Cari Blog Ini

Jumat, 12 Desember 2014

Tentang TERGESA-GESA BERWUDU DAN TERGESA-GESA MENDATANGI SALAT KARENA KHAWATIR TERTINGGAL DARI SALAT BERJAMAAH

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺗَﻴْﺘُﻢْ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺄْﺗُﻮﻫَﺎ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﻌَﻮْﻥَ ﻭَﺃْﺗُﻮﻫَﺎ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺍﻟﺴَّﻜِﻴﻨَﺔُ ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺘُﻢْ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ ﻭَﻣَﺎ ﻓَﺎﺗَﻜُﻢْ ﻓَﺎﻗْﻀُﻮﺍ
“Jika engkau mendatangi sholat, janganlah mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa. Datangilah dalam keadaan tenang. Apa yang kamu dapatkan, maka sholatlah, apa yang terluputkan maka gantilah.” (HR. Ahmad, semakna dengan hadits Muttafaqun ‘alaih)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻹِﻗَﺎﻣَﺔَ، ﻓَﺎﻣْﺸُﻮْﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻭَﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻜِﻴْﻨَﺔِ ﻭَﺍﻟﻮَﻗَﺎﺭِ ﻭَﻻَ ﺗُﺴْﺮِﻋُﻮْﺍ
“Jika kalian mendengar iqamah maka berjalanlah menuju shalat dalam keadaan tenang dan jangan terburu-buru.” (HR. Al-Bukhary no. 636 dan Muslim no. 602 dan ini adalah lafazh Al-Bukhary)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang berwudhu kemudian menyempurnakan wudhu’nya kemudian berangkat (ke masjid), di sana ia dapati manusia telah selesai sholat, Allah Azza Wa Jalla akan memberikan kepadanya pahala seperti orang yang hadir dan sholat, tidaklah dikurangi dari pahalanya sedikitpun. (H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany)

Sebagian salaf berkata, “Janganlah kalian tergesa-gesa, karena sikap tergesa-gesa itu dari setan.”

Tentang MENAHAN MARAH

Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
ﻭَﺳَﺎﺭِﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺟَﻨَّﺔٍ ﻋَﺮْﺿُﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ. ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻨْﻔِﻘُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟﻀَّﺮَّﺍﺀِ ﻭَﺍﻟْﻜَﺎﻇِﻤِﻴﻦَ ﺍﻟْﻐَﻴْﻆَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴﻦَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﺤْﺴِﻨِﻴﻦَ
“Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Ali Imran: 133-134)

Allah Tabaraka wata'ala berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (At-Taghabun: 14)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻛَﻈَﻢَ ﻏَﻴْﻈًﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﺎﺩِﺭٌ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻨْﻔِﺬَﻩُ ﺩَﻋَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﺀُﻭﺱِ ﺍﻟْﺨَﻠَﺎﺋِﻖِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺨَﻴِّﺮَﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺤُﻮﺭِ ﺍﻟْﻌِﻴﻦِ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ
“Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan.” (HR. Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَة،ِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah yang dinamakan kuat itu adalah orang yang bisa membanting lawan, tetapi yang dikatakan kuat adalah orang yang bisa menahan diri tatkala marah.” (HR. Bukhari no. 6114)

Sahabat Nabi Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:
“Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata'ala selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah Subhanahu wata'ala.” (Diriwayatkan Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari di dalam Sahih-nya:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻠﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ﺃَﻭْﺻِﻨِﻲ، ﻗَﺎﻝَ: ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ﻓَﺮَﺩَّﺩَ ﻣِﺮَﺍﺭﺍً، ﻗَﺎﻝَ: ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ‏
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam: “Berilah wasiat kepadaku.” Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam: “Janganlah engkau marah.” Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah.”

Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu berkata: “(Kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan adalah mencakup keburukan seluruhnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
“(Kemarahan dapat mengakibatkan) perubahan zhahir dan batin, seperti perubahan warna (kulit wajah memerah), gemetar pada kaki dan tangan, kehilangan kendali dan perubahan diri, sehingga orang yang marah tersebut apabila ia menyadari keadaan dirinya ketika marah maka ia akan MALU karena KEJELEKAN RUPANYA dan perubahan dirinya, ini semuanya pada zhahir.
Adapun batin maka kejelekannya lebih parah daripada zhahir, karena kemarahan itu melahirkan kedongkolan di hati, hasad, merencanakan kejelekan dalam berbagai bentuknya, dan memang yang lebih jelek adalah keadaan batinnya, sebab perubahan zhahirnya adalah buah perubahan batinnya. Dan ini semuanya adalah pengaruh jelek kemarahan bagi tubuh.
Adapun pengaruh jeleknya bagi lisan, maka akan memunculkan cacian, ucapan keji yang malu diucapkan oleh seorang yang BERAKAL dan ia akan menyesalinya ketika kemarahannya telah mereda.
Dan juga nampak pengaruh jelek kemarahan dalam perbuatan, yaitu dengan memukul atau membunuh, namun apabila ia tidak dapat melakukannya karena orang yang ia marahi itu telah lari, maka ia akan menyakiti dirinya sendiri, yaitu dengan merobek pakaiannya, menampar pipinya, dan bisa jadi ia jatuh dalam keadaan kesurupan, bisa jadi pula ia jatuh pingsan, dan bisa pula ia memecahkan peralatan makan, bahkan memukul orang yang tidak bersalah.”
(Fathul Bari Libni Hajar 10/520)

‘Umar bin Abdul ‘Aziz berkata:
“Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu, kemarahan, dan ketamakan.”

Ja’far bin Muhammad berkata: 
“Kemarahan itu adalah kunci dari segala macam kejelekan.”

Dikatakan kepada Ibnul Mubarak: 
“Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak yang baik dalam satu kata!”
Beliau mengatakan: “Meninggalkan marah.”
(Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam, hal. 372, 379)

Ibnul Qayyim berkata:
“Kemarahan itu membinasakan. Dia merusak akal sebagaimana khamr dapat menghilangkan kesadaran.”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 155)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻻَ ﺗَﻐْﻀَﺐْ ﻭِﻟَﻚَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔ
“Janganlah engkau marah, niscaya engkau mendapat surga.” (HR. Tabrani dan disahihkan oleh Munziri)

“Janganlah engkau marah,” menurut sebagian para Ulama mengandung 2 makna:
1. Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi orang yang mudah marah.
2. Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. Tahan diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah Subhanahu wata'ala.
(Disarikan dari penjelasan Syeikh Abdurrahman as-Saadi)

Al-Imam Mawardi Rahimahullah berkata:
“Sudah selayaknya orang yang memiliki akal yang lurus dan tekad yang kuat menghadapi kemarahan dengan sikap yang santun menghadapi keburukan yang ditimbulkannya dengan tekad yang kuat (kekokohan) dan menolaknya. Agar mendapatkan pengalaman yang berharga serta kebahagian dan kesudahan yang terpuji.” (Adabud Dunya wa Diin, 258)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻏَﻀِﺒْﺖَ ﻓَﺎﺳْﻜُﺖْ
“Jika engkau marah, diamlah.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, disahihkan Syaikh Albani)

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat dua orang bertikai dan saling mencela, sehingga timbul kemarahan dari salah satunya. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan: “Aku sungguh tahu suatu kalimat yang bisa menghilangkan (perasaan marahnya): A’uudzu billaahi minasy syaithoonir rojiim.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rohimahulloh berkata:
“Tidak disyariatkan berkata kepada orang yang sedang marah: "Ingatlah Allah!" Atau: "Bersalawatlah atas Nabi!" Akan tetapi yang disunahkan adalah kamu menasihatinya untuk memohon perlindungan dari syaitan.” (Tsamarat at-Tadwin, 243)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻏَﻀِﺐَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻭَﻫُﻮَ ﻗَﺎﺋِﻢٌ ﻓَﻠْﻴَﺠْﻠِﺲْ ﻓَﺈِﻥْ ﺫَﻫَﺐَ ﻋَﻨْﻪُ ﺍﻟْﻐَﻀَﺐُ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻠْﻴَﻀْﻄَﺠِﻊْ
“Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring.” (HR. Abu Dawud)

###

Manusia manakah yang tidak pernah marah, hampir semua pernah mengalami hal ini.
Marah sendiri terbagi menjadi 2 jenis:
- Marah yang mahmud {terpuji} Contohnya : marah karena Alloh dan marah karena membela kebenaran.
- Marah yang madmum {tercela}
Contohnya : marah dalam perkara dunia.

Bagimanakah kiranya Jika marah yang madmum menimpa kita?
Ada beberapa obat yang bisa meredam dan mencegah emosi amarah kita dan di antara obatnya adalah:
- Berdoa Pada Allah
- Senantiasa berdzikir kepada Allah
- Mengingat terhadap dalil yang menghasung untuk menahan emosi dan amarah
- Taawudz kepada Allah dari godaan Syaithon
- Berpindah atau merubah anggota badan dari keadaan marah yang semula (contoh jika awal marah dalam keadaan berdiri kemudian berpindah duduk)
- Memberikan hak kepada badan untuk istirahat dan tidur, karena keadaan capek dan lelah bisa memancing kemarahan
- Menjauhi dari hal-hal yang bisa mendatangkan kemarahan.

Faedah Syarh Arbain Nawawi Ustadz Abul Hasan As Sidawy

Alih Bahasa : Ustadz Abu Hamzah Rifqi Hafizhahullah

Ashhabus Sunnah

Tentang PARA DAI YANG MENYERU KEPADA KESESATAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِيْ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ
“Dialah yang telah menurunkan kepadamu Al-Kitab, diantaranya ada ayat-ayat yang muhkam (jelas dan gamblang) yang ayat-ayat itu merupakan isi pokok dari Al-Kitab, sedangkan sebagian ayat-ayat yang lain mutasyabihat (tidak bisa dipahami oleh semua orang). Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat kecondongan kepada kesesatan maka mereka suka mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat dengan tujuan untuk menyebarkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan hawa nafsu mereka).” (QS. Ali Imran: 7)
‘Aisyah radhiyallahu anha mengatakan:
Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam membaca ayat ini, beliau bersabda,
فَإِذَا رَأَيْتِ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكِ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat (yang tidak jelas maksudnya) maka merekalah yang disebut oleh Allah subhanahu wata’ala, maka hati-hatilah.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 4547 dan Muslim no. 2665)

Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ’anhu berkata:
Orang-orang (para shahabat) selalu bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam tentang kebaikan. Sedangkan aku selalu bertanya kepada beliau tentang kejelekan, karena aku khawatir kejelekan itu akan menimpaku.
Maka aku pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu tenggelam dalam kehidupan jahiliyyah dan kejelekan, kemudian Allah menganugerahkan kepada kami kebaikan (Al-Islam) ini. Apakah setelah adanya kebaikan ini akan ada kejelekan?"
Beliau bersabda, "Ya."
Aku pun berkata, "Dan apakah setelah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?"
Beliau bersabda, "Ya, namun padanya terdapat kesuraman (pergeseran dalam agama)."
Aku berkata, "Apa bentuk kesuraman itu?"
Beliau bersabda, "Adanya suatu kaum yang berprinsip dengan selain Sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengetahui apa yang datang dari mereka dan bisa mengingkari."
Aku pun berkata, "Apakah setelah adanya kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?"
Beliau bersabda, "Ya, munculnya sekelompok da’i yang berada di pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa menyambut ajakan mereka, niscaya mereka akan melemparkannya ke dalam Jahannam itu."
Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apa nasehatmu jika aku mendapati kondisi seperti itu?"
Beliau bersabda, "Berpegang teguhlah dengan jamaah kaum muslimin dan imam (pemimpin) mereka."
Aku berkata, "Bagaimana jika mereka (kaum muslimin) tidak mempunyai jamaah dan imam?"
Beliau bersabda, "Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu, walaupun engkau terpaksa harus menggigit akar pohon, sampai kematian mendatangimu dan engkau dalam keadaan seperti itu."
(HR. Al-Bukhari no. 7084 dan Muslim no. 1847, dengan lafadz Muslim)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Hati-hatilah kalian dari para dai yang menyeru kepada kesesatan. Mereka memburu para pemuda dan berusaha memutuskan hubungan para pemuda itu dengan keluarga dan masyarakatnya. Lantas mereka mencekoki para pemuda tersebut dengan berbagai pemikiran sesat. Akhirnya, Anda akan dapati seorang pemuda terpisah dari kedua orang tua dan keluarganya, lalu menjauh dari masjid-masjid kaum muslimin, shalat Jumat, dan shalat jamaah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dia, sampai terdengar berita bahwa dia terbunuh bersama perusuh atau ditangkap bersama mereka oleh aparat. Inilah buah yang akan dipetik apabila para pemuda tidak memedulikan dan mengikuti nasihat para ulama. Mereka tidak mau mengambil sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memerintahkan untuk berpegang teguh dengan jamaah kaum muslimin, penguasa mereka, berbakti dan membantu kedua orang tua, dan menjaga shalat Jumat dan shalat jamaah. Tatkala mereka tidak memerhatikan hal-hal ini, niscaya mereka akan jatuh ke tangan musuh mereka. Musuh-musuh itu akan mencari mereka, lalu mencekoki dengan doktrin-doktrin yang akan menghancurkan kehidupan mereka. Kalaupun sebagian mereka masih tersisa, akan susah sekali diobati karena pemikirannya sudah rusak dan sudah dicuci otak. Mereka layaknya orang yang terkena penyakit yang belum ada obatnya semacam kanker atau lainnya.” (al-Ajwibah al-Mufidah hlm. 36)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻟًﺎ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali ambil dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak menyisakan lagi seorang alim pun di bumi, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu anhuma)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban radhiyallahu anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)

Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan, “Tidak merusak agama ini kecuali raja-raja, ulama yang jelek dan ahli ibadah yang jelek.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 204)

Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Tidak ada penyakit yang lebih membahayakan ilmu dan ahli ilmu daripada para penyusup. Mereka bukan ahli ilmu. Mereka adalah orang-orang jahil yang meyakini dirinya berilmu. Mereka adalah para perusak (dakwah) yang meyakini dirinya sebagai orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-Akhlaq was Siyar, hlm. 91)

Di antara jenis-jenis manusia yang harus diwaspadai ketika kita mengambil ilmu adalah:

1. Ashabur Ra`yi, yaitu orang-orang yang memahami agama dengan akal mereka.

‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu mengatakan, “Jauhi oleh kalian Ashabur Ra‘yi, mereka adalah para musuh As-Sunnah. Hadits-hadits Nabi tidak mampu mereka hafalkan, akhirnya mereka mengatakan dengan akal sehingga sesat dan menyesatkan.” (Al-Intishar Li Ahlil Hadits no. 21)

2. Al-Ashaghir

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Di antara tanda hari kiamat ada tiga, salah satuya adalah dituntutnya ilmu dari Al-Ashaghir.” (Shahih atau hasan, HR. Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612 tahqiq Abul Asybal dan dihasankannya)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu mengatakan, "Jika ilmu datang dari Al-Ashaghir maka mereka akan binasa." (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 616)

Abdullah bin Al-Mubarak ditanya tentang makna Al-Ashaghir, katanya: Yaitu orang yang berpendapat (dalam masalah agama) dengan pendapat mereka sendiri, yakni ahlul bid’ah. (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 612)
Sebagian ulama yang lain mengatakan, yang dimaksud dengan Al-Ashaghir adalah yang tidak punya ilmu. (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 617)
Yang lain lagi mengatakan:
“Bisa jadi yang dimaksud adalah orang yang tidak terhormat, dan hal itu tidak terjadi kecuali karena ia membuang agama dan kehormatannya. Adapun yang selalu menjaga keduanya pasti dia akan terhormat.” (Al-I’tisham, 2/682)

3. Ahlul Bid’ah

Al-Imam Malik mengatakan, “Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang –di antaranya–: seorang ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm hal. 821)

Seseorang bisa dikatakan sebagai ahlul bid’ah jika ia menyelisihi hal-hal yang telah disepakati oleh Ahlussunah wal Jamaah. (Al-Farqu Bainal Firaq hal. 14-15)
Ibnu Taimiyyah menjelaskan, bid’ah yang dengannya seseorang bisa dianggap sebagai ahlul ahwa` (ahlul bid’ah) adalah sebuah bid’ah yang telah masyhur di kalangan ahlul ilmi dan Ahlussunnah bahwa hal itu menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah seperti bid’ah Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan Murji‘ah. (Majmu’ Fatawa, 35/414 dari Mauqif Ahlissunnah, 1/119)

4. Ahli filsafat. Yakni orang-orang yang berusaha memahami perkara agama melalui teori filsafat yang berasal dari Yunani yang mereka namakan dengan Ushuluddin.

Adz-Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa ingin menggabungkan antara ilmu para Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan ‘ilmu’ para filosof dengan kepandaiannya, maka ia pasti menyelisihi mereka semua.” (Mizanul I’tidal, 3/144 dari Al-Intishar, hal. 97)

5. Orang-orang yang tidak ikhlas dalam berilmu tapi mengharapkan harta duniawi, kedudukan atau jabatan dengan ilmunya.

Ibnu Qudamah berkata, “Ulama yang jelek adalah yang punya maksud dengan ilmunya untuk bernikmat-nikmat dengan dunia dan mencapai kedudukan di sisi ahli dunia.” (Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 35)

####

Asy-Syaikh Abu 'Ammar 'Abbas Al-Jaunah -hafidzahullah-

Allah Taala berfirman:
فاسألـــوا أهل الذكــر إن كنتم لا تعلمــون
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan ('Ulama), jika kamu tidak mengetahui. {QS. An-Nahl: 43}

Dan Allah Yang Maha Suci berfirman:
وإذا جــاءهم أمر من الأمــن أو الخوف أذاعــوا به ولو ردوه إلى الرســول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطـونه منهم
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). {QS. An-Nisaa: 83}

Al-Allaamah As-Sadi rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini:
وفي هــذا دليل لقــاعدة أدبية وهي أنــه إذا حصل بحث في أمر من الأمــور ينبغي أن يولي من هو أهــل لذلك ويجعل إلى أهلــه ولايتقــدم بين أيديهم فإنه أقــرب إلى الصــواب وأخرى إلى السلامــة من الخطــأ
Dalam hal ini terdapat pendalilan untuk satu kaedah adab yaitu: Apabila terjadi suatu pembahasan dalam suatu permasalahan sepantasnya untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang ahli dalam perkara tersebut. Dan tidak ada yang dikedepankan dari mereka ini SEBAB itu paling mendekati kebenaran dan paling berhati-hati untuk selamat dari kekeliruan (dalam memutuskan).

Bersikap zuhud (meninggalkan) terhadap ulama dengan tidak berpegang kepada pemahaman mereka dan melepaskan diri dengan mengambil pemahaman orang yang di bawah kedudukan mereka, hal ini adalah ASAL-MUASAL SETIAP FITNAH. Apabila kamu melihat kepada sumber permasalahan dalam gerakan-gerakan pemberontakan dan menentang penguasa yang dimulai oleh:
- Para pemberontak terhadap Utsman bin Affan radhiallahu anhu,
- Kemudian khowarij di zaman Ali ketika Ibnu Abbas mendebat mereka,
- Demikian pula peristiwa hurroh (penyerangan terhadap penduduk Madinah di zaman Yazid bin Muawiyah),
- Peristiwa di zaman ibnul Asyats dan ibnul Malhab,
- Fitnah perang saudara di Suriah dan Juhaiman,
- (Fitnah) di Aljazair,
- Al-Qaeda.
Kamu akan mendapati bahwa mereka semua sama dalam:
1- Zuhud (meninggalkan) dari perkataan bimbingan ulama.
2- Tidak bersandar dengan pemahaman para ulama.
Seandainya orang-orang mematuhi bimbingan ulama mereka dan tidak mengambil pendapat mereka sendiri yang jelek maka tidak akan terjadi fitnah (bencana) dan kerusakan. Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika menyebutkan tentang perkara-perkara yang membinasakan diantaranya, SESEORANG TERKAGUM-KAGUM KEPADA DIRINYA SENDIRI.

Dan lenyapnya landasan ini yaitu Bersama Pemahaman Ulama muncul karena beberapa sebab, di antaranya: Tidak mengetahui siapa ulama sejati. Dan kejahilan tentang ulama ini dikarenakan informasi gencar dari ahlul bidah yang menggambarkan seorang dai sebagai Allaamah (ulama besar) dan Imam. Mereka tuang kepadanya berbagai gelar hebat dan agung pada sisi yang terlihat dari banyaknya orang yang hadir (di majelisnya). Dan mereka mengambil kesempatan di saat pemberontakan, mereka memberontak dan membakar para pemuda dan orang awam untuk memberontak.
Dan dengan lisan hal dan ucapan, mereka ini ingin berkata (meremehkan):
- (Lihat) Di mana para ulama itu?!
- Siapa mereka (yang benar-benar ulama)?!
- BAHKAN mereka (para dai sesat) ini komandan umat!
Sehingga menjadikan orang-orang yang sok berilmu dan bukan ahli sebagai seorang syaikh, mengangkat mereka di barisan ulama, dan menjadikan mereka sebagai komandan dan pemimpin serta pemberian gelar-gelar besar atas mereka, INILAH termasuk sebab terbesar (terjadinya fitnah dan meninggalkan ulama sejati) dan larisnya pemikiran dan fatwa-fatwa mereka.

Dan termasuk sebab hilangnya landasan ini yaitu Bersama Pemahaman Ulama: CELAAN bertubi-tubi terhadap mereka (ulama) dengan:
- Tidak paham kondisi terkini atau
- Di bawah tekanan penguasa atau
- Bahwa mereka tidak memiliki keahlian dalam berperang atau politik
- dan semisalnya dari muslihat yang ditujukan kepada mereka di setiap waktu dan tempat.

Al-Allaamah Al-Albani rahimahullah berkata:
Ketika disebutkan kejelekan yang timbul dari memberontak terhadap penguasa, beliau berkata: Lebih jelek dari itu adalah memberontak kepada ulama dengan:
1- Mengabaikan hak-hak mereka.
2- Tidak bersandar kepada fatwa-fatwa mereka kecuali yang seseuaki dengan hawa nafsu para harokiyyin (aktivis).
3- Meremehkan kedudukan mereka dalam politik.
4- Menyifati mereka dengan ulama tempat wudhu.
Dan yang semisalnya dari julukan-julukan yang ahlul bidah menyematkan gelar jelek yang dihinakan kepada ulama salafi secara turun-temurun.
Dalam hal ini terkandung perlakuan sewenang-wenang terhadap syariat dengan menjatuhkan pengusung dan pemberi keterangannya (yaitu ulama). Dan Allah-lah pemenuh janji.

Tudingan terhadap ulama dengan julukan-julukan ini bukan terlahir di hari-hari ini saja bahkan sudah perkara yang lama yang ahlul bidah dan orang-orang yang menyimpang telah terbiasa dengannya.
Al-Imam Asy-Syathibi semoga Allah merahmatinya berkata:
Diriwayatkan dari Ismail bin Ulayyah, dia berkata:
Bercerita kepadaku al-Yusa, dia berkata:
Washil bin Atho tokoh mutazilah berbicara, maka Amru bin Ubaid menimpali: Tidakkah kalian mendengarnya?
ما كــلام الحسن وابن سيرين عندمـــا تسمعـــون إلا خرقــة حيض ملقــاه
Tidaklah ucapan al-Hasan (al-Bashri) dan Ibnu Sirin ketika kalian dengar kecuali hanya tentang PEMBALUT DARAH HAIDH yang dicampakkan!

Dan diriwayatkan bahwa salah seorang tokoh ahlul bidah ingin mengunggulkan ilmu kalam dari ilmu fikih, ia pun berkata:
إن علم الشــافعي وأبي حنيفــة جملته لايخـــرج عن سراويل امـــرأة
Sesungguhnya ilmu asy-Syafii dan Abu Hanifah seluruhnya tidak lepas dari celana dalam wanita.

Dan MEMAHAMI TEMPAT RUJUKAN ketika terjadi fitnah adalah urusan yang SANGAT PENTING, yang apabila tidak mengetahuinya akan menghasilkan KERUSAKAN YANG LUAS dengan munculnya:
من ليســوا أهــلا للفتوى ومن ليسوا على منهج السلــف في إلاعتقــاد والعمــل
Orang-orang yang bukan ahli dalam berfatwa, dan orang-orang yang tidak di atas manhaj dalam akidah dan amalan.
SEHINGGA hukum-hukum syari'at akan menjadi berubah (tidak sesuai), agama akan dirobohkan, dan hilang maslahat serta akan banyak terjadi fitnah/bencana.
Dan ini selaras dengan apa yang dikabarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إن الله لا يقبض العلمـــاء حتى إذا لم يبق عــالم إتخذ النـــاس رؤوسا جهـــالا فسئلوا فأفــتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
"Sungguh Allah tidak mencabut ilmu dengan sekali cabut dari dada-dada manusia akan tetapi dicabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sampai ketika tidak tersisa seorang ulama, maka orang-orang mengambil pemimpin dari orang-orang yang bodoh, lalu ditanya (tentang suatu hal) maka mereka pun memberi fatwa tanpa dasar ilmu SEHINGGA mereka SESAT lagi MENYESATKAN."

Dan termasuk tanda-tanda terbesar dan paling nyata yang dikenali orang yang kuat ilmunya dari yang SOK BERILMU, terkhusus di zaman fitnah:
Orang yang JAHIL menonjolkan diri dan memposisikan dirinya untuk berfatwa tanpa musyawarah dengan ulama.
Ini adalah sikap berani terhadap agama Allah Yang Maha Agung. Sedangkan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi menyifati ulama yang kokoh ilmunya dengan sifat khosyah (rasa takut yang berdasar ilmu), khouf (rasa takut dari bahaya), dan waro (berhati-hati).
BERFATWA terhadap suatu bencana, seseorang yang memiliki rasa takut terhadap agamanya akan menolak (untuk berfatwa tentang) nya, dalam perkara-perkara kontemporer akan lebih besar (penolakannya untuk berfatwa).
Salafush shalih dari kalangan Shahabat dan yang selain mereka dahulu saling menyerahkan tanggung jawab berfatwa kepada orang lain.

Dan termasuk tanda-tanda mereka (yang mengaku-aku berilmu): MENYELISIHI ULAMA sewaktu terjadi fitnah dan permasalahan-permasalahan terkini yang terkadang ia mendebat, berbuat bodoh, menghina, dan membantah.

Juga termasuk ciri-ciri mereka: BANYAK BERBICARA tentang permasalahan terkini dan sering berdebat. Sedangkan hal ini adalah ciri-ciri ahlul bidah dan pengikut hawa nafsu.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata (dalam Bayaanu fadhli ilmis Salaf ala ilmil kholaf):
وقد فتن كثيــر من المتأخــرين بهذا أي كثرة كــلام الواحد منهم في المســائل والخصــام في مســائل الدين فهو والنقــاش
Dan telah tertimpa musibah mayoritas dari orang-orang sekarang dengan perkara ini yaitu banyaknya ucapan salah seorang mereka tentang berbagai permasalahan dan berbantah-bantahan serta berdebat di dalamnya.
وظنوا أن من كثر كلامــه وجدالــه وخصــامه في مســـائل الدين فهو أعلــم ممن ليس كذلك
Mereka berprasangka bahwa seseorang yang banyak berbicara, berdebat, dan berbantah-bantahan dalam urusan diin maka dia lah yang PALING BERILMU daripada yang tidak bersikap seperti itu.
INI KEBODOHAN SEMATA.
Lihatlah kepada pembesar-pembesar dan para ulama dari kalangan Shahabat semisal Abu Bakr,Umar, Ali, Utsman, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, bagaimana mereka dahulu? Ucapan mereka LEBIH SEDIKIT dari perkataan Ibnu Abbas namun mereka lebih berilmu darinya.
Demikian pula perkataan para Tabiin lebih banyak daripada ucapan para Shahabat sedangkan para Shahabat lebih berilmu dari mereka.
فليس العلــم بكثرة الروايــة أو كثرة المقـــال ولكنه نور يقذفــه في القلب يفهم به العبد الحق ويميز به بينه وبين الباطـــل ويعبر عن ذلك بعبــارات وجيزة محصلة للمقصـــود
BUKANLAH ILMU DENGAN BANYAKNYA PERIWAYATAN ATAU UCAPAN namun ia adalah ilmu yang Dia Allah lemparkan di dalam hati yang dengannya seorang hamba bisa memahami Al-Haq dan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dan mengungkapkan hal itu dengan ibarat-ibarat yang ringkas dan tercapai maksud.

Dan termasuk tanda-tanda mereka: TERBURU-BURU BERBICARA tentang suatu peristiwa sebelum jelas perkaranya dan belum diketahui hakikat serta isinya. Betapa sesuai tanda ini dengan firman Allah Taala:
وإذا جــاءهم أمر من الأمــن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرســول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونـــه منهم
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)" {QS. An-Nisaa: 83}
Asy-Syaikh As-Sadi berkata dalam tafsir ayat ini:
Terkandung padanya LARANGAN dari sikap tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebar suatu perkara sejak ia mendengarnya, dan PERINTAH untuk mengamati sebelum berbicara. Juga untuk ia melihat apakah ada maslahat di dalamnya sehingga ia sampaikan kepada orang-orang atau tidak, sehingga ia menahan diri darinya?

Dan termasuk dari ciri-ciri mereka: Ridha dengan gelar-gelar besar seperti:
- Alim (ulama)
- Al-Allaamah
- Al-Muhaddits
- Al-Imam
Adapun yang masyhur dari orang yang ahli dalam kebaikan dan ilmu bahwa mereka memandang kecil diri mereka dan tidak melihat bahwa mereka telah sampai ke derajat yang mereka berhal untuk diberi gelar-gelar yang besar.
فــأوصي نفسي وإخـــواني بلـــزوم منهج العلمـــــاء المتخصصين فيما يحصل من الفتن والنــوازل فإنه من أعظم أسبـــاب النجــــاة من الفتن
Maka aku nasehatkan diriku dan saudara-saudaraku untuk senantiasa bersama manhaj para ulama yang spesialis dalam menghadapi apa yang terjadi dari berbagai fitnah dan permasalahan kontemporer KARENA itu di antara sebab terbesar untuk selamat dari fitnah. Sungguh kami telah sering melakukannya dan tidak ada yang kami lihat lebih baik dari metode ini.
Dan akhir seruan kami Segala pujian yang sempurna milik Allah Rabb alam semesta.

Malam Ahad, 24 Jumadil Ulaa 1436 H

Sumber: Majmu'ah Manhajul Anbiya

Alih Bahasa: Al Ustadz Abu Yahya (Solo) Al Maidaniy حفظــه الـله - [FBF 5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

###

Fadhilatu asy-Syaikh al-Allamah 'Ubaid bin 'Abdillah al-Jabiri –hafidzahullah wa ra'ah–

Beliau berkata:
“Di antara wasiat-wasiat Muhammad shallallahu alihi wa sallam yang dinukilkan secara benar/shahih dari beliau, bahwa beliau shallallahu alihi wa sallam bersabda:
"Seseorang di atas agama teman dekatnya, maka lihatlah siapa yang menjadi teman dekatnya."
Semakna (dengan wasiat Nabi ini) -dan saya mengira ini memetik dari wasiat Nabi- ialah ucapan Ibnu Sirin –rahimahullah–, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil/mempelajari agama kalian."
Hadits dan atsar tersebut sebagai peringatan atas wajibnya berwaspada dari dua jenis manusia yang menjadi BALA' dalam dakwah!
Jenis yang pertama;
ORANG-ORANG JAHIL (tidak berilmu) yang bermunculan di medan (dakwah), (dalam keadaan) mereka tidak memiliki ilmu tentang syariat Allah yang dengannya dia bisa memerintahkan (yang ma'ruf) dan melarang (dari yang munkar). Namun yang menjadi landasan mereka ialah kisah-kisah, hikayat, hadits-hadits palsu/dha'if, atau pendapat yang dibanggakan (dengan sombong) padahal bertentangan dengan dalil.
Jenis yang kedua;
PARA DA'I SESAT, AHLUL BID'AH, AHLUL AHWA', yang mengikrarkan kebid'ahan mereka, menetapkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip buatan diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki bukti/dasar (atas kaidah-kaidah dan prinsip buatan mereka itu), baik dari al-Kitab (al-Qur'an) maupun as-Sunnah.
Kedua kelompok tersebut sesat menyesatkan dan merusak.
Yang pertama; Kesesatannya karena kebodohan.
Yang kedua; Allah sesatkan di atas ilmu.
Alangkah bagusnya apa yang diucapkan oleh Sufyan ats-Tsauri atau yang lain –rahimahumullah–,
“Siapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah, maka padanya kemiripan dengan kaum Nashara. Siapa yang rusak dari kalangan orang yang punya ilmu, maka padanya kemiripan dengan kaum Yahudi.”

Faidah ini dikutip dari syarh beliau –hafizhahullah– terhadap risalah "Nawaqidhul Islam", pelajaran keempat.

Sumber:
ar .miraath .net/fawaid/7161

Majmu'ah Manhajul Anbiya

Tentang BERBICARA DAN BERFATWA TANPA ILMU

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋًﺎ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺭُﺀُﻭﺳًﺎ ﺟُﻬَّﺎﻟًﺎ ﻓَﺴُﺌِﻠُﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
“Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari manusia dengan sekali ambil dari para hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika Dia tidak menyisakan lagi seorang alim pun di bumi, manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Mereka lalu ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiallahu anhuma)

Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan:
“Sesunggguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dan yang lain dari Tsauban radhiyallahu anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1582)

Al-Manaawiy berkata di dalam kitab Faidhul Qadir:
وهــذا تحذير من ترئيس الجهلــة وأن الفتوى هي الرئاســة الحقيقية وذم من يقدم عليهـــا بلا علـــم
Dan ini peringatan dari menjadikan pimpinan seorang yang jahil dan bahwa fatwa adalah kepemimpinan sejati serta tercelanya seseorang yang maju berfatwa tanpa ilmu.

Di dalam ad-Duraarus Saniyyah fil Ajwibaatin Najdiyyah (16/ 151):
ومن أعظــم الجــرائم: الفتوى بغير علــم، فكم ضل بهـــا من ضل، وهلك بهـــا من هلك، ولا سيما إذا كانت الفتوى معلنة على رؤوس الأشهــاد، وممن قد يغتر به بعض الناس؛ فإن الخطر عظيم، والعواقب وخيمة. وعلى المفتي بغير علم مثل آثام من تبعــه
Termasuk di antara kejahatan terbesar: BERFATWA TANPA ILMU. Seberapa banyak orang tersesat dan binasa dengan sebabnya, terlebih apabila fatwa itu diumumkan di khalayak manusia dan muncul dari orang-orang yang membuat sebagian orang TEPERDAYA dengan kedudukannya. Maka bahayanya besar dan jelek akibatnya. Dan atas mufti yang berfatwa tanpa ilmu SEMISAL dosa orang yang mengikutinya.

Ibnu Baththah ketika ditanya tentang suatu permasalahan beliau menjawab, dalam kitab Ibthaalul Hiyal (hal. 5):
“Dan aku mulai sebelum menjawab permasalahanmu dengan menyebut ciri-ciri seorang faqih (yang memiliki fikih/pemahaman luas tentang syariat Allah) yang boleh taklid dan berlindung kepadanya ketika terjadi kemelut, tunduk mematuhinya ketika datang permasalahan-permasalahan pelik dan menyelesaikan berbagai syubhat.
Kemudian aku lanjutkan dengan menjawab apa yang telah kamu tanyakan.
Sungguh aku melihat sebutan ini (gelar faqih) telah banyak orang yang dinamakan dengannya dari keumuman manusia. Dan tidaklah hal itu terjadi kecuali disebabkan pandangan-pandangan yang telah rabun, pemahaman-pemahaman yang sudah keruh dan terbelenggu dari makna fikih, apa dia (wujud fikih tersebut)? Dan faqih itu, siapa dia?
Maka mereka disandarkan dengan suatu nama tanpa ada makna dan suatu tempat memandang tanpa memiliki hakikat. Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib ketika menyifati seorang yang terburu-buru berfatwa tanpa ilmu:
سمـــّاه الناس عالماً، ولم يَفنِ في العلـــم يوماً ســـالماً
ORANG-ORANG MENYEBUTNYA “SEORANG ULAMA” SEDANG IA BELUM MEMBERIKAN KESUNGGUHAN DALAM MENUNTUT ILMU SEHARI PUN.

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab I’lam Muwaqqi’in (1/38) berkata:
Sungguh, Allah telah mengharamkan seseorang berkata tanpa dasar ilmu, baik dalam hal berfatwa maupun menghukumi. Allah menjadikannya sebagai salah satu keharaman yang terbesar, bahkan meletakkannya pada peringkat tertinggi.
Allah berfirman:
"Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuknya, dan (mengharamkan) berbicara tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui." (al-A’raf: 33)
Dalam ayat di atas, Allah membagi dosa menjadi empat tahapan. Allah memulai dari dosa yang lebih ringan, yaitu perbuatan keji. Setelahnya, Allah menyebutkan yang paling tinggi tingkat keharamannya, yaitu perbuatan dosa dan kezaliman. Peringkat ketiga lebih besar tingkat dosanya daripada kedua hal sebelumnya, yaitu syirik kepada Allah.
Kemudian Allah menutup ayat ini dengan menyebutkan hal keempat yang lebih keras tingkat keharamannya, yaitu berbicara tanpa ilmu. Hal ini mencakup berbicara tanpa ilmu pada nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, agama, dan syariat-Nya.
Tidak ada jenis keharaman di sisi Allah yang lebih besar dan lebih keras dosanya daripada berbicara tanpa dasar ilmu. Bahkan, hal ini adalah pangkal kesyirikan dan kekufuran. Di atasnya dibangun kebid’ahan dan berbagai kesesatan. Oleh karena itu, pangkal segala kebid’ahan yang menyesatkan di dalam agama adalah berbicara tanpa dasar ilmu.
Berdasarkan hal inilah, para pendahulu yang saleh dan para imam sangat keras mengingkarinya. Mereka menyeru di mana-mana untuk memperingatkan manusia darinya dengan peringatan yang keras.
Kerasnya pengingkaran mereka terhadap hal tersebut tidak seperti yang mereka lakukan dalam hal mengingkari perbuatan keji, kezaliman, dan permusuhan; karena kebid’ahan sangat berbahaya, menghancurkan agama, dan lebih dahsyat dalam memadamkan cahayanya.

asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah berkata:
Tidak ada larangan untuk memberikan faidah kepada manusia di dalam perkara yang sudah engkau ketahui. Adapun di dalam perkara yang tidak engkau ketahui, hukumnya HARAM bagimu untuk mengajarkannya. Karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Sunan Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Albani rahimahumallah,
ﻣﻦ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻐﻴﺮ ﺛﺒﺖ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺇﺛﻤﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﻓﺘﺎﻩ
"Barangsiapa yang berfatwa tidak benar, hanya saja dosanya bagi yang memfatwakannya.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda tentang orang yang terluka kepalanya, ketika sebagian orang berfatwa kepadanya sehingga ia tewas, mereka memfatwakan mandi bagi orang yang terluka tersebut, kemudian ia mandi lalu ia meninggal, beliau bersabda,
ﻗﺘﻠﻮﻩ ﻗﺘﻠﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻻ ﺳﺄﻟﻮﺍ ﺇﺫ ﺟﻬﻠﻮﺍ ﺇﻧﻤﺎ ﺷﻔﺎﺀ ﺍﻟﻌﻲ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ
"Mereka telah membunuhnya! Semoga Allah membunuh mereka! Tidakkah mereka bertanya bila mereka tidak tahu? Hanya saja obatnya kebodohan itu bertanya.”

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan حَفِظَهُ اللهُ

Pertanyaan: 
ما أهمية الفتوى وإفتاء الناس فضيلة الشيخ وشروط الإفتاء في ذلك؟
Apakah urgensi dari fatwa dan memberikan fatwa wahai Fadhilatusy Syaikh serta syarat-syarat berfatwa dalam perkara tersebut?

Jawaban:
الفتوى أمرها عظيم لأنها إخبار عن الله جل وعلا أنه أحل كذا وحرم كذا فلذلك لا يجوز للإنسان أن يفتي إلا عند الحاجة إذا احتيج إليه كان عنده علم كان عنده علم يستطيع به أن يجيب السؤال عن علم فإنه يفتي وإن أحالها إلى غيره فهذا أحسن وأبرأ لذمته فالفتوى خطرها عظيم لأنها من القول على الله إن كان بعلم الحمد لله وإن كان بجهل فهو من القول على الله بغير علم وهو أشد المحرمات نعم
Fatwa perkaranya adalah besar karena merupakan pengkabaran dari Allah Jalla wa ‘Alla bahwa Dia menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Oleh karena itu seorang insan tidaklah diperkenankan berfatwa melainkan bila ada kebutuhan.
Apabila fatwa benar-benar diperlukan sedang ia memiliki ilmu, ia memiliki ilmu yang mampu untuk menjawab pertanyaan berdasarkan ilmu, maka ia berfatwa. Namun bila ia mengihalahkan kepada selain dirinya, maka ini lebih baik dan lebih membebaskan tanggungan. Sehingga fatwa bahayanya begitu besar karena termasuk berbicara tentang Allah. Apabila ia berfatwa dengan ilmu, maka segala puji hanya milik Allah. Namun bila ia jahil, maka itu termasuk berbicara tentang Allah dengan tanpa ilmu dan itu merupakan keharaman yang paling besar. Na’am.

Sumber:
http://www.alfawzan.af.org.sa/node/15826

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Tentang WANITA MENAWARKAN DIRI KEPADA SEORANG PRIA UNTUK DINIKAHI

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly hafizhahullah

Pertanyaan:
Bolehkah seorang wanita jika dia menjumpai pria yang istiqamah di atas manhaj Salafus Shalih, untuk menawarkan dirinya agar dinikahi, dan apa nasehat Anda?

Jawaban:

Hakekat mencari pria yang sekufu (sepadan) adalah tuntutan syari’at, karena kehidupan suami istri memiliki makna dan pengaruh yang besar. Jadi pilihan seorang wanita terhadap pria yang shalih, hal itu menunjukkan keshalihan wanita tersebut. Maka wanita tersebut jika memungkinkan biarlah walinya yang berbicara dengan pria yang dia inginkan untuk melamarnya, ini merupakan cara terbaik. Yaitu dengan menyampaikan kepada walinya. Kalau dia tidak mampu untuk membuka pembicaraan dengan walinya (karena malu misalnya) maka bisa melalui wanita yang lebih tua darinya, seperti ibu atau saudara perempuan dan yang lainnya. Dia sampaikan masalahnya dan keinginannya tersebut, agar dia tidak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pria yang baik. Jadi hal ini bukan merupakan kesalahan.

Adapun jika dia menawarkan dirinya dengan cara berbicara langsung atau melalui media-media yang dikenal di masa ini, atau dengan menampilkan foto dan saling bertukar foto serta berbicara banyak, maka ini bahayanya terhadap manusia sangat jelas. Yang jelas keinginan wanita tersebut bagus, hanya saja harus dengan cara yang mulia dan terhormat. Tidak boleh melalui berbagai media yang telah dikenal seperti internet dan telepon. Kalau ditakdirkan (ada kecocokan) dan sang pria tersebut berbicara dengan si wanita melalui telepon untuk mengungkapkan persetujuannya, maka cukup dengan satu kalimat saja, yaitu menerima tawarannya tersebut. Adapun berbicara panjang lebar, maka hal ini tidak boleh hingga wanita tersebut menjadi istrinya.

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

# forumsalafy .net

Tentang MENJAGA KEHORMATAN SESAMA MUSLIM

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda pada saat Haji Wada’:
ﻓَﺈِﻥَّ ﺩِﻣَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻋْﺮَﺍﺿَﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻛَﺤُﺮْﻣَﺔِ ﻳَﻮْﻣِﻜُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺷَﻬْﺮِﻛُﻢْ ﻫَﺬَﺍ ﻓِﻲ ﺑَﻠَﺪِﻛُﻢْ ﻫَﺬَﺍ
"Sesungguhnya harta, darah, dan kehormatan kalian adalah haram (untuk dinodai) di antara kalian, sebagaimana haramnya (untuk dinodai) hari ini (hari Arafah), di bulan ini (bulan haram, Dzulhijjah), di negeri ini (tanah haram, Makkah)." (H.R Muslim)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala?” Mereka menjawab, “Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Perkara riba yang paling jelek di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala adalah orang yang menghalalkan kehormatan/harga diri seorang muslim.” (HR. Ibnu Abi Hatim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﻤَّﺎ ﻋَﺮَﺝَ ﺑِﻲ ﺭَﺑِّﻲ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻣَﺮَﺭْﺕُ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻟَﻬُﻢْ ﺃَﻇْﻔَﺎﺭٌ ﻣِﻦْ ﻧُﺤَﺎﺱٍ ﻳَﺨْﻤُﺸُﻮﻥَ ﻭُﺟُﻮﻫَﻬُﻢْ ﻭَﺻُﺪُﻭﺭَﻫُﻢْ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻣَﻦْ ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ ﻳَﺎ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺄْﻛُﻠُﻮﻥَ ﻟُﺤُﻮﻡَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻳَﻘَﻌُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﺮَﺍﺿِﻬِﻢْ
“Tatkala Rabbku memi’rajkanku (menaikkan ke langit), aku melewati beberapa kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dalam keadaan mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka dengan kukunya. Maka aku bertanya: ‘Siapakah mereka ini wahai Jibril?’ Dia menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (suka meng-ghibah) dan menjatuhkan kehormatan manusia’.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 533)

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, apa itu ghibah?” Beliau menjawab, “Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu beliau ditanya, “Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku sebut itu memang ada pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau sebut itu ada pada dirinya, engkau telah mengghibah dia. Namun, jika yang engkau sebut itu tidak ada padanya, engkau telah berbuat buhtan (berdusta) terhadap dia.” (HR. at-Tirmidzi)

Dalam hadits Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﺳْﻜَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺩْﻏَﺔَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﻝِ
“Barangsiapa mencela seorang mu’min dengan hal-hal yang tidak ada padanya, maka Allah akan menenggelamkannya dalam peluh penghuni neraka.”
(Lihat: Silsilah Ash-Shahihah no. 437)

Allah berfirman:
“Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat: 12)

Dalam perumpamaan ini, Allah menyerupakan tindakan merobek kehormatan saudara dengan mencabik-cabik dagingnya. Ketika seseorang mengumpat berarti dia merobek kehormatan saudaranya yang tidak berada di hadapannya. Dia bagai orang yang memotong-motong daging saudaranya di saat rohnya telah hilang karena mati. Tatkala orang yang diumpat tidak mampu membela dirinya, karena dia tidak di hadapannya untuk membalas celaannya, dia pun bagai mayat yang dipotong-potong dagingnya dan tidak mampu membela dirinya. Manakala konsekuensi dari sebuah persaudaraan adalah saling mengasihi, saling menyambung hubungan, dan saling menolong, tetapi orang yang mengumpat justru menggantungkan sebuah celaan dan tikaman pada ikatan persaudaraan itu, maka hal itu bagai memotong-motong daging saudaranya sendiri. Padahal persaudaraan menuntut untuk menjaga dan membela saudaranya. Ketika orang yang mengumpat menikmati kehormatan saudaranya, ia jadikan buah majelisnya dengan mengumpat dan mencelanya saat tidak di hadapannya, serta dia menghiasi dirinya dengan perbuatannya tersebut, dia disamakan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya (dan menikmatinya) setelah memotong-motongnya. Selain itu, ketika dia menyukai hal itu dan bangga dengannya, dia pun disamakan dengan orang yang menyukai memakan bangkai saudaranya. Bahkan, kesukaannya terhadap hal itu lebih dari sekadar memakannya, sebagaimana memakannya itu lebih dari sekadar mencabik-cabiknya.
(I’lamul Muwaqqi’in, 1/222—223, diterjemahkan oleh Qomar Suaidi)

###

Al-Ustadz Fathul Mujib

Ghibah (gosip) pada masa sekarang menjadi tren tersendiri bagi sebagian kalangan. Terlebih ketika yang menjadi bahan perbincangan adalah artis, akan sangat laris disimak oleh para pemuja dan para penggemarnya. Yang lebih aneh, para artis ini sangat bangga ketika aib mereka, seperti percekcokan dengan suami atau dengan pacar, bahkan perselingkuhan, disiarkan di media-media massa.

Ini kondisi yang sangat timpang bagi perkembangan dan kemajuan kaum muslimin di negeri ini. Entah ada tujuan apa di balik acara atau rubrik gosip yang dimuat di sekian banyak media massa. Yang pasti, perhatian sebagian muslimin terseret oleh arus ini. Akibatnya, mereka lebih bangga ketika membicarakan seorang artis secara mendetail di hadapan “jamaah” ngerumpinya. Sementara itu, perilaku senang bergosip ini bertabrakan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, serta janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada AllahSesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (al-Hujurat: 12)

Sedemikian buruknya gosip (ghibah) dalam penggambaran ayat yang mulia ini. Allah subhanahu wa ta’alamenyamakannya dengan memakan daging saudara yang sudah mati. Lalu, masihkah kaum muslimin akan terseret dan terbawa oleh tren gosip yang tengah berkembang itu? Apakah demikian itu yang dinamakan peradaban modern dan kemajuan manusia?

Ghibah dilarang untuk menjaga kehormatan kaum muslimin

Larangan ghibah yang termaktub dalam ayat di atas mengandung isyarat bahwa kehormatan manusia (muslim) sama seperti dagingnya. Ketika diharamkan memakan daging manusia, dilarang pula merusak kehormatannya. Pada yang demikian ini telah terdapat peringatan untuk menjauhi ghibah, dan hardikan serta celaan bagi pelaku ghibah. Sebab, manusia tentu memiliki tabiat enggan memakan daging sesama manusia. Lebih dari itu, syariat Islam pun telah mengharamkan daging manusia.
Oleh karena itu, ketika Anda tidak senang untuk memakan daging saudara Anda, jangan menyebutnya dengan keburukan ketika ia tidak ada. (Fathul Qadir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Demikianlah, Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki hamba-Nya agar menjaga kehormatan saudaranya seiman dan seagama. Terlebih lagi Allah subhanahu wa ta’ala telah melarangnya dari tajassus (mencari-cari aib dan ketergelinciran kaum muslimin). Allah berfirman,
وَ لَا تَجَسَّسُواْ
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.”
Allah juga telah melarang su’uzh zhan (buruk sangka),
ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
“Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”
Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk menjauhi sebagian prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap orang-orang yang dikenal berperilaku dan berkepribadian baik. (Fathul Qadir)

Pada ayat sebelumnya, Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang perbuatan merendahkan dan menghina orang atau kaum lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,l
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka.” (al-Hujurat: 11)
Makna ayat ini bahwasanya Allah melarang kaum mukminin merendahkan kaum mukminin yang lain karena bisa jadi orang yang dihina lebih baik di sisi Allah daripada orang yang menghina.
Masih pada ayat yang sama Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
“Dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri.”
Maksudnya, janganlah kalian saling mencela karena kalian ini bagaikan tubuh yang satu. Di samping itu, jika seorang mukmin mencela mukmin lainnya, pihak lain akan terpancing untuk ikut mencelanya. (Tafsir as-Sa’di dengan diringkas, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Kemudian, Allah melanjutkan bimbingan akhlak ini dengan firman-Nya,
وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١
“Dan janganlah kalian memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat: 11)
Maksudnya, janganlah seorang mukmin menggelari saudaranya seiman dengan gelar-gelar yang buruk. Misalnya, memanggil saudaranya seiman dengan panggilan “Wahai orang fasik”, “Wahai orang munafik”, atau mengatakan kepada orang yang baru masuk Islam, “Wahai Yahudi”, atau “Wahai Nasrani”, yaitu semua gelar yang mengeluarkan saudaranya dari lingkup Islam.
Demikian pula memanggil saudaranya seiman dengan sebutan binatang, seperti “Hai keledai”, “Hai anjing”, “Hai babi”, dan sebagainya. (Fathul Qadir, melalui al-Maktabah asy-Syamilah)

Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala membimbing kita dalam menjaga kehormatan saudara kita.

https://qonitah.com/ghibah-semua-terlarang-kecuali-yang-enam/

Tentang MENUNTUT ILMU AGAMA

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) Ya Rabbi tambahkanlah untukku ilmu.” [QS. Thaha: 114]

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan pada keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali tambahan ilmu. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ILMU SYAR’I. Yaitu ilmu yang memberikan faidah pengenalan terhadap apa yang wajib atas seorang mukallaf dalam urusan ibadah dan mu’amalahnya. Ilmu tentang Allah dan Shifat-Shifat-Nya, serta apa yang wajib untuk dilakukan terhadap-Nya berupa menegakkan perintah-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan. Perputaran itu semua terletak pada ILMU TAFSIR, ILMU HADITS, dan ILMU FIQH.”
[Fathul Bari, Syarh Shahih al-Bukhari Kitab al-'Ilmi, Bab Pertama]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam Kitabul ‘Ilmi (hlm. 13), “Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu tentang al-bayyinah (penjelasan) dan al-huda (petunjuk) yang diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya Shallallahu alaihi wa Sallam. Hal ini karena ilmu tersebutlah yang mendapatkan pujian dan sanjungan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam:
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19)
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab khusus tentang hal ini dalam kitab Shahih-nya karena kandungan mulia yang ada dalam ayat di atas. Beliau memberi judul bab tersebut dengan nama “Bab Ilmu sebelum berbicara dan beramal.”
Dalam ayat di atas, Allah Azza wa Jalla memerintahkan dua hal penting kepada Nabi-Nya, yaitu berilmu kemudian beramal. Allah Azza wa Jalla mengawali perintah-Nya dengan ilmu:
“Maka ilmuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Yang Haq) melainkan Allah.”
Perintah tersebut disusul oleh perintah-Nya untuk beramal dalam firman-Nya:
“… dan mohonlah ampunan bagi dosamu.”
Hal ini menunjukkan bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amal dan ilmu adalah syarat untuk meluruskan perkataan dan amalan. Artinya, keduanya (perkataan dan amalan) tidak bermakna melainkan jika dilandasi oleh ilmu. Oleh karena itu, ilmu didahulukan daripada perkataan dan amalan, karena ilmu akan meluruskan niat dan niat akan meluruskan amalan. (Hasyiyah Tsalatsatil Ushul, hlm. 15)

Allah berfirman:
“Dan tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi sebagian dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan untuk kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122)

Dalam ayat ini Allah menjadikan amalan menuntut ilmu sama tingkatannya dengan amalan jihad di jalan Allah dan bahkan lebih utama dari jihad. Dikarenakan seorang tidak akan bisa menegakkan jihad, shalat, zakat, puasa, haji, umroh, dan ibadah-ibadah yang lainnya secara benar kecuali dengan ilmu. Maka ilmu merupakan pokok segala sesuatu, oleh karena itulah Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan maka Allah akan fahamkan ia tentang agama.”
(Syarh Riyadhus Shalihin lil ‘Utsaimin juz 2, hlm. 1470)

Datang seorang laki-laki kepada Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdirrahman, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Kemudian laki-laki tersebut kembali bertanya, “Amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Ilmu.” Laki-laki tersebut berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amalan apakah yang paling utama namun engkau menjawab ilmu.” Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, “Celaka kamu, sesungguhnya berilmu tentang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal, sedangkan kebodohan tentang Allah maka tidak akan memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sedikit dan banyaknya amal.” (Syarh Shahih al-Bukhari  li Ibni Bathal juz 1, hlm. 133)

Allah berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Ankabut: 69)

Asy-Syaikh As-Sa'di berkata dalam Tafsir-nya:
دل هذا، على : أن أحرى الناس بموافقة الصواب أهل الجهاد، و على أن من أحسن فيما أمر به أعانه اللّه ويسر له أسباب الهداية، و على أن من جد واجتهد في طلب العلم الشرعي، فإنه يحصل له من الهداية والمعونة على تحصيل مطلوبه أمور إلهية، خارجة عن مدرك اجتهاده، وتيسر له أمر العلم، فإن طلب العلم الشرعي من الجهاد في سبيل اللّه، بل هو أحد نَوْعَي الجهاد، الذي لا يقوم به إلا خواص الخلق، وهو الجهاد بالقول واللسان، للكفار والمنافقين، والجهاد على تعليم أمور الدين، وعلى رد نزاع المخالفين للحق، ولو كانوا من المسلمين
"Ini menunjukkan:
- bahwa orang yang paling pantas untuk (diberi taufiq) mencocoki kebenaran adalah ahlul jihad,
- bahwa siapa saja yang berbuat ihsan dalam hal yang diperintahkan maka Allah akan menolongnya dan Allah akan mudahan baginya sebab-sebab mendapatkan hidayah,
- bahwa siapa saja yang bersungguh sungguh dan bersemangat dalam THOLABUL ILMI SYAR’I maka akan sampai kepadanya al hidayah (petunjuk) dan al ma’unah (pertolongan) untuk mendapatkan apa yang diinginkan, demikian ini adalah urusan dan kuasa Allah, di luar jangkauan kesungguhannya. Dan Allah akan mudahkan baginya perkara ilmu, karena THOLABUL ILMI SYAR’I adalah termasuk jihad fiisabilillah, bahkan salah satu dari dua macam jihad yang tidak akan bisa menegakkannya kecuali orang orang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan menghadapi orang kafir dan munafik, dan mengajarkan perkara-perkara agama serta membantah penyimpangannya orang-orang yang menyelisihi al haq walaupun mereka dari kalangan orang islam."

Al-Allamah Ibnu Utsaimin berkata: "Sesungguhnya dalam upayamu menyebarkan ilmu, berarti menyebarkan agama Allah. Dengan itu kamu menjadi termasuk MUJAHIDIN FI SABILILLAH. Karena kamu telah membuka hati hati (para manusia) dengan ILMU. Sebagaimana para mujahidin membuka negeri-negeri dengan senjata dan iman." (Syarh Doa Qunut Witir, hlm. 12)

Allah berfirman:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadalah: 11)

Allah berfirman:
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.” [HR. Ibnu Majah no. 220 dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻳُﻔَﻘِّﻬْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ
“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk mendapatkan kebaikan, Allah faqihkan di dalam Agama.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 69, 2884, 6768 dan Muslim no. 1718, 1721 dari shahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺳَﻠَﻚَ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﻳَﻠْﺘَﻤِﺲُ ﻓِﻴﻪِ ﻋِﻠْﻤًﺎ، ﺳَﻬَّﻞَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﺑِﻪِ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.” [HR. Al-Imam Muslim no. 4867 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀَ ﻭَﺭَﺛَﺔُ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀَ ﻟَﻢْ ﻳُﻮَﺭِّﺛُﻮﺍ ﺩِﻳﻨَﺎﺭًﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺩِﺭْﻫَﻤًﺎ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻭَﺭَّﺛُﻮﺍ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ، ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﻪِ ﺃَﺧَﺬَ ﺑِﺤَﻆٍّ ﻭَﺍﻓِﺮ
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Dan barangsiapa mengambil warisan tersebut berarti dia telah mengambil bagiannya yang terbanyak.” [HR. Al-Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi dari shahabat Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia maka akan terputus darinya amalannya kecuali 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 4843)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ العَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الحِيتَانُ فِي المَاءِ
“Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan ampunan baginya oleh para penduduk langit dan penduduk bumi bahkan hewan yang hidup di air.” (HR. at-Tirmidzi no. 2606 dan Abu Dawud no. 3157)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri kecuali kepada 2 golongan: orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa harta yang kemudian dibelanjakan di jalan kebenaran, dan orang yang diberikan nikmat oleh Allah berupa ilmu yang kemudian diamalkan dan diajarkan kepada yang lainnya.” (HR. al-Bukhari no. 71)

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu. Karena mencarinya adalah ibadah, mempelajarinya karena Allah merupakan amal kebaikan, mencurahkannya bagi pemilik ilmu adalah taqarrub, mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak berilmu adalah shadaqah, membahasnya adalah jihad, dan mengingat-ingatnya adalah tasbih.”
[ad-Dailami 2238, Tadzkirah as-Sami' 35, Majmu' al-Fatawa IV/42 ]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Berkata al-Baihaqi rahimahullah: “Tidaklah ada derajat setelah kenabian yang lebih utama dari derajat ilmu.” [al-Madkhal: 378]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu berkata, “Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, sebelum ilmu itu diangkat. Diangkatnya ilmu tersebut adalah dengan perginya (wafatnya) para ‘ulama. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu, karena kalian tidak tahu kapan dia butuh terhadap ilmu yang ada padanya. Kalian akan dapati orang-orang yang mengira sedang mengajak (berdakwah) kepada Kitabullah (al-Qur`an), padahal dia telah mencampakkan al-Qur`an tersebut ke belakang punggung mereka. Wajib atas kalian (mempelajari) ilmu.“
[ad-Darimi (143), Ibnu Wadhdhah (23), al-Ibanah I/324, al-Lalikai I/87]

Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، و رفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم، و إن أحدا لم يولد عالما، و إنما العلم بالتعلم
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan ilmu sebelum ilmu itu terangkat (hilang), dan terangkatnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, maka demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti ulama, karena keutamaan mereka (para ulama’). Sungguh seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan ‘alim (berilmu) dan sesungguhnya ilmu hanya bisa dicapai dengan belajar.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-Jami’ 1/152 dan lihatlah pada kitab Al-Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 142)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya yang paling pantas diberikan untuknya hari-hari yang istimewa, dan sesuatu tertinggi yang perlu dikhususkan dengan perhatian/semangat yang lebih adalah MENYIBUKKAN DIRI dengan ilmu-ilmu syar’iyyah yang diterima dari manusia terbaik (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Tidak ada seorang berakalpun yang meragukan bahwa poros ilmu-ilmu syar’i tersebut adalah pada Kitabullah (al-Qur`an) yang diikuti dan Sunnah Nabi-Nya. Adapun ilmu-ilmu lainnya, bisa jadi merupakan alat/sarana yang membantu untuk bisa memahami al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang harus dicari/dipelajari. Atau sesuatu yang sangat bertentangan dengan al-Qur`an dan as-Sunnah, maka itu merupakan sesuatu yang merugikan dan harus dihilangkan.”
[Muqaddimah Hadyu as-Sari]

Betapa indahnya perkataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
ﻛﻞُّ ﺍﻟﻌُﻠُﻮﻡِ ﺳِﻮﻯ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺸْﻐَﻠَﺔٌ ... ... ... ﺇﻻَّ ﺍﻟﺤَﺪﻳﺚ ﻭَﻋِﻠْﻢِ ﺍﻟﻔِﻘْﻪِ ﻓﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ
ﺍﻟﻌﻠﻢُ ﻣﺎ ﻛﺎﻥَ ﻓﻴﻪ: ﻗﺎﻝَ، ﺣﺪﺛﻨﺎ ... ... ... ﻭَﻣَﺎ ﺳِﻮﻯ ﺫَﺍﻙَ ﻭَﺳْﻮَﺍﺱُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦِ
“Setiap ilmu selain al-Quran hanya menyibukkan saja (sia-sia)…
kecuali ilmu hadits dan ilmu fiqh dalam agama…
Ilmu yang padanya; berkata (perawi) Haddatsana (telah menyampaikan hadits kepada kami)…
Adapun selain itu maka itu hanyalah keragu-raguan dari syaithan.”

###

Fadhilatu al-Allamah al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir as-Sadi semoga Allah merahmati beliau

Beliau berkata:
فيا أيها المعرضون عن طلب العلم ! ما هو عُذركم عند الله ، وأنتم في العافية تتمتعون !؟ وماذا يمنعكم منه وأنتم في أرزاق ربكم ترتعون !؟ أترضون لأنفسكم أن تكونوا كالبهائم السائمة !؟ أتختارون الهوى على الهدى والقلوب منكم ساهية هائمة !؟ أتسلكون طرق الجهل وهي الطرق الواهية ، وتَدَعُون سُبُل الهدى وهي السُّبُل الواضحة النافعة !؟
Wahai orang-orang yang berpaling dari menuntut ilmu! Apa udzur (alasan) kalian di sisi Allah, sedangkan kalian dalam keadaan  sehat walafiat dan bersenang-senang!?
Apa yang menghalangi kalian darinya (dari menuntut ilmu agama), padahal kalian dalam keadaan diberi rizki oleh Rabb kalian (sehingga) kalian bisa menggembala (binatang ternak kalian)!?
Apakah kalian rela atas diri-diri kalian untuk (disamakan) menjadi seperti binatang ternak yang digembalakan bebas!?
Apakah kalian lebih memilih hawa nafsu daripada petunjuk, padahal hati-hati kalian dalam keadaan lalai dan bingung!?
Apakah kalian hendak menempuh jalan-jalan kebodohan, padahal itu adalah jalan yang lemah, sedangkan kalian meletakkan jalan-jalan petunjuk, padahal itu adalah jalan yang terang lagi bermanfaat!?
أترضى إذا قيل لك : مَن رَبُّكَ وما دينك ومَن نبيك لم تحر الجواب !؟ وإذا قيل : كيف تصلي وتتعبد أجبت بغير الصواب !؟ وكيف تبيع وتشتري وتعامل وأنت لم تعرف الحلال من الحرام !؟ أمَا والله إنها حالةٌ لا يرضاها إلا أشباه الأنعام
Apakah engkau rela jika dikatakan kepadamu: Siapa Rabbmu, apa agamamu, dan siapa Nabimu, engkau tidak mampu menjawab!?
Dan jika dikatakan: Bagaimana tata cara sholat dan beribadah, engkau menjawab dengan jawaban yang tidak benar!?
Juga bagaimana engkau akan berjual-beli dan bermuamalah, sedangkan engkau tidak mengerti yang halal dari yang haram!?
Demi Allah, sesungguhnya tidak akan ada yang rela dengan keadaan ini melainkan hanya orang-orang yang serupa dengan binatang ternak.
فكونوا رحمكم الله متعلمين ، فإن لم تفعلوا فاحضروا مجالس العلم مستمعين ومستفيدين ، واسألوا أهل العلم مسترشدين متبصرين ، فإن لم تفعلوا وأعرضتم عن العلم بالكلية فقد هلكتم وكنتم من الخاسرين
Maka -semoga Allah merahmati kalian- hendaknya kalian menjadi orang-orang yang mempelajari ilmu, jika kalian tidak mampu melakukannya, maka hadirlah di majelis ilmu sebagai mustami (orang yang menyimak) dan mengambil faidah darinya, serta bertanyalah kepada ahli ilmu agar kalian memperoleh petunjuk dan keterangan yang jelas.
Namun, jika kalian tidak mau melakukannya dan berpaling dari ilmu secara keseluruhan, maka sungguh kalian telah binasa dan termasuk ke dalam orang-orang yang merugi.
أما علمتم : أنَّ الاشتغال بالعلم مِن أَجَّلِ العبادات ، وأفضل الطاعات والقربات ، ومُوجِبٌ لِرِضَى رَب الأرض والسماوات . ومجلس علم تَجلِسُهُ خيرٌ لك مِن الدنيا وما فيها ، وفائدة تستفيدها وتنتفع بها لا شيء يزنها ويساويها !؟ فاتقوا الله عباد الله ، واشتغلوا بما خلقتم له من معرفة الله وعبادته
Tidakkah kalian telah mengetahui, bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah termasuk dari ibadah yang paling mulia, termasuk dari ketaatan dan bentuk pendekatan diri (kepada Allah) yang paling afdhol, serta akan beroleh keridhoan Rabb bumi dan langit (Allah), sedangkan majelis ilmu, engkau duduk di sana lebih baik daripada dunia dan seisinya, serta faidah yang engkau petik darinya dan kemanfaatan yang engkau peroleh dengannya, tidak ada suatu apapun yang dapat mengimbangi dan menyamainya!?
Maka bertakwalah wahai hamba Allah, sibukkanlah diri kalian dengan apa-apa yang menjadi tujuan penciptaan kalian dari mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya.
وسَلُوا ربكم أن يُمدكم بتوفيقه ولطفه وإعانته . أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ
Serta mintalah kepada Rabb kalian agar Allah memberikan taufik, perlindungan, dan penjagaan-Nya kepada kalian.
Allah berfirman: Ataukah orang yang beribadah di waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, ia takut akan akhirat dan mengharap rahmat dari Rabbnya. Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu? Hanyalah orang-orang yang berakal yang mau mengingat.

Sumber:
Kitab al-Fawakihusy Syahiyyah fil Khuthobil Minbariyyah (no. 66)

Pengirim artikel:
Yang mencintai kalian, Abu Bakr bin Yusuf asy-Syarif

ajurry .com/vb/showthread .php?t=42232goto=newpost

Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy Indonesia

Forum Salafy Indonesia

###

Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala

Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau [1] mengatakan:

Ilmu Syar’i adalah:
- Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi;
- Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih;
- Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’);
- Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi).

Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.”

Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan dipahamkan tentang urusan agamanya.”

Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad,
” لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، أَلَّا يَسْأَلَنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلَ مِنْكَ، لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ
“Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.”

Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah.

Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, di mana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orang-orang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (Maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum.

Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul As-Sittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala.

Admin Warisan Salaf

Sumber: warisansalaf .com

Footnote:
[1] Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul).

###

Asy Syaikh Zaid bin Muhammad al Madkhaly حفظه الله

Pertanyaan:
ما هي نصيحتكم للشاب الملتزم حديثاً؟ وما هي الكتب التي تنصحون بقراءتها؟ وهل هناك جدول مقترح منكم بشأن تدريسه؟
Apa nasehat anda bagi para pemuda yang berpegang teguh dengan syariat Islam di masa sekarang ini? Buku-buku apa yang anda nasehatkan untuk membacanya? Dan adakah di sana jadwal yang anda sarankan terkait kondisi pengajarannya?

Jawaban:
أولاً: الشاب الملتزم يحمد الله عز وجل على توفيقه له بالالتزام بشريعة الإسلام التي على رأسها إقامة الفرائض واجتناب المحرَّمات والوقوف عند حدود الله
Pertama: Pemuda yang berpegang teguh dengan syariat Allah sudah seharusnya memuji Allah Azza wa Jalla atas limpahan taufik-Nya berpegang teguh dengan syariat Islam yang pokok utamanya adalah menegakkan berbagai kewajiban, menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan berhenti di atas batasan-batasan yang telah Allah gariskan.
ثانياً: إنه لا يستغني عن العلماء، علماء الشرع السائرين على نهج السلف عقيدة وشريعة، لا يستغني، لأن العالم هو الذي يوجِّه ويقتدي به التلميذ، وهذه سُنَّة السلف لا بد من الطلب على أشياخ حتى لا ينفرد بنفسه، فيجهل بعض الأمور أو يعرفها على غير معناها. وفي الحكمة قالوا: مَنْ دخل في العلم وحده خرج وحده. أي من دخل في العلم بدون شيخ، خرج بدون علم
Kedua: Ia selalu butuh terhadap para ulama, ulama syari yang berjalan di atas manhaj salaf baik secara akidah (keyakinan)  maupun syariat. Ia selalu butuh kepada mereka. Karena seorang alim, dialah yang akan membimbing dan menjadi panutan bagi para pelajar. Dan ini merupakan sunnah salaf. Harus menuntut ilmu kepada para syaikh (ulama) supaya tidak menyendiri dengan dirinya sehingga menjadi jahil pada sebagian perkara atau mengetahuinya namun tidak sesuai dengan makna yang diinginkan. Dalam sebuah kata-kata hikmah, mereka mengatakan:
من دخل ف العلم وحده خرج وحده
Barang siapa masuk ke dalam ilmu sendirian, niscaya ia akan keluar sendirian.
Yaitu siapa saja masuk ke dalam ilmu (sendirian) tanpa seorang guru, maka ia akan keluar (sendirian) tanpa ilmu.
وثالثاً: الكتب تؤخذ بالتدرج بحسب مستوى طالب العلم، فهذا طالب مبتدئ يحتاج إلى المختصرات في الفنون الشرعية واللغوية والوسائل، وهذا طالب متوسط يحتاج إلى فنون، وطالب قوي في معلوماته يحتاج أن يترقى من المختصرات إلى المطولات وإلى الشروح، وهكذا الطريق في سير طلب العلم. نعم
Ketiga: Kitab-kitab itu dipelajari secara bertahap sesuai dengan tingkatan sang penuntut ilmu. Ini pelajar yang baru, butuh kepada kitab-kitab yang ringkas di bidang-bidang syariyyah, bahasa, dan ilmu-ilmu alat. Ini pelajar mutawasith (menengah), butuh kepada berbagai bidang keilmuan. Dan penuntut ilmu yang kuat pengetahuannya, butuh naik tingkatan dari yang mukhtashar (ringkas) kepada yang muthawwalat (meluas) dan syarah (penjelasan-penhelasan). Demikian jalan dalam menuntut ilmu. Naam.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=134548#entry656318

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Pertanyaan: Apakah dalam belajar kita hanya mencukupkan diri dengan mempelajari ilmu syar’i (ilmu agama), tidak belajar ilmu dunia?

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i menjawab:

“Ilmu yang wajib untuk kita pelajari dan kita dahulukan adalah ilmu syar’i. Ilmu inilah yang Allah 'Azza wa Jalla wajibkan atas anda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻃَﻠَﺐُ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﻳْﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.”
Bila anda ingin mengerjakan shalat sebagaimana shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pelajari ilmunya sebelum anda mempelajari kimia, fisika, dan selainnya. Bila ingin berhaji, anda harus mengetahui bagaimana manasik haji yang ditunaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam masalah akidah dan pembayaran zakat. Bila ingin melakukan transaksi jual beli, semestinya anda pelajari hukum jual beli sebelum anda mempelajari kimia, fisika dan selainnya. Setelah anda pelajari perkara yang memberikan manfaat kepada anda dan anda mengenal akidah yang benar, tidak apa-apa bagi anda mempelajari ilmu yang mubah yang anda inginkan.

Akan tetapi bila anda diberi taufiq, dikokohkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dan dijadikan anda cinta terhadap ilmu yang bermanfaat, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka teruslah mempelajarinya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya maka Allah faqihkan (pahamkan) dia dalam agama.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Berpalinglah engkau dari orang yang enggan berzikir kepada Kami dan ia tidak menginginkan kecuali kehidupan dunia. Yang demikian itu merupakan kadar ilmu yang mereka capai.” (An-Najm: 29-30)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sementara mereka lalai dari akhirat.” (Ar-Rum: 7)

Bila seseorang telah mempelajari ilmu yang wajib baginya, kemudian setelah itu ia ingin belajar kedokteran, teknik, atau ilmu lainnya maka tidak mengapa. Kita sedikitpun tidak mengharamkan atas manusia apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan untuk mereka. Akan tetapi sepantasnya ia mengetahui bahwa kaum muslimin lebih butuh kepada orang yang dapat mengajari mereka agama yang murni sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih butuh kepada orang yang alim tentang agama ini daripada kebutuhan mereka terhadap ahli teknik, dokter, pilot, dan sebagainya. Dengan keberadaan ulama, kaum muslimin diajari tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang apa yang sepantasnya dilakukan oleh seorang dokter, dan seterusnya. Sebaliknya jika tidak ada yang mengajarkan kebenaran (agama) kepada kaum muslimin, mereka tidak dapat membedakan mana orang yang alim dan mana ahli nujum. Mereka tidak tahu apa yang sepantasnya dilakukan oleh ahli teknik. Mereka tidak dapat membedakan antara komunis dengan seorang muslim.

Dengan demikian, wahai saudaraku, rakyat yang bodoh ini butuh kepada ulama untuk menerangkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka dan mengajari mereka kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”

[Ijabatus Sa`il ‘ala Ahammil Masa`il, hal. 300-301]

###

Samahatusy Syaikh al-Walid al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz

Telah didapati dalil-dalil tentang pahala yang akan diperoleh orang yang membaca Al-Qur’anul Karim. Yang jadi pertanyaan kami, adakah pahala yang didapatkan dalam membaca hadits-hadits Nabi? Berilah kami jawaban, barakallahu fikum.

Jawab: 

“Ya, membaca ilmu syar’i seluruhnya ada pahalanya. Mempelajari ilmu dan menuntut ilmu termasuk jalan Al-Qur’an dan termasuk jalan As-Sunnah, sehingga mengandung pahala yang besar. Ilmu itu diambil dari Al-Qur’an dan dari As-Sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Utsman ibnu Affan)
Terdapat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
اقْرَؤُوْ الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu anhu)
Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ –وَادِي فِي الْمَدِيْنَةِ– أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِي مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، نُحِبُّ ذلِكَ. قَالَ: أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ
“Siapa di antara kalian suka pergi setiap pagi harinya ke Buthhan —sebuah wadi/lembah yang ada di Madinah— atau ke Aqiq lalu ia pulang dari tempat itu membawa dua unta betina yang besar tanpa melakukan dosa dan memutus hubungan rahim?” Kami menjawab, “Wahai Rasulullah, kami menyukai hal tersebut.” Beliau bersabda, “Tidakkah salah seorang dari kalian pergi ke masjid lalu di sana ia mempelajari atau membaca dua ayat dari Kitabullah, itu lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga ayat lebih baik daripada tiga unta, empat ayat lebih baik daripada empat unta. Dan lebih baik daripada hitungan/jumlah yang sama dari unta.” (HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Uqbah bin Amir)
Atau sebagaimana disabdakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini menunjukkan keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an. Dalam hadits Ibnu Mas’ud  disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَة، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka ia akan beroleh satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali kebaikan.” *) (HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, disahihkan al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir)
Demikian pula ketika seorang mukmin mempelajari As-Sunnah. Ia membaca hadits-hadits dan mengajarkannya, ia akan mendapatkan pahala yang besar, karena yang dilakukannya termasuk mempelajari ilmu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Ini menunjukkan, mempelajari ilmu dan menghafal hadits-hadits serta mengingat-ingatnya/mengulang-ulanginya termasuk sebab masuknya seseorang ke dalam surga dan selamat dari api neraka. Demikian pula ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّقْهُ فِي الدِّيْنِ
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan baginya niscaya Allah akan pahamkan (faqihkan) ia tentang agama ini.” (Muttafaqun alaihi)
Tafaqquh fid din (memahami agama) termasuk jalan Al-Qur’an dan termasuk jalan As-Sunnah. Tafaqquh dalam As-Sunnah termasuk tanda bahwa Allah Subhanahu wa Taala menginginkan kebaikan pada si hamba, sebagaimana tafaqquh dalam Al-Qur’an merupakan tanda akan hal tersebut. Dalil-dalil tentang hal ini banyak, walhamdulillah. 
(Fatawa Nurun ‘alad Darb, al-Aqidah, hlm. 11—12)

*) Kelengkapan haditsnya:
لاَ أَقُوْلُ : {الم} حَرْفٌ، وَلكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Aku tidaklah mengatakan alim laam miim itu satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”

Sumber: Asy Syariah Edisi 064

###

Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi azh-Zhafiri hafizhahullah

Beliau hafizhahullah berkata:
فعلى طالِبِ العلم أنْ يجمعَ بين الأمريْن، بل يجمع بين ثلاثةِ أُمور وهي السُّبل لتحصيل العلم، والثلاثةُ أُمور هي: القراءة، والحفظ، والاستِماع
Wajib atas Penuntut Ilmu Syari untuk memenuhi dua hal, atau bahkan tiga perkara yang merupakan jalan untuk mendapatkan Ilmu.
Tiga perkara tersebut adalah:
1. Membaca,
2. Menghafal,
3. Mendengar.
القراءة: فيكُون له نصيبٍ مِن قراءة الكُتب، وتلخيصها، ودراستِها، لا بُدَّ أنْ يكون لطالبِ العلم وِردٌ يوميٌّ في القراءة، ويختار ما يُناسبه، ويُناسبُ مُستواه العلميِّ، فلا ينتقل إلى أرفع مِن مُستواه فتحدُثُ عنده الإشكالات على ما سيأتي بيانه إنْ شاء الله، فأوَّلا القراءة
MEMBACA
Hendaknya dia menyediakan waktu untuk membaca kitab-kitab (para ulama). Juga meringkasnya, dan mempelajarinya.
Wajib baginya untuk menyediakan jadwal harian untuk membaca dan memilih kitab yang sesuai dengan kemampuan ilmiyahnya. Janganlah dia beranjak ke kitab dengan tingkatan yang lebih tinggi, sehingga ia mengalami berbagai masalah yang akan kami jelaskan nanti Insya Allah.
وكذلك لا بُدَّ أنْ يكون له نصيب مِن الحفظ: وأوَّله كتاب الله سُبحانه وتعالى، لا بُدَّ لطالب العلم أنْ يجتهد في حفظ كلام الله عزَّ وجلَّ، وأنْ يكون له صِلةٌ مع القُرآن، ووِردٌ مع كتاب الله عزَّ وجلَّ حتَّى لا يدخُل في قول الله عزَّ وجلَّ: وَقَالَ الرَّسُول يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآن مَهْجُورًا [الفرقان: 30]، وكذلك يحفظ ما يتيسَّر مِن المتون على التَّدرُّج في الفنون
MENGHAFAL
Begitupula ia juga harus menyediakan jadwal untuk menghafal.
Pertama kali yang harus dia hafal adalah Kitabullah Subhanahu wa Taala. Dia harus bersungguh-sungguh menghafalkan Kalamullah Azza wa Jalla (Al-Quran). Dia harus selalu memiliki hubungan dengan Al-Quran dan punya jadwal untuk membacanya sehingga ia tidak termasuk dalam firman Allah:
(Artinya:) Rasul shalallahu alaihi wa sallam berkata: Wahai Rabbku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sebagai sesuatu yang ditinggalkan. [Surat Al-Furqan: 30]
Begitupula ia menghafalkan matan-matan ilmiah di berbagai bidang studi yang mudah baginya dan secara berurutan.
وكذلك الأمر الثَّالث: وهو الاستِماع، لا يكُن شيخك فقط الكتاب، وهذا واقعٌ مُشاهَدٌ، نجدُ كثيرًا مِمَّن كان عصامِيَّا ـ كما يُقال ـ لا يحرص على حُضور دُروس أهل العلم، ولا ثَنْيِ الرُّكب عندهم، ولا التَّعلُّم مِن شيوخ السُّنَّة؛ تجده في نهاية الأمر تحدثُ عنده الضَّلالات والبدع والانحرافات وهو لا يشعر، ويظنُّها حقًّا
MENDENGARKAN
Janganlah yang menjadi syaikhmu (gurumu) adalah kitab saja. Ini adalah realita nyata yang dijumpai. Hal ini banyak kita dapatkan pada orang otodidak (belajar sendiri tanpa guru) katanya ternyata tidak semangat menghadiri durus (pelajaran-pelajaran) yang disampaikan oleh para Ulama, tidak pula duduk di hadapan mereka, tidak pula belajar dari Para Masyaikh Sunnah.
Kau dapati hasil akhirnya bermunculan darinya berbagai kesesatan, kebidahan, penyimpangan dalam keadaan ia tidak menyadari, bahkan menyangkanya sebagai Al-Haq.
فهذا هو الأصل، لذلك جاء عن مالك رحمه الله تعالى أنَّه قال: لا يُؤخذ العلم مِن ثلاث، وذكر مِنهم قال: ومَن لم يُعرف بالرِّحلة في طلب الحديث
Inilah prinsipnya. Maka dari itu, terdapat atsar dari Al-Imam Malik rahimahullah: "Ilmu tidaklah diambil dari 3 golongan."
Di antaranya beliau sebutkan: "Orang-orang yang tidak dikenal pernah rihlah (bepergian) untuk belajar hadits."
ما معنى الرِّحلة في طلب الحديث؟ معناها لِقاءُ أهل العلم، والدِّراسة عليهم
Apa maksudnya RIHLAH fii thalabil hadits? Maknanya adalah : BERJUMPA dengan para Ulama dan BELAJAR LANGSUNG di bawah bimbingan mereka.
وهذا الأمر يا إخوة مثلُ ما قُلنا تيسَّر في زماننا هذا أكثر مِمَّا هو مُتيسِّرٌ فيما مضى، الإمام أحمد رحمه الله تعالى كما هو معلومٌ أنَّه مِن أهل بغداد مِن العراق، رحل إلى الفضل بن دُكيْن في اليمن ومعه يحيى بن معين، فرحلُوا وكان الموسم موسم حجٍّ، فقالوا نذهب إلى الحرميْن فنحُجُّ، ونلتقي بعُلماء الحرم، ثُمَّ نرحل إلى اليمن
Hal ini, wahai saudara-saudaraku seperti yang aku jelaskan, kemudahan di zaman kita sekarang lebih banyak daripada kemudahan di masa lalu. Al-Imam Ahmad rahimahullah -sebagaimana kita diketahui- termasuk penduduk kota Baghdad, Irak. Beliau pergi (rihlah) ke Yaman belajar kepada Al-Fadhl bin Dukain bersama Al-Imam Yahya bin Main rahimahullah. Mereka berangkat, dan ketika itu sedang musim haji. Mereka berkata: "Kita akan pergi ke Negeri Haramain, lalu berhaji. Kita akan menemui para Ulama Negeri Haram (untuk menimba ilmu kepada mereka), kemudian kita akan melanjutkan pergi ke Yaman."
انظر إلى الرِّحلة! طويلةٍ، يجلِسون أشهر، بل يتجاوزون السَّنة، رحلوا إلى اليمن، فيسَّر اللهُ عزَّ وجلَّ لهم الفضل حاجًّا تلك السَّنة، فقال يحيى: يسَّر اللهُ عزَّ وجلَّ عنَّا تلك الرِّحلة، فنأخذ العلمَ مِنه هُنا، قال الإمام أحمد ـ وهذه الهِمَّة والعزيمة على الرِّحلة ـ، قال: لا أقطع نيَّة نويتُها لله، بل نرحلُ إلى اليمن معه، فرحلُوا إلى اليمن معه رحمه الله
Perhatikanlah rihlah tersebut. Perjalanan yang panjang. Mereka duduk (di hadapan syaikh yang menjadi tujuan rihlahnya) berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mereka rihlah ke Yaman.
Allah Azza wa Jalla memberi kemudahan Al-Fadhl pula berhaji pada tahun tersebut. Al-Imam Yahya rahimahullah berkata: "Allah memudahkan untuk kita rihlah tersebut. Kalau begitu kita mengambil ilmu darinya (Fadhl bin Dukain) di sini saja."
Maka Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan ini menunjukkan pada tekad dan keinginan yang bulat untuk rihlah: "Aku tidak akan memutuskan niatku yang telah aku niatkan untuk Allah. Kita akan tetap melanjutkan rihlah ke Yaman bersamanya (Fadhl bin Dukain)."
Mereka pun akhirnya rihlah ke Yaman bersama Al-Fadhl bin Dukain rahimahullah.
والأمثلة على ذلك كثيرة، في عصرنا هذا الإذاعات، العُلماء موجودون تسمع لهم إنْ لم يتيسَّر لك، مع الحرص الشَّديد لطالب العلم على لقاء أهل العلم، خُصوصًا مع قِلَّتهم في هذا الزَّمان الَّذين عُرِفوا بالعقيدة الصَّافية والمنهج السَّلفيِّ، فتحرص على لِقائهم، والرِّحلة لهم، إنْ لم يتيسَّر ذلك فإذاعات أهل السُّنَّة وأشرطتهم مُتيسِّرة، تسمع، وتقرأ لكُتبهم، وشُروحهم، أنْ يكون لك ارتِباط بأهل العلم
Contoh yang semisal ini banyak.
Di masa kita sekarang ada berbagai radio. Para Ulama ada. Dengarkan (siaran muhadharahnya) jika kau belum bisa berjumpa langsung dengan mereka. Dengan tetap diiringi semangat yang tinggi untuk berjumpa dan belajar di bawah bimbingan mereka. Terkhusus sedikitnya jumlah mereka di zaman ini yang diketahui berakidah bersih dan bermanhaj dengan Manhaj Salafus Shalih.
Bersemangatlah untuk berjumpa dan pergi belajar (rihlah) kepada mereka.
Jika hal tersebut belum bisa engkau lakukan, maka radio-radio Ahlussunnah (yang menyiarkan pelajaran-pelajaran para Ulama) dan rekaman-rekaman mereka begitu mudah didapat.
Dengarkanlah dan bacalah kitab-kitab mereka beserta syarahnya. JALINLAH HUBUNGAN DENGAN AHLUL ILMI.
فإذًا الاعتِماد على الكُتب دون الرُّجوع إلى أهل العلم مِن العوائق الَّتي لا تجعل طالبَ العلم يصِلُ إلى مرتبة العُلماء، يقول سُليمان بن موسى الفقيه رحمه اللهُ تعالى: كانوا يقولون لا تأخذ القُرآن عن المُصحَفيِّين، ولا العلم عن الصُّحُفيِّين، وأيضًا قالوا: لا يُؤخذ القُرآن عن مُصحَفيِّ، ولا العلم عن صُحُفيٍّ
Maka, bersandar semata kepada kitab, tanpa merujuk kepada Para Ulama, termasuk rintangan yang menghalangi seorang Penuntut Ilmu untuk sampai kepada tingkatan Ulama.
Sulaiman bin Musa Al-Faqih rahimahullah berkata: "Dahulu mereka (Salaf) berkata: Jangan kalian mengambil Al-Quran (mempelajari) dari Mushafiyyin, jangan pula mengambil ilmu dari Suhufy."
المُصحَفيُّ: معناه الَّذي تعلَّم القُرآن دون الرُّجوع إلى القُرَّاء، والاستِماع لهم، فهذا تجد عنده أخطاءً في القِراءة الَّذي تعلَّم القِراءة مِن المُصحف
Al-Mushafiy: maknanya adalah orang yang mempelajari Al-Quran tanpa merujuk kepada Al-Qurra (orang yang berilmu tentang Al-Quran), juga tidak mendengarkan darinya. Engkau akan mendapati beragam kesalahan pada orang-orang yang belajar Al-Quran hanya dari mushaf.
وكذلك الَّذي تعلَّم العلم مِن الصُّحفي، الصُّحف المقصود بها الأوراق يعني الكُتب، دون الرُّجوع إلى العُلماء
Demikian juga orang yang belajar dari Suhufy. Suhuf yang dimaksud adalah kumpulan kertas yaitu kitab-kitab, tanpa merujuk kepada Para Ulama.
فهؤلاء لا يُؤخذ العلم عنهم، فينبغي على طالب العلم أنْ يحرص على هذا الباب.
Tidaklah diambil ilmu dari mereka. Seyogyanya bagi Penuntut Ilmu untuk bersemangat dalam bab ini.

Sumber:
www .ajurry .com/vb/showthread .php?t=42839

Daurah Nasional Asy-Syariah ke-11

###

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah dalam Syarah Tsalatsatil Ushul berkata,
"... Seseorang tidak boleh menjadi muridnya para kitab, sebagaimana fenomena ini telah terjadi di masa sekarang.
Karena orang yang belajarnya hanya lewat kitab-kitab akan sangat membahayakan.
Akan banyak menimbulkan dampak kerusakan.
Orang yang sok tahu itu lebih berbahaya dibanding orang bodoh.
Karena orang bodoh akan sadar bahwa dirinya itu bodoh dan tentunya dia akan menahan diri pada batas kadarnya.
Akan tetapi orang yang sok tahu akan menganggap dirinya sebagai orang yang punya ilmu.
Sampai akhirnya dia pun akan menghalalkan sesuatu apa yang Allah haramkan dan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan.
Orang yang sok tahu ini pun juga akan berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Permasalahan ini sangat berbahaya!"
(Dinukil dari Jami'usy Syuruh Tsalatsatil Ushul, hal. 70, cet. Dar Ibnil Jauzi 2012)

###

Al Allamah al Fadhil Abdullah al Bukhary hafizhahullah

Tahukah Anda, Ada Orang Awam di antara Para Penuntut Ilmu?
أولا تعلمون هذا؟ ولو انتسب إلى طلب العلم فليس كل من انتسب إلى طلب العلم هو من أهله، ولذلك هم درجات متفاوتون ولاترتفع عنك العامية بكونك لك سنة ولاسنتين ولاعشرة ولاعشرين في الطلب أبدا لا ترتفع بهذا. إنما ترتفع العامية عنك بسلوكك سبيل العلماء في الأخذ والتلقي والعمل والإستدلال والسير على هذا السنن وأن تعرف قدر نفسك بهذا نقول ترتفع عنك العامية شيئا فشيئا وماتواضع عبد لله إلا رفعه الله وكلما ازداد المرء علما ازداد لله تواضعا فإذا مارأيت العكس علمت أنك لازلت في الأسفل ماارتفعت بعد. نسأل الله السلامة والعافية
Tidakkah Anda mengetahui hal ini? Meskipun seseorang menisbatkan diri kepada thalabul ilm (sebagai seorang penuntut ilmu syar’i), namun tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada thalabul ilm berhak terhadapnya. Oleh karena itu mereka bertingkat-tingkat, berbeda-beda keadaannya. Tingkatan ‘awam’ tidak akan terangkat selamanya dari diri Anda hanya dengan menempuh satu atau dua atau sepuluh dua puluh tahun menuntut ilmu. Label ‘awam’ ini tidak akan terangkat dengan lama belajar seseorang. Label ini hanya akan terangkat dari diri Anda bila Anda mengambil metode para ulama di dalam mengambil ilmu, talaqqi, beramal, mengambil dalil, menempuh jalan ini, dan dengan Anda mengetahui kadar diri Anda. Dengan ini kami katakan, keawaman baru akan terangkat dari diri Anda, sedikit demi sedikit.
Dan tidaklah seorang hamba Allah bersikap tawadhu’ melainkan pasti Allah akan mengangkatnya. Setiap kali bertambah ilmu seseorang, bertambah pula tawadhu’nya karena Allah. Jadi ketika Anda melihat keadaan yang sebaliknya (pada diri Anda), Anda mengetahui bahwa Anda terus berada pada derajat terendah dan tidak akan terangkat setelahnya. Kita memohon keselamatan dan ampunan kepada Allah.

Miratsul Anbiya, petikan dari an-Nashihah bit-Tatsabbut fi Naqlil Akhbar wa ‘Adamit Tashaddur fin-Nawazil wal-Masail al-Kibar

Sumber:
m-noor .com/showthread .php?p=39856

Alih bahasa:
BBM Qonitah Menyapa