1. Melaksanakannya secara berjamaah.
2. Memperbanyak jamaah shalat.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.” (HR. Muslim no. 2195)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah memberikan syafaat mereka itu terhadapnya.” (HR. Muslim no. 2196)
3. Makmum membentuk tiga shaf atau lebih.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu ia dishalati oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan ia diampuni.” (HR. Abu Dawud no. 3166)
Abu Umamah radhiallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir 7785 dan Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 3/432)
4. Melaksanakannya di mushalla (lapangan tempat shalat), di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah. Namun jika melaksanakannya di masjid maka tidak mengapa.
Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata, "Orang-orang Yahudi mendatangkan seorang pria dan wanita yang berzina kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dirajam di tempat yang dekat untuk meletakkan jenazah di samping masjid." (HR. Bukhari)
Muhammad bin Abdillah bin Jahsyin berkata, "Kami dulu biasa duduk-duduk di halaman masjid yaitu tempat di mana diletakkan jenazah." (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Jabir radhiallahu anhu berkata, "Dan kami meletakkan jenazah itu untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (shalati) di tempat peletakan jenazah di sisi Maqam Jibril." (HR. al-Hakim)
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam keluar ke mushalla dan menyusun shaf para shahabat lalu bertakbir sebanyak empat kali." (HR. Bukhari dan Muslim)
Aisyah radhiallahu anha berkata, "Tatkala Sa'ad bin Abi Waqqash meninggal dunia, para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh agar jenazahnya dibawa ke masjid sehingga mereka (para istri Nabi shallallahu alaihi wasallam) dapat menshalatinya. Kemudian sampailah
informasi kepada mereka (para istri
Nabi shallallahu alaihi wasallam) bahwa orang-orang mengecam kejadian tersebut dan mereka berkata: "Ini adalah bid'ah. Sebelumnya tidak pernah jenazah dimasukkan ke dalam masjid." Sikap mereka sampai kepada 'Aisyah, lalu ia berkata, "Betapa tergesa-gesanya mereka mencela kami karena kami memasukkan jenazah ke dalam masjid. Tidaklah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menshalati Suhail bin Baidha' kecuali di ruang dalam masjid." (HR. Muslim. Tambahan: "Ini adalah bid'ah" ada pada riwayat Baihaqi)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Barang siapa menshalatkan jenazah di masjid maka tidak mengapa." (Lihat ash-Shahihah no. 2352)
5. Bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya.
Samurah bin Jundab radhiallahu anhu berkata, “Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi shallallahu alaihi wasallam berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1332 dan Muslim no. 2232)
Abu Ghalib Al-Khayyath rahimahullah berkisah:
Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik radhiallahu anhu menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas, "Wahai Abu Hamzah, tolong shalatilah." Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah. Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (tabi’in tsiqah, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata, "Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?" Anas menjawab, "Iya.” (HR. Abu Dawud no. 3194)
6. Bertakbir 4 kali di dalam shalat. Diperbolehkan bertakbir lebih dari 4 kali, sehingga apabila imam bertakbir lebih dari 4 kali maka makmum wajib mengikutinya.
Abdullah bin Zubair radhiallahu anhuma berkata, "Nabi shallallahu alaihi wasallam menshalatkan jenazah Hamzah radhiallahu anhu lalu beliau bertakbir sembilan kali." (HR. Thahawi)
Musa bin Abdillah bin Yazid berkata, "Sesungguhnya Ali menshalatkan Abu Qatadah radhiallahu anhu dengan bertakbir sebanyak tujuh kali." (HR. Thahawi dan Baihaqi)
Dari Ali radhiyallahu anhu bahwasanya ia bertakbir terhadap jenazah Sahl bin Hunaif sebanyak 6 kali dan berkata: “Sesungguhnya ia adalah Sahabat yang ikut perang Badr.” (Riwayat Said bin Manshur dan asalnya di riwayat al Bukhari)
Abdi Khair rahimahullah berkata, "Dulu Ali bin Abi Thalib bertakbir enam kali ketika menshalati jenazah ahli Badr. Sedangkan atas jenazah shahabat Nabi yang lain lima kali dan jenazah atas semua manusia empat kali." (HR. Thahawi dan Baihaqi)
Dari Abdurrahman bin Abi Laila beliau berkata: Adalah Zaid bin Arqam radhiyallaahu anhu bertakbir terhadap jenazah-jenazah kami 4 kali, dan ia pernah bertakbir 5 kali terhadap satu jenazah, kemudian aku bertanya kepadanya. Ia mengatakan: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam (pernah) bertakbir demikian. (Riwayat Muslim dan Imam yang Empat)
Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata, "Bertakbirlah kalian di dalam menshalatkannya (jenazah) sebagaimana takbirnya imam-imam (shalat) kalian. Tidak ada batasan dan tidak ada bilangan tertentu dalam hal ini." (Diriwayatkan oleh Thahawi dan Baihaqi)
Al-Imam at-Thohawy berpendapat bahwa jumlah takbir lebih dari 4 itu khusus untuk jenazah orang ‘alim atau yang memiliki keutamaan dalam Islam.
7. Mengangkat kedua tangan pada setiap takbir. *)
8. Membaca surat al-Fatihah dan surat lain setelah takbir pertama secara sirr.
Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata:
Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab, “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah dan haq (kebenaran).” (HR. Al-Bukhari no. 1335 dan An-Nasa`i no. 1987, 1988)
Abu Umamah bin Sahl radhiallahu anhu berkata, “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.” (HR. An-Nasa`i no. 1989)
9. Bershalawat untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah takbir kedua. Lafadznya sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud.
10. Berdoa secara khusus untuk si mayat secara sirr setelah takbir ketiga.
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats-tsalji wal-barad. Wa naqqihi minadz-dzunuubi wal-khathaayaa kamaa yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul-jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil-qabri wa min ‘adzaabin-naar.
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari perkara yang tidak baik dan maafkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah ia (dari bekas-bekas dosa) dengan air, salju dan es. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana engkau mensucikan pakaian putih dari noda. Gantikanlah untuknya rumah yang lebih baik dari rumahnya, dan istri yang lebih baik dari istrinya. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dia dari adzab kubur dan dari adzab neraka.” (HR. Muslim no. 2229, 2231)
Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa untsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minnaa fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhillanaa ba’dahu.
“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang hadir dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam dan siapa yang engkau wafatkan di antara kami maka wafatkanlah dia di atas iman. Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1498)
11. Bila mayat itu anak kecil, maka disenangi untuk mendoakan kedua orang tuanya (di dalam shalat) agar mendapatkan ampunan dan rahmah.
12. Berdoa setelah takbir keempat/terakhir sebelum salam
Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu berkata, “Aku menyaksikan Nabi shallallahu alaihi wasallam (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat –untuk berdoa–.” (HR. Al-Baihaqi 4/35)
13. Salam dua kali, ke kanan dan ke kiri, sebagaimana salam di dalam shalat fardhu. Diperbolehkan hanya salam satu kali ke kanan.
14. Mengucapkan salam secara sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum.
15. Tidak boleh menshalatkan orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
16. Adapun orang-orang fajir dan fasiq maka tetap dishalatkan. Hanya saja bagi tokoh masyarakat dan tokoh agama seyogianya tidak menshalatkannya, untuk memberikan hukuman dan pelajaran kepada orang-orang yang semacam mereka.
Abu Qatadah radhiallahu anhu berkata, "Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila diundang untuk menshalati jenazah beliau menanyakan tentang orang itu. Jika disebut-sebut dengan kebaikan maka beliau berdiri dan menshalatinya. Tetapi jika disebut-sebut dengan selain itu maka beliau katakan kepada keluarganya: "Uruslah oleh kalian" dan beliau tidak menshalatinya." (HR. Ahmad dan al-Hakim)
*) Lihat postingan Tentang MENGANGKAT TANGAN DI SETIAP TAKBIR PADA SALAT JENAZAH DAN SALAT ID