Cari Blog Ini

Jumat, 16 Januari 2015

Tentang BERBUAT BAIK TERHADAP ANAK-ANAK DAN METODE MENDIDIK MEREKA

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Berbuat baik terhadap anak-anak perempuan diwujudkan dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islami, mengajarkan ilmu kepada mereka, membesarkan mereka di atas al-haq dan semangat untuk menjaga kehormatan diri, serta menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala berupa tabarruj (bersolek dan berhias di hadapan selain mahram) dan selainnya.
Demikianlah metode mendidik anak-anak perempuan ataupun anak laki-laki, juga dengan hal-hal selain itu yang termasuk sisi-sisi kebaikan. Jadi, mereka semua terdidik untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, serta menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala dan menegakkan hak-hak-Nya.
Dengan demikian, kita ketahui bahwasanya maksud berbuat baik di sini bukanlah semata-mata memberi mereka makan, minum, dan pakaian saja. Bahkan maksudnya lebih besar daripada itu semua, yaitu berbuat kebaikan kepada mereka, baik dalam masalah agama maupun dunia.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/377)

Fadhilatusy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Yang wajib bagi setiap mu’min untuk mementingkan pendidikan anak-anaknya dengan perhatian yang mendalam agar dia mewujudkan perintah Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." [Qs. At-Tahrim: 6]
Hendaknya dia menjalankan tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam di dalam sabdanya:
الرجُلُ راعٍ في أهله، ومسئول عن رعيته
"Seorang lelaki menjadi pemimpin di keluarganya, dan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya."
Maka tidak halal baginya untuk mengabaikan mereka bahkan wajib atasnya untuk memberikan hukuman yang mendidik mereka sesuai dengan kondisi mereka dan sesuai dengan kesalahan mereka, oleh karenanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
مروا أبناءكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر
"Perintahkan anak-anak kalian sholat jika telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka (sebagai hukuman karena meninggalkan sholat) jika telah berusia 10 tahun."
Dan agar diketahui bahwa amanah ini yang dibebankan kepadanya kelak akan diminta pertanggung jawaban tentangnya di hari kiamat, maka persiapkanlah jawaban yang benar hingga dia terbebas dari pertanggung jawaban ini, dan nanti akan memetik buah dari amalannya. Jika baik maka hasilnya pun baik dan jika jelek maka hasilnya pun jelek. Dan terkadang akan dibalas karenanya di dunia sehingga akan diuji dengan anak-anak yang berbuat buruk kepadanya, berbuat durhaka dan tidak memenuhi hak orang tuanya.”
(Majmu’ Fatawa juz 12 hlm 117)

Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullah, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat la ilaha illallah, muhammad rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Azza wa Jalla (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Azza wa Jalla senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)

Dan orang tua wajib mengarahkan anak-anak, serta menekankan mereka untuk memilih kawan, teman duduk maupun teman dekat yang baik. Hendaknya orang tua menjelaskan kepada anak tentang manfaat di dunia dan di akhirat apabila duduk dan bergaul dengan orang-orang shalih, dan bahaya duduk dengan orang-orang yang suka melakukan kejelekan ataupun teman yang jelek. 
Betapa banyak terjadi seorang anak yang jelek mengajak teman-temannya untuk berbuat kemungkaran dan kerusakan, serta menghiasi perbuatan jelek dan dosa di hadapan teman-temannya. Padahal anak kecil seringkali meniru, suka menuruti keinginannya serta suka mencari pengalaman baru. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 154-155)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Wajib untuk menjauhkan anak-anak kecil yang telah berakal dari majelis majelis yang berisi kesia-siaan dan kebathilan, yang berisi musik, dan yang memperdengarkan kata kata cabul (porno), kebid’ahan, serta ucapan-ucapan buruk.
Karena sesungguhnya jika hatinya telah terbiasa dengannya, akan sangat sulit bagi dia untuk memisahkan diri darinya (menjauhinya) ketika sudah dewasa. Dan akan sangat sukar bagi orang tuanya untuk menyelamatkannya (dari hal hal tersebut).” (Tuhfatul Maudud: 169)

Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud hlm. 351)

Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.” (Tuhfatul Maudud hlm. 337)
 
###

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya." (HR. al-Bukhari no. 844)

Anak merupakan nikmat Allah yang wajib disyukuri oleh kedua orang tua. Orang tua, dalam hal ini ayah dan bunda memikul tanggung jawab yang besar di dalam menunaikan hak-hak mereka. Sebuah amanah yang akan ditanyakan oleh Allah kelak pada hari kiamat. Adapun tanggung jawab orang tua terhadap anak yang paling utama dan pertama kali harus ditunaikan sebelum perkara-perkara yang lainnya adalah menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (at-Tahrim: 6)
Kalimat "peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" ditafsirkan oleh Ali bin Abi Thalib, "Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga kalian dengan kebaikan dan akhlak." (Fathul Qadir juz 7, hal. 258)
Al-Imam ath-Thabari berkata, "Maka wajib bagi kita untuk mendidik anak-anak kita dengan agama, kebaikan dan akhlak yang baik." (Fathul Qadir juz 7, hal. 257)

Maka sungguh sangat aneh kalau kita perhatikan sebagian orang tua merasa sedih dan galau kalau anak-anaknya bodoh atau prestasinya rendah selama di sekolah. Namun mereka tidak peduli dan hatinya tidak tergerak melihat anak-anaknya mengalami kebobrokan iman dan dekadensi moral. Kita dapati pula sebagian orang tua, hati mereka risau melihat anak-anaknya suka membolos ketika sekolah namun sebaliknya merasa nyaman tatkala anak-anaknya didapati tidak hadir dalam shalat berjama'ah di masjid atau tidak mengikuti majelis ilmu yang diadakan oleh seorang 'alim. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengancam kepada orang tua yang demikian keadaannya, "Tidaklah seorang hamba yang diberikan tanggung jawab oleh Allah kemudian dia tidak memberikan nasehat terhadap orang yang berada di bawah tanggung jawabnya maka dia tidak akan mencium bau surga." (HR. al-Bukhari no. 6617)

Sehingga tidak ragu lagi bahwa kerugian terbesar pada diri seorang hamba adalah kerugian yang menimpa diri dan keluarganya. Allah berfirman, "Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat." Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (az-Zumar: 15)

Ingatlah wahai orang tua! Kesalahan anda di dalam mendidik anak akan memberikan dampak negatif yang luar biasa besarnya baik terhadap anak itu sendiri, orang tua dan masyarakat bahkan negara. Lalu bagaimanakah metode pendidikan yang benar terhadap anak?
Ketahuilah, sesungguhnya para ulama telah mengajarkan kepada kita tentang metode pendidikan anak yang benar sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan hadits.

1. Sedari dini hendaklah menanamkan akidah atau keyakinan yang benar dan selamat pada diri mereka dan mengenalkan dasar-dasar syariat Islam. Seperti membimbing anak kecil untuk mengucapkan nama "Allah" sambil jarinya diarahkan ke atas langit. Kemudian memahamkan kepada si kecil tentang keimanan yang benar kepada Allah, keikhlasan di dalam beribadah dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana pengajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seorang anak yang bernama Abdullah bin Abbas, "Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah (agama) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (agama) Allah niscaya akan engkau dapati Allah ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila engkau minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah." (HR. at-Tirmidzi no. 2440, lihat Shahihul Jami' no. 13917)
Kemudian ajarilah mereka tata cara berwudhu menurut tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan juga tata cara shalat menurut sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tak lupa pula memberikan wasiat kepada mereka untuk selalu menjaga shalat 5 waktu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat (5 waktu) tatkala mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka apabila mereka tidak mau melaksanakannya ketika telah mencapai usia 10 tahun." (HR. Abu Dawud no. 495, lihat Irwaul Ghalil no. 247)
Ibnul Qoyyim berkata, "Apabila seorang anak telah mencapai usia 10 tahun maka bertambahlah kekuatan, akal dan kesanggupannya untuk memikul beban ibadah. Sehingga dia pun dipukul apabila meninggalkan shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan pukulan di sini adalah pukulan yang mendidik." (Tuhfatul Maudud hal. 295-296)

2. Mengajarkan kepada anak akhlak mulia dan memperingatkannya dari akhlak yang tercela.
Di antara akhlak mulia yang sepatutnya diajarkan kepada anak adalah sebagai berikut: menepati janji, menjaga harga diri, jujur, menjaga lisan, menjaga waktu, menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, menjauhkan diri dari segala yang dibenci oleh Allah dan dapat menjerumuskan ke dalam jurang kebinasaan, menyayangi orang-orang yang lemah, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada tetangga, berhias dengan sifat malu, mudah memaafkan, bersikap sabar dan lain-lain.
Ibnul Qoyyim berkata, "Oleh karena itulah, wajib untuk menjauhkan anak apabila dia telah berakal dari perkara berikut: pergaulan yang jelek dan tidak bermanfaat, mendengarkan musik, mendengarkan ucapan keji, mendengarkan kebid'ahan dan berbicara jelek. Manakala seorang anak sudah terbiasa mendengarkan hal-hal tersebut, niscaya akan sulit baginya untuk melepaskan diri darinya tatkala dewasa, dan sangat berat bagi walinya (orang tua) untuk mengatasinya. Mengingat, mengubah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan merupakan perkara yang paling berat. Pelakunya perlu diubah kepada tabiat yang kedua (baru). Dan, keluar dari hukum tabiat (kebiasaan) merupakan perkara yang sangat berat." (Tuhfatul Maudud hal. 349-351)
Al-'Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di berkata: "Maka pengajaran adab yang baik (kepada anak) sungguh lebih berharga baginya dibanding pemberian yang berupa emas, perak, dan segenap perhiasan dunia. Karena dengan adab yang baik dan akhlak yang indah akan mengangkat kedudukan mereka, akan membuat mereka bahagia, membuat mereka mampu menunaikan hak-hak Allah dan hamba, membuat mereka mampu menjauhkan diri dari berbagai kejelekan dan mampu menyempurnakan sikap baktinya kepada orang tua." (Bahjah Qulubil Abror hal. 125)
Satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu, selalu memberikan motivasi kepada anak untuk berbuat kebaikan, mengarahkan mereka agar bergaul dengan teman-teman yang baik dan memperingatkan mereka dari bahaya pergaulan dengan teman-teman yang jelek akhlaknya.

3. Sibukkanlah waktu anak untuk melakukan perkara-perkara yang bermanfaat, karena apabila waktu anak tidak dimanfaatkan untuk melakukan perkara yang bermanfaat maka dia akan disibukkan dengan perkara yang jelek dan berbahaya.
Al-Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Abdul Wahab bin Abdul Wahab al-Amin -salah seorang ulama ahli qiro'ah-, "Bahwasanya waktu-waktu beliau seluruhnya adalah untuk menghafal, tidaklah terlewatkan waktu 1 jam baginya kecuali beliau dalam keadaan membaca, berdzikir, shalat tahajud atau minta disimak hafalannya." (Ma'rifat al-Qurro' al-Kibar 2/283)
Rencanakanlah waktu yang baik buat anak-anak. Susunlah jadwal kegiatan keseharian untuk mereka yang di dalamnya terkandung kegiatan belajar, makan, permainan yang diperbolehkan dan lain-lain. Dengan demikian mereka pun akan sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan menutup celah sekecil mungkin dari melakukan kegiatan yang tidak berguna.

Kesalihan orang tua akan memberikan pengaruh yang besar kepada anak di dalam pembentukan karakter yang mulia walaupun tidak secara mutlak.
Allah berfirman: "Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang dibawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang salih." (al-Kahfi: 82)
Ibnu Abbas berkata, "Kedua anak yatim tersebut dijaga (oleh Allah) dengan sebab kesalihan orang tuanya." (Tafsir Ibnu Katsir juz 5, hal. 187)
Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan,
"Ayat ini menunjukkan bahwa dengan sebab kesalihan seseorang maka keturunannya akan dijaga (oleh Allah)." (Tafsir Ibnu Katsir juz 5, hal. 186)

Ibnul Qoyyim mengatakan, "Dan kebanyakan anak-anak, kerusakan mereka justru disebabkan oleh orang tua dengan sebab menelantarkannya dan tidak mau mengajari kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya kepada mereka. Dengan demikian orang tua telah menyia-nyiakannya di waktu kecil. Sehingga anak tidak mendapatkan manfaat pada dirinya sendiri dan orang tua pun tidak mendapatkan manfaat pada diri anak tatkala dewasa. Sebagaimana sebagian orang tua mencela anaknya yang durhaka maka berkatalah si anak, "Wahai ayahku, sesungguhnya engkau mendurhakaiku di masa kecilku maka akupun mendurhakaimu di masa tuamu. Dan engkau menyia-nyiakanku di masa kecilku maka akupun menyia-nyiakanmu di masa tuamu." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hal. 229)
"Dan betapa banyak orang tua yang menyengsarakan anaknya di dunia dan akhirat dengan cara menelantarkannya, tidak mendidiknya dan menuruti segala keinginannya. Sementara orang tua menyangka bahwa dia sedang memuliakan si anak, padahal sesungguhnya menghinakan si anak dan orang tua menyangka sedang menyayangi si anak, padahal menzhalimi si anak. Maka orang tuapun tidak mendapatkan manfaat dari si anak dan si anak tidak mendapatkan bagiannya di dunia dan akhirat. Dan apabila engkau renungkan tentang kerusakan yang terjadi pada anak-anak, engkau akan melihat bahwa kebanyakannya terjadi karena sebab orang tua." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hal. 242)

Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di berkata, "Manusia yang lebih engkau utamakan untuk berbuat baik kepada mereka dan paling berhak dengan kebaikanmu adalah anak-anakmu. Karena mereka adalah amanah Allah yang telah Allah berikan kepadamu. Allah telah mewasiatkan kepadamu untuk mendidik mereka dengan pendidikan yang baik terhadap jasmani dan hati mereka. Dan setiap apa yang engkau perbuat kepada mereka dari perkara-perkara ini, baik kecil maupun besar maka berarti engkau telah menunaikan perkara yang telah diwajibkan atasmu dan ini juga termasuk dari perkara mendekatkan diri kepada Allah yang paling utama. Maka bersungguh-sungguhlah dalam urusan ini dan mengharaplah pahala dari Allah." (Bahjatul Qulubil Abror hal. 125)

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi

Buletin Al Ilmu

###

Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari Api Neraka

Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim: 8)

Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita. Taubat yang seperti ini tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih. Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.

Melakukan amal ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam rangka menjaga diri dari api neraka. Seorang kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah dan tidak berbuat maksiat, karena ia adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)

Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)

Allah telah berfirman:

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab terhadap anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak. Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang mungkar.

Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang, surat kabar, dan majalah yang rusak.

Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan ketaatan? Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?

Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba, sebagaimana surga pun dekat. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْجَنَّةُ أَدْنَى إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ
“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya dan neraka pun semisal itu.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud)

Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 2/167)

Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah dan meninggalkan kewajiban?

Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka bila ia keluar menuju masjid sementara ia membiarkan anak-anaknya masih pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar mengerjakan shalat? Atau anak-anak itu dibiarkan asyik dengan permainan mereka, tidak diingatkan untuk shalat?

Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan raya dengan motor ataupun mobil. Sementara sang ayah tiada berupaya meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak. Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah dalam surah At-Tahrim di atas. Wallahul musta’an.

Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma sallim!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 051

###

Syaikh Shaleh Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah

Wahai sekalian manusia ketahuilah bahwa keadaan pada masa ini berbeda dengan keadaan masa lalu. Dahulu mereka tidak mengetahui keadaan negeri lain dan tidak pula mengetahui peristiwa yang terjadi kecuali di negeri mereka dan sekitarnya saja.

Adapun pada zaman ini dunia seakan saling berdekatan dan dunia ini sebagaimana dikatakan seakan-akan seperti hanya satu desa saja. Tanggung jawab terbesar pada saat sekarang ini adalah terletak pada anak-anak.

Bimbinglah mereka dan jagalah mereka dari bahaya berbagai pemikiran-pemikiran yang sesat, jagalah mereka agar tidak sebebasnya pergi ketempat-tempat hiburan atau ketempat-tempat lain, jagalah mereka jangan sampai mereka dikendalikan oleh pihak lain selain kalian, janganlah kalian mengamanahkan mereka kecuali kepada orang yang kalian ketahui kejujuran, keamanahan serta keikhlasannya.

Walaupun anak-anak tersebut tinggal dekat dengan kalian tapi hati-hati mereka dan pemikiran mereka terkadang jauh dari kalian.

Awasilah segala bentuk media sosial baik itu twiter dan selainnya.
Jauhkan segala bentuk media-media yang merusak.

Semangatlah di dalam menjaga rumah anda dari segala bentuk media sosial yang bisa merusak.

Jangan katakan: Saya tidak mampu mengawasi mereka….

Berusahalah untuk mampu dikarenakan mereka berada di bawah tanggung jawab kalian.

Kalau mereka (anak-anak tersebut) mengetahui dari diri anda adanya sebuah tekad dan kemauan yang besar niscaya pasti mereka akan terdidik bersama anda.

Namun jika mereka mengetahui adanya sikap bergampang-gampangan dari anda atau menutup mata (dari semua ini) maka mereka juga pasti akan bermudah-mudahan dan akan terdidik dalam jalan kejelekan kecuali siapa yang Allah rahmati.

Jagalah anak-anak kalian lebih dari penjagaan seorang pengembala terhadap serigala yang akan menerkam domba-domba mereka, dikarenakan anak-anak kalian juga terancam keselamatannya dari serigala yang berwujud manusia.

Jika niat kalian baik dan kalian jujur didalam tekad kalian maka pasti Allah akan menolong anda.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang beriman dan anak keturunan merekapun beriman maka pasti kami akan mempertemukan mereka dengan anak keturunan mereka (di surga) dan kami tidak akan mengurangi sedikitpun dari amalan mereka, setiap orang akan mendapatkan apa yang dia usahakan.” [Ath Thur: 21]

Ketahuilah tanggung jawab ini besar dan hisab (perhitungan amalan) sangatlah detail dan terperinci dan mengikuti bimbingan sangatlah berat kecuali siapa yang Allah beri taufik dan dia jujur di dalam niatnya dan baik keadaan hatinya, maka Allah akan meluruskan dan memudahkan dia di dalam mendidik anak-anaknya dan anak-anak tersebut akan mudah diarahkan jika ada kejujuran, keamanahan serta tekad yang kuat dan tidak ada sikap bermudah-mudahan.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Soal:
Bismillah. Bolehkah menghukum anak dengan memukulnya agar jera sehingga menjadi pelajaran baginya dan bagi teman-temannya?

Jawab:
Pendidikan Islam dibangun di atas rahmah dan kelembutan, khususnya tarbiyah anak-anak. Kekerasan dan kekasaran dalam pendidikan tidak dibenarkan dalam syariat. Yang ada adalah ketegasan dan kedisiplinan dengan rambu-rambunya.
Apabila ada anak yang salah melanggar, hukumannya disesuaikan dengan kadar dan jenis kesalahan, juga kondisi setiap anak. Bisa jadi diberi peringatan, hukuman ringan, sedang, atau mungkin berat, asalkan tidak membahayakan.
Hukuman tidak dilihat dari usia, karena hadits tentang pembeda antar umur tujuh dan sepuluh tahun hanya dalam urusan shalat dan tempat tidur. Apabila terpaksa menghukum dengan pukulan, tidak boleh memukul wajah atau bagian tubuh yang rawan dan tidak boleh melukai. Wallahulmuwaffiq.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 083