Cari Blog Ini

Senin, 08 September 2014

Tentang MENCELA DAN MERENDAHKAN PEMERINTAH

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﺋِﻦٌ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﺎ ﺗُﺬِﻟُّﻮﻩُ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳُﺬِﻟَّﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﻠَﻊَ ﺭِﺑْﻘَﺔَ ﺍْﻹِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻣِﻦ ﻋﻨُﻘِﻪِ
“Sesungguhnya akan ada setelahku penguasa, maka janganlah kalian merendahkannya. Siapa yang hendak merendahkannya, sungguh ia melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Ahmad dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu:
ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﻇِﻞُّ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻪُ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻫَﺎﻧَﻪُ ﺃَﻫَﺎﻧَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ
“Penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah akan menghinakannya pula.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah)

Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata, “Senantiasa umat manusia berada dalam kebaikan selama mereka memuliakan sulthan (pemimpinnya) dan para ulama. Karena apabila mereka memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Apabila mereka melecehkan keduanya, niscaya mereka akan mendatangkan kerusakan urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:ٌ
ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻛُﺒَﺎﺭَﺍﺅُﻧَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻟَﺎ ﺗَﺴُﺒُّﻮﺍ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀَﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻐُﺸُّﻮﻫُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺒْﻐِﻀُﻮﻫُﻢْ، ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﺻْﺒِﺮُﻭﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﻗَﺮِﻳﺐٌ
Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami (mencela penguasa) Mereka berkata: "Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488)

Dari shahabat Abud Darda’ radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata:
ﺃﻭﻝ ﻧﻔﺎﻕ ﺍﻟﻤﺮﺀ: ﻃﻌﻨﻪ ﻋﻠﻰ ﺇﻣﺎﻣﻪ
“Awal munculnya sifat nifak pada seseorang adalah (ketika) dia mencela pemimpinnya.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqy di dalam Syu’abul Iman, 9406)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menegaskan bahwa kewajiban semua orang adalah menahan kesalahan-kesalahannya (pemerintah) dan tidak boleh menyibukkan diri dengan mencelanya, tetapi hendaknya berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk waliyyul amri (pemerintah), sebab mencelanya justru akan menimbulkan kerusakan yang besar dan bahaya yang merata. (ad-Dur al-Mantsur)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Perkara ini (menghormati pemerintah) wajib mendapatkan perhatian serius, karena di sinilah letak kemaslahatan Islam dan muslimin. Kemaslahatan yang akan kembali kepada kaum muslimin dalam menghormati waliyyul amri (pemerintah) jauh lebih banyak dibandingkan kemaslahatan yang kembali kepada waliyyul amri (pemerintah) itu sendiri. Maka dari itu, mengetahui perkara ini dan mengamalkannya adalah hal yang dituntut. Sebab, kaum muslimin sangat membutuhkan persatuan dan kerja sama dengan waliyyul amr (pemerintah), terkhusus pada masa yang banyak keburukan seperti sekarang ini. Tidak sedikit dai yang justru mengajak kepada kesesatan. Mereka menyebarkan kejelekannya di tengah-tengah kaum muslimin dengan segala cara untuk merusak kewibawaan pemerintah dan melemahkan pemerintahan. Seluruh kaum muslimin hendaknya betul-betul memerhatikan hal ini. Apabila ada pihak yang ingin memecah belah urusan kaum muslimin dan menggunjing waliyyul amri (pemerintah), hendaknya dinasihati dan diberitahu bahwa hal ini tidak boleh, bukan jalan keluar dari problem.” (al-‘Ilam bi kaifiyyati Tanshibil Imam fil Islam)

Tentang MENJADI SUPORTER ATAU FANS NEGARA ATAU KLUB SEPAK BOLA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Kami memohon bimbingan dari Anda untuk mereka yang suka menjadi suporter klub-klub olahraga dari negara-negara kafir, sampai-sampai mereka ikut bersedih ketika klub idolanya mengalami kekalahan dan merasa girang jika mendapatkan kemenangan, bahkan sebagian mereka sampai memutus hubungan dan bermusuhan dengan suporter klub lain yang kafir tersebut. Dan jika saya nasehati mereka maka mereka menyanggahnya dengan mengatakan: “Kami hanya mendukung permainan dan para pemain saja.”

Asy-Syaikh:
Permainan dan pemainnya sama saja, apa faedahnya?! Ini semua termasuk perkara yang sia-sia. Apakah engkau mendukung sesuatu yang sia-sia dan mendukung sesuatu yang main-main?! Ini tidak pantas dilakukan oleh seorang mu’min. Yaitu dengan mendukung sesuatu yang main-main dan sia-sia, walaupun yang melakukannya adalah seorang muslim. Lalu bagaimana jika yang melakukannya adalah orang kafir. Ini semua merupakan sesuatu yang tidak ada gunanya, jadi tidak boleh.

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Termasuk musibah yang menimpa banyak kaum Muslimin di masa ini adalah menyaksikan pertandingan-pertandingan olahraga, menjadi suporternya, menjadi fansnya, dan mengharapkan kemenangan untuknya. Dan seringnya yang mereka dukung untuk adalah orang-orang kafir. Maka apakah perasaan semacam ini termasuk loyalitas kepada kepada orang-orang kafir dan mencintai mereka?

Asy-Syaikh:
Jika dia senang orang-orang kafir yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam permainan olahraga, maka hal ini merupakan bentuk kecintaan terhadap mereka. Jika dia senang mereka yang mendapatkan kemenangan walaupun dalam permainan olahraga, maka hal ini merupakan bentuk loyalitas terhadap mereka.

Sumber:
alfawzan[dot]af[dot]org[dot]sa

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Fadhilatus Syaikh, apa hukum menonton pertandingan sepakbola yang ditayangkan di televisi?

Jawaban:
Menurut pendapatku menonton permainan-permainan yang ditampilkan di televisi atau selainnya merupakan perkara yang menyia-nyiakan waktu. Seseorang yang berakal dan memiliki kepribadian yang kuat tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk perkara-perkara yang sama sekali tidak bermanfaat baginya, ini jika selamat dari keburukan lain. Kalau disertai dengan keburukan yang lain misalnya dengan adanya pengagungan terhadap pemain kafir di dalam hatinya, maka ini haram tanpa diragukan lagi. Karena tidak boleh bagi kita untuk mengagungkan orang-orang kafir selama-lamanya betapapun kemajuan yang mereka capai, tidak boleh bagi kita untuk mengagungkan mereka.
Atau pertandingan-pertandingan ini padanya nampak paha para pemuda yang menyebabkan fitnah. Karena pendapat yang rajih menurut saya adalah tidak boleh bagi para pemuda ketika bermain bola untuk menampakkan paha mereka, karena menimbulkan fitnah. Walaupun menurut pendapat yang menyatakan bahwa paha bukan aurat, saya tetap berpendapat bahwa seorang pemuda tidak boleh menampakkan pahanya selama-lamanya. Adapun jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat sebagaimana ini yang masyhur dari madzhab Al-Imam Ahmad, maka perkaranya jelas tidak boleh bagaimanapun keadaannya.
Maka yang saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku hendaklah mereka semangat untuk menjaga waktu mereka, karena sesungguhnya waktu lebih berharga dibandingkan harta. Bukankah kalian membaca firman Allah Ta’ala:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُوْنِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ
“Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang diantara mereka, dia akan mengatakan: “Wahai Rabbku, kembalikanlah aku ke dunia agar aku bisa beramal shalih yang dulu aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Dia tidak mengatakan: “Kembalikanlah aku agar aku bisa bersenang-senang di dunia.” Tetapi dia mengatakan: “Agar aku bisa beramal shalih yang dulu aku tinggalkan.” Yaitu sebagai ganti dari waktu yang hilang dengan sia-sia sebelum dia mati.

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

Tentang BPJS DAN ASURANSI


Asuransi yang jenisnya kian beragam pada masa sekarang, sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga: asuransi sosial, asuransi ta’awun (gotong-royong), dan asuransi tijarah (bisnis).

Asuransi Sosial

Biasanya, asuransi jenis ini diperuntukkan bagi pegawai pemerintah, sipil maupun militer. Sering juga didapati pada karyawan swasta. Gambarannya, pihak perusahaan memotong gaji karyawan setiap bulan dengan persentase tertentu dengan tujuan:
1.    Sebagai tunjangan hari tua (THT), yang biasanya uang tersebut diserahkan seluruhnya pada masa purna tugas seorang karyawan. Terkadang ditambah subsidi khusus dari perusahaan.
2.    Sebagai bantuan atau santunan bagi mereka yang wafat sebelum purna bakti, diserahkan kepada ahli waris atau yang mewakili.
3.    Sebagai pesangon bagi karyawan yang pensiun dini. Pemotongan gaji dengan tujuan di atas yang dilakukan oleh pemerintah atau sebuah perusahaan adalah murni untuk santunan bagi karyawan, bukan dalam rangka dikembangkan untuk mendapatkan laba (investasi).
Hukum asuransi jenis ini dengan sistem seperti yang tersebut di atas adalah boleh, termasuk dalam bab ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Allah berfirman:
ﻭَﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒِﺮِّ ﻭَﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻭَﺍﻟْﻌُﺪْﻭَﺍﻥِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah bersabda:
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺃَﺧِﻴْﻪِ
“Dan Allah selalu menolong seorang hamba selama dia selalu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no.3391 dari Abu Hurairah)
Upaya di atas termasuk dalam bab ihsan (berbuat baik) kepada sesama. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/284, dan Syarhul Buyu’ hal. 38)
Bila potongan gaji tersebut dimasukkan dalam investasi dan menghasilkan penambahan nominal dari total nilai gaji yang ada, maka tidak boleh (haram), karena termasuk memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah berfirman:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Maka tidak ada hak bagi karyawan tadi kecuali nominal gajinya yang dipotong selama kerja. Allah berfirman:
ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﺒْﺘُﻢْ ﻓَﻠَﻜُﻢْ ﺭُﺀُﻭﺱُ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻜُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻈْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻭَﻟَﺎ
ﺗُﻈْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah:279)
Namun bila nominal tambahan tersebut telah diterima oleh sang karyawan dalam keadaan tidak mengetahui hukum sebelumnya, maka boleh dimanfaatkan. Allah berfirman:
ﻓَﻤَﻦْ ﺟَﺎﺀَﻩُ ﻣَﻮْﻋِﻈَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻓَﺎﻧْﺘَﻬَﻰ ﻓَﻠَﻪُ ﻣَﺎ ﺳَﻠَﻒَ
ﻭَﺃَﻣْﺮُﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺎﺩَ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻫُﻢْ
ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Bila dia mengambilnya atas dasar ilmu (yakni mengetahui) tentang keharamannya, dia wajib bertaubat dan mensedekahkan ‘tambahan’ tadi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 15/261)

Asuransi Ta’awun (Gotong Royong)

Asuransi ini dibangun dengan tujuan membantu dan meringankan pihak-pihak yang membutuhkan atau yang terkena musibah. Gambarannya, sejumlah muhsinin menyerahkan saham dalam bentuk uang yang disetorkan setiap pekan atau bulan dengan nominal tertentu atau semampunya, kepada yayasan/lembaga yang menangani musibah, bencana dan orang yang membutuhkan. Biasanya, saham akan dihentikan untuk sementara bila jumlah uang dirasa sudah cukup dan tidak terjadi bencana atau musibah yang menyebabkan kas menipis atau membutuhkan suntikan dana. Saham-saham dalam bentuk uang itu sendiri tidak dikembangkan dalam bentuk investasi. Dan asuransi ini murni dibangun di atas dasar kemanusiaan bukan paksaan.
Contoh di lapangan yang disebutkan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah adalah asuransi gotong royong pada perkumpulan angkutan kota atau bis (di mana kendaraan-kendaraan itu milik pribadi, bukan milik sebuah perusahaan). Caranya, masing-masing anggota menyetorkan sejumlah nominal tak tertentu, setiap pekan/bulan, kepada salah seorang yang mereka tunjuk untuk membantu anggota mereka yang kecelakaan atau terkena musibah. Setoran tersebut bersifat sukarela dan tidak mengikat, dengan nominal beragam dan dihentikan bila dirasa sudah cukup dan tidak ada musibah.
Mengenai asuransi jenis ini, para ulama anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah dan anggota Kibarul Ulama Kerajaan Saudi Arabia telah melakukan pertemuan ke-10 di kota Riyadh pada bulan Rabi’ul Awwal 1397 H. Hasilnya, mereka sepakat bahwa ta’awun ini diperbolehkan dan bisa menjadi ganti dari asuransi tijarah (bisnis) yang diharamkan, dengan beberapa alasan berikut:
1.    Asuransi ta’awun termasuk akad tolong-menolong untuk membantu pihak yang terkena musibah, tidak bertujuan bisnis atau mengeruk keuntungan dari harta orang lain. Tujuannya hanyalah membagi beban musibah tersebut di antara mereka dan bergotong royong meringankannya.
2.    Asuransi ta’awun ini terlepas dari dua jenis riba: fadhl dan nasi`ah. Akad para pemberi saham tidak termasuk akad riba serta tidak memanfaatkan kas yang ada untuk muamalah-muamalah riba.
3.    Tidak mengapa bila pihak yang memberi saham tidak mengetahui secara pasti jumlah nominal yang akan diberikan kepadanya bila dia terkena musibah. Sebab, mereka semua adalah donatur (muhsinin), tidak ada pertaruhan, penipuan, atau perjudian.
Kemudian mereka memberikan usulan-usulan kepada pemerintah Kerajaan Saudi Arabia seputar masalah sosialisasi asuransi ta’awun ini. Lihat uraian panjang tentang masalah ini dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni menyayangkan dua hal yang ada pada yayasan atau lembaga yang menangani asuransi ini, yaitu:
1.    Menaruh uang-uang tersebut di bank-bank riba tanpa ada keadaan yang darurat.
2.    Memaksa para muhsinin untuk menyetorkan saham mereka. Wallahu a’lam. (Syarhul Buyu’, hal. 39)

Asuransi Tijarah (Bisnis)

Asuransi ini biasanya lekat dengan para pelaku usaha dan orang yang memiliki harta berlebih, namun bisa juga bermuamalah dengan pihak manapun. Gambaran sistem asuransi ini adalah pihak nasabah membayar nominal (premi) tertentu kepada perusahaan/lembaga asuransi setiap pekan atau bulan atau tahun, atau setiap order, atau sesuai kesepakatan bersama, dengan ketentuan bila terjadi kerusakan atau musibah maka pihak lembaga asuransi menanggung seluruh biaya ganti rugi. Dan bila tidak.terjadi sesuatu, maka setoran terus berjalan dan menjadi milik lembaga asuransi.
Asuransi jenis ini murni bisnis. Karena biasanya, mereka akan lepas tangan ketika terjadi peristiwa yang “dianggap” luar biasa (force majeur) –peperangan misalnya– yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Ringkasnya, orang yang terbelit asuransi ini akan menghadapi pertaruhan dengan dua kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi jenis ini, para ulama masa kini berikut perkumpulan-perkumpulan fiqhiyah umiyah semacam Rabithah ‘Alam Islami, Hai`ah Kibarul Ulama, tercakup di dalamnya anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah Kerajaan Saudi Arabia, serta lembaga-lembaga keislaman yang lainnya baik di dunia Arab maupun internasional, telah bersepakat menyatakan keharaman asuransi jenis ini. Kecuali beberapa gelintir orang saja yang membolehkan dengan alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa argumentasi yang disebutkan oleh Hai`ah Kibarul Ulama
pada ketetapan mereka no. 55 tanggal 4/4/1397 H, tentang pengharaman asuransi bisnis di atas:
1.    Asuransi bisnis termasuk pertukaran harta yang berspekulasi tinggi dengan tingkat pertaruhan yang sangat parah. Sebab, pihak nasabah tidak tahu berapa nominal yang akan dia berikan nanti dan berapa pula nominal yang bakal dia terima. Bisa jadi, dia baru menyetor sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga dia menerima nominal (nilai pertanggungan) yang sangat besar sesuai dengan kejadiannya. Namun mungkin pula dia menyetor terus menerus dan tidak terjadi apa-apa, sehingga perusahaan asuransi meraup keuntungan besar. Padahal Rasulullah telah melarang sistem jual beli gharar (yang mengandung unsur pertaruhan).
2.    Asuransi bisnis termasuk salah satu jenis perjudian, dan termasuk dalam keumuman firman Allah:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻴْﺴِﺮُ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﺼَﺎﺏُ
ﻭَﺍﻟْﺄَﺯْﻟَﺎﻡُ ﺭِﺟْﺲٌ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞِ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﻓَﺎﺟْﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ
ﺗُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (Al-Ma`idah: 90)
3.    Asuransi ini mengandung riba fadhl dan riba nasi`ah. Rinciannya sebagai berikut:
q Bila lembaga asuransi memberikan kepada tertanggung atau ahli waris yang bersangkutan melebihi nominal yang disetorkan, maka ini adalah riba fadhl.
q Bila lembaga asuransi menyerahkannya setelah waktu yang berselang lama dari akad, maka ia juga terjatuh dalam riba nasi`ah.
q Namun bila perusahaan tersebut menyerahkan nominal yang sama dengan jumlah setoran nasabah, tetapi setelah selang waktu yang lama, maka dia terjatuh dalam riba nasi`ah saja.
Kedua jenis riba di atas adalah haram dengan nash dalil dan kesepakatan ulama.
4.    Asuransi ini termasuk jenis pegadaian/perlombaan yang diharamkan, karena mengandung pertaruhan, perjudian, dan penuh spekulasi. Pihak tertanggung memasang pertaruhan dengan setoran-setoran yang intensif, sedangkan pihak lembaga asuransi pertaruhannya dengan menyiapkan ganti rugi. Siapa yang beruntung maka dia yang mengambil pertaruhan pihak lain. Mungkin terjadi musibah dan mungkin saja selamat darinya.
5.    Asuransi ini mengandung upaya memakan harta orang lain dengan cara kebatilan. Allah berfirman:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺄْﻛُﻠُﻮﺍ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ
ﺑِﺎﻟْﺒَﺎﻃِﻞِ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻋَﻦْ ﺗَﺮَﺍﺽٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
6.    Dalam asuransi ini terdapat tindakan mengharuskan sesuatu yang tidak ada keharusannya secara syariat. Pihak lembaga asuransi diharuskan membayar semua kerugian yang dialami pihak nasabah, padahal musibah itu tidak berasal dari lembaga asuransi tersebut atau disebabkan olehnya. Dia hanya melakukan akad asuransi dengan pihak nasabah, dengan jaminan ganti.rugi yang diperkirakan terjadi, dengan mendapatkan nominal yang disetorkan pihak nasabah. Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para ulama tersebut membantah satu per satu argumentasi pihak yang membolehkan asuransi ini dengan uraian yang panjang lebar, yang dibukukan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (15/275-287, juga 15/246-248). Lihat juga dalam Syarhul Buyu’ (hal. 38-39).

Gambar 1. BPJS berwenang untuk menempatkan asetnya yang berupa Dana Jaminan Sosial untuk investasi. Dapatkah BPJS yang seperti ini digolongkan ke dalam bentuk asuransi sosial yang diperbolehkan oleh para ulama?

Gambar 2. Menurut PP No. 87 Tahun 2013, BPJS berwenang untuk memanfaatkan asetnya untuk muamalah riba, berinvestasi dalam bentuk deposito pada Bank.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah ditanya tentang asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah, bagaimana hukumnya?

Maka beliau menjawab: “Kami mengatakan bahwa asuransi yang dibayar oleh pemilik mobil karena paksaan pemerintah, masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Akan tetapi karena hal tersebut diwajibkan secara paksa kepada mereka (untuk membayarnya) maka mereka lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah dan tidak akan mendapatkan hukuman karenanya. Lain halnya dengan asuransi yang merupakan pilihan sendiri (tanpa paksaan) sebagaimana kebanyakan asuransi yang ada, berupa asuransi perumahan, pertokoan, barang (dan yang lainnya) maka seluruhnya adalah judi, haram untuk dilakukan.
Adapun asuransi yang diwajibkan (dipaksakan oleh pemerintah) terhadap seseorang, maka (seperti kata pepatah):
“Saudaramu ini terpaksa melakukannya, bukannya dia pemberani (menerjang perkara yang haram).”

Kemudian sang penanya bertanya lagi: “Akan tetapi apakah dibenarkan baginya untuk melakukan muamalah dengan pihak syarikah (perusahaan asuransi terkait) atas dasar bahwa mobilnya terasuransikan di situ?” Asy-Syaikh berkata: “Tidak boleh.” [Artinya tidak boleh baginya untuk memanfaatkan (mengambil) uang asuransi dari perusahaan tersebut] (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 415)

Gambar 3. Pemerintah mewajibkan setiap warganya untuk menjadi peserta BPJS.

Sumber: asysyariah[dot]com

(Gambar dan keterangan gambar adalah tambahan dari penulis blog)


Posted via Blogaway