Cari Blog Ini

Jumat, 07 Oktober 2016

Wanita Haid Saat Hari Asyura’

Haid Saat Hari Asyura’….
Apa yang Harus Dilakukan?

Syaikh Utsaimin rahimahullah ditanya (artinya), “Apakah orang yang memasuki hari Asyura’ dalam keadaan haid (sehingga tidak puasa) boleh mengqadha’nya? Kemudian adakah kaedah tentang amalan-amalan sunnah yang bisa diqadha’ dan yang tidak bisa di qadha’? Jazakallahu khairan.

Beliau rahimahullah menjawab (artinya), “Hal-hal yang sunnah (nawafil) itu ada dua macam :
1. Amalan sunnah yang memiliki sebab dilakukannya amalan tersebut.
2. Amalan sunnah yang tidak memiliki sebab dilakukannya amalan tersebut.

Amalan sunnah (yang memiliki sebab) yang terluput dengan luputnya sebab dan tidak bisa di qadha’. Misalnya: Shalat tahiyyatul masjid, Seseorang datang ke masjid lalu langsung duduk dalam waktu yang lama, lalu ia ingin menunaikan shalat tahiyyatul masjid maka shalatnya itu tidak dianggap sebagai shalat tahiyyatul masjid. Karena shalat tahiyyatul masjid adalah jenis shalat yang memiliki sebab, yaitu pelaksanaannya terikat dengan sebab. Apabila telah terluput sebabnya, maka luput pula pensyariatannya.

Dan yang semisal dengan ini adalah puasa Arafah dan puasa Asyura’. Apabila seseorang mengakhirkan puasa Arafah dan Asyura’ tanpa adanya uzur syar’i maka tidak diragukan lagi bahwa puasa tersebut tidak bisa diqadha’, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dengannya sekalipun ia mengqadha’nya, yakni puasa yang ia lakukan tidak teranggap sebagai puasa ‘Arafah dan puasa ‘Asyura’.

Adapun jika hari tersebut berlalu dari seseorang, sedangkan ia memiliki uzur syar’i, seperti wanita yang sedang haid, nifas atau orang yang sedang sakit. Maka yang nampak hukumnya juga sama, tidak bisa diqadha’. Karena puasa ini adalah puasa yang khusus pada hari tertentu, hukum pensyariatannya terluput dengan luputnya sebab (berlalunya hari disyariatkannya puasa).

Dikutip dari Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Utsaimin dalam Kitab Shiyam no. 399

Wallhu a’lam

The post Wanita Haid Saat Hari Asyura’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/07/wanita-haid-saat-hari-asyura/

MENENGOK ISI SEPUCUK SURAT SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH UNTUK KAUM MUSLIMIN

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  4 MUHARRAM 1438 H/5 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menulis dalam suatu suratnya yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk menjelaskan tentang tuduhan-tuduhan dusta terhadap beliau.

ولم نقاتل أحدا إلى اليوم إلا دون النفس والحرمة وهم الذين أتونا في ديارنا ولا أبقوا ممكنا

“Dan kami tidaklah memerangi seorang pun sampai hari ini kecuali perang untuk membela diri dan menjaga kehormatan kami. Merekalah yang mendatangi rumah-rumah kami dan mereka tidak memberikan pilihan lain”.

Surat ini ditulis Syaikh untuk menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa peperangan yang terjadi antara Dinasti Utsmaniyah melawan dakwah tauhid di negeri Nejd, Diriyyah dan sekitarnya yang dipimpin oleh Muhammad bin Su’ud bersama Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumallah terjadi karena Dinasti Utsmaniyah datang menyerang Nejd dan sekitarnya. Maka pemimpin negeri tersebut yaitu Muhammad bin Su’ud pun mempertahankan diri serta menjaga kehormatan negeri dan rakyatnya.

Disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Dinasti Utsmaniyah pada masa itu tidak memiliki kekuatan karena sesungguhnya mereka telah dikuasai oleh bangsa kafir Eropa. Para ahli sejarah juga menyebutkan pada waktu itu, daerah Nejd, Dir’iyyah dan sekitarnya tidak masuk dalam catatan wilayah kekuasaan Dinasti Utsmaniyah, dan hal ini diakui oleh musuh-musuh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.

Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkholi hafizhahullah memberi catatan atas kalimat surat Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah [ولا أبقوا ممكنا] “Apakah al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dan yang menolongnya masih akan dicela setelah (memaparkan) semua penjelasan ini”?!

Tentu apa yang dilakukan al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah  tidaklah patut untuk dicela karena jihad difa’ (jhad untuk membela diri) di dalam Islam disyari’atkan atau dibolehkan, hal ini sebagaimana sabda Nabi sallallahualaihi wasallam (artinya), “Barang siapa yang terbunuh dalam rangka menjaga hartanya maka dia syahid”. Juga dalam riwayat lain (artinya), “Barang siapa yang terbunuh dalam rangka menjaga kehormatannya maka dia syahid”.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdl Wahhab rahimahullah juga menulis dalam suratnya yang lain (artinya), “Akan tetapi terkadang kita memerangi sebagian mereka dalam rangka membalas apa yang mereka lakukan karena Allah berfirman (artinya), “Dan balasan kejelekan adalah kejelekan yang semisal” (Asy Syura:40).

Hal ini (membalas kejelekan dengan kejelekan yang semisal) boleh dilakukan dalam masalah pribadi, lantas bagaimana jika dalam masalah agama?!

Dan dalam surat lain yang ditujukan kepada seorang tokoh yang bernama Ismail al Jara’i tertulis (artinya), “Adapun perkataan mereka, bahwa kami mengkafirkan manusia secara umum, hal itu adalah kedustaan dari musuh-musuh tauhid yang hendak menghalang-halangi manusia dari agama ini, maka kami katakan mahasuci Allah subhanahu wa ta’ala ini adalah kedustaan yang besar. Adapun orang-orang shaleh dari kalangan para ulama’ mereka tetap berada dalam kesalehannya –semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka- akan tetapi kami katakan mereka (ulama’ yang salih) tidak memiliki hak sedikitpun dalam peribadatan, Allah subhanahu wa ta’alaberfirman (artinya) “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah subhanahu wa ta’ala, maka janganlah sekalipun kamu menyembah seorang pun bersama denga menyembah Allah”.

Beliau juga menulis surat untuk menjawab sebuah pertanyaan “Bagaimanakah sifat seorang yang boleh kita perangi dan sifat seorang yang boleh kita kafirkan”?

Beliau menjawab (artinya), “Rukun islam yang lima. Yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian 4 rukun berikutnya. Dan 4 rukun ini jika mengimaninya kemudian meninggalkannya karena malas, maka meskipun kami memerangi mereka atas perbuatannya itu tapi kami tidak mengkafirkannya hanya karena mereka meninggalkan rukun-rukun islam tersebut karena malas. Ulama’ berselisih pendapat dalam permasalahan kafirnya seseorang yang meninggalkan rukun-rukun islam yang empat karena malas bukan karena mengingkari rukun-rukun tersebut. Kami tidak mengkafirkan kecuali pada apa yang ulama’ telah bersepakat atasnya yaitu kafirnya orang yang meninggalkan syahadatain”.

Perlu diketahui bolehnya membunuh jiwa tidak hanya dikarenakan kekafiran dan kemurtadan saja, tapi juga boleh karena sebab lain seperti hukum had, hukum rajam dan lain-lain.

Dan diantara kebohongan dan kedustaan mereka (musuh dakwah tauhid) ialah, mereka mengatakan bahwa kami mewajibkan kepada kaum muslimin (yang masih mampu mengamalkan tauhid di negerinya) untuk hijrah ke negeri kami, dan bahwa kami mengkafirkan orang-orang yang tidak mau mengkafirkan orang yang telah kami kafirkan dan orang yang tidak mau memerangi orang-orang yang kami perangi.

Syaikh menyebutkan dalam suratnya (artinya), “Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah patung yang berada di atas kubur Abdul Qadir al Jaelani, dan kami juga tidak mengkafirkan orang yang menyembah kepada patung yang berada di atas kubur Ahmad al Badawi yang mana mereka melakukan hal tersebut karena kejahilan (tidak tahu hukum) mereka dan tidak ada satu orang pun yang menjelaskan kepada mereka bahwa hal tersebut adalah syirik bagaimana mungkin kami akan mengkafirkan seseorang hanya karena ia tidak mau berhijrah ke negeri kami, dan bagaimana mungkin kami mengkafirkan seseorang hanya karena tidak mau memerangi orang yang kami perangi?! maka demi Allah ini adalah kedustaan yang nyata”.

The post MENENGOK ISI SEPUCUK SURAT SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB RAHIMAHULLAH UNTUK KAUM MUSLIMIN appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/07/menengok-isi-sepucuk-surat-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab-rahimahullah-kaum-muslimin/