]
Demikian juga kaum Tsamud, menganggap sial nabi mereka Shalih alaihis salam:
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ
Mereka menjawab: Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu. [An-Naml: 47]
Demikian juga kaum musyrikin arab, mereka menganggap sial Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, sebagaimana Allah berfirman tentang mereka:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).  [An-Nisa` : 78]
Maka Allah bantah mereka, bahwa segala yang menimpa mereka, berupa hukuman dan kesulitan, tidak lain dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, serta dengan sebab dosa-dosa mereka. Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisa` : 78-79]
Ini merupakan bentuk keterbalikan fitrah mereka, ketika mereka justru meyakini kejelekan pada orang yang menjadi sumber kebaikan dan perbaikan.

Wahai hamba-hamba Allah,
Di antara bentuk tasya`um (anggapan sial) adalah apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan tersebut bulan sial. Sehingga mereka tidak mau melakukan aktivitas mubah yang mereka biasa rutin melakukannya pada bulan-bulan lainnya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam membatalkan keyakinan tersebut dengan sabdanya:
لا عدوى، ولا هامة، ولا صفر
Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada burung hantu, tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ini merupakan bantahan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya, tanpa keyakinan adanya taqdir Allah dalam hal itu. Padahal Allah Taala telah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. [Al-Hadid : 22]
Sabda Nabi Shallahu alaihi wa Sallam: tidak ada (kesialan) pada burung hantu, maknanya penafian terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah padanya, yaitu apabila burung tersebut hinggap pada rumah salah seorang mereka, maka dia akan mendapat kesialan, seraya mengatakan: Burung ini membawa kabar buruk tentang aku, atau salah seorang penghuni rumahku.
Maka ia meyakini bahwa dirinya akan mati, atau salah satu anggota keluarganya akan mati, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menafikan dan membantah keyakinan tersebut.
Makna sabda Nabi: tidak ada (kesialan) pada bulan shafar, pendapat yang benar bahwa orang-orang jahiliyyah dulu menganggap sial bulan Shafar, mereka mengatakan bahwa bulan itu adalah bulan sial. Maka Nabi membantah keyakinan tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan jahiliyyah ini terus menerus ada pada sebagian orang hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa tidak harmonis/tidak cocok. Sebagaimana dulu orang-orang jahiliyyah menganggap sial bulan Syawwal, sehingga mereka tidak melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut. Sungguh Nabi Shallahu alaihi wa Sallam telah membatalkan keyakinan tersebut. Beliau menikah dengan Aisyah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal, demikian juga beliau menikah dengan Ummu Salamah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal.

Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya kebaikan dan kejelekan, nikmat dan musibah, semuanya terjadi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّه
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. [An-Nisa` : 78]
Dia-lah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki dan Dia berhak memilih. Segala yang menimpa hamba berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah-lah yang telah menentukannya atas mereka, dengan sebab dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan mereka.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. [Asy-Syura : 30]
Makhluk tidak punya andil untuk menentukan dan mewujudkannya. Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda:
واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف
Ketahuilah, kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan apa yang yang telah untuk tuliskan untukmu. Kalau seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu, maka mereka tidak akan mampu mencelakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan atasmu. Sungguh pena telah diangkat dan lembaran (catatan taqdir) telah kering (yakni sudah sempurna dan paten tertulis tidak bisa diubah lagi). [HR. At-Tirmidzi, dan berkata: hadits hasan shahih] [1]
 
Hal ini tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai sebab datangnya kebaikan atau kejelekan. Namun yang menyebabkan timbulnya kebaikan atau kejelekan tersebut bukan sebab-sebab itu sendiri. Hanyalah itu semua kembali kepada penyebab (pencipta) sebab-sebab tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Yang dituntut dari seorang hamba adalah dia berupaya mendatangkan sebab-sebab kebaikan, dan menghindari sebab-sebab kejelekan. Allah Taala berfirman :
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah : 195]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
"Pengkhususan anggapan sial untuk satu waktu tertentu tidak pada waktu lainnya, seperti bulan Shafar atau lainnya, maka itu tidak benar. Hanyalah zaman/waktu semuanya adalah ciptaan Allah Taala. Padanyalah terjadi amal perbuatan anak Adam. Setiap zaman/waktu, yang seorang mukmin mengisinya dengan ketaatan kepada Allah, maka itu merupakan zaman/waktu yang diberkahi atasnya. Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa mendatangkan kemarahan Allah Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat. Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Taala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan."
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan, harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr, "Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang telah menimpa mereka." [2]
Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan dan para pelakunya termasuk hijrah yang diperintahkan. Karena seorang muhajir sejati itu adalah orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang ingin bertaubat maka hendaknya ia keluar dari tempat-tempat kezhaliman dan meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang dulu bergaul dengannya." Yaitu para pelaku kemaksiatan.
Maka waspadailah dosa-dosa, karena itu merupakan sebab kesialan dan hukumannya sangat pedih. Tempat dan daerah pada asalnya adalah bersih dan suci, namun dosa-dosa manusia telah mengotori dan merusaknya dengan kesialan kemaksiatan. Zaman dan waktu sebenarnya digunakan untuk beramal kebajikan, namun hamba telah mengotorinya dengan perbuatan jelek. Sebagaimana dikatakan dalam syair :
نعيب زماننا والعيب فينا                  
وما لزماننا عيب سوانا
Kita mencela waktu-waktu kita padahal aib itu ada pada diri kita
Tidak ada pada zaman kita suatu kejelekan kecuali diri kita sendiri
 
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah.
Ramaikanlah rumah-rumah kalian dan waktu-waktu kalian dengan ketaatan kepada Allah. Gantungkanlah hati kalian kepada Allah, dalam bentuk takut, berharap, dan cinta kepada-Nya. Celalah diri kalian sendiri, dan ketahuilah bahwa apa yang menimpa kalian dari suatu yang kalian benci tidak lain itu adalah dengan sebab dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan zaman/waktu dan tempat. Itu tidak lain karena kejelekan amal perbuatan manusia. Barangsiapa yang menganggap sial salah satu bulan, atau salah satu waktu, atau salah satu jam, atau mencela salah satunya, maka sungguh berarti ia telah mencela Allah dan mengganggu-Nya. Sebagaimana dalam kitab Ash-Shahih dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, bahwa Allah Taala berfirman:
يؤذيني ابن آدم يسب الدهر وأنا الدهر أقلب الليل والنهار
Anak Adam mengganggu Aku, dia mencela zaman/waktu. Padahal Aku adalah pengatur dan pengendali zaman, Aku membolak-balikkan siang dan malam. [3]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر
Janganlah kalian mencela waktu, karena sesungguhnya Allah Dia adalah pengatur dan pengendali waktu. [4]
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah:
"Maknanya, bahwa bangsa arab dulu, di antara kebiasaannya adalah mencela waktu, yakni mencelanya ketika terjadi musibah. Karena mereka dulu menisbahkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami pada waktu. Mereka mengatakan, Kejelekan-kejelekan dan kerusakan-kerusakan zaman telah menimpa mereka. Maka apabila mereka menisbahkan segala musibah yang alami kepada waktu, berarti mereka telah mencela penciptanya. Sehingga celaan terhadap waktu itu kembalinya kepada Allah Azza wa Jalla, karena pada hakekat-Nya Dia-lah penyebab/pencipta. Segala kebaikan atau kejelekan yang terjadi pada waktu, maka  itu terjadi dengan kehendak Allah. Kebaikan merupakan fadhilah (keutamaan) dari Allah, sedangkan kejelekan dengan sebab dosa hamba dan kemaksiatan mereka.
Allah Taala berfirman:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا *مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu  hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Cukuplah Allah menjadi saksi.  Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sungguh berarti ia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. [An-Nisa` : 78-80]
 
(Dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah)

catatan kaki:

[1]  HR. At-Tirmidzi no. 2516. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 5302.

[2]  Dalam Shahih Muslim:
إن عبدالله بن عمر قال  : مررنا مع رسول الله على الحجر، فقال لنا رسول الله r لا تدخلوا مساكن الذين ظلموا أنفسهم، إلا أن تكونوا باكين حذرا أن يصيبكم مثل ما أصابهم، ثم زجر، فأسرع حتى خلفها
Abdullah bin Umar berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum Tsamud), maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada kami: Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka. Kemudian beliau menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]

[3] HR. Al-Bukhari 4862, Muslim 2446.

[4]  HR. Muslim 2446.

Sumber: Situs Resmi Mahad As-Salafy 2014

Tentang TAKUT SETAN

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﺎ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻟَﺎ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada tathayur, tidak ada hamah dan shafar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz Muslim:
ﻭَﻟَﺎ ﻧَﻮْﺀَ ﻭَﻟَﺎ ﻏُﻮﻝَ
“Tidak ada nau’, tidak pula ghul.”

Berikut ini Ungkapan beberapa Ulama dan Ahli bahasa tentang ghul:
1. Ibnu Duraid berkata:
"Ghul menurut orang Arab adalah tukang Sihir dari kalangan Setan dan Jin. Inilah pendapat al Ashma'i. (jamharatul Lughah: 3/150)
2. Ibnul Manzhur berkata:
"Ghul adalah Penyihir dari Jin.." (Lisanul 'Arab: 11/510)
3. Ibnu Katsir berkata:
"Ghul dalam bahasa Arab artinya Jin yang tampak di malam hari..." (Tafsir al Qur'anul 'Azhim: 1/313)
4. Al Jahidz berkata:
"Ghul adalah Ungkapan untuk Jin yang mengganggu orang yang berpergian dan Menjelma dalam beberapa bentuk, baik jenis Pria atau Wanita..." (Al Hayawan: 6/442)

Imam an Nawawi rahimahullah berkata, "Mayoritas Ulama mengatakan, 'Bangsa Arab berkeyakinan bahwa hantu dari jenis Setan di Lembah-Lembah bisa menjelma dengan berbagai bentuk lalu menyesatkan jalan mereka lalu membinasakan mereka'. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membatalkan hal itu.
Ulama lainnya mengatakan, 'Maksud Hadits ini bukanlah Peniadaan wujudnya hantu, melainkan maksudnya adalah membatalkan keyakinan orang Arab bahwa hantu bisa menjelma dalam berbagai bentuk lalu menyesatkan manusia..." (Syarh Shahih Muslim: 14/216)

Tentang makna Ghul berkata Ibnu Hajar dalam Fathul Bari:
ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟْﺠُﻤْﻬُﻮﺭ : ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏ ﺗَﺰْﻋُﻢ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻐِﻴﻠَﺎﻥ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔَﻠَﻮَﺍﺕ ، ﻭَﻫِﻲَ ﺟِﻨْﺲ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦ ﺗَﺘَﺮَﺍﺀَﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺗَﺘَﻐَﻮَّﻝ ﻟَﻬُﻢْ ﺗَﻐَﻮُّﻟًﺎ ﺃَﻱْ ﺗَﺘَﻠَﻮَّﻥ ﺗَﻠَﻮُّﻧًﺎ ﻓَﺘَﻀِﻠّﻬُﻢْ ﻋَﻦْ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖ ﻓَﺘُﻬْﻠِﻜﻬُﻢْ ، ﻭَﻗَﺪْ ﻛَﺜُﺮَ ﻓِﻲ ﻛَﻠَﺎﻣﻬﻢْ ” ﻏَﺎﻟَﺘْﻪُ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ” ﺃَﻱْ ﺃَﻫْﻠَﻜَﺘْﻪُ ﺃَﻭْ ﺃَﺿَﻠَّﺘْﻪُ
Adapun Ghul, jumhur ulama berkata:
“Dahulu orang-orang arab berkeyakinan bahwa ghoilan berada di padang pasir. Ghoilan adalah jenis setan yang menjelma dan menampakkan dirinya di hadapan manusia dengan beragam bentuk untuk menyesatkan mereka dari jalan sehingga terjatuh pada kebinasaan. Dalam pembicaraan mereka sering terucap: “ ﻏَﺎﻟَﺘْﻪُ ﺍﻟْﻐُﻮﻝ “ artinya “Setan telah membinasakannya.”

Dalam hal ini ada atsar dari ‘Umar yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (6/414):
Sesungguhnya Ghoilan disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata, “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”

Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569)

Berkata Syaikh Sholih Fauzan:
“Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam bersabda:
ﻭﻻ ﻏﻮﻝ
“Tidak ada ghul.”
“Ghul” adalah kata tunggal dari “Ghoilan.” Ghoilan termasuk perbuatan-perbuatan syayatin di mana mereka menjelma di hadapan manusia di padang pasir (atau semisalnya) terlebih ketika manusia memiliki rasa takut, setan menjelma dengan bentuk-bentuk yang menyesatkannya dari jalan, bisa jadi menjelma di hadapan manusia dalam bentuk api yang berpindah-pindah, atau suara yang tersengar atau menjelma dalam bentuk lain. Oleh karenanya Rasulullah shallallohu ’alaihi wasallam bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺗﻐﻮّﻟﺖ ﺍﻟﻐﻴﻼﻥ ﻓﺒﺎﺩﺭﻭﺍ ﺑﺎﻷﺫﺍﻥ
“Jika Syaiton menampakkan (gangguannya) maka bersegeralah kalian adzan.” [1]
Makna hadits ini, jika setan ghul menjelma di hadapanmu segeralah berdzikir kepada Allah sebab dzikir kepada-Nya mengusir syaiton, maka jika engkau berdzikir kepada Allah atau engkau membaca Al-Quran hilanglah perbuatan setan tersebut. Nabi Shallallohu’alaihi wasallam dalam hadits ini juga meniadakan adanya ghul (maksudnya meniadakan keyakinan orang jahiliyah tentang ghul). Mereka di masa jahiliyah meyakini bahwasannya ghailan membuat kejelekan untuk mereka (dengan sendirinya) kemudian Rasulullah shallallohu’alaihi wasallam meniadakan keyakinan tersebut dan berkata sesungguhnya ghul tidak ada, apa yang tampak berupa gangguan-gangguan adalah amalan-amalan syaitan yang tidak membahayakan seorang pun kecuali dengan izin Allah, lalu beliau menyebutkan obat ketika melihat gangguan-gangguan tersebut yaitu dzikir kepada Allah. (I’anatul Mustafid 2/11)

Catatan Kaki
[1] Syaikh Al-Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini karena inqitho’ (keterputusan sanad) antara Al-Hasan Al-Bashri dan Jabir bin Abdillah, dimana Al-Hasan tidak mendengar dari Jabir. Hadits ini memiliki syawahid namun tidak bisa menguatkan riwayat Hasan dari Jabir karena kelemahannya yang sangat. Silahkan rujuk pembahasan takhrij hadits ini dalam Silsilah Dhaifah (III/227 no.1140).
Jika hadits ini shahih maka makna adzan adalah dzikir kepada Allah ta’ala, sebagaimana disebutkan Ibnu Atsir dalam An-Nihayah, Ibnu Muflih dalam Al-Adab Asy-Syar’iyyah dan lainnya. Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang hadits ini:
ﻭﺍﻟﻤﻌﻨﻰ: ﺃﻥ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻄﺮﺩﻫﺎ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺍﻟﺘﻌﻮﺫ ﺑﻜﻠﻤﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﺎﻣﺎﺕ ﻣﻦ ﺷﺮ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ، ﻳﻘﻲ ﻣﻦ ﺷﺮﻫﺎ ﻭﺷﺮ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻣﻊ ﺍﻷﺧﺬ ﺑﺎﻷﺳﺒﺎﺏ ﺍﻟﺘﻲ ﺟﻌﻠﻬﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺳﺒﺎﺑﺎ ﻟﻠﻮﻗﺎﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮ
Maknanya: Dzikir kepada Allah akan mengusirnya, demikian pula berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhlukNya, melindungi dari kejelekan syaiton dan makhluk lainnya, tentu diiringi dengan menempuh sebab-sebab yang Allah jadikan sebagai sebab yang melindunginya dari semua kejelekan. (Majmu’ Fatawa bin Baz (25/93)
Sebagian ulama berpendapat disyariatkannya adzan ketika melihat Ghoilan. Diantara mereka adalah Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Adzkar. Allahuta’ala a’lam.

Tentang MENGANGGAP SIAL SESUATU

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَاِذَاجَآءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَاهٰاذِهِ ۚ وَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَعَهُ ۗ اَلَآ اِنَّماَ طَآ ئِرُهُمْ عِنْدَ اللهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرُهُمْ لَايَعْلَمُوْنَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata, “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (al-A’raf: 131)

Makna ayat di atas, ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan kebaikan berupa kesuburan, kelapangan, dan kesehatan mereka berkata, “Kami memang pantas dan berhak mendapatkannya.” Namun, ketika mendapatkan musibah berupa bencana atau kemarau, mereka pun bertathayur dengan Musa dan pengikutnya. Mereka berkata, “Ini adalah karena kesialan Musa dan pengikutnya, kita tertimpa kesialan mereka.” Maka Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah.” Yakni, datangnya kesialan datang dari Allah Subhanahu wata’ala karena sebab kekufuran mereka dan perbuatan mereka mendustakan ayat-ayat Allah Subhanahu wata’ala dan para rasul-Nya.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالُوْآ اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ ۚ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ  وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا  عَذَابٌ اَلِيْمٌ۝ قَالُوْا طَآئِرُكُمْ مَعَكُمْ ۗ اَئِنْذُكِّرْتُمْ ۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُوْنَ۝
“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” Utusan-utusan itu berkata, “Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (Yasin: 18-19)

Makna ayat di atas, bagian kalian dan apa yang menimpa kalian berupa kejelekan adalah karena sebab perbuatan dan kekufuran kalian serta karena kalian menyelisihi para pemberi nasihat. Bukan karena kami ataupun sebab kami, melainkan semata karena perbuatan kalian yang zalim dan melampaui batas. Kesialan orang zalim ada pada dirinya sendiri. Kejelekan yang menimpanya adalah dia sendiri yang menyebabkannya dan tentunya terjadi dengan takdir Allah Subhanahu wata’ala.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﺎ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻟَﺎ ﻫَﺎﻣَﺔَ ﻭَﻟَﺎ ﺻَﻔَﺮَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada tathayur, tidak ada hamah [1] dan shafar [2].” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah berkata, “Tathayur adalah beranggapan sial dengan sesuatu yang terlihat, terdengar, atau sesuatu yang telah maklum. Yang terlihat seperti terbangnya burung, yang terdengar seperti suara burung dan sejenisnya, serta yang maklum yakni sesuatu yang tidak terdengar dan tidak terlihat, seperti beranggapan sial dengan hari tertentu, dengan bulan tertentu, dan lainnya.” (al-Qaulul Mufid Syarah Kitab at-Tauhid)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata, “Tiyarah (tathayur) adalah syirik karena terkandung perbuatan menggantungkan hati kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Fathul Majid)

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu 'anhu, bahwa Ahmad Al Quraisyi mengatakan bahwa Thiyarah disebut-sebut di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau pun bersabda:
ﺃَﺣْﺴَﻨُﻬَﺎ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ ﻭَﻻَ ﺗَﺮُﺩُّ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﺎ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ: ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻻَ ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺑِﺎﻟْﺤَﺴَﻨَﺎﺕِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﻻَ ﻳَﺪْﻓَﻊُ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﻭَﻻَ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻚَ
“Yang paling baik adalah Al-Fa’l, [3] dan Thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya. Apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkan maka supaya berdoa: “Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan selain Engkau, dan tiada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓُ ﺷِﺮْﻙٌ ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓُ ﺷِﺮْﻙٌ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻻَّ ﻭَﻟَﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳُﺬْﻫِﺒُﻪُ ﺑِﺎﻟﺘَّﻮَﻛُّﻞِ
“Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, (beliau mengucapkan) tiga kali, dan tidak ada seorang pun di antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal itu), hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429)

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺭَﺩَّﺗْﻪُ ﺍﻟﻄِّﻴَﺮَﺓُ ﻣِﻦْ ﺣَﺎﺟَﺔٍ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺷْﺮَﻙَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻛَﻔَّﺎﺭَﺓُ ﺫَﻟِﻚَ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻝَ ﺃَﺣَﺪُﻫُﻢْ : ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻻَ ﺧَﻴْﺮَ ﺇِﻻَّ ﺧَﻴْﺮُﻙَ ﻭَﻻَ ﻃَﻴْﺮَ ﺇِﻻَّ ﻃَﻴْﺮُﻙَ ﻭَﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﻏَﻴْﺮُﻙَ 
“Barangsiapa yang thiyarah (berfirasat buruk) telah mengurungkan hajatnya, maka ia telah berbuat syirik." Para shahabat bertanya, “Lalu apakah sebagai tebusannya?" Beliau menjawab, “Supaya ia mengucapkan: Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, dan tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau, dan tiada sesembahan yang hak selain Engkau.” (HR. Ahmad 2/220, dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta'liq Musnad Ahmad no. 7045)

Catatan Kaki

[1] Ada dua penafsiran di kalangan ulama:
1. Bahwasanya ini adalah jenis burung yang ma’ruf yang menyerupai burung hantu atau memang merupakan burung hantu, di mana orang Arab di masa jahiliyah menyangka bahwasanya jika ada orang yang terbunuh, maka tulang-tulangnya menjelma menjadi burung tersebut yang terbang dan bersuara dengan teriakan sampai terbalas.dendamnya, dan terkadang sebagian mereka menyangka bahwa itu adalah ruhnya.
2. Sebagian orang Arab mengatakan bahwa Al-Hamah adalah jenis burung yang ma’ruf akan tetapi mereka menjadikan kesialan dengannya, maka jika burung itu hinggap di atas rumah salah seorang dari mereka dan burung itu bersuara, maka mereka berkata bahwa burung itu bersuara dengan suara seperti itu adalah tanda dekatnya ajal. Al-Hammah menurut penafsiran ini bisa dikategorikan sebagai bentuk tathoyyur. Dan tidak diragukan lagi bahwa kedua keyakinan ini adalah aqidah yang bathil. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 2/99)

[2] Secara umum dalam penafsirannya ada dua pendapat:
1. Ash-Shafar adalah jenis penyakit di dalam perut, dikatakan ia berupa cacing besar seperti ular, dan menurut orang Arab ia lebih menular dari penyakit kudis yang menimpa unta. Maka nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menafikan hal tersebut. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Imam Ahmad, Imam Al-Bukhary dan Imam Ath-Thobary. Dan Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu –salah seorang yang meriwayatkan hadits ini– berpendapat bahwa ia adalah ular, tetapi maksud dari penafian tersebut adalah apa yang orang Arab yakini bahwa siapa yang ditimpa oleh ular ini maka ia (ular itu) akan membunuhnya. Dan hal ini dibantah oleh syariat bahwasanya kematian itu hanya terjadi ketika telah sampai pada ajalnya. (Lihat Fathul Bari 10/171 dan Latho`iful Ma’arif hal. 74)
2. Sebagian ulama mengatakan maksud dari Ash-Shafar adalah bulan Shafar, kemudian mereka berselisih dalam makna ini menjadi dua pendapat:
a) Bahwa maksudnya adalah pelarangan dari An-Nasi’ah (pengunduran), dimana orang Arab melakukannya berupa pengunduran pengharaman bulan Muharram ke bulan Shafar, sehingga mereka menghalalkan haramnya bulan Muharram dan mengharamkan bulan Shafar, yaitu apabila mereka mau berperang di bulan Muharram, maka mereka halalkan lantas mengakhirkan pengharaman untuk berperang ke bulan Shafar. Ini yang dimaksud dalam firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 37 :
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﻨَّﺴِﻲﺀُ ﺯِﻳَﺎﺩَﺓٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﻳُﻀَﻞُّ ﺑِﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻳُﺤِﻠُّﻮﻧَﻪُ ﻋَﺎﻣًﺎ ﻭَﻳُﺤَﺮِّﻣُﻮﻧَﻪُ ﻋَﺎﻣًﺎ ﻟِﻴُﻮَﺍﻃِﺌُﻮﺍ ﻋِﺪَّﺓَ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻴُﺤِﻠُّﻮﺍ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠَّﻪُ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.”
b) Maksudnya adalah apa yang dilakukan oleh orang Jahiliyah di mana mereka menjadikan bulan Shafar sebagai bulan kesialan, misalnya dalam hal perayaan nikah dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab (sebagaimana dalam Latho`iful Ma’arif hal. 74)

[3] Al-Fa’l adalah: seseorang mendengar perkataan yang baik, lalu perkataan itu membuat dia senang, akan tetapi tidak menjadikan dia mengurungkan keperluannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻻَ ﻋَﺪْﻭَﻯ ﻭَﻻَ ﻃِﻴَﺮَﺓَ ﻭَﻳُﻌْﺠِﺒُﻨِﻲ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻟْﻔَﺄْﻝُ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﻠِﻤَﺔٌ ﻃَﻴِّﺒَﺔٌ
“Tidak ada ‘Adwa dan Thiyarah, tetapi Al Fa’l menyenangkan diriku.” Para shahabat bertanya: “Apakah Al-Fa’l itu?" Beliau menjawab : “Yaitu kalimat
Thayyibah (kata-kata yang baik)." (Muttafaqun ‘Alaih)
Al-Hulaimi berkata,
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam senang kepada fa'l (optimistis), karena kesialan adalah buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala tanpa sebab yang pasti. Sementara optimistis adalah berbaik sangka kepada-Nya. Seorang mukmin diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala dalam segala hal."
Ath-Thibi berkata, "Maksud pembolehan fa'l dan larangan kepada kesialan bahwa seseorang seandainya melihat sesuatu dan menyangkanya baik dan bisa mendorongnya untuk mendapatkan hajatnya, maka hendaklah dia melakukannya. Apabila melihat kebalikan dari hal itu, maka janganlah dia memperdulikannya, tetapi dia melanjutkannya untuk mendapatkannya. Jika dia memperdulikannya dan berhenti untuk mendapatkan (hajatnya), maka itulah thiyarah yang dipergunakan untuk kesialan."
(Fathul Bari, 10/215)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Kata-kata yang baik menyenangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena ia bisa menyenangkan jiwa dan membahagiakannya, serta melanjutkan sesuatu yang ingin dilakukan oleh manusia. Hal ini bukanlah kesialan, tetapi termasuk sesuatu yang bisa memotivasi seseorang, karena ia tidak mempengaruhinya. Bahkan dia menambah ketenangan, semangat dan kemajuan." (Al-Qaulul Mufid, 2/88)
Ibnul Atsir berkata, "Fa'l merupakan sesuatu yang diharapkan datangnya berupa kebaikan, dzahirnya baik dan menyenangkan. Kesialan tidak terjadi kecuali pada sesuatu yang menyakitkan. Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam senang kepada kata-kata yang baik, karena manusia apabila menginginkan keutamaan dari Allah subhaanahu wata'ala dan mengharapkan kembalinya pada setiap sebab yang lemah atau yang kuat, maka dia berada dalam kebaikan. Jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, maka dia telah
mendapatkan pahala raja' (berharap) kepada Allah subhaanahu wata'ala dan meminta apa yang ada di sisiNya. Dalam raja' ada kebaikan yang segera untuk mereka. Bukankah ketika mereka terputus keinginan dan harapannya kepada Allah subhaanahu wata'ala, mereka berada dalam kejelekan? Adapun kesialan, maka ia termasuk buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala, terputusnya harapan, berharap datangnya bala' dan putus asa dari kebaikan. Semuanya itu tercela oleh semua orang yang berakal dan terlarang dalam agama. Di dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika disebutkan kesialan di sisinya, beliau bersabda, "Yang paling baik adalah fa'l (kata-kata yang baik)."
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya fa'l tidak termasuk thiyarah (kesialan), namun mirip dengan thiyarah dari segi kelangsungan. Ia akan menambah semangat dan motivasi kepada seseorang atas apa yang sedang dihadapinya. Dia menyerupai kesialan dari segi ini. Kalau tidak, maka antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Thiyarah membuat seseorang bergantung kepada apa yang membuatnya sial, melemahkan tawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala dan mengurungkan diri melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang dia lihat. Adapun fa'l, akan menambah kekuatan, ketetapan hati dan semangat. Kesamaannya adalah pada pengaruh yang diberikan oleh keduanya." (Al-Qaulul Mufid, 2/89)

###

Maalisy Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Anggota Majelis Tinggi Ulama Kerajaan Saudi Arabia dan anggota Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia

Segala puji bagi Allah yang hanya milik-Nya lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Hanya milik-Nyalah segala pujian di akhirat, Dia Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nyalah kerajaan, hanya milik-Nyalah pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, pembawa berita gembira sekaligus pembawa peringatan, sebagai cahaya yang sangat terang. Shalawat Allah atasnya, keluarga, para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan semoga Allah memberi keselamatan dengan sebenar-benarnya.
Wahai umat manusia,
Bertaqwalah kalian kepada Allah Taala. Gantungkan segala harapan kalian kepada Allah, bertawakkallah kepada-Nya, berharaplah akan pahala-Nya, dan takutlah kalian dari hukuman-Nya. Allah berfirman:
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan beribadahlah kepada-Nya serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kalian akan dikembalikan. [Al-'Ankabut: 17]

Di antara manusia ada yang menganggap sial keberadaan orang-orang tertentu, atau waktu-waktu tertentu. Mereka beranggapan bahwa dirinya akan tertimpa kejelekan darinya, dengan semata-mata sebab dzat orang atau waktu tertentu tersebut, bukan karena ketentuan taqdir Allah. Inilah bentuk thiyarah (anggapan sial) yang dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dan beliau nyatakan sebagai perbuatan syirik. Karena orang yang melakukan thiyarah atau menganggap sial (sesuatu) meyakini bahwa kejelekan yang menimpanya tidak lain disebabkan kejelekan makhluk, baik waktu/zaman, tempat, maupun orang. Maka ia pun membenci orang tersebut, atau waktu/zaman tersebut, atau tempat tersebut, serta menghindar darinya dengan keyakinan bahwa itu bisa menimpakan kejelekan pada dirinya. Sementara ia lupa atau pura-pura bodoh bahwa sebenarnya segala yang menimpanya tidak lagi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, dan karena dosanya. Sebagaimana Allah sebutkan tentang umat yang kafir, bahwa mereka menganggap sial orang yang membawa kebaikan, baik para nabi maupun kaum mukminin. Allah Taala berfirman tentang kaum Firaun:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَه
Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. [Al-A'raf: 131]
Demikian juga kaum Tsamud, menganggap sial nabi mereka Shalih alaihis salam:
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ
Mereka menjawab: Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu. [An-Naml: 47]
Demikian juga kaum musyrikin arab, mereka menganggap sial Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, sebagaimana Allah berfirman tentang mereka:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ
Dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).  [An-Nisa` : 78]
Maka Allah bantah mereka, bahwa segala yang menimpa mereka, berupa hukuman dan kesulitan, tidak lain dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah, serta dengan sebab dosa-dosa mereka. Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. [An-Nisa` : 78-79]
Ini merupakan bentuk keterbalikan fitrah mereka, ketika mereka justru meyakini kejelekan pada orang yang menjadi sumber kebaikan dan perbaikan.

Wahai hamba-hamba Allah,
Di antara bentuk tasya`um (anggapan sial) adalah apa yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah tentang bulan Shafar, bahwa bulan tersebut bulan sial. Sehingga mereka tidak mau melakukan aktivitas mubah yang mereka biasa rutin melakukannya pada bulan-bulan lainnya. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam membatalkan keyakinan tersebut dengan sabdanya:
لا عدوى، ولا هامة، ولا صفر
Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada (kesialan) pada burung hantu, tidak ada (kesialan) pada bulan Shafar. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Ini merupakan bantahan terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah, bahwa penyakit bisa menular dengan sendirinya, tanpa keyakinan adanya taqdir Allah dalam hal itu. Padahal Allah Taala telah berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. [Al-Hadid : 22]
Sabda Nabi Shallahu alaihi wa Sallam: tidak ada (kesialan) pada burung hantu, maknanya penafian terhadap keyakinan orang-orang jahiliyyah padanya, yaitu apabila burung tersebut hinggap pada rumah salah seorang mereka, maka dia akan mendapat kesialan, seraya mengatakan: Burung ini membawa kabar buruk tentang aku, atau salah seorang penghuni rumahku.
Maka ia meyakini bahwa dirinya akan mati, atau salah satu anggota keluarganya akan mati, sebagai bentuk kesialan dari burung tersebut. Maka Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menafikan dan membantah keyakinan tersebut.
Makna sabda Nabi: tidak ada (kesialan) pada bulan shafar, pendapat yang benar bahwa orang-orang jahiliyyah dulu menganggap sial bulan Shafar, mereka mengatakan bahwa bulan itu adalah bulan sial. Maka Nabi membantah keyakinan tersebut. Beliau menjelaskan, bahwa bulan tersebut tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan jahiliyyah ini terus menerus ada pada sebagian orang hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa tidak harmonis/tidak cocok. Sebagaimana dulu orang-orang jahiliyyah menganggap sial bulan Syawwal, sehingga mereka tidak melangsungkan pernikahan pada bulan tersebut. Sungguh Nabi Shallahu alaihi wa Sallam telah membatalkan keyakinan tersebut. Beliau menikah dengan Aisyah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal, demikian juga beliau menikah dengan Ummu Salamah Radhiyallahu anha pada bulan Syawwal.

Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya kebaikan dan kejelekan, nikmat dan musibah, semuanya terjadi dengan sebab ketentuan dan taqdir Allah.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّه
Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. [An-Nisa` : 78]
Dia-lah yang menciptakan apa yang Ia kehendaki dan Dia berhak memilih. Segala yang menimpa hamba berupa kejelekan dan hukuman, maka sesungguhnya Allah-lah yang telah menentukannya atas mereka, dengan sebab dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan mereka.
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. [Asy-Syura : 30]
Makhluk tidak punya andil untuk menentukan dan mewujudkannya. Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda:
واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف
Ketahuilah, kalau seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan apa yang yang telah untuk tuliskan untukmu. Kalau seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan kamu dengan suatu, maka mereka tidak akan mampu mencelakanmu kecuali dengan apa yang telah Allah tuliskan atasmu. Sungguh pena telah diangkat dan lembaran (catatan taqdir) telah kering (yakni sudah sempurna dan paten tertulis tidak bisa diubah lagi). [HR. At-Tirmidzi, dan berkata: hadits hasan shahih] [1]
 
Hal ini tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai sebab datangnya kebaikan atau kejelekan. Namun yang menyebabkan timbulnya kebaikan atau kejelekan tersebut bukan sebab-sebab itu sendiri. Hanyalah itu semua kembali kepada penyebab (pencipta) sebab-sebab tersebut, yaitu Allah Subhanahu wa Taala. Yang dituntut dari seorang hamba adalah dia berupaya mendatangkan sebab-sebab kebaikan, dan menghindari sebab-sebab kejelekan. Allah Taala berfirman :
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [Al-Baqarah : 195]
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
"Pengkhususan anggapan sial untuk satu waktu tertentu tidak pada waktu lainnya, seperti bulan Shafar atau lainnya, maka itu tidak benar. Hanyalah zaman/waktu semuanya adalah ciptaan Allah Taala. Padanyalah terjadi amal perbuatan anak Adam. Setiap zaman/waktu, yang seorang mukmin mengisinya dengan ketaatan kepada Allah, maka itu merupakan zaman/waktu yang diberkahi atasnya. Adapun berbagai kemaksiatan dan dosa mendatangkan kemarahan Allah Azza wa Jalla. Apabila Allah marah terhadap hamba-Nya, maka si hamba tersebut akan celaka di dunia dan di akhirat. Sebagaimana amalan-amalan ketaatan itu mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Taala. Apabila Allah meridhai hamba-Nya maka si hamba tersebut akan bahagia di dunia dan di akhirat. Orang yang bermaksiat mencelakakan dirinya dan orang lain. Sesungguhnya dia tidak akan bisa aman dari turunnya adzab atasnya, dan akan merata mengenai manusia lainnya. Terutama apabila tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Maka menjauh darinya merupakan suatu keharusan."
Demikian juga tempat-tempat kemaksiatan, harus menjauh darinya dan lari menghindari darinya, karena khawatir akan turunnya adzab. Sebagaimana Nabi Shallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada para shahabatnya ketika beliau melewati negeri kaum Tsamud di daerah Al-Hijr, "Jangan kalian masuk ke (negeri) mereka (Tsamud) yang telah diadzab, kecuali dalam keadaan kalian menangis karena khawatir akan menimpa kalian adzab yang telah menimpa mereka." [2]
Beliau menghindar dari tempat-tempat kemaksiatan.
Meninggalkan kemaksiatan dan para pelakunya termasuk hijrah yang diperintahkan. Karena seorang muhajir sejati itu adalah orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Ibrahim bin Ad-ham rahimahullah berkata, "Barangsiapa yang ingin bertaubat maka hendaknya ia keluar dari tempat-tempat kezhaliman dan meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang dulu bergaul dengannya." Yaitu para pelaku kemaksiatan.
Maka waspadailah dosa-dosa, karena itu merupakan sebab kesialan dan hukumannya sangat pedih. Tempat dan daerah pada asalnya adalah bersih dan suci, namun dosa-dosa manusia telah mengotori dan merusaknya dengan kesialan kemaksiatan. Zaman dan waktu sebenarnya digunakan untuk beramal kebajikan, namun hamba telah mengotorinya dengan perbuatan jelek. Sebagaimana dikatakan dalam syair :
نعيب زماننا والعيب فينا                  
وما لزماننا عيب سوانا
Kita mencela waktu-waktu kita padahal aib itu ada pada diri kita
Tidak ada pada zaman kita suatu kejelekan kecuali diri kita sendiri
 
Maka bertaqwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah.
Ramaikanlah rumah-rumah kalian dan waktu-waktu kalian dengan ketaatan kepada Allah. Gantungkanlah hati kalian kepada Allah, dalam bentuk takut, berharap, dan cinta kepada-Nya. Celalah diri kalian sendiri, dan ketahuilah bahwa apa yang menimpa kalian dari suatu yang kalian benci tidak lain itu adalah dengan sebab dosa-dosa kalian, bukan karena kesialan zaman/waktu dan tempat. Itu tidak lain karena kejelekan amal perbuatan manusia. Barangsiapa yang menganggap sial salah satu bulan, atau salah satu waktu, atau salah satu jam, atau mencela salah satunya, maka sungguh berarti ia telah mencela Allah dan mengganggu-Nya. Sebagaimana dalam kitab Ash-Shahih dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda, bahwa Allah Taala berfirman:
يؤذيني ابن آدم يسب الدهر وأنا الدهر أقلب الليل والنهار
Anak Adam mengganggu Aku, dia mencela zaman/waktu. Padahal Aku adalah pengatur dan pengendali zaman, Aku membolak-balikkan siang dan malam. [3]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر
Janganlah kalian mencela waktu, karena sesungguhnya Allah Dia adalah pengatur dan pengendali waktu. [4]
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah:
"Maknanya, bahwa bangsa arab dulu, di antara kebiasaannya adalah mencela waktu, yakni mencelanya ketika terjadi musibah. Karena mereka dulu menisbahkan berbagai musibah dan kesusahan yang mereka alami pada waktu. Mereka mengatakan, Kejelekan-kejelekan dan kerusakan-kerusakan zaman telah menimpa mereka. Maka apabila mereka menisbahkan segala musibah yang alami kepada waktu, berarti mereka telah mencela penciptanya. Sehingga celaan terhadap waktu itu kembalinya kepada Allah Azza wa Jalla, karena pada hakekat-Nya Dia-lah penyebab/pencipta. Segala kebaikan atau kejelekan yang terjadi pada waktu, maka  itu terjadi dengan kehendak Allah. Kebaikan merupakan fadhilah (keutamaan) dari Allah, sedangkan kejelekan dengan sebab dosa hamba dan kemaksiatan mereka.
Allah Taala berfirman:
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِكَ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا *مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu  hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Cukuplah Allah menjadi saksi.  Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sungguh berarti ia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. [An-Nisa` : 78-80]
 
(Dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah)

catatan kaki:

[1]  HR. At-Tirmidzi no. 2516. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 5302.

[2]  Dalam Shahih Muslim:
إن عبدالله بن عمر قال  : مررنا مع رسول الله على الحجر، فقال لنا رسول الله r لا تدخلوا مساكن الذين ظلموا أنفسهم، إلا أن تكونوا باكين حذرا أن يصيبكم مثل ما أصابهم، ثم زجر، فأسرع حتى خلفها
Abdullah bin Umar berkata: Kami bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam melewati daerah Al-Hijr (negeri Kaum Tsamud), maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda kepada kami: Janganlah kalian masuk ke tempat-tempat tinggal orang-orang yang telah menzhalimi diri mereka sendiri, kecuali kalian dalam keadaan menangis karena khawatir kalian tertimpa adzab yang telah menimpa mereka. Kemudian beliau menghela (ontanya) maka ia pun berjalan cepat sampai beliau berlalu meninggalkannya. [HR. Muslim 2908]

[3] HR. Al-Bukhari 4862, Muslim 2446.

[4]  HR. Muslim 2446.

Sumber: Situs Resmi Mahad As-Salafy 2014

###

Asy-Syaikh Al-'Allaamah Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah

P E R T A N Y A A N :
Apa arti yang terkandung pada hadist tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab?

J A W A B A N :
Hadits ini adalah hadits yang panjang lagi masyhur yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat sekelompok besar manusia yang memenuhi cakrawala, lalu dikatakan kepada beliau:
هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
"Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab."
Kemudian para Shahabat radhiyallahu 'anhum saling bertanya di antara mereka tentang siapakah orang-orang tersebut? Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُون
"Mereka adalah:
■ Orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah,
■ Tidak melakukan pengobatan dengan metode kay,
■ Tidak ber-tathoyyur, dan
■ Hanya kepada Rabb (Allah) mereka bertawakkal."

Sabda beliau لا يسترقـــون yakni tidak meminta kepada seorangpun untuk dibacakan kepada mereka (diruqyah), untuk penyakit yang menimpa mereka.
Sabda beliau لا يكــتوون yaitu tidak meminta kepada seorangpun untuk diobati dengan metode kay (besi panas semisal moksibusi).
Sabda beliau ولا يتطــيرون yakni, mereka tidak tasya'um (merasa sial dan pesimis terhadap takdir yang akan terjadi pada mereka).
Dan pada sabdanya و على ربهم يتوكلـــون yakni mereka menyandarkan perkara kepada Allah secara menyeluruh.

Dan diketahui dari sabdanya لا يسترقــون (tidak meminta diruqyah) bahwa:
• Jika mereka membacakan kepada selain mereka (meruqyah orang lain) maka TIDAK MENGAPA dan mereka tidak diharamkan dari pahala yang besar ini.
• Jika orang lain membacakan kepada mereka TANPA PERMINTAAN dari mereka maka ini juga TIDAK MENGAPA dan mereka tidak kehilangan dari pahala yang besar ini.
• Begitu pula barangsiapa yang diobati dengan metode kay oleh orang lain TANPA MEMINTA KEPADANYA maka demikian juga ia tidak akan diharamkan dari pahala tersebut.
أما التطير فهو التشاؤم، قال العلماء: التشاؤم يكون بمرئي، أو مسموع، أو معلوم
Adapun tathoyyur, maka itu adalah tasya'um (dia merasa sial/berprasangka akan terjadi sesuatu yang jelek padanya).
Para ulama mengatakan bahwa tasya'um bisa terjadi dengan sebab sesuatu yang DILIHAT atau DIDENGAR atau suatu FENOMENA (yang ditandai).
⭕ Tasya'um (merasa sial) dengan sesuatu yang dilihat, seperti jika seseorang melihat sesuatu lalu muncul pada dirinya firasat jelek.
▪ Semisal ia melihat burung hitam seketika ia berkata: "Ini adalah hari gelapku."
▪ Atau ia melihat seseorang tergelincir di depannya kemudian mati sehingga ia berkata: "Jika aku melewati jalan ini pasti menimpaku sama seperti apa yang terjadi pada orang ini.”
Atau yang semacam dengan ini.
⭕ Tasyaum (berfirasat jelek) dengan sesuatu yang didengar, seperti ketika mendengar kata-kata menggelisahkan yang tidak sesuai kemudian ia berfirasat jelek dan mengurungkan (dari menyelesaikan) keperluannya.
⭕ Tasya'um dengan suatu fenomena, yaitu menganggap sial pada hari-hari atau bulan-bulan tertentu. Sebagaimana dahulu dilakukan orang-orang jahiliyah:
▪ Di antara mereka ada yang ber-tasya'um dengan datangnya bulan shofar.
▪ Sebagian mereka ada yang menganggap sial bulan syawwal,
▪ Di antara mereka ada yang berfirasat jelek pada hari Rabu.
Dan perkara yang lainnya sebagaimana telah masyhur dari cara pandang orang-orang jahiliyyah.

MAKA sesungguhnya tathoyyur (bersikap pesimis atau menganggap sial dengan sesuatu) merupakan kesyirikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
الــطِّيَرَةُ شــِرْكٌ، الــطِّيَرَةُ شِــرْكٌ
"Sikap tathoyyur (menganggap sial dengan sesuatu)merupakan kesyirikan, sikap tathoyyur adalah kesyirikan."

Dan wajib bagi manusia untuk senantiasa bertawakkal kepada Allah dan bersandar pada-Nya pada setiap urusannya.
Apabila ia melihat sesuatu yang baik untuk dikerjakan maka ia kerjakan. Dan jangan menghiraukan apa yang telah ia dengar dan lihat karena tathoyyur adalah kesyirikan.
Sedangkan definisi tawakkal adalah:
صــدق الاعتمــاد على الله في جلب الـــمنافع ودفــع المضــار مع فعل الأسباب النافعـــة
"Benar-benar bersandar kepada Allah dalam mencari kebaikan dan menolak kejelekan  diiringi dengan melakukan sebab-sebab yang bermanfaat (untuk mencapai tujuannya)."
KARENA bertawakkal tanpa mengambil sebab dinamakan تواكــلا (pura-pura tawakkal), bukan توكــلا (tawakkal sejati). 
Sesungguhnya pemimpin orang-orang yang bertawakkal adalah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Bersamaan dengan itu beliau tetap mengambil sebab-sebab yang melindunginya.
▪ Sebagaimana yang terjadi pada Perang Uhud dengan memakai dua baju besi khawatir dari hujanan anak panah.
▪ Juga membuat parit (ketika Perang Khandaq) mengelilingi kota Madinah supaya tidak dimasuki musuh.
▪ Dan beliau bersembunyi selama tiga hari di dalam Gua Tsur agar tidak ditemukan oleh musuh.
Maka melakukan sebab-sebab yang bermanfaat sama sekali tidak menghilangkan sikap tawakkal BAHKAN termasuk kelaziman dalam bertawakkal.

Maka empat sifat ini bahwa:
- Mereka tidak meminta untuk diruqyah,
- Tidak meminta untuk  berobat dengan besi panas,
- Tidak bertathoyyur (pesimis dalam nasib/ berfirasat jelek),
- Dan hanya kepada Rabb (Allah) mereka bertawakkal,
ADALAH sifat orang yang masuk surga tanpa hisab dan adzab.
AKAN TETAPI perlu diketahui bahwa mereka harus memiliki iman.
Seandainya kita berasumsi bahwa ada seseorang yang memiliki sifat-sifat itu tapi ia tidak sholat, maka yang seperti ini tidak akan pernah masuk surga, baik dengan hisab ataupun tanpa hisab. KARENA orang yang tidak sholat adalah kafir dan tidak bermanfaat baginya bahwa ia tidak meminta diruqyah, tidak meminta disembuhkan dengan metode besi panas, tidak bertathoyyur, dan dia bertawakkal dan bersandar kepada Allah.
SEHINGGA wajib bagi kita untuk memperhatikan masalah ini.

Sumber: Silsilah Liqoatul Baabil Maftuh (Rangkaian Pertemuan Terbuka ke-12)

Catatan:
Kay adalah salah satu metode pengobatan dengan menempelkan/ mendekatkan besi panas pada kulit atau daerah tertentu pada tubuh, bahkan dalam suatu riwayat ditempelkan pula ke alis.

Sumber:
zadgroup .net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_012_11 .mp3

Alih Bahasa:
Abu Kuraib Habib bin Ahmad (Bandung) -hafidzahullah- [FBF-1]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net