Cari Blog Ini

Jumat, 27 Mei 2016

Bagaimana Mengamalkan Kandungan ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAH

Para pembaca yang semoga dimuliakan Allah subhanahu wata’ala, sebenarnya ikrar dua kalimat syahadat yang sering kita ucapkan itu tidak cukup sekedar di lisan saja. Namun di dalamnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus dipenuhi. Bila seseorang tidak sanggup memenuhi kosekuensi- konsekuensi apa yang telah diikrarkan maka ibarat sebuah pengakuan tanpa bukti. Sehingga sia-sialah (percuma) pengakuannya itu. Bahkan hal itu justru menambah hina bagi dirinya, ia telah mengikrarkan sesuatu yang pada kenyataannya justru amalannya menyelisihi apa yang ia ikrarkan. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan peringatan kepada kita kaum mukminin yang tidak mau beramal dengan perkara yang telah kita ucapkan dan kita ikrarkan? Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengucapkan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Sungguh besar kemurkaan Allah jika kalian mengucapkan perkara-perkara yang kalian sendiri tidak mau mengamalkannya.” (Ash Shaff: 2-3)

Kita semua telah tahu bahwa dua kalimat syahadat merupakan kalimat yang mulia yang dengannya akan terbedakan antara muslim dan kafir. Ketika seseorang telah menyatakan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah maka di antara konsekuensi yang harus dia lakukan adalah dia harus mengikhlaskan dan mempersembahkan seluruh peribadatannya hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Berdo’a, istighotsah, tawakkal, meminta rizki, takut, menyembelih hewan kurban, dan seluruh jenis ibadah lainnya harus dipersembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala semata.

Demikian juga dengan syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah, di dalamnya terkandung beberapa konsekuensi yang harus kita perhatikan dan kita amalkan. Dan Insya Allah pada buletin edisi kali ini, bahasan kita lebih terfokus pada kalimat yang kedua dari Asy Syahadatain tersebut. Karena hal ini merupakan perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan kita amalkan.

Dua Pokok Penting
Ketahuilah, wahai saudaraku seislam dan seiman, kalimat syahadat Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah (atau dengan redaksi yang lebih lengkap: Asyhadu Anna Muhammadan ‘Abduhu Wa Rasuluhu) itu terkandung padanya dua pokok penting yang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Dua pokok penting itulah yang Allah subhanahu wata’ala ingatkan dalam ayat-Nya (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diberikan wahyu kepadaku bahwa sesungguhnya sesembahan kalian itu adalah sesembahan Yang Esa.” (Al Kahfi: 110)

Demikian pula Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingatkan dalam haditsnya. Dari shahabat ‘Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya ….” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dari ayat dan hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa dua pokok penting tersebut adalah:
Pokok pertama; bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita. Beliau mengalami apa yang selayaknya dialami pada seorang manusia. Mengalami sakit, luka, haus, lapar dan selainnya dari sifat-sifat manusia. Beliau pun tidak memiliki sifat-sifat ilahiyyah. Beliau mengajarkan kepada para shahabatnya untuk memohon kepada Allah subhanahu wata’ala dari apa yang mereka butuhkan. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berdo’a sebelum salam pada shalat shubuh dengan do’a:

Allahumma inni as’aluka ilman nafi’an wa ‘amalan mutaqobbalan wa rizqon thoyyiban

Demikian pula ketika datang musim kemarau yang berkepanjangan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pun berdo’a kepada Allah subhanahu wata’ala supaya diturunkan hujan dan juga pernah shalat istisqa’ bersama para shahabatnya.

Ini semua adalah pengajaran Nabi kepada umatnya bahwa yang
berhak dimintai pertolongan itu hanyalah Allah subhanahu wata’ala semata. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu adalah seorang hamba yang menghamba kepada Allah subhanahu wata’ala.

Lalu pantaskah kita meminta rizki, berdo’a, meminta untuk dihilangkan kesulitan kita kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan (artinya):
Katakanlah (wahai Muhammad shallallahu alaihi wasallam): aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al An’am: 50)

Pokok kedua; bahwa beliau adalah Rasulullah (utusan Allah subhanahu wata’ala). Allah subhanahu wata’ala telah memilih Muhammad bin ‘Abdillah sebagai utusan-Nya. Allah subhanahu wata’ala berhak memilih siapa di antara hamba-Nya yang terpilih untuk menyampaikan risalah dan syari’at-Nya ini kepada umat manusia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al An’am: 124)

Dalam kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul maka kedudukannya itu tidak boleh disamakan dengan hamba Allah subhanahu wata’ala yang lain. Perintah beliau harus ditaati, nasehat dan petuah beliau harus didengarkan dan diamalkan, sabda-sabda dan kabar yang beliau sampaikan haruslah diterima dan tidak boleh didustakan, karena setiap ucapan yang keluar dari lisan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan wahyu sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):

“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An Najm: 3-4)

Dua pokok inilah yang seyogyanya dipahami oleh setiap muslim sehingga dia tidak terjatuh ke dalam perbuatan Ifrath (berlebihan dalam mengkultuskan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga memposisikan beliau melebihi posisi dan kedudukannya sebagai hamba Allah), dan tidak pula terjatuh ke dalam perbuatan Tafrith (meremehkan dan merendahkan kedudukan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang rasul sehingga dia cenderung untuk menolak atau meragukan tentang kebenaran risalah beliau).
Perbuatan seperti inilah yang pernah diperingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:

“Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku adalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah: (Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Bukhari, Muslim)

Konsekuensi yang Harus Diperhatikan
Di antara konsekuensi dari pernyataan Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah adalah sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama, yaitu:

1. Mentaati Seluruh Perintahnya
Sudahkah kita berupaya untuk mendengar dan mentaati seluruh nasehat dan perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam? Bukankah Allah subhanahu wata’ala mengutus Rasul-Nya sebagai qudwah (teladan) bagi umatnya? Meneladani prilaku dan akhlaknya, mengikuti petunjuknya, mematuhi perintahnya, dan menelusuri jejak dan sunnahnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah.” (An Nisa’: 64)

“Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepadamu, maka ambillah (laksanakanlah) …” (Al Hasyr: 7)

Demikian pula sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:

“Dan setiap apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Inilah bukti kasih sayang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu kepada mereka melainkan perintah itu dibatasi dengan kemampuan yang mereka miliki.

Tetapi, tahukah anda bahwa siapa saja dari umat beliau yang berupaya untuk mengikuti dan mentaati Nabinya dengan ikhlas, maka sungguh dia akan mendapatkan sekian banyak keutamaan yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya ??
Bukankah anda ingin untuk mendapatkan kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala? Kecintaan dari Allah subhanahu wata’ala itu hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang mau mengikuti dan mentaati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah pasti akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap umatku akan masuk Al Jannah (surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya: Siapa orang yang enggan itu wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Beliau bersabda: Barangsiapa yang mentaatiku, dia akan masuk Al Jannah, dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah enggan.” (HR. Al Bukhari)

2. Membenarkan Seluruh Berita yang Disampaikan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah kita membenarkan seluruh berita yang disampaikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Pernahkah terbetik di benak kita perasaan ragu akan berita yang disampaikan beliau ??

Pembaca yang semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakan kita, jangan ada sedikitpun perasaan ragu apalagi sampai mengingkari berita-berita yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tidaklah beliau bersabda melainkan itu merupakan sebuah wahyu yang Allah subhanahu wata’ala wahyukan kepada beliau shalallahu ‘alaihi wasallam . Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):

“Dan tidaklah yang diucapkannya (Nabi Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An Najm: 3-4)

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah Ash Shadiqul Mashduq (yang jujur dan bisa dipercaya), setiap kabar dan berita yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, baik kabar tentang kejadian umat terdahulu maupun kejadian yang dialami Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sendiri seperti Isra’ dan Mi’raj, dan juga kejadian yang akan datang seperti akan datangnya hari kiamat, akan adanya hari pembalasan, dan yang lainnya, maka wajib bagi kaum mukminin untuk membenarkan dan mengimaninya.

Pantaskah bagi seorang muslim untuk meragukan dan apalagi mendustakan segala berita dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, padahal beliau pernah bersabda:

“Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (Allah)? Senantiasa datang kepadaku kabar dari langit pagi dan petang.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

3. Menjauhi Semua Larangannya
Sudahkah kita meninggalkan dan menjauhi setiap perkara yang dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Berapa banyak peringatan dan larangan dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam yang kita langgar dan kita selisihi? Pertanyaan ini hendaknya menjadi renungan bagi kita semua karena sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan dalam Al Qur’an (artinya):

“… dan apa yang dilarangnya (Rasulullah), maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)
Demikian pula sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam :

“Setiap yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah …” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Para pembaca yang semoga Allah memberikan hidayah kepada kita, kalau masihkah ada di antara kita yang menyelisihi apa-apa yang dilarang oleh junjungan kita shalallahu ‘alaihi wasallam, maka hendaknya segera bertaubat dan beristighfar sebelum ajal menjemputnya. Rahmat Allah itu luas, pintu taubat masih terbuka lebar-lebar. Padahal Allah subhanahu wata’ala itu benar-benar mencintai hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Karena dikhawatirkan kalau sekiranya kita menyelisihi dan melanggar sabda Rasul-Nya, Allah akan menurunkan adzab-Nya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintahnya (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) takut akan ditimpa fitnah (bencana) dan adzab yang pedih.” (An Nur: 63)

4. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala Sesuai dengan Tuntunan Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam
Sudahkah ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan beliau ?? Sudahkah amal ibadah yang kita lakukan sesuai dengan bimbingan beliau ?? Tentunya kita khawatir akan terjerumus ke dalam apa yang pernah diingatkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak pernah kami tuntunkan, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Wahai saudaraku yang mulia, seyogyanya bagi kita semua selalu berupaya untuk menyesuaikan segala amal ibadah kita dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Karena tujuan utama diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ke muka bumi ini adalah dalam rangka mengajari umat manusia bagaimana cara ibadah yang benar kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah hikmah kenapa syahadat Muhammadar Rasulullah diletakkan setelah syahadat Laa Ilaaha Illallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk mencontoh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan. Aamien, ya robbal alamiin

Allohul muwaffiq

KUMPULAN ARTIKEL AQIDAH DARI BULETIN AL-ILMU JEMBER

sumber www.assalafy.org
Abdurrahman Rouf Al-Maidany

wa Al I’tishom

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/05/03/bagaimana-mengamalkan-kandungan-asyhadu-anna-muhammadarrasulullah/

Seputar hukum waris

Di tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Pertanyaan:

Ada seseorang meninggal tidak memiliki anak. Ayah ibunya juga sudah meninggal. Ia hanya memiliki saudara-saudara seayah yang masih hidup. Juga masih ada keponakan-keponakan laki-laki dari saudara seayah maupun seibu yang sudah meninggal. Berikut ini komposisi jumlah pihak-pihak yang diperkirakan sebagai ahli waris yang masih hidup:

Saudara laki-laki seayah: 7 orang.

Saudara wanita seayah : 4 orang.

Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah yang sudah meninggal: 1 orang.

Keponakan laki-laki dari saudara wanita seayah yang sudah meninggal: 1 orang.

Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu yang sudah meninggal: 1 orang.

Bagaimanakah bentuk pembagian harta mayit? Sebagian pihak ada yang menyatakan bahwa ini bukanlah pembagian harta waris karena bukan berasal dari orangtua, tapi dari saudara, sehingga seharusnya dibagi rata antara saudara laki-laki dan saudara wanita. Apakah benar demikian?

Jawaban:

Sesungguhnya untuk keadaan seperti yang disebutkan, berlaku hukum waris. Mayit tersebut adalah “al-Kalaalah”. Sudah ada penjelasannya dalam al-Qur’an surat anNisaa’ pada ayat yang terakhir.

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberikan fatwa untuk kalian tentang al-Kalaalah. Jika seseorang meninggal tidak memiliki anak, namun ia memiliki saudara perempuan, maka saudara perempuannya itu mendapatkan setengah dari yang ditinggalkan. Dan saudara laki-laki mewarisi (semua harta) saudara perempuannya jika saudara perempuannya tidak memiliki anak. Tetapi jika ia (mayit) memiliki saudara perempuan dua orang, maka bagi keduanya mendapatkan dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu) terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, agar kalian tidak tersesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q.S anNisaa ayat 176)

Karena sudah ada ketentuan waris tersebut, maka tidak benar jika bagian semua pihak dibagi rata. Surat anNisaa ayat 176 tersebut telah menjelaskan bahwa jika terdapat saudara laki-laki dan saudara wanita mayit beberapa orang, maka bagian saudara laki-laki adalah dua kali bagian saudara perempuan.

Bagaimana dengan keponakan laki-laki? Keponakan laki-laki terhalang oleh adanya saudara laki-laki mayit.
Sehingga pembagiannya hanya untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan mayit dengan ketentuan satu saudara laki-laki mendapat bagian 2 saudara perempuan.
Sehingga saham yang akan dibagikan adalah : (7 saudara laki-laki x 2) + 4 saudara perempuan = 14 + 4 = 18

Tiap saudara perempuan mendapatkan: 1/18 (seperdelapan belas)

Sedangkan tiap saudara laki-laki mendapatkan: 2/18 (dua perdelapan belas).

Jika dicontohkan dalam nominal: Katakanlah harta si mayit adalah 1 milyar rupiah, maka tiap saudara laki-laki mendapatkan sekitar 111 juta dan tiap saudara perempuan mendapatkan sekitar 55,5 juta.

Wallaahu Alam

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/05/24/seputar-hukum-waris/

Kematian Sebagai Peringatan

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed

Makna Kehidupan
Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan. Mereka hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Slogan-slogan mereka adalah memuaskan hawa nafsunya, “Yang Penting Puas”. Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana mereka dapat menikmati kehidupan, seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian, kemudian menguning dan mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan dan hisab.
Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?

أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ؟

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu ataukah mereka yang menciptakan? (ath-Thuur: 35)

Allah menciptakan kita, memberikan kepada kita kehidupan adalah untuk suatu tujuan dan tidak sia-sia:

أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia? (al-Qiyamah: 36)
Berkata Imam Syafi’i (ketika menafsirkan ayat ini): “Makna sia-sia adalah tanpa ada perintah, tanpa ada larangan.” (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir, jilid 4, cet. Maktabah Darus Salam, 1413 H hal. 478)
Jadi manusia hidup tidak sia-sia, mereka memiliki aturan, hukum-hukum, syariat, perintah dan larangan, tidak bebas begitu saja apa yang dia suka dia lakukan, apa yang dia tidak suka dia tinggalkan.

Hidup dan Mati Adalah Ujian
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah jalla jalaaluh menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلَُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk: 2)
Fudhail bin Iyadh berkata: “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah”. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam, Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, hal. 35)
Kita hidup di dunia adalah untuk diuji, siapa yang paling ikhlas amalannya hanya murni untuk Allah semata dan siapa yang paling sesuai dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu kita perlu memperhatikan apa makna kehidupan dan apa makna kematian?

Saudaraku-saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah turunkan kitab-kitabnya, Allah mengutus rasul-rasul-Nya adalah untuk misi ini.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ

Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56)
Sehingga hidup kita ini tidaklah sia-sia, melainkan kehidupan sementara yang sarat akan makna dan kelak akan ditanya tentang apa yang kita perbuat di dunia ini.

Kehidupan di dunia hanya sementara
Ingatlah, kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti kita akan memasuki alam kubur (alam barzakh) sampai datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, setelah itu kita menghadapi hari perhitungan (hisab). Dan kita akan menerima keputusan dari Allah, apakah kita akan bahagia dalam surga ataukah akan sengsara dalam neraka.

Kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan ini disebutkan dalam al-Qur`an dengan istilah خالدين فيها (kekal di dalamnya) atau dengan أبدا (selama-lamanya) atau dengan istilah لا ينقطع (tidak akan terputus).

Sehari dalam kehidupan akhirat adalah lima puluh ribu tahun kehidupan di dunia. Maka kita bisa lihat betapa pendeknya kehidupan manusia yang tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat. Berapa umur manusia yang terpanjang dan berapa yang sudah kita jalani? Itu pun kalau kita anggap umur yang terpanjang, sedangkan ajal kita tidak tahu, mungkin esok atau lusa.

Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupan yang panjang ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi.

وَابْتَغِ فِيْمَآ ءَاتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi… (al-Qashash: 77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Mereka lebih mementingkan kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَاْلأَخرَاةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (al-A’laa: 16-17)
Allah hanya meminta kepada kita dalam kehidupan yang pendek ini untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu. Kemudian Allah akan berikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang panjang yaitu kehidupan akhirat

Kematian adalah pasti
Alangkah bodohnya kalau kita lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa dimajukan dan dimundurkan. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

Tiap-tiap umat memiliki ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya. (al-A’raaf: 34)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Ali Imran: 185)
Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim (berserah diri).

يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam. (Ali Imran: 102)
Dengan demikian berarti kita harus selalu meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita, sehingga ketika datang kematian kita dalam keadaan Islam.
Ibnu Katsir berkata: “Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam karena makna Islam adalah pasrah dan menyerah diri kepada Allah… yang tentunya mengandung setinggi-tingginya keterikatan, perendahan diri dan ketundukan”. (lihat Fathul Majid, Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaih hal 14) Yakni kita diperintahkan untuk pasrah dan menyerah kepada Allah. Diri kita dan seluruh anggota badan kita adalah milik Allah, maka serahkanlah kepada-Nya.
“Ya Allah kami hamba-Mu, milik-Mu, Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kami kepada-Mu, kami pasrah dan menyerah untuk diatur, dihukumi, diperintah dan dilarang. Kami taat, tunduk, patuh karena kami adalah milikmu.”

Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:

أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang patut disembah) kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui untuk-Mu dengan kenikmatan-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku terhadap-Mu, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. (HR. Bukhari, juz 7/150)
Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni.
Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut, kita sadar bahwa semua anggota badan kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan dan telinga kita harus dipakai pada apa yang dibolehkan oleh Allah karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.
Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah? Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota badan tersebut. Mereka (anggota badan tersebut) akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa mereka digunakan.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (al-Isra’: 36)

Kematian sebagai peringatan
Ayat-ayat dalam alQur`an yang menceritakan tentang kematian terlalu banyak. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan mereka tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan kebahagiaan di dalam surga. Sesungguhnya manusia yang paling bodoh adalah manusia yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:

مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ

Barangsiapa yang menginginkan pelindung, maka Allah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan teladan, maka Rasulullah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup, maka al-Qur`an cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya.
Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya.
Saat ini wahai kaum muslimin, kita masih mempunyai peluang dan kesempatan, maka sekarang juga kita harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk taat kepada rabb kita. Waktu ini bagaikan pedang, jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita. Sebagaimana dikatakan oleh para salaf:

اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ.

Waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak memutusnya (mengisinya) maka dia yang akan memutusmu (menghilangkan kesempatanmu).
Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌُ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.

Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan. (HR. Bukhari)
Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayang, kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan
tersebut untuk taat kepada Allah, hingga kesempatan itu hilang dengan datangnya kematian.

(Dikutip dari buletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II, tgl 21 Shafar 1426 H, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/05/26/kematian-sebagai-peringatan/