Cari Blog Ini

Kamis, 30 April 2015

Tentang IMAM DAN MAKMUM BERSAMA-SAMA MEMBACA AMIN DENGAN SUARA KERAS

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
هل يشرع للمأموم الجهر بالتأمين في الصلاة الجهرية، وإذا لم يجهر الإمام بالتأمين؟
Apakah disyariatkan bagi makmum untuk mengeraskan bacaan amin pada shalat jahriyah, padahal imam tidak mengeraskan bacaan aminnya?

Jawaban:
نعم يجهر الإمام والمأموم يجهرون بالتأمين هذا هو السنة، وإذا لم يجهر الإمام يجهر المأمومون يأتون بالسنة
Iya!  Imam dan makmum mengeraskan bacaan amin, inilah yang sunnah. Adapun kalau imam tidak mengeraskan aminnya, maka makmum harus tetap mengeraskan aminnya agar mereka tetap melakukan sunnah.

Sumber: 
alfawzan .af .org .sa/node/14699

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin رحمه الله

Penanya:
هل تجب متابعة الإمام في التأمين؟
Apakah wajib mengikuti imam ketika membaca aamiin?

Jawaban:
نعم التأمين سنة مؤكدة؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أمن الإمام فأمنوا
Membaca aamiin (bersama imam) sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan), berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: Jika imam mengucapkan aamiin maka ucapkanlah aamiin.
ويكون تأمين الإمام والمأموم في آنٍ واحد، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا قال الإمام: ولا الضالين، فقولوا: آمين
Dan juga ucapan aamiin imam dan makmum harus pada waktu yang bersamaan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam: Jika imam telah mengucapkan waladdholin, maka ucapkanlah oleh kalian aamiin.

Penanya:
الفضل الذي ورد في الحديث لمن وافق إمامه في التأمين حتى يوافق تأمين الملائكة، هل من سبق إمامه يدخل في هذا الفضل؟
Disebutkan pada sebuah hadits bahwa seorang makmum yang mengikuti bacaan aamiin-nya imam kemudian bertepatan dengan aamiin-nya malaikat akan mendapatkan keutamaan.
Apakah makmum yang mendahului aamiin-nya imam juga akan mendapat keutamaan ini?

Jawaban:
من سبق إمامه في هذا فإنه لا يدخل في هذا الفضل؛ لأنه قال: فمن وافق
Barang siapa yang mendahului imamnya dalam ucapan aamiin, maka dia tidak mendapatkan keutamaan di atas, dikarenakan Nabi bersabda: Barang siapa yang menepati ucapan aminnya.
لكن لو فرض أن الإمام تأخر فحينئذٍ لا حرج على المأموم أن يؤمن
Akan tetapi kalau seandainya imamnya terlambat dalam mengucapkan aamiin, maka tidak mengapa makmum mengucapkan aamiin-nya.

Sumber:
ajurry .com/vb/showthread .php?t=41154

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Rabu, 29 April 2015

Tentang SEORANG AYAH MELARANG PUTRINYA MENIKAH

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك اللهُ فيكم شيخنا ونفع بكم الإسلام والمُسلمين، السؤال الرابع عشر؛ هل يجوز للأب أن يمنع ابنتهُ من الزواج، بِحُجَّة الدِّراسة؟
Semoga Allah memberkahi anda wahai syekh kami, dan semoga menjadikan anda bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Pertanyaan keempat belas: Apakah boleh seorang ayah melarang putrinya menikah dengan alasan karena dia masih belajar?

Jawaban:
لا يحِلُّ لهُ ذلك، قال صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذا أتاكُم مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وخُلُقَهُ فَزوجوه.. الحديث، وهذا لا يقِلُ عن الحسن بمجموعِ طُرقه، وقد يصحِّحهُ بعضُ أهل العِلم، فإذا رأى أنها قد بلغت مبلغ النِساء و أتاهُ من يُرضى دينهُ وخُلُقهُ فليعرضهُ عليها، ولا يحِلُّ لهُ أن  يمنعها، لكن إذا رفضت هذا شيء يعود عليها هي
Tidak boleh demikian!
Rasul shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jika ada pria yang baik agamanya dan baik akhlaknya mendatangi kalian (melamar anak perempuan anda), maka nikahkanlah dia...
Hadits ini derajatnya hasan dengan mengumpulkan semua jalurnya, dan sebagian ulama menyatakannya shahih.
Maka kalau wanitanya telah baligh kemudian ada seorang pria yang baik agama dan akhlaknya hendak menikahinya, maka tawarkanlah pria itu kepada putri anda dan jangan anda mencegahnya untuk menikah. Adapun kalau putri anda yang menolaknya, maka ini dikembalikan urusannya kepada dia.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11074

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Minggu, 26 April 2015

Tentang BEBERAPA SUNAH DI AWAL MALAM

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَخَلُّوهُمْ وَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ
“Apabila malam telah datang atau pada waktu sore, tahanlah anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari awal malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah (membaca basmalah) karena setan tidak bisa membuka pintu yang ditutup (dengan menyebut nama Allah). Tutuplah tempat minum kalian dan sebutlah nama Allah. Tutuplah bejana-bejana kalian dengan menyebut nama Allah, walaupun dengan membentangkan sesuatu di atasnya, dan padamkanlah lampu-lampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kamis, 23 April 2015

Tentang MELINDUNGI ANAK-ANAK DARI GANGGUAN JIN DAN SETAN

Al-Ustadzah Ummu Umar Asma

Bagaimana Melindungi Anak dari Setan

Melindungi anak dari setan bisa dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu:

1. Mendoakan mereka dengan doa,
أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Aku memintakan perlindungan bagi kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan, sengatan binatang, dan dari pandangan mata yang berbahaya.” (Hadits ini dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 1535)
Beliau shallallahu alaihi wasallam mendoakan kedua cucu beliau, Hasan dan Husain radhiallahu anhuma, dengan doa ini. Beliau shallallahu alaihi wasallam juga mengatakan bahwa Nabi Ibrahim pun mendoakan kedua putra beliau, Ismail dan Ishaq, dengan doa ini. Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita mesti mengamalkannya. Kita lindungi buah hati kita dengan membacakan doa ini pada waktu pagi dan petang.

2. Menjaga rumah dengan senantiasa berzikir kepada Allah.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengabarkan,
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ
“Apabila seseorang masuk ke rumahnya dengan berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika masuk dan ketika hendak makan, berkatalah setan (kepada teman-temannya), ‘Tidak ada tempat bermalam dan makan malam bagi kalian.’ Apabila dia masuk tanpa menyebut nama Allah, setan berkata, ‘Kalian mendapat tempat bermalam.’ Apabila dia juga tidak berzikir ketika hendak makan, setan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’.” (HR. Muslim no. 3762)

3. Menjaga mereka di awal malam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga memberi kita tuntunan untuk menjaga diri, anak, dan rumah kita dari setan. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِذَا كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ أَوْ أَمْسَيْتُمْ فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْتَشِرُ حِينَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ فَخَلُّوهُمْ وَأَغْلِقُوا الْأَبْوَابَ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا، وَأَوْكُوا قِرَبَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَخَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ، وَلَوْ أَنْ تَعْرُضُوا عَلَيْهَا شَيْئًا، وَأَطْفِئُوا مَصَابِيحَكُمْ
“Apabila malam telah datang atau pada waktu sore, tahanlah anak-anak kalian karena setan sedang berkeliaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari awal malam, biarkanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu dan sebutlah nama Allah (membaca basmalah) karena setan tidak bisa membuka pintu yang ditutup (dengan menyebut nama Allah). Tutuplah tempat minum kalian dan sebutlah nama Allah. Tutuplah bejana-bejana kalian dengan menyebut nama Allah, walaupun dengan membentangkan sesuatu di atasnya, dan padamkanlah lampu-lampu kalian.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Sumber:
Majalah Muslimah Qonitah Edisi 12

Sabtu, 18 April 2015

Tentang BERSYUKUR DAN BERTERIMA KASIH ATAS KEBAIKAN ORANG

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
من لــم يشكــر الناس لــم يشكر الله عــز وجل
Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak bersyukur kepada Allah azza wa jalla.

Al-Khaththabiy di dalam kitab Maaalimus Sunan (4/113) berkata:
Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam ini ditafsirkan dari dua sisi:
▪SISI PERTAMA: 
أن من كان طبعه وعادته كفران نعمة الناس وترك الشكر لمعروفهم كان من عادته كفران نعمة الله، وترك الشكر له سبحانه
Bahwa seseorang yang tabiat dan kebiasaannya kufur terhadap nikmat yang diberikan manusia dan tidak bersyukur atas perbuatan baik mereka, maka kebiasaannya ia akan kufur dari nikmat Allah dan tidak bersyukur kepada-Nya Yang Maha Suci.
▪SISI KEDUA:
أن الله سبحانه لا يقبل شكر العبد على إحسانه إليه إذا كان العبد لا يشكر إحسان الناس، ويكفر معروفهم لاتصال أحد الأمرين بالآخر
Bahwa Allah Yang Maha Suci TIDAK menerima syukur seorang hamba atas kebaikan-Nya kepada hamba itu APABILA hamba itu TIDAK bersyukur atas kebaikan manusia dan MENGKUFURI perbuatan baik mereka, dikarenakan berhubungan antara salah satu perkara dari yang lainnya.

Kamis, 16 April 2015

Tentang MEMENUHI UNDANGAN ORANG SYIAH DAN MEMAKAN SEMBELIHAN ORANG SYIAH

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Soal:
ما حكم قبول دعوة الروافض للأعراس؟ وهل تحل ذبحتهم؟
Apa hukum menerima undangan pernikahan orang-orang Rafidhah? Apakah halal sembelihan mereka?

Jawab:
ذبحتهم لا، أما دعوتهم إذا كان يرجى إنهم يتوبون هذا من تأليفهم للتوبة، أو إنهم جيران، الجار له حق بعد، إذا كانوا جيران يدعوهم
Daging hewan sembelihan mereka tidak (halal).
Adapun masalah undangan mereka, jika (dengan mendatangi tersebut) diharapkan mereka bertaubat maka tindakan ini termasuk cara melembutkan mereka untuk bertaubat. Atau mereka adalah tetangga. Tetangga memiliki hak (yang harus kita tunaikan) sebelumnya. Jika mereka adalah tetangga maka dakwahi mereka.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14788

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Berkata Thalhah Bin Musharrif rahimahullah (wafat pada tahun 112 Hijriah):
ﺍﻟـــﺮﺍﻓﻀﺔ ﻻ ﺗﻨﻜﺢ ﻧﺴﺎﺅﻫــﻢ ﻭﻻ ﺗﺆﻛــﻞ ﺫﺑﺎﺋﺤﻬـــﻢ ﻷﻧﻬﻢ ﺃﻫــﻞ ﺭﺩﺓ
"Orang-orang Syi'ah Rafidhah, tidak dinikahi wanita-wanita mereka dan tidak dimakan sembelihan mereka KARENA mereka orang-orang murtad." [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah Al 'Akbari dengan sanadnya (lihat Al Ibanah Sughra hal 161)]

Al Imam Ahmad bin Yunus rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kami tidak mau memakan sembelihan seorang Syi’ah Rafidhah, karena kami menganggap mereka telah murtad (kafir).” [Lihat As Sunnah karya Al Khallal, 1/499]

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata:
ﻣﺎ ﺃﺑﺎﻟﻲ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﺠﻬﻤﻲ ﻭ ﺍﻟﺮﺍﻓﻀﻲ ﺃﻡ ﺻﻠﻴﺖ ﺧﻠﻒ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ، ﻭﻻ ﻳﺴﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻻ ﻳﻌﺎﺩﻭﻥ ﻭﻻ ﻳﻨﺎﻛﺤﻮﻥ ﻭﻻ ﻳﺸﻬﺪﻭﻥ ﻭﻻ ﺗﺆﻛﻞ ﺫﺑﺎﺋﺤﻬﻢ
“Bagiku sama saja shalat di belakang Jahmi (seorang penganut akidah Jahmiyah) dan Rafidhi (Syiah) atau di belakang Yahudi dan Kristen. Mereka tidak boleh diberi salam, tidak boleh pula dikunjungi ketika sakit, dinikahkan, dijadikan saksi, dan dimakan sembelihannya.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)

Jumat, 10 April 2015

Tentang MENCELA DAN MENCERCA ORANG LAIN

Wajib bagi seorang muslim menjaga lisannya dari mencela dan mencerca saudaranya, sekalipun kepada pembantunya. Hendaklah dia berlemah lembut dan mengarahkan dengan baik jika saudaranya jatuh kepada kesalahan.

Dari Anas radhiyallahu 'anhu beliau berkata:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ليس له خادم فأخذ أبو طلحة بيدي فاطلق بي إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أنسا غلام كيس فليخدمك قال: فخدمته في السفر والحضر ما قال لي لشيء صنعته لم صنعت هذا هكذا ولا لشيء لم أصنعه لم لم تصنع هذا هكذا
Saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau tidak mempunyai pembantu, lalu Abu Thalhah menggandeng tanganku untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu dia berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas ini adalah seorang anak yang cerdas dan dia siap melayani Anda." Maka aku melayani Beliau baik saat bepergian maupun muqim (tinggal), dan Beliau tidak pernah berkata kepadaku terhadap apa yang aku lakukan: "Kenapa kamu berbuat begini begitu" dan tidak pernah juga mengatakan terhadap sesuatu yang tidak aku lakukan: "Kenapa kamu tidak berbuat begini begitu". [HR. Al-Bukhari]

Di antara bentuk pergaulan yang baik adalah menjaga perasaan orang dari hal-hal yang dapat menyakitinya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ﺃَﺧُﻮ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ، ﻟَﺎ ﻳَﻈْﻠِﻤُﻪُ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺨْﺬُﻟُﻪُ، ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺤْﻘِﺮُﻩُ، ﺍﻟﺘَّﻘْﻮَﻯ ﻫَﻬُﻨَﺎ - ﻳُﺸِﻴﺮُ ﺇِﻟَﻰ ﺻَﺪْﺭِﻩِ ﺛَﻠَﺎﺙَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ - ﺑِﺤَﺴْﺐِ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﺃَﻥْ ﻳَﺤْﻘِﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak boleh dia menzalimi, menelantarkan, dan menghina saudaranya. Takwa itu ada di sini.” Beliau menunjuk ke dada beliau tiga kali. “Cukuplah seseorang dikatakan jahat ketika merendahkan saudaranya se-Islam.” (HR. Muslim no. 2564‏)

Al-Mawardi rahimahulah berkata:
“Banyak mencerca adalah sebab putusnya hubungan persahabatan.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 17-54)

Namun, hal ini jangan disalah pahami sehingga dijadikan alasan meninggalkan nasihat yang baik atau amar ma’ruf nahi mungkar karena khawatir menyinggung perasaan orang lain.

Tentang MENANGGUNG ANAK YATIM

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وأنا وكافل اليتيم في الجنة هكذا، وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا
"Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini." Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah. [Muttafaqun alaihi]

Tentang SALING MEMBERI HADIAH

Hadiah merupakan alat untuk bisa menumbuhkan rasa kasih sayang antara yang memberi dengan yang diberi. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
تهادوا تحابوا
"Saling memberi hadiahlah kalian, maka niscaya kalian saling mencintai." [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, dihasankan al-Allamah al-Albani]

Berkata Anas bin Malik radhiyallahu anhu:
يا بني! تبادلوا بينكم فإنه أود لما بينكم
"Wahai anakku! saling memberilah kalian, karena sesungguhnya (saling memberi) itu akan lebih mengeratkan hubungan di antara kalian." [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad, dihasankan al-Allamah al-Albani]

###

PERBEDAAN ANTARA HADIAH, SHADAQAH, dan HIBAH
(dari penjelasan al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah)

HADIAH: Tujuannya adalah kasih sayang dan kecintaan kepada seseorang (yang diberi hadiah), bukan memberikan manfaat kepadanya. Oleh karena itu, hadiah bisa diberikan kepada orang kaya, bahkan yang lebih kaya darimu.

Adapun SHADAQAH: Tujuannya adalah mengharapkan pahala akhirat dan memberikan manfaat kepada orang yang diberi shadaqah.

Sedangkan HIBAH: Tujuannya adalah hanya memberikan manfaat kepada penerima hibah.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=125426

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang ISTRI SALIHAH

Alloh berfirman:
“Sebab itu maka wanita salehah ialah yang taat kepada Alloh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Alloh telah memelihara mereka.” (an-Nisaa: 34)

Rasululloh bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا، ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban di shahihkan oleh syaikh al-Albani)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلاَتُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas dirinya dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.”
(HR. An-Nasa’i, Hakim dan Ahmad. Berkata Al-Hakim, “Shahih menurut syarat Muslim,” dan disepakai Imam adz Dzahabi dan hasankan oleh Syaikh al-Albani didalam Silsilah Ash Shahihah 4/453)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِوَنَارُكِ
“Perhatikanlah posisimu (hubunganmu) terhadap suamimu sebab dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad no 19025 dan al-Hakim dan selainnya, ia menyatakan hadits shahih dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَنْظُر اللَّه إِلَى اِمْرَأَة لَا تَشْكُر لِزَوْجِهَا، وَهِيَ لَا تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia tidak merasa cukup darinya.” (HR. Nasa’i, al-Baihaqi, Haitsami, al-Bazzar, Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُءُوسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌمِنْ مَوَالِيهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌعَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
“Dua orang yang tidak lewat shalat mereka dari kepala mereka: seorang budak yang lari dari tuan (majikanya) sampai dia kembali, seorang istri yang bermaksiat (tidak taat) kepada suaminya sampai dia kembali (taat).” (HR Ath-Thabrani, al-Hakim dihasankan oleh syaikh al-Albani)

Rasululloh bersabda, “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur namun sang istri menolaknya, kemudian suami pun tidur dalam keadaan marah maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. al-Bukhari no. 2998 dan Muslim no. 2596)

Rasululloh bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Janganlah kamu menyakitinya, semoga Alloh memerangimu, karena sesungguhnya dia di sisimu hanya sementara saja, sebentar lagi ia akan berpisah denganmu dan akan kembali kepada kami’.” (HR. at-Tirmidzi no. 1094, lihat ash-Shahihah no. 173)

Asy-Syaikh al-Albani berkata,
“Hadits ini, sebagaimana engkau perhatikan, merupakan peringatan bagi para istri yang suka menyakiti suaminya.” (ash-Shahihah juz 1, hlm. 172)

###

Menaati Suami

Alloh berfirman:
“Sebab itu maka wanita salehah ialah yang taat kepada Alloh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Alloh telah memelihara mereka.” (an-Nisaa: 34)

Syaikhul Islam menerangkan tentang ayat ini:
“Di sini mengandung konsekuensi wajibnya ketaatan istri kepada suami secara mutlak baik dalam hal pelayanan, bepergian bersama suami, setia kepada suami dan lain sebagainya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam sunnah Rasululloh.” (Majmu’ al-Fatawa juz 32 hlm. 260-261)

Sebagai contoh adalah sabda Rasululloh, “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur namun sang istri menolaknya, kemudian suami pun tidur dalam keadaan marah maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. al-Bukhari no. 2998 dan Muslim no. 2596)

Mana yang lebih utama bagi seorang istri; berbakti kepada kedua orang tua ataukah taat kepada suami?
Syaikhul Islam menjawab:
“Segala puji bagi Alloh, Rabb semesta alam. Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap istrinya tersebut daripada kedua orang tuanya, dan ketaatan istri kepada suaminya adalah lebih wajib (daripada kepada kedua orang tuanya).” (Majmu’ al-Fatawa juz 32, hlm. 261)

Rasululloh telah menjanjikan kepada para istri shalehah,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا، ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban di shahihkan oleh syaikh al-Albani)

Namun ketaatan yang dimaksud di sini adalah ketaatan dalam perkara kebaikan dan bukan dalam perkara kemaksiatan. Sehingga apabila suami memerintahkan istri untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh bagi istri untuk mentaati perintahnya. Nabi telah bersabda, “Mendengar dan taat adalah kewajiban bagi seorang muslim dalam perkara yang disukai dan tidak disukai selama tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari no.6611)

###

Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan:
Seorang wanita yang telah menikah dihadapkan pada dua perintah yang berbeda. Kedua orang tuanya memerintahkan suatu perkara mubah, sementara suaminya memerintahkan yang selainnya. Lantas yang mana yang harus ditaatinya, kedua orang tua atau suaminya? Mohon disertakan dalilnya!

Jawab:
“Ia turuti perintah suaminya. Dalilnya adalah seorang wanita ketika masih di bawah perwalian kedua orang tuanya (belum menikah) maka ia wajib menaati keduanya. Namun tatkala ia menikah, yang berarti perwaliannya berpindah dari kedua orang tuanya kepada sang suami, berpindah pula hak tersebut –yaitu hak ketaatan– dari orang tua kepada suami. Perkaranya mau tidak mau harus seperti ini, agar kehidupan sepasang suami istri menjadi baik dan lurus/seimbang. Jika tidak demikian, misalnya ditetapkan yang sebaliknya, si istri harus mendahulukan kedua orang tuanya, niscaya akan terjadi kerusakan yang tidak diinginkan. Dalam hal ini ada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits:
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, ia menaati suaminya dan menjaga kemaluannya, niscaya ia akan masuk ke dalam surga Rabbnya dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 448]

###

Asy-Syaikh ‘Abdullah al-Bukhari حفظه الله

Pertanyaan:
إلى أيِّ حدٍّ يجب أن تهتم المرأة بترتيب بيتها والاهتمام به؟ لأننا إذا رجعنا إلى الغرف الآن لا يبقى لدينا وقت لقراءة القرآن وطلب العلم الشرعي
Bagaimanakah batasan seorang istri itu dikatakan telah mengatur dan memperhatikan keadaan rumahnya?
Karena kalau kami sudah masuk ke kamar, maka tidak tersisa lagi waktu untuk membaca Alquran dan belajar ilmu syari.

Jawaban:
المرأة يجب أن تكون راعية في بيتها كما في الصحيحين أنَّ النبي -عليه الصلاة و السلام قال: ((كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ)) وفيه قوله: ((وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا)) فيجب أن تقوم بتهذيب البيت وتنسيقه بالقدر الذي يكون معه البيت مُحافَظًا عليه نظيفًا مهيَّئًا للعشرة الحَسَنة، فإنَّ من أسباب المشاكل وكثرة المشاكل، النُفرة التي تكون بين الزوجين لها أسباب كثيرة منها: هذا الباب وهو أن البيت كما يقال يعني معفوس، غير مُهذَّبٍ ولا مرتب ولا ينبغي هذا، يجب أن تقوم به بترتيب حسن، لا نبالغ ولا إفراط ولا تفريط فيه، لا نبلغ بحد الوسوسة ولا بحد الإهمال، فيجب أن يكون المكان حسنا والمكان نظيفًا ومهيَّئًا للأولاد وللزوج ولها وللجميع، أمَّا هناك حد ما هناك حد إلَّا أن يكون البيت بيتًا حَسَنًا
Seorang wanita wajib menjadi pemimpin di rumahnya, sebagaimana dalam hadits Bukhari Muslim bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannnya.
Dan pada ucapan beliau: Dan wanita merupakan pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawaban.
Maka wajib baginya untuk mengatur keadaan rumah sesuai dengan keadaan rumah tersebut. Menjaga kebersihan rumah sehingga siap untuk dihuni oleh keluarga yang baik.
Di antara sebab problem rumah tangga antara suami-istri itu adalah perkara satu ini.
Karena keadaan rumah yang berantakan, tidak rapi dan tidak diatur, ini tidak pantas.
Wajib bagimu mengatur keadaan rumah dengan baik.
Tentunya dengan kita tidak berlebihan dalam perkara ini dan juga tidak meremehkan.
Hanya saja seharusnya rumah itu senantiasa dalam keadaan rapi dan bersih sehingga bisa ditempati dengan nyaman oleh suami dan anak-anak, dan semua anggota keluarga.
Adapun batasannya, maka tidak ada batasan baku dalam perkara ini. Akan tetapi, cukup dikatakan rumah itu dalam keadaan rapi.
وقولها لأننا إذا رجعنا إلى الغرف الآن لا يبقى لدينا وقت لقراءة القرآن وطلب العلم الشرعي، ما أدري إيش معناة يعني لا وقت لدي، طيب الصباح والظهر والعصر ماذا يفعلون؟ يجب أن تُنسِّق وتُرتِّب، ويرتب زوجها معها الأوقات، أمَّا هكذا طول اليوم هم في الشارع ما ينفع يجب أن يكون هناك وقتٌ لهذا وهذا، فأعطي كل حق حقه كما قال- عليه الصلاة والسلام-: ((وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا)) وقال: (( وَإِنَّ لِأَهْلِكَ عَلَيْك حَقًّا  أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ)) يجبُ أن يُعطى كل ذي حقٍّ حقَّه
Adapun ucapannya kalau kami kembali ke kamar, maka kami sudah tidak mendapati waktu untuk membaca Alquran dan belajar ilmu syari, saya tidak paham apa maksud dia sudah tidak punya waktu.
Waktu subuh, dzuhur, ashar, apa yang mereka kerjakan?
Wajib bagimu untuk mengatur waktu, Anda dan suami Anda wajib mengatur waktu.
Adapun sepanjang hari waktunya hanya habis di jalanan, maka ini tidak bermanfaat.
Wajib untuk mengatur waktu ini untuk kegiatan ini, waktu itu untuk kegiatan itu.
Berikanlah setiap pemilik hak itu haknya masing-masing.
Sebagaimana sabda Nabi shallalahu alaihi wasallam: Sungguh jasadmu juga memiliki hak.
Dan ucapannya: Dan keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka berilah setiap pemilik hak haknya masing-masing.
Maka wajib menunaikan hak sesuai porsinya masing-masing.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/5589

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Syaikh Ubaid Al-Jabiri حفظه الله

Pertanyaan:
Semoga Allah senantiasa memberi kebaikan kepada Anda, wahai Syaikh ada pertanyaan dari kalangan wanita, ia berkata: Kami menginginkan nasihat untuk para wanita yang tersibukkan dari suaminya, sibuk dengan FACEBOOK dan WHATSAPP serta yang lainnya dari media-media sosial.

Jawab:
Ini adalah perbuatan khianat, mempermainkan hak-hak seorang suami!
Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslimah itu adalah ia menjaga harta benda suami dan anak-anaknya, membantunya dalam mendidik anak-anak, menyibukkan waktunya di rumahnya dengan perkara-perkara biasa baginya yang bermanfaat; seperti membaca Al-Quran, membaca buku-buku sesuai dengan yang mudah baginya, juga dengan shalat sunnah, jika bisa baginya untuk menunaikannya.
Dan janganlah ia tersibukkan dengan suatu perkara dari hak-hak suaminya, ini adalah perbuatan aniaya dan kedhzoliman, jika ia melakukannya lalu membelakangkan urusan melayani suaminya atau bahkan tidak melakukannya, maka ini adalah kedhzaliman dan perbuatan aniaya, dan menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (dan akan datang penyebutan haditsnya -insya Allah- di kitab al Imarah), yaitu:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا أَوْ عَلَى مَالِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ
“Dan seorang wanita itu adalah pemimpin di rumah suaminya, atau terhadap harta suaminya dan anak-anaknya.”
Dan hendaknya seorang muslimah mawas diri, dalam hadits lainnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ راع يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً وَلَمْ يُحِطْهُمْ بِنُصْحِه
“Tidak ada seorang pemimpin yang Allah tundukkan kepada suatu amanah kepemimpinan lalu tidak menjaganya dengan baik…”
Dalam riwayat hadits lainnya:
ثُمَّ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُم الْجَنَّة
“…kemudian ia meninggal dalam keadaan melakukan tipu daya kepada mereka, melainkan ia tidak akan masuk bersama mereka ke dalam syurga.”
Pada riwayat yang pertama:
إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“…melainkan Allah akan haramkan baginya syurga.”
Sehingga, haruslah seorang muslimah itu bertakwa kepada Rabb-nya dan menjaga hak suaminya, karena itu merupakan kewajiban baginya yang diperintahkan Allah kepadanya.
Kemudian juga, apa manfaat bagi seorang muslimah tatkala ia duduk dalam waktu yang lama dengan media-media tersebut?
Menyia-nyiakan waktu!
Waktu itu -wahai putriku- bisa menjadi pembela bagimu atau bisa menggugat dirimu!
Maka, bersungguh-sungguhlah dengan waktu hingga bisa menjadi pembela bagimu, dan janganlah engkau telantarkan sehingga menjadi berbalik bagi dirimu menghujatmu.

Sumber:
http://ar.miraath.net/fatwah/11340

Hanya Sedikit Faedah

###

HAK SEORANG SUAMI ATAS ISTRI

Disampaikan oleh:
Al-Ustadz Muhammad As-Sewed hafidzahullah

Diantara HAQ seorang SUAMI atas istrinya adalah:

[ 01 ] MENTAATI suami dalam perkara yang maruf.
Termasuk di dalamnya perkara yang mubah dan mentaati suaminya bukan dalam perkara kemaksiatan.
Ketika istrinya sudah mentaati suaminya, maka janganlah para suami mencari-cari alasan untuk menyalahkan istri, untuk menceraikannya atau alasan yang lainnya.

[ 02 ] Menjaga KEHORMATAN suaminya.
Menjaga kemuliaan suaminya, menjaga HARTA suaminya, menjaga RUMAH suaminya, menjaga ANAK-ANAK suaminya.
Dan inilah yang dikatakan dalam firman Allah:
فالصالحــات قانتـــات حافظـــات للغيب بمـــاحفظ الله
Para wanita yang salehah, ialah wanita yang taat, lagi menjaga diri [*] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). [An-Nisaa: 34]
_________
[*] Menjaga kehormatan suaminya, menjaga dirinya seolah-olah dia menjaga suatu yang menjadi milik suaminya, menjaga harta dan barangan milik suami ketika suaminya tidak ada di rumah.

[ 03 ] TETAP TINGGAL tinggal di rumah suaminya.
Dan tidak keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya.
Tidak TABARRUJ ala JAHILIYAH yakni antara maknanya, menjadikan keluar rumah sebagai kebiasaan sebagaimana kebiasaan wanita jahiliyah: berhias mempercantik diri, memakai wangi-wangian ketika keluar rumah.

[ 04 ] SAFAR/mengikuti suaminya ke mana suami mengajaknya.
Seharusnya wanita lebih mementingkan suaminya ketimbang keluarganya sehingga dia lebih mendahulukan suaminya ketika diajak SAFAR/tinggal berjauhan dari keluarga demi mengikuti suami.

[ 05 ] Memberikan dirinya untuk suaminya KAPANPUN suaminya MENGHENDAKINYA.
Ketika suaminya mengajak istri ke ranjangnya, maka wajib ditunaikan.

[ 06 ] Meminta izin kepada suami ketika hendak melakukan PUASA TATHAWWU (puasa sunnah) ketika suaminya berada di rumah (tidak Safar).
* Namun jika puasa wajib, tidak mengapa dikerjakan tanpa izin suami.

[ 07 ] MENDIDIK anak-anak suaminya.
Diberi didikan ADAB-ADAB yg baik
mendidik anak-anak dengan penuh KESABARAN.
TIDAK MEMARAHI anak-anak di hadapan suaminya.
Tidak mendoakan kejelekan kepada anak-anak suaminya dan tidak mencercanya.

[ 08 ] Tidak melalaikan waktu luang dengan perkara yg sia-sia (lahwun).
Misalnya, sibuk dengan main HPnya, padahal suaminya ada di hadapannya.
Isilah waktu luang dengan membaca Al-Quran, membaca ayat-ayat dan makna-maknanya.
Dan baca khususnya surat An-Nur, karena dalam surat An-Nur kata Syaikh Al-Jairullah ada adab-adab yang wajib, adab-adab rumah tangga, dan di dalamnya ada sekian pelajaran buat para wanita.
Dan juga baca surat Al-Ahzaab yang di dalamnya juga digambarkan bagaimana keadaan para wanita, bagaimana adab-adab mereka, dan baca juga Siroh Rasul dan para shahabatnya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala:
واذكــرن مــا يتلى في بيوتــكن من آيات الله والحكمة إن الله كان لــطيفا خبيرا
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. [Al-Ahzaab: 34]

Allah Subhanahu Wata'ala telah menggariskan, dan Allah Maha Tahu, ini adalah jalan KEBAHAGIAN, tidak lain. Jalan KEBAHAGIAN adalah berikan HAQ-HAQ yg wajib ditunaikan (oleh Istri) sebagaimana nanti akan di bahas suami juga wajib menunaikan HAQ-HAQ Istri.
Maka niscaya akan turun AL-MAWADDAH, WARAHMAH WA SAKIINAH akan turun ketenteraman, kasih sayang, cinta dengan sebab-sebab (yang telah disebutkan di atas) ini.

Sumber:
Kajian bertema: Kiat-Kiat Menuju Keluarga Bahagia | Sabtu (ba'da maghrib), 10 Jumadal Ula 1436H ~ 28/02/2015M

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Tentang MEMBETULKAN KESALAHAN KHATIB

ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Tanya:
Apabila khatib salah dalam khutbahnya, apakah yang mendengarkan harus membenarkannya?

Jawab:
Apabila khatib salah dalam khutbahnya, dengan kesalahan yang merubah makna, khususnya dalam Al-Quran, sesungguhnya yang wajib baginya untuk mengingatkannya, karena tidak boleh merubah Kalamullah Azza wa Jalla kepada sesuatu yang bisa merubah maknanya, sehingga tidak boleh mendiamkan kesalahan ini dan hendaknya mengingatkan khatib.
Adapun apabila kesalahannya pada ucapannya, demikian pula hendaknya diingatkan. Contohnya, apabila khatib hendak mengucapkan, hal ini haram, ternyata ia mengucapkan hal ini wajib, maka wajib untuk membenarkannya. Karena seandainya khatib tetap berada pada perkataannya, hal ini wajib, dalam hal ini ada bentuk penyesatan kepada manusia, sehingga tidak boleh untuk mendiamkan khatib pada perkataannya yang menyebabkan kesesatan manusia.
Adapun kesalahan yang ringan yang tidak sampai merubah makna, tidak wajib untuk mengingatkannya. Contohnya, seperti membaca rafa pada kata yang manshub, atau membaca nashab pada kata yang rafa, dari sisi yang tidak merubah makna, maka tidak wajib untuk mengingatkannya, sama saja apakah kesalahan ini dalam Al-Quran ataupun selain Al-Quran.

Sumber:
Majmu Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 16/149

Alih bahasa:
Abdulaziz Bantul
Mahad Ibnul Qoyyim, Balikpapan

TIS

Tentang BERBOHONG DALAM RANGKA BERSOPAN SANTUN DAN BERLEMAH LEMBUT

Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hady Al-Madkholy -حفظه الله-

PERTANYAAN:
هذا يقول: جزاكم الله خيرا في بعض اﻷحيان يكذب اﻹنسان من باب المجاملة والملاطفة بين الناس هل هذا يجوز
Penanya berkata: Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Terkadang seseorang berbohong dalam rangka bersopan santun dan berlemah-lembut ketika berada di antara manusia. Apakah hal seperti ini dibolehkan?

JAWABAN:
لا والله لا يجــوز ولو كـــان على سبيل المجـــاملة والملاطــفة أو الممـــازحة
TIDAK! WALLAHI TIDAK BOLEH, walaupun dalam rangka bersopan-santun, berlemah-lembut ataupun bercanda.
أنا زعـــيم ببيت في ربض الجنـــة لمن ترك الــكذب وإن كان مازحــــا
"Saya menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan dusta walaupun ia bercanda," begitulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda.
Juga sabdanya,
يقول النبي: وببيت في وســـط الجنة لمـــن ترك المــــراء وإن كان محقا وبيت في أعلى الجنـــة لمن حسن خلــــقه أو حسن خلقه
"Dan (saya juga menjamin) rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun ia benar. Dan (saya juga menjamin) rumah di atas surga bagi orang yang baik akhlaknya -atau- yang memperbaiki akhlaknya."
والكذب لا يجوز إلافي ثلاث كما ذكر ذلك النبي وليس هذا منها يا معشر الإخوة
Dan dusta tidak diperbolehkan selain pada tiga tempat, seperti yang Nabi shallallahu alaihi wasallam sabdakan, dan dusta yang semacam ini bukanlah termasuk yang dibolehkan wahai saudaraku sekalian.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11029

Alih Bahasa:
Abu Kuraib Habib bin Ahmad (Bandung) hafidzahullah [FBF-1]

*) Tambahan faidah:
Maksud hadist diperbolehkan dusta pada tiga tempat adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ليس الـــكذاب الذي يصــــلح بين الناس فينمي خيرا أو يقــــول خيرا
Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan, dari Ibnu Syihab Az-Zuhry -rahimahumallahu-:
ولم أسمع يرخـــص في شيء ممــا يقول الناس كـــذب إلا في ثلاث الحــرب والإصلاح بين الناس وحـــديث الرجل امـــرأته وحديث المــــرأة زوجـــها
Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal:
Dusta dalam peperangan,
Dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan
Dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.
Wallahu a'lam bis showab.

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Kamis, 09 April 2015

Tentang SIAPA YANG LEBIH BERHAK DALAM HAL IQAMAH

al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Yang pertama harus kita ketahui adalah bahwa iqamat merupakan hak imam. Dialah yang menentukan iqamat, bukan muadzin apalagi jamaah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya al-Imam at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa muadzin lebih berhak dalam hal azan, sedangkan imam lebih berhak dalam hal iqamat.”
Dalam kitab al-Mughni (2/72) karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Tidak boleh dikumandangkan iqamat sampai imam mengizinkannya.”
Dalam kitab al-Majmu’ (3/138) karya an-Nawawi disebutkan, “Asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm, ‘Wajib bagi imam untuk mengontrol keadaan para muadzin agar mereka azan di awal waktu dan tidak menunggu mereka dalam hal iqamat. Imam juga wajib memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat pada waktunya.’ Ini teks ucapan beliau. Ulama yang semazhab dengan kami berkata, ‘Waktu azan diserahkan kepada pandangan muadzin. Ia tidak perlu bertanya dulu kepada imam. Adapun waktu iqamat diserahkan kepada imam, sehingga muadzin tidak boleh mengumandangkan iqamat melainkan dengan isyarat dari imam’.”
Dalam kitab Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi disebutkan, “Iqamat diserahkan kepada imam, bukan kepada muadzin.”

Pernyataan para ulama tersebut berdasarkan apa yang mereka pahami dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Di antaranya hadits Jabir bin Samuroh radhiallahu 'anhu, ia berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺆَﺫِّﻥُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻤْﻬِﻞُ ﻓَﻼَ ﻳُﻘِﻴﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺪْ ﺧَﺮَﺝَ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﺮَﺍﻩُ
“Adalah muadzin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menunggu sehingga ia tidak mengumandangkan iqamat sampai ia melihat Rasulullah keluar (dari rumahnya). Ia mengumandangkan iqamat saat melihat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi, Abwabu ash-Shalah, Bab Annal Imam Ahaq bil Imamah, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, (ia berkata):
ﺃَﺧَّﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﻋُﻤَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺭَﻗَﺪَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﻭَﺍﻟْﻮِﻟْﺪَﺍﻥُ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan shalat ini (isya). Umar lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, wanita-wanita dan anak-anak telah tertidur’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Beberapa ulama berdalil dengan hadits ini dalam masalah ini. Tampak dari kejadian tersebut bahwa para sahabat menunggu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal iqamat karena beliau adalah imam. Sampai-sampai Umar radhiallahu 'anhu mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa para wanita dan anak-anak telah tertidur, menunjukkan bahwa waktu sudah cukup malam. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar lalu melaksanakan shalat isya. Terdapat pula riwayat dari sahabat Ali radhiallahu 'anhu:
ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺄَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔِ
“Muadzin lebih berhak dalam hal azan, dan imam lebih berhak dalam hal iqamat.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, Abu Hafsh al-Kattani, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shughra. Riwayat ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah pada pembahasan hadits no. 46691. Lihat takhrijnya pada kitab tersebut)

Di antara hikmahnya adalah terkadang terjadi sesuatu pada imam, atau ada kebutuhan tertentu padanya, dia juga yang menentukan waktunya agar tepat menurut Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selaras dengan kondisi makmum. Oleh karena itu, adalah pantas jika iqamat tersebut menunggu izin atau perintahnya. (Mathalibu Ulin Nuha, Kasysyaful Qina’ dan Syarh Zadul Mustaqni’ karya al-Hamd)

Atas dasar ini, ketika imam memerintahkan atau mengizinkan muadzin untuk iqamat, hendaknya segera dikumandangkan, baik saat itu ada jamaah yang sedang shalat sunnah maupun tidak. Tidak mesti menunggu jamaah menyelesaikan shalat sunnahnya. Jadi, waktu iqamat diserahkan kepada imam dan pertimbangannya.

Sumber: Majalah Asy Syariah online

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiri hafizhahullah

Soal:
هل يَجوز أَنْ يُؤَّذَن شَخْص ويُقيم آخر؟
Apakah diperbolehkan adzan dan iqomah dengan orang yang berbeda?
ATAU
Apakah boleh seseorang adzan sementara yang iqamah orang lain?

Jawaban:
لا مانِع من ذلِك لكِن تُوكل الإِقامة للمُؤَذن إنه أدْرى وأحْرى وأعْرَف بالوَقت أعْرف بِحال الإِمام، ومتى يوجد الإِمام ومَتى يَيْأَس النَّاس من وجوده
Hal tersebut tidak mengapa. Akan tetapi iqomah diwakilkan (hak tersebut) kepada muadzin, karena
dialah yang lebih mengerti, berhati-hati, dan paham terhadap waktu yang semestinya. Dan dia lebih paham terhadap kondisi imamnya, kapan imam tiba, dan kapan para makmum merasa putus asa (jenuh) akibat ketidakhadiran (keterlambatan) imam tersebut.

Alih bahasa: Ustadz Abu Hatim al Jagiry

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/132

Forum Salafy Indonesia

Jumat, 03 April 2015

Tentang JARINGAN ISLAM LIBERAL

Ali berkata:
“Seandainya yang menjadi tolak ukur di dalam agama ini adalah akal pikiran niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengusap bagian atas dua khufnya.”
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud di dalam Sunan-nya no. 162. Guru kami, Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i berkata di dalam kitab Al-Jami’us Shahih Mimma Laisa fish Shahihaini (1/61) Bab Ma Ja’a Fi Dzammi Ra’yi (Bab Tercelanya Mengutamakan Akal Pikiran): “Hadits ini shahih.” Para perawinya adalah perawi kitab Shahih kecuali Abdu Khair, namun dia ditsiqahkan oleh Ibnu Ma’in sebagaimana dinukilkan di dalam kitab Tahdzibut Tahdzib.
Ucapan shahabat yang mulia di atas mengisyaratkan kepada kita tentang kedudukan akal di dalam agama, dan bahwa agama ini tidaklah diukur dengan akal pikiran namun kembalinya kepada nash, yaitu apa kata Allah dan apa kata Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Namun kita dapati ada sebagian manusia yang sangat mengagungkan akal sehingga mereka memposisikan akal tersebut di atas Al Qur’an dan As-Sunnah. Bila sesuai dengan akal, mereka terima, dan bila bertentangan dengan akal –menurut mereka– mereka tolak atau simpangkan maknanya.

Islam Memuliakan Akal
Allah menganugerahkan kepada manusia nikmat berupa akal pikiran yang dengannya manusia terangkat kepada tingkatan taklif ilahiyyah (memikul beban syariat sebagai hamba yang mukallaf). Dengan akal itu pula manusia mengetahui taklif tersebut dan dapat memahaminya. Allah bekali pula manusia dengan fithrah yang bersesuaian dengan wahyu yang mulia dan agama yang haq, yang dibawa oleh para rasul Allah alaihimush shalatu wassalam, yang Allah syariatkan dan Allah jadikan sebagai jalan hidup bagi manusia tersebut, yang mana wahyu dan agama yang haq ini tersampaikan lewat lisan para rasul yang mulia shalawatullahi wa salamuhu alaihim ajma‘in. (Manhajul Anbiya fid Da’wah ilallahi fihil Hikmah wal ‘Aql, Asy-Syaikh Rabi‘, hal. 33)
Dengan demikian, Islam tidaklah menelantarkan akal, dan tidak pula mengangkatnya lebih dari porsinya namun akal ditempatkan pada tempatnya dan digunakan dengan semestinya.
Al Qur’an yang mulia telah banyak memberikan dorongan kepada kita untuk mempergunakan akal pikiran. Kita diperintahkan untuk memikirkan Al Qur’an hingga sampai pada keyakinan tentang kebenarannya, sebagaimana kita diperintah untuk memikirkan ciptaan Allah untuk menambah keyakinan kita kepada-Nya.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an (memikirkan dan merenungkannya)? Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan…” (Ar-Rum: 8)
Allah membuat banyak permisalan dalam Al Qur’an agar kita memikirkannya, seperti ketika Dia menceritakan tentang permisalan kehidupan dunia:
“Permisalan kehidupan dunia itu hanyalah seperti air yang Kami turunkan dari langit lalu bercampurlah dengannya tumbuh-tumbuhan bumi dari apa yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi itu telah memakai perhiasannya dan indah (subur menghijau dengan berbagai jenis tanamannya) sementara pemiliknya yakin mereka akan mampu memetik dan menikmati hasilnya (dari tanam-tanaman tersebut), datanglah perintah Kami pada waktu malam dan siang (sehingga rusak dan hancurlah tanaman yang sudah diharapkan tadi). Lalu Kami jadikan tanaman itu seperti sudah dituai seakan-akan ia tidak pernah ada di hari kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat Kami bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Yunus: 24)

Islam Membimbing Akal
Akal memiliki kemampuan yang terbatas sehingga ia tidak dapat mencapai seluruh hakikat yang ada. Bila akal dilepaskan begitu saja tanpa bimbingan niscaya ia bisa keliru dan terjerumus dalam kesesatan. Sebagaimana kemaksiatan pertama yang dilakukan oleh makhluk terhadap Rabbnya, ketika Iblis diperintah untuk sujud kepada Adam alaihissalam sebagai tanda penghormatan kepada Adam, Iblis enggan karena ia merasa lebih mulia dan lebih tinggi daripada Adam. Ia diciptakan dari api sementara Adam dari tanah. Menurut akal Iblis, api itu lebih mulia daripada tanah.
“Aku lebih baik daripadanya (Adam), Engkau ciptakan aku dari api sementara dia Engkau ciptakan dari tanah liat.” (Al-A’raf: 12)
Dengan begitu, akal perlu dibimbing oleh wahyu dan harus tunduk dengan wahyu, karena wahyu itu dari firman Allah dan perkataan-Nya yang suci sementara akal adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Karena akal itu terbatas, syariat menetapkan ia tidak boleh berdalam-dalam membahas perkara yang tidak mungkin dijangkau, seperti di antaranya memikirkan Dzat Allah dan hakikat-Nya, karena Allah berfirman:
“Ilmu mereka (makhluk) tidak dapat meliputi Allah.” (Thaha: 110)
Selain itu juga wahyu dan akal yang sehat tidaklah saling bertentangan. Wahyu sebagai dasar pijakan, timbangan dan pengoreksi akal ketika ia menyimpang dari kebenaran. Dengan begitu akal harus menganggap baik apa yang dianggap baik oleh syariat dan mengganggap jelek apa yang dianggap jelek oleh syariat. Akal seperti inilah yang dikatakan akal sehat.

Agama Bukan dari Akal Pikiran
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Agama ini datang dari Allah tabaraka wa ta`ala, bukan dari akal dan pendapat manusia. Ilmunya dari sisi Allah melalui Rasul-Nya, maka janganlah engkau mengikuti agama dengan hawa nafsumu yang menyebabkanmu terpisah dari agama hingga engkau keluar darinya. Tidak ada dalil bagimu untuk menolak syariat dengan akal atau hawa nafsu karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan agama ini (As Sunnah) kepada para shahabat. Para shahabat adalah Al-Jama’ah dan As-Sawadul A’zham. As-Sawadul A’zham adalah kebenaran dan orang yang berpegang dengannya.” (Syarhus Sunnah, hal. 66)

Yang Berbicara Agama dengan Akal adalah Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Para perusak agama dari kalangan aqlaniyyun menempatkan akal di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Nama kelompok mereka bisa berbeda-beda namun sama dalam sikap memposisikan akal mereka. Satu dari sekian kelompok tersebut yang sekarang ini para da’inya sedang berteriak-teriak memasarkan kesesatannya di negeri ini adalah kelompok yang diistilahkan Jaringan Islam liberal (JIL) [1] ataupun yang sejenis pemikirannya. Orang-orang dalam jaringan ini berbicara tentang agama seenak perut mereka dan menurut akal-akalan mereka, tidak dilandasi dengan Al Qur’an, tidak pula dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang shahih, dan tidak pula dengan bimbingan para ulama pendahulu kita yang shalih.
Padahal posisi keilmuan mereka terhadap agama ini sangat memprihatinkan. Bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang bodoh namun tidak tahu bahwa dirinya bodoh. Walaupun ada di antara mereka yang bergelar profesor, doktor dan gelar kesarjanaan lainnya, namun mereka tidak paham sama sekali terhadap agama Allah ini. Sekilas kami membaca apa yang mereka tulis dalam buku-buku mereka dan juga dalam situs mereka di internet. Sungguh kita tidak mendapatkan dalil. Mungkin ada penyebutan dalil, namun tidak pada tempatnya atau apa yang dibawakan itu lemah dari sisi ilmu riwayah wa dirayah.
Ini menunjukkan bahwa mereka tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil. Terlebih lagi dalam ilmu hadits, ilmu yang mulia ini mereka tidak paham sama sekali sehingga biasa kita dapati mereka menolak hadits dengan perkataan yang membuat tertawa orang awam terlebih lagi orang yang alim, seperti ketika mereka menolak hadits-hadits tentang jilbab dinyatakan hadits-haditsnya ahad (Kritik atas Jilbab, situs JIL, 4/6/2003).
Mereka membantah Al Qur’an dengan akal mereka atau dengan ucapan orang kafir. Begitu pula terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahkan mereka menghinakan beliau shallallahu alaihi wasallam.
Demikian kenyataan yang ada pada kelompok sesat antek-antek Yahudi ini. Jangankan orang rendahan mereka, orang yang ditokohkan di kalangan mereka sebagai da’i mereka, seperti Ulil Abshar Abdalla, kenyataan sesungguhnya adalah orang yang bodoh. Jangankan terhadap syariat, dalam masalah bahasa Arab pun terlihat kedunguannya. Satu contoh, ketika ia ditantang untuk mubahalah (saling berdoa agar dilaknat Allah bagi yang berdusta) dalam satu seminar di Bandung, ia mengelak dengan beralasan bahwa mubahalah itu berarti mengajak goblok, karena mubahalah itu dari kata bahlul (goblok).
Lihatlah kebodohan orang ini. Tidakkah kau tahu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah diperintah oleh Allah untuk menantang mubahalah kepada ahlul kitab, apakah mungkin dikatakan Allah menyuruh Nabi-Nya berlaku goblok?!
“Maka siapa yang mendebatmu dalam perkara ini setelah datang kepadamu ilmu maka katakanlah: “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan (panggil pula) anak-anak kalian, (kami panggil) istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah dan kita mohon kepada Allah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali ‘Imran: 61)
Bila dalam bahasa saja orang semacam ini ketahuan bodohnya lalu apatah lagi dalam masalah syariat. Orang sebodoh ini berniat menyusun kitab tafsir Al Qur’an (Situs JIL, 12/1/2004), maka tentu kita akan bertanya kepadanya, dengan ilmu apa dia akan menulis tafsir? Adakah pengetahuan dia dalam masalah ini, ataukah ia kembali pada hawa nafsunya dan pada ucapan najis orang-orang kafir/orientalis yang punya hasad kepada Islam dan muslimin?

Catatan Hitam Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Catatan-catatan yang dibawakan di sini tidaklah secara keseluruhan mengingat keterbatasan halaman yang ada, sehingga hanya kita bawakan beberapa di antaranya beserta bantahan singkat terhadap mereka:
- Mereka menganggap hukum Islam itu zalim sehingga bila diterapkan syariat Islam yang pertama jadi korban adalah kaum wanita (situs JIL, 16/9/2001). Padahal justru hukum di luar Islamlah yang zalim, sementara hukum Allah adalah seadil-adil dan sebaik-baik hukum. Allah berfirman:
“Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki padahal hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
- Mereka menggugat kebenaran Islam karena kata mereka kebenaran agama itu relatif (situs JIL, 24/8/2002). Padahal Allah telah memilih agama Islam ini sebagai agama yang Dia ridhai:
“Dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Adakah seorang yang beriman akan meyakini bahwa Allah meridhai Islam yang belum tentu kebenarannya? Na’udzubillah min dzalik.
- Mereka menyamakan semua agama. Jelas hal ini menyelisihi firman Allah:
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
“Siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Mereka mengajak melihat kebenaran pada agama lain, tanpa menganggap hanya Islam agama yang benar (Zuly Qodir, Islam Liberal,  hal. 134, Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, hal. 138-143). Sementara Allah telah menyatakan dengan gamblang kekafiran orang-orang Nasrani dan kalangan non muslim lainnya:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam,’ padahal Al-Masih sendiri bekata: ‘Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu maka pasti Allah mengharamkan jannah baginya dan tempatnya adalah an-naar, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga,’ padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali sesembahan yang satu (Allah). Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 72-73)
- Nurcholis Majid membatasi musyrikin dengan para penyembah berhala Arab sementara paganis India, China dan Jepang dimasukkannya sebagai ahli kitab karena dianggap memiliki kitab suci yang intinya tauhid, sehingga agama yang tidak diterima disisi Allah hanyalah agama penyembah berhala Arab. (Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Ulil Abshar Abdalla, situs JIL).  Ketahuilah, musyrikin itu adalah semua orang yang menyekutukan Allah dalam peribadatan sehingga paganis India, China dan Jepang ataupun selainnya dari kalangan Yahudi dan Nasrani, semuanya  itu musyrikin.
- Lontaran yang dilemparkan oleh Ulil Abshar Abdalla juga tak kalah sesatnya. Dalam harian Kompas, terbitan Senin 18-10-2002, ia menulis artikel Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam yang isinya ia membagi syariat Islam menjadi ibadah dan muamalah. Yang ibadah untuk diikuti, sedang yang muamalah seperti berjilbab, pernikahan, jual beli, hukum qishash, dsb, tidak usah diikuti. Ia menyatakan Islam adalah nilai generis yang bisa ada di Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, dan bisa jadi kebenaran Islam ada dalam filsafat Marxisme. Ia juga menghina dan mengolok-olok Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya). (situs JIL, 18/11/2022). Memang orang bodoh ini tidak memahami firman Allah:
“Dan jika engkau tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu, tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?’ Tidak perlu kalian minta udzur karena kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (At-Taubah: 65-66)
- Si Ulil ini pula dengan lancangnya menganggap halal apa yang diharamkan oleh Allah seperti pernyataannya bahwa vodka (sejenis minuman keras) bisa dihalalkan di Rusia karena daerahnya sangat dingin. Padahal dalam kasus yang sama, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya oleh Dailam Al-Himyari tentang minuman memabukkan yang diminum untuk  mengatasi hawa dingin di daerah yang sangat dingin, maka beliau shallallahu alaihi wasallam melarangnya. Bahkan mereka yang tidak mau berhenti meminumnya diperintahkan untuk dibunuh (HR. Ahmad, 4/231, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih, 1/122-123).
- Sama pula nyeleneh-nya ucapan Prof. Dr. Said Aqiel Siradj yang menyatakan agama Yahudi, Kristen dan Islam semuanya membawa misi tauhid.
- Demikian pula ucapan DR. Jalaluddin Rakhmat bahwa kafir itu bukanlah label aqidah dan keyakinan namun merupakan label moral (situs JIL,  15/9/2003).
- Mereka memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dengan mencintai dan mengagumi pemikiran mereka, sehingga orang-orang ini bangga bisa menimba ilmu di negeri Barat (situs JIL, 8/3/2004). Padahal Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih/teman dekat kalian, karena sebagian mereka adalah kekasih bagi yang lainnya. Siapa di antara kalian yang loyal terhadap mereka maka sungguh ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Catatan-catatan hitam yang ada ini tak jauh dari apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim ketika memberikan gambaran tentang kaum munafiqin:
“Mereka itu telah berpaling dari Al Qur’an dan As-Sunnah dengan mengolok-olok dan merendahkan orang yang berpegang dengan keduanya. Mereka menolak untuk terikat dengan hukum dua wahyu tersebut karena merasa bangga dengan apa yang ada di sisi mereka dari ilmu yang sebenarnya tidaklah bermanfaat banyaknya ilmu tersebut bagi diri mereka, kecuali hanya menambah kejelekan dan kesombongan. Maka engkau lihat mereka selama-lamanya berpegang teguh untuk mengolok-olok wahyu yang pasti.
“Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang ambing dalam kesesatan mereka yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 15) [Shifatul Munafiqin, hal. 7]

Hukuman bagi Penghujat Allah dan Rasul-Nya
Dengan sebagian catatan hitam yang telah dituliskan, maka wajib bagi penguasa kaum muslimin memberikan hukuman yang keras bagi pengikut hawa nafsu ini dalam rangka menunaikan nasehat terhadap agama Allah. Kalau perlu ditangkap, maka ditangkap. Atau dipenjara, dipukul, diasingkan, ataupun dipenggal lehernya dan hendaknya jangan diberikan keringanan sebagai peringatan akan bahaya perbuatan hawa nafsu yang mengkaburkan agama Allah.
Al-Imam Al-Ajurri dalam kitabnya Asy-Syari’ah, bab Hukuman yang diberikan Al-Imam dan Penguasa kepada penghujat Allah dan Rasul-Nya (pengikut hawa nafsu) mengatakan: “Sepantasnya bagi pemimpin kaum muslimin dan para gubernurnya di setiap negeri bila telah sampai padanya kabar yang pasti tentang pendapat/madzhab seseorang dari pengikut hawa nafsu yang menampakkan pendapat/madzhabnya tersebut, agar menghukum orang tersebut dengan hukuman yang keras. Siapa di antara pengekor hawa nafsu itu yang pantas untuk dibunuh maka dibunuh. Siapa yang pantas untuk dipukul, dipenjara dan diperingatkan maka dilakukan hal tersebut padanya. Siapa yang pantas untuk diusir maka diusir dan manusia diperingatkan darinya.”
Bila ada yang bertanya: “Apa argumen perkataanmu itu?”
Maka dijawab dengan jawaban yang tidak akan ditolak oleh para ulama yang Allah memberikan manfaat dengan ilmunya. Lihatlah bagaimana ‘Umar ibnul Khaththab z mencambuk Shabigh At-Tamimi [2] dan beliau menulis surat pada para pegawai beliau agar mereka memerintahkan Shabigh berdiri di hadapan manusia hingga Shabigh ini mengumumkan kejelekan dirinya.
‘Umar juga menetapkan larangan kepada manusia untuk memberi sesuatu pada Shabigh dan manusia diperintah pula untuk memboikotnya (tidak mengajaknya bicara, tidak duduk bersamanya). Demikianlah keadaan Shabigh seterusnya ia hina di tengah-tengah  manusia.
Lihat pula Ali bin Abi Thalib. Di Kufah ia membunuh sekelompok orang yang mengaku-aku bahwa Ali adalah tuhan mereka. Ali menggali parit untuk mereka lalu membakar mereka dengan api.
Begitu pula ‘Umar ibnu Abdil ‘Aziz menulis surat kepada ‘Adi ibnu Arthah berkenaan dengan kelompok Qadariyyah [3]: “Engkau minta mereka untuk bertaubat dari pemahaman sesat mereka. Bila mereka mau maka diterima taubatnya, bila tidak maka penggallah leher mereka.”
Adapun Hisyam bin Abdil Malik (dari kalangan umara Bani Umayyah) telah memenggal leher Ghailan [4] dan menyalibnya setelah ia memotong tangan Ghailan.
Demikian pula yang terus menerus berlangsung, para penguasa setelah mereka pada setiap zaman berbuat demikian terhadap pengekor hawa nafsu. Bila telah pasti hal itu di sisi mereka, mereka pun memberikan hukuman pada si pengekor hawa nafsu tersebut dengan hukuman yang sesuai dengan apa yang mereka pandang, sementara para ulama tidak mengingkari perbuatan penguasa tersebut.  (Kitab Asy-Syariah, Al-Al-Imam Al-Ajurri, hal. 967-968)

Penutup
Terlalu banyak yang bisa kita tuliskan dan paparkan untuk membongkar kesesatan kelompok akal-akalan seperti JIL ini. Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, sampah kesesatan yang mereka muntahkan kepada umat tidak dibangun di atas dalil sedikitpun. Semoga tulisan ini membuka mata hati masyarakat kita untuk mewaspadai kelompok-kelompok sesat yang ada agar mereka mencari jalan keselamatan dengan kembali kepada agama Allah dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Footnote:

[1] Namun nama yang sepantasnya buat mereka adalah Jaringan Sesat Pengkaburan dan Pembinasa Islam yang disokong dan dikoordinasi oleh kuffar Yahudi.

[2] Shabigh ini suka mempertanyakan ayat-ayat yang mutasyabihah.

[3] Qadariyyah adalah kelompok yang sesat dalam memahami taqdir Allah. Mereka mengatakan bahwa af‘alul ‘ibaad (perbuatan-perbuatan hamba) terjadi semata-mata karena iradah (kehendak) dan qudrah (kemampuan) makhluk, tidak ada di dalamnya pengaruh iradah dan qudrah Allah. (Syarhu Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 116)
Sehingga hamba berbuat sekehendak mereka, dengan iradah dan qudrah mereka, dan bukan karena Allah yang menghendaki mereka untuk berbuat.

[4] Ghailan ini berbicara tentang taqdir dengan pemahaman yang sesat. (Asy-Syariah, hal. 970)

Sumber: Asy Syariah Edisi 009
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)