Cari Blog Ini

Selasa, 21 Oktober 2014

Tentang MEMBANGUN MASJID, MEWARISKAN MUSHAF, DAN MENGGALI SUMUR

Membangun masjid, menggali sumur, dan mewariskan mushaf termasuk wakaf dan amalan yang tidak akan terputus pahalanya dengan kematian, selama manfaatnya masih dirasakan. Dan termasuk sedekah jariyah yang tersebut dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan banyak ahlul hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ: ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ، ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ، ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seorang mati, terputuslah amalannya selain tiga hal:
Sedekah jariyah,
Ilmu yang dimanfaatkan, atau
Anak saleh yang selalu mendoakannya.”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺳَﺒْﻌَﺔٌ ﻳَﺠْﺮِﻱ ﻟِﻠْﻌَﺒْﺪِ ﺃَﺟْﺮُﻫُﻦَّ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﻗَﺒْﺮِﻩِ : ﻣَﻦْ ﻋَﻠَّﻢَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ، ﺃَﻭْ ﻛَﺮَﻯ ﻧَﻬْﺮًﺍ ، ﺃَﻭْ ﺣَﻔَﺮَ ﺑِﺌْﺮًﺍ ، ﺃَﻭْ ﻏَﺮَﺱَ ﻧَﺨْﻼ ، ﺃَﻭْ ﺑَﻨَﻰ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ، ﺃَﻭْ ﻭَﺭَّﺙَ ﻣُﺼْﺤَﻔًﺎ ، ﺃَﻭْ ﺗَﺮَﻙَ ﻭَﻟَﺪًﺍ ﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﻟَﻪُ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻪِ
“Tujuh amalan yang pahalanya senantiasa mengalir bagi seorang hamba setelah wafat ketika berada di alam kubur, yaitu:
Barangsiapa yang mengajarkan ilmu,
Mengalirkan sungai,
Menggali sumur,
Menanam pohon kurma,
Membangun masjid,
Mewariskan mushaf, atau
Meninggalkan seorang anak yang memohonkan ampun untuknya setelah wafat.”
Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (2/344), al-Baihaqi dalam al-Jami' li Syu'abul Iman (5/122-123) (3175), al-Mundiri menyebutkan dalam at-Targhib wa Tarhib (1/124) (113), (1/725) (1408) dan (3/356-357) dengan nukilan hadits (3828) dari hadits Anas radhiyallahu 'anhu.

Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah (242) dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (4/121) (2490) semisal hadits ini dari hadits Abu Hurairah, dan al-Baihaqi telah menyebutkannya dalam al-Jami’ li Syu’abul Iman dengan nomor (3174) sebelum hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan lafadz Ibnu Majah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻠْﺤَﻖُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦَ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻠِﻪِ ﻭَﺣَﺴَﻨَﺎﺗِﻪِ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻪِ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻋَﻠَّﻤَﻪُ ﻭَﻧَﺸَﺮَﻩُ ، ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪًﺍ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﺗَﺮَﻛَﻪُ ، ﺃَﻭْ ﻣُﺼْﺤَﻔًﺎ ﻭَﺭَّﺛَﻪُ ، ﺃَﻭْ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﺑَﻨَﺎﻩُ ، ﺃَﻭْ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻻﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺒِﻴﻞِ ﺑَﻨَﺎﻩُ ، ﺃَﻭْ ﻧَﻬْﺮًﺍ ﺃَﻛْﺮَﺍﻩُ ، ﺃَﻭْ ﺻَﺪَﻗَﺔً ﺃَﺧْﺮَﺟَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﻓِﻲ ﺻِﺤَّﺘِﻪِ ﻭَﺣَﻴَﺎﺗِﻪِ ﺗَﻠْﺤَﻘُﻪُ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣَﻮْﺗِﻪِ
“Sesungguhnya yang akan mengikuti seorang mukmin dari amalan dan kebaikannya setelah wafat di antaranya adalah:
Ilmu yang dia ajarkan dan dia sebarkan,
Anak shalih yang dia tinggalkan,
Mushaf yang dia wariskan,
Masjid yang dia bangun,
Rumah yang dia bangun untuk ibnu sabil,
Sungai yang dia alirkan, atau
Shadaqah dari hartanya yang dia infakkan ketika sehat dan hidupnya yang akan mengikutinya setelah wafat.”

Dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻟِﻠﻪِ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻳَﺒْﺘَﻐِﻲ ﺑِﻪِ ﻭَﺟْﻪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑَﻨَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
"Barang siapa membangun masjid dengan mengharapkan wajah Allah, sungguh Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di jannah/surga.” (HR. al-Bukhari 1/453 dan Muslim 1/378 no. 533)

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻟِﻠﻪِ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﺻَﻐِﻴﺮًﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻭْ ﻛَﺒِﻴﺮًﺍ ﺑَﻨَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Barang siapa membangun masjid, kecil atau besar, Allah akan membangunkan untuknya rumah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 319 dan dinyatakan dha’if oleh asy-Syaikh al-Albani)

Dari Abu Dzar radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺑَﻨَﻰ ﻟِﻠﻪِ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻭَﻟَﻮْ ﻣَﻔْﺤَﺺَ ﻗُﻄَﺎﺓٍ ﺑَﻨَﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﺑَﻴْﺘًﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Barang siapa membangun masjid walaupun seluas peraduan (tempat mengeram) burung, Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/310, Ahmad no. 2157, al-Bazzar, ath-Thabarani, dan Ibnu Hibban, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Masjid, sebagaimana diketahui, tidak mungkin berukuran sebesar peraduan (tempat mengeram) burung. Namun, sabda ini sebagai bentuk mubalaghah (perumpamaan bahwa sekecil apa pun bangunan masjid, Allah tetap memberi pahala besar atas amalan tersebut). Sebagian ahlul ilmi mengatakan bahwa ukuran tersebut (yakni sekecil peraduan burung) mungkin saja terwujud. Hal itu terjadi manakala masjid dibangun dengan bergotong royong dengan andil yang sedikit dari setiap orang. Artinya, pembangunan masjid dilakukan oleh beberapa orang.” (Ceramah asy-Syaikh al-Abbad dalam Syarah Sunan Abi Dawud)

Tentang BERSEGERA UNTUK BERWASIAT JIKA MEMILIKI TANGGUNGAN ATAU AMANAH YANG BELUM DITUNAIKAN

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
ﻣَﺎ ﺣَﻖَّ ﺍﻣْﺮُﺅٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﻳَﺒِﻴْﺖُ ﻟَﻴْﻠَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻟَﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻳُﺮِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﻳُﻮﺻِﻲَ ﻓِﻴﻪِ ﺇِﻻَّ ﻭَﻭَﺻَّﻴْﺘُﻪُ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺃْﺳِﻪِ . ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ: ﻣَﺎ ﻣَﺮَّﺕْ ﻋَﻠَﻲَّ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﻣُﻨْﺬُ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻻَّ ﻭَﻋِﻨْﺪِﻱ ﻭَﺻِﻴَّﺘِﻲ
“Tidak berhak seorang muslim melalui dua malam dalam keadaan dia memiliki sesuatu yang ingin dia wasiatkan kecuali wasiatnya berada di sisinya.”
Dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Tidaklah berlalu atasku satu malam pun semenjak aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian, kecuali di sisiku ada wasiatku.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
ﻟَﻤَّﺎ ﺣَﻀَﺮَ ﺃُﺣُﺪٌ ﺩَﻋَﺎﻧِﻲ ﺃَﺑِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣﺎَ ﺃُﺭَﺍﻧِﻲ ﺇِﻻَّ ﻣَﻘْﺘُﻮﻻً ﻓِﻲ ﺃَﻭَّﻝِ ﻣَﻦْ ﻳُﻘْﺘَﻞُ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻻَ ﺃَﺗْﺮُﻙُ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃَﻋَﺰَّ ﻋَﻠَﻲَّ ﻣِﻨْﻚَ ﻏَﻴْﺮَ ﻧَﻔْﺲِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻋَﻠَﻲَّ ﺩَﻳْﻨًﺎ ﻓَﺎﻗْﺾِ ﻭَﺍﺳْﺘَﻮْﺹِ ﺑِﺈِﺧْﻮَﺗِﻚَ ﺧَﻴْﺮًﺍ. ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤْﻨَﺎ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﺃَﻭَّﻝَ ﻗَﺘِﻴﻞٍ
“Sebelum terjadi perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam harinya. Dia berkata: ‘Tidak aku kira kecuali aku akan terbunuh pada golongan yang pertama terbunuh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya aku tidak meninggalkan setelahku orang yang lebih mulia darimu, kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya aku mempunyai hutang maka tunaikanlah. Nasihatilah saudara-saudaramu dengan baik.’ Tatkala masuk pagi hari, dia termasuk orang yang pertama terbunuh.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata (At-Tamhid, 14/292):
“Para ulama bersepakat bahwa wasiat itu bukan wajib, kecuali bagi orang yang memiliki tanggungan-tanggungan yang tanpa bukti, atau dia memiliki amanah yang tanpa saksi. Apabila demikian, dia wajib berwasiat. Tidak boleh dia melalui dua malam pun kecuali sungguh telah mempersaksikan hal itu."

Disyariatkan untuk menulis wasiat dengan saksi dua orang lelaki muslim yang adil. Bila tidak didapatkan karena safar, boleh dengan saksi dua orang ahli kitab yang adil.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺷَﻬَﺎﺩَﺓُ ﺑَﻴْﻨِﻜُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﻀَﺮَ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﺣِﻴﻦَ ﺍﻟْﻮَﺻِﻴَّﺔِ ﺍﺛْﻨَﺎﻥِ ﺫَﻭَﺍ ﻋَﺪْﻝٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﺃَﻭْ ﺀَﺍﺧَﺮَﺍﻥِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِﻛُﻢْ ﺇِﻥْ ﺃَﻧْﺘُﻢْ ﺿَﺮَﺑْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﺄَﺻَﺎﺑَﺘْﻜُﻢْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔُ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (Al-Ma`idah: 106)

Tentang BERJALAN CEPAT KETIKA BERANGKAT MEMBAWA JENAZAH

Dari Abu Burdah dia berkata: 
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal, “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya, “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab, “Ya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)

Tentang BEROBAT KETIKA SAKIT

Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﺪَّﺍﺀَ ﻭَﺍﻟﺪَّﻭَﺍﺀَ ﻓَﺘَﺪَﺍﻭَﻭْﺍ ﻭَﻻَ ﺗَﺪَﺍﻭَﻭْﺍ ﺑِﺤَﺮَﺍﻡٍ
“Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan sanad hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 1633)

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺀٍ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻟَﻪُ ﺷِﻔَﺎﺀً، ﻋَﻠِﻤَﻪُ ﻣَﻦْ ﻋَﻠِﻤَﻪُ ﻭَﺟَﻬِﻠَﻪُ ﻣَﻦْ ﺟَﻬِﻠَﻪُ
“Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan pula obat baginya. Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)

Di antara bentuk pengobatan yang sunnah adalah:

1. MADU DAN BERBEKAM

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟﺸِّﻔَﺎﺀُ ﻓِﻲ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ : ﺷُﺮْﺑَﺔِ ﻋَﺴَﻞٍ، ﻭَﺷِﺮْﻃَﺔِ ﻣُﺤَﺠِّﻢٍ، ﻭَﻛَﻴَّﺔِ ﻧَﺎﺭٍ، ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺃَﻧْﻬَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻜَﻲِّ – ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ: ﻭَﻻَ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﺃَﻛْﺘَﻮِﻱ
“Obat itu ada pada tiga hal: minum madu, goresan bekam, dan kay dengan api, namun aku melarang kay.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain: “Aku tidak senang berobat dengan kay.”
Kay adalah menempelkan besi yang dibakar pada urat yang sakit.

2. AL HABBATUS SAUDA’ (JINTEN HITAM)

Dari Usamah bin Syarik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺍﻟْﺤَﺒَّﺔُ ﺍﻟﺴَّﻮْﺩَﺍﺀُ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺩَﺍﺀٍ ﺇِﻻَ ﺍﻟﺴَّﺎﻡَ
“Al-Habbatus Sauda` (jintan hitam) adalah obat untuk segala penyakit, kecuali kematian.” (HR. Ath-Thabarani. Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah bahwa sanadnya hasan, dan hadits ini punya banyak syawahid/pendukung)

3. KURMA ‘AJWAH

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻓِﻲ ﻋَﺠْﻮَﺓِ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻴَﺔِ ﺃَﻭَّﻝُ ﺍﻟْﺒُﻜْﺮَﺓِ ﻋَﻠﻰَ ﺭِﻳْﻖِ ﺍﻟﻨَّﻔَﺲِ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺳِﺤْﺮٍ ﺃَﻭْ ﺳُﻢٍّ
“Pada kurma ‘ajwah ‘Aliyah yang dimakan pada awal pagi (sebelum makan yang lain) adalah obat bagi semua sihir atau racun.” (HR. Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Lihat Ash-Shahihah no. 2000)

4. RUQYAH

Yaitu membacakan surat atau ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan, kepada orang yang sakit. Bisa dilakukan sendiri maupun oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻧُﻨَﺰِّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺀَﺍﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya berkata, “Al-Qur`an itu mengandung syifa` (obat) dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, hanya bagi orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian. Dan dengan Al-Qur`an berarti telah tegak hujjah atas mereka.”

Obat (syifa`) yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum. Bagi hati/jiwa, Al-Qur`an adalah obat dari penyakit syubhat, kejahilan, pemikiran yang rusak, penyimpangan, dan niat yang jelek. Sedangkan bagi jasmani, dia merupakan obat dari berbagai sakit dan penyakit.
Dari Abu Abdillah Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺷَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺟَﻌًﺎ ﻳَﺠِﺪُ ﻓِﻲ ﺟَﺴَﺪِﻩِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: ﺿَﻊْ ﻳَﺪَﻙَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺄْﻟَﻢُ ﻣِﻦْ ﺟَﺴَﺪِﻙَ ﻭَﻗُﻞْ : ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ - ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ - ؛ ﻭَﻗُﻞْ ﺳَﺒْﻊَ ﻣَﺮَّﺍﺕٍ: ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻌِﺰَّﺓِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻗُﺪْﺭَﺗِﻪِ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺃَﺟِﺪُ ﻭَﺃُﺣَﺎﺫِﺭُ
Dia mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rasa sakit yang ada pada dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Letakkanlah tanganmu di atas tempat yang sakit dari tubuhmu, lalu bacalah: ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ (tiga kali), kemudian bacalah tujuh kali:
ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻌِﺰَّﺓِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻗُﺪْﺭَﺗِﻪِ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻣَﺎ ﺃَﺟِﺪُ ﻭَﺃُﺣَﺎﺫِﺭُ
(Aku berlindung dengan keperkasaan Allah dan kekuasaan-Nya, dari kejelekan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan).” (HR. Muslim)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk sebagian keluarganya (yang sakit) lalu beliau mengusap dengan tangan kanannya sambil membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺫْﻫِﺐِ ﺍﻟْﺒَﺄْﺱَ، ﺍﺷْﻒِ، ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻲ ﻻَ ﺷِﻔَﺎﺀَ ﺇِﻻَّ ﺷِﻔَﺎﺀُﻙَ، ﺷِﻔَﺎﺀً ﻻَ ﻳُﻐَﺎﺩِﺭُ ﺳَﻘَﻤًﺎ
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)

Atau berobat dengan cara-cara yang mubah, misalkan berobat ke dokter atau orang lain yang memiliki keahlian dalam pengobatan yang tidak bertentangan dengan syariat.

Adapun berobat kepada tukang sihir atau dukun, atau dengan cara-cara perdukunan semacam mantera yang mengandung unsur syirik, atau rajah-rajah yang tidak diketahui maknanya, maka haram hukumnya, dan bisa menyebabkan seseorang keluar (murtad) dari Islam. Dari Mu’awiyah ibnul Hakam radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku berkata:
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻧِّﻲ ﺣَﺪِﻳﺚُ ﻋَﻬْﺪٍ ﺑِﺎﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﻭَﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﺑِﺎﻟْﺈِﺳْﻼَﻡِ ﻭَﻣِﻨَّﺎ ﺭِﺟَﺎﻟًﺎ ﻳَﺄْﺗُﻮﻥَ ﺍﻟْﻜُﻬَّﺎﻥَ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻼَ ﺗَﺄْﺗِﻬِﻢْ
“Wahai Rasulullah, aku baru saja meninggalkan masa jahiliah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan-Islam. Di antara kami ada orang-orang yang mendatangi para dukun." Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau-mendatangi mereka (para dukun).” (HR. Muslim)
Dari Shafiyyah bintu Abi ‘Ubaid, dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﺮَّﺍﻓًﺎ ﻓَﺴَﺄَﻟَﻪُ ﻋَﻦْ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺼَﺪَّﻗَﻪُ ﻟَﻢْ ﺗُﻘْﺒَﻞْ ﻟَﻪُ ﺻَﻼَﺓٌ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ ﻳَﻮْﻣًﺎ
“Barangsiapa mendatangi peramal, kemudian dia bertanya kepadanya tentang sesuatu lalu dia membenarkannya, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.” (HR. Muslim)

Tentang TATA CARA TAYAMMUM

Hadits 1. Hadits ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu

Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda (yang artinya),
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini.”
Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan dengan lafadz:
Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)
Dalam riwayat lain, disebutkan (bahwa setelah Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi):
Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya. (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Hadits 2. Hadits Abul Juhaim Radhiyallahu ‘Anhu

Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa tata cara tayammum adalah sebagai berikut:

1. Berniat tayammum
2. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali pukulan
3. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut [1]
4. Mengusap wajah
5. Mengusap telapak tangan dan punggung tangan kanan dan kiri [2]

Footnote:

[1] Al-Imam An-Nawawi menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)
Al-Hafidz Ibnu Hajar setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata, “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Ibnu Qudamah berkata:
Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu disebutkan bahwa setelah Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad menyatakan, “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)

[2] Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan. (Al-Muhalla, 1/379)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu dalam riwayat Al-Bukhari no. 347, “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah. (Fathul Bari Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90)
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya), “Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda (yang artinya), “Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah: “Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)

Tentang BONGKAR MAKAM DAN MEMINDAHKAN MAKAM

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan: Bolehkah membongkar kuburan muslimin atau kuburan orang-orang kafir?

Jawab:

Dalam hal ini tentunya ada perbedaan antara kuburan orang-orang Islam dan kuburan orang-orang kafir. Membongkar kuburan muslimin adalah tidak diperbolehkan kecuali setelah lumat dan menjadi hancur. Hal itu dikarenakan membongkar kuburan tersebut menyebabkan koyak/pecahnya jasad mayit dan tulangnya, sementara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
ﻛَﺴْﺮُ ﻋَﻈْﻢِ ﺍﻟَْـﻤَﻴِّﺖِ ﻛَﻜَﺴْﺮِﻩِ ﺣَﻴًّﺎ
“Mematahkan tulang mayit seperti mematahkannya ketika hidup.” (Shahih, HR. Ahmad (6/58, 105, 168, 200, 364) Abu Dawud (3207) Ibnu Majah (1616) dan yang lain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat Irwa`ul Ghalil, 763, Ahkamul Jana`iz, hal. 233)
Maka seorang mukmin tetap terhormat setelah kematiannya sebagaimana terhormat ketika hidupnya. Terhormat di sini tentunya dalam batasan-batasan syariat.

Adapun tentang membongkar kuburan orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki kehormatan semacam ini sehingga diperbolehkan membongkarnya berdasarkan apa yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim. Bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhijrah dari Makkah ke Madinah, awal mula yang beliau lakukan adalah membangun Masjid Nabawi yang ada sekarang ini. Dahulu di sana ada kebun milik anak yatim dari kalangan Anshar dan di dalamnya terdapat kuburan orang-orang musyrik. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka:
ﺛَﺎﻣِﻨُﻮﻧِﻲ ﺣَﺎﺋِﻄَﻜُﻢْ
“Hargailah kebun kalian untukku.”
Yakni, juallah kebun kalian untukku.
Mereka menjawab: “Itu adalah untuk Allah (subhanahu wa ta’ala) dan Rasul-Nya. Kami tidak menginginkan hasil penjualan darinya.”
Karena di situ terdapat reruntuhan dan kuburan musyrikin, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan agar kuburan musyrikin tersebut dibereskan. Maka (dibongkar) dan diratakanlah, serta beliau memerintahkan agar reruntuhan itu dibereskan untuk selanjutnya diruntuhkan. Lalu beliau mendirikan Masjid Nabawi di atas tanah kebun tersebut.

Jadi, membongkar kuburan itu ada dua macam: untuk kuburan muslimin tidak boleh, sementara kuburan orang-orang kafir diperbolehkan. Saya telah isyaratkan dalam jawaban ini bahwa hal itu tidak boleh hingga mayat tersebut menjadi tulang belulang yang hancur, menjadi tanah. Kapan ini? Ini dibedakan berdasarkan perbedaan kondisi tanah. Ada tanah padang pasir yang kering di mana mayat tetap utuh di dalamnya –masya Allah– sampai sekian tahun. Ada pula tanah yang lembab yang jasad cepat hancur. Sehingga tidak mungkin meletakkan patokan untuk menentukan dengan tahun tertentu untuk mengetahui hancurnya jasad. Dan sebagaimana diistilahkan, “Orang Makkah lebih mengerti tentang lembah-lembahnya di sana,” maka orang-orang yang mengubur di tanah tersebut (lebih) mengetahui waktu yang dengannya jasad-jasad mayat itu hancur dengan perkiraan.
(Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani hal. 53)

###

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah

Pada asalnya tidak boleh membongkar kubur mayit serta mengeluarkan mayit darinya. Karena bila mayit telah diletakkan dalam kuburnya, artinya dia telah menempati tempat singgahnya serta mendahului yang lain ke tempat tersebut. Sehingga tanah kubur tersebut adalah wakaf untuknya. Tidak boleh seorangpun mengusiknya atau mencampuri urusan tanah tersebut. Juga karena membongkar kuburan itu menyebabkan mematahkan tulang belulang mayit atau menghinakannya. Dan telah lewat larangan akan hal itu pada jawaban pertanyaan pertama.

Hanyalah diperbolehkan membongkar kuburan mayit itu dan mengeluarkan mayit darinya, bila keadaan mendesak menuntut itu, atau ada maslahat Islami yang kuat yang ditetapkan para ulama.

Allah-lah yang memberi taufiq. Semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.

Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/122)

Tentang MEMILIH WANITA YANG HENDAK DINIKAHI

Al-Imam Ahmad berkata:
Jika seorang pria melamar seorang wanita, hendaklah menanyakan kecantikannya lebih dahulu. Jika wajahnya cantik baru dia tanyakan tentang agamanya. Kalau agamanya baik hendaklah menikahinya, kalau tidak baik maka dia menolak karena sebab agamanya. Dan jangan sampai dia menanyakan agamanya terlebih dahulu, kalau baik baru menanyakan kecantikannya, lalu kalau ternyata dia tidak cantik dia tolak, sehingga menolaknya karena si wanita tidak cantik, bukan disebabkan karena agamanya yang kurang baik.
(Al-Inshaaf, 12/206)

Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi:
Suatu ketika aku berada di sisi Sufyan bin Uyainah, tiba-tiba ada seorang lelaki datang lalu berkata, "Wahai Abu Muhammad, aku mengeluhkan kepadamu perihal fulanah (isterinya). Saya orang yang paling hina dan rendah menurutnya." Maka Sufyan diam beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya dan berkata, "Jangan-jangan engkau sangat berharap kepadanya sehingga menjadikannya semakin merasa tinggi?" Ia menjawab, "Benar demikian, wahai Abu Muhammad." Berkata Sufyan,
ﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻌﺰ ﺍﺑﺘﻠﻲ ﺑﺎﻟﺬﻝ، ﻭﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﺑﺘﻠﻲ ﺑﺎﻟﻔﻘﺮ، ﻭﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻳﺠﻤﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﺍﻟﻌﺰ ﻭﺍﻟﻤﺎﻝ ﻣﻊ ﺍﻟﺪﻳﻦ
“Siapa yang mencari kemuliaan (dengan nasab keturunan), maka dia akan ditimpa musibah kehinaan. Dan siapa yang mencari harta, maka dia akan ditimpa kemiskinan. Dan siapa yang mencari agama, maka Allah mengumpulkan untuknya kemuliaan, harta, sekaligus agama.”
Lalu Beliau mulai bercerita:
“Kami empat bersaudara; Muhammad, Imran, Ibrahim dan saya sendiri. Muhammad yang tertua di antara kami sedangkan Imran adalah yang bungsu, aku pertengahan di antara mereka. Tatkala Muhammad ingin menikah, dia ingin mencari wanita berketurunan bangsawan, maka diapun menikahi wanita yang lebih mulia nasab keturunannya dibanding dirinya, maka Allah menimpakan musibah kehinaan kepadanya. Adapun Imran menginginkan harta, maka dia menikahi wanita yang lebih kaya darinya, maka Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, dimana keluarga wanita itu mengambil semua miliknya dan tidak menyisakan sama sekali untuknya. Akupun memperhatikan keadaan keduanya, lalu datanglah Ma’mar bin Rasyid kepada kami. Maka aku pun meminta pendapatnya sambil aku menceritakan kisah kedua saudaraku. Maka beliau mengingatkan aku hadits Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
ﺗﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻋﻠﻰ ﺃﺭﺑﻊ: ﺩﻳﻨﻬﺎ، ﻭﺣﺴﺒﻬﺎ، ﻭﻣﺎﻟﻬﺎ، ﻭﺟﻤﺎﻟﻬﺎ، ﻓﻌﻠﻴﻚ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ
“Wanita dinikahi karena empat hal; agamanya, keturunannya, hartanya, dan kecantikannya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, (jika tidak) maka celaka engkau.”
Dan hadits Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺑﺮﻛﺔ ﺃﻳﺴﺮﻫﻦ ﻣﺆﻧﺔ
“Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling mudah maharnya.”
Maka aku pun memilih untuk diriku wanita yang memiliki agama dan mahar yang ringan sebagai wujud mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepadaku kemuliaan, harta sekaligus agama.”
(Tahdzibul Kamal Al-Hafizh Al-Mizzi)

###

Al-Ustadz Abu Ibrahim 'Abdullah bin Mudakir al-Jakarty

Selektif dalam memilih pendamping hidup adalah perkara yang SANGAT PENTING, karena hal ini menyangkut sebab bahagia dan  tidaknya seseorang dalam rumah tangganya, bahkan bagi dunia dan akhiratnya. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita, di antaranya :

1. Memilih wanita yang baik agama dan akhlaknya.

Kriteria memilih seorang wanita yang baik agama dan akhlaknya adalah sebuah kriteria yang sangat penting ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita. Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدّين تربت يداك
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya dan pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.”
(HR. Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Jika seseorang hendak menikahi seorang wanita maka pilihlah seorang wanita yang shalihah lagi baik akhlaknya, insya Allah dia akan bahagia. Yaitu seorang wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik (menyekutukan) kepada-Nya. Melaksanakan shalat lima waktu, shaum (puasa) pada bulan Ramadhan, memakai hijab syar’i, berbakti kepada orang tua, rajin menuntut ilmu dien (agama) dan wanita yang melakukan berbagai ketaatan lainnya. Seorang wanita yang memiliki rasa malu, penyabar, jujur, lembut dalam bertutur kata dan dari sifat-sifat mulia yang lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”
(HR. Muslim dari Abdullah Bin ‘Amr)

2. Memilih wanita yang cantik yang secara wajah dan fisik engkau menyukainya.

Tentu hal ini tanpa sikap berlebih-lebihan dan  juga bukan sikap meremehkan. Karena wanita yang yang cantik yang  secara wajah dan fisik engkau menyukainya akan menumbuhkan rasa cinta yang menjadi sebab harmonisnya rumah tanggamu. Maka dari itu dalam syari’at kita dianjurkan untuk menazhar (melihat) calon pendamping hidup kita. Kalau sesuai dengan kita maka kita melamarnya kalau tidak sesuai tidak mengapa untuk tidak melanjutkan pada proses selanjutnya. Hal ini bertujuan agar terealisasi tujuan seseorang ketika menikah. Seperti terjaga kesucian suami dan tujuan yang lainnya.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa ia hendak menikah dengan seorang wanita dari kalangan Anshar. Kemudian Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah engkau telah melihatnya ?” Ia, berkata : “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pergi dan lihatlah, karena di mata orang Anshar itu ada sesuatu.”
(HR. Muslim)

Al Mughirah bin Syu’bah pernah meminang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya “ Lihatlah wanita tersebut (yang kau pinang –ed) sebab hal itu lebih dapat melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.”
(HR. At-Tirmidzi, an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

3. Memilih wanita al-Waduud (penyayang).

Di antara hal yang perlu diperhatikan ketika memilih pendamping hidup adalah memilih seorang wanita yang penyayang, karena kelak ia akan menjadi istrimu, akan menyayangimu ketika kamu dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit. Ketika dalam keadaan lapang atau dalam keadaan sempit. Begitu juga akan menyayangi anak-anakmu kelak. Kalau engkau meremehkan hal ini, lalu memilih wanita yang sebaliknya yang kasar, judes lagi bengis maka kesengsaraan kelak yang engkau dapatkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).”
(HR. an-Nasa`i, Abu Dawud dan dishahihkan syaikh al-Albani )

Di antara cara untuk mengetahui seseorang termasuk penyayang atau tidak, yaitu dengan melihat bagaimana mu’amalah kesehariannya dengan anak-anak atau dengan orang yang lebih kecil darinya.

4. Memilih wanita Al-Waluud (dari keturunan yang banyak anak).

Di antara tujuan seseorang menikah adalah ingin memperoleh keturunan, jika seseorang tidak berusaha memilih calon istri yang subur maka kelak ia akan mengalami kehampaan dalam rumah tangganya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang dan banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud dan dishahihkan syaikh al-Albani )

Secara sebab cara mengetahui wanita itu subur atau tidak, bisa dengan melihat saudara-saudara perempuannya yang sudah menikah, apakah saudara-saudaranya termasuk wanita yang subur (banyak anaknya) atau tidak.

5. Mengutamakan wanita yang masih gadis.

Banyak keutamaan ketika seseorang menikahi wanita yang masih gadis, di antaranya :

1. Seorang gadis biasanya akan memberikan kecintaannya secara penuh kepada laki-laki yang pertama kali hadir di kehidupannya, tidak membanding-bandingkannya dengan laki-laki lain.
2. Bisa lebih banyak bercanda dan bermain-main denganmu.
3. Lebih segar (manis) mulutnya.
4. Secara sebab bisa lebih mempunyai peluang untuk banyak anak.
5. Dan lebih rela terhadap pemberian yang sedikit.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau bersabda :
تزوّجت؟
“Apakah kamu sudah menikah?”
Jabir menjawab :
نعم
“Iya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya :
بكرا أم ثيبا
“Dengan gadis atau janda?”
Maka ia menjawab:
ثيب
“Janda.”
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أفلا جارية تلاعبها وتلاعبك
“Mengapa kamu tidak menikahi gadis, dimana engkau bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عليكم بالأبكار فإنّهنّ أعذب أفواها وأنتق أرحاما وأرضى باليسير
“Hendaklah kalian memilih gadis-gadis, karena mereka lebih segar (manis) mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih rela dengan (pemberian) yang sedikit.”
(HR. Ibnu Majah dan dihasankan Syaikh al-Albani)

Hal ini bukan berarti tidak boleh menikahi janda. Berapa banyak orang yang menikah dengan janda dia mendapat kebahagian di dalam kehidupan rumah tangganya.

6. Memilih wanita dari keluarga yang baik-baik.

Diantara perkara yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak memilih seorang wanita untuk menjadi pendamping hidupnya, maka pilihlah seorang wanita dari keluarga dan keturunan yang baik-baik.

7. Wanita yang rajin dan cekatan mengurusi perkerjaan rumah.

Perkara yang  tidak bisa diremehkan ketika seseorang hendak mencari seorang istri adalah mencari seorang wanita yang rajin dan cekatan dalam mengurus rumah tangganya, karena kelak kalau sudah menikah inilah di antara tugas kesehariannya. Berbeda jika seseorang menikah dengan seorang wanita yang tidak pandai dan tidak terbiasa mengurus rumah, memasak dan mengerjakan pekerjaaan rumah lainnya. Hal ini sedikit banyak bisa mempengaruhi  keharmonisan rumah tangganya kelak.

Selesai

www.nikahmudayuk.wordpress.com

Ahlussunnah Jakut
Jum'at, 25 September 2015

Tentang MENGANGKAT WANITA MENJADI PEMIMPIN ATAU HAKIM

Abu Bakrah radhiyallohu ‘anhu berkata:
Tatkala sampai berita kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia mengangkat sebagai pemimpin yang memimpin mereka adalah seorang anak wanita Kisra (gelar raja Persia), maka beliau bersabda,
ﻟَﻦْ ﻳُﻔْﻠِﺢَ ﻗَﻮْﻡٌ ﻭَﻟَّﻮْﺍ ﺃَﻣْﺮَﻫُﻢْ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.”
(HR. Al-Bukhari)

Berkata Al-Hafizh setelah menyebutkan hadits ini:
Berkata Al-Khattabi, "Dalam hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan dan qadha’ (hakim)."
(Fathul Bari, 7/735)

Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama tentang tidak diperbolehkannya kaum wanita menjadi memimpin Negara. (Lihat Adhwa’ul Bayan, Asy-Syinqithi: 1/75)

Tentang SUNNAH SEPUTAR MENGAFANI JENAZAH

1. Kafan tersebut atau biayanya diambil dari harta pokok si mayat

Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Yang lebih dahulu disisihkan dari harta si mayat (sebelum dibagikan kepada ahli warisnya) adalah keperluan kafannya, kemudian keperluan untuk membayar hutangnya, kemudian penunaian wasiatnya.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Ongkos penggalian kubur dan biaya memandikan mayat sama dengan hukum kafan, diambil dari pokok harta si mayat.”
(HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya)

Khabbab ibnul Aratt radhiallahu anhu mengisahkan bahwa ketika Mush’ab bin Umair radhiallahu anhu gugur dalam perang Uhud, ia tidak meninggalkan kecuali namirah, sejenis kain wol bergaris-garis yang biasa diselimutkan ke tubuh. Bila mereka menutupi kepalanya dengan namirah tersebut, tampaklah kedua kakinya. Dan bila mereka menutupi kedua kakinya, tampak kepalanya. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk menutupi bagian kepala sedangkan kedua kakinya yang terbuka ditutupi tumbuhan bernama idzkhir sejenis rumput-rumputan yang wangi. (Lihat haditsnya dalam Shahih Al-Bukhari no. 1276 dan Muslim no. 940)
Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar Mush’ab dikafani dengan namirahnya dan beliau tidak menyuruh shahabat lain untuk mengeluarkan harta mereka guna keperluan kafan Mush’ab. Para fuqaha berkata: “Kafan mayat wajib diambil dari harta yang ditinggalkannya. Namun bila ia tidak memiliki harta, maka yang menanggung keperluan pengafanannya adalah orang yang wajib menafkahinya ketika ia hidup.” (Syarhu Shahih Muslim 7/8, Nailul Authar 4/46, Taudhihul Ahkam 3/173)

2. Membaguskan kafannya

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bila salah seorang dari kalian mengafani saudaranya maka hendaklah ia membaguskan kafannya." (HR. Muslim no. 943)
Yang dimaksud dengan membaguskan kafan di sini adalah kafan itu berwarna putih, bersih, tebal, dapat menutupi, serta pertengahan sifatnya, tidak berlebih-lebihan (mewah) dan tidak pula jelek. (Syarhus Sunnah 5/315, Al-Majmu’, 5/155, Subulus Salam 2/154, Ahkamul Janaiz Al-Albani, hal. 77)

3. Kafan berwarna putih

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Pakailah kain yang berwarna putih dari pakaian kalian, karena pakaian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah orang yang meninggal di kalangan kalian dalam kain putih.” (HR. Abu Dawud no. 4061, At-Tirmidzi no. 2810 dan ia berkata: Hadits hasan shahih)

4. Mengafani jenazah dengan tiga lembar kain kafan

Aisyah radhiallahu anha berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikafani dalam tiga kain Yamaniyyah berwarna putih Suhuliyyah dari bahan katun. Tidak ada di antara lembar kafan itu gamis (baju) dan tidak ada imamah (surban), beliau dimasukkan (dibungkus) ke dalam semua kafan itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1264 dan Muslim no. 941)

Umar radhiallahu anhu berkata, “Seorang lelaki dikafani dalam tiga kain dan jangan kalian melebihkannya karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat melampaui batas.” (HR. Ibnu Abi Syaibah (3/259) dengan sanad yang shahih)
Dan tidak diragukan dalam hal ini bahwa wanita sama dengan lelaki, karena asalnya demikian.

5. Salah satu dari kafan itu berupa kain bergaris-garis

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bila salah seorang dari kalian meninggal sementara dia mendapati sesuatu (kelapangan) maka hendaklah ia dikafani dalam kain yang bergaris-garis.” (HR. Abu Dawud no. 3150, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)

6. Kafan tersebut diberi wewangian berupa bukhur (dupa yang wangi) sebanyak tiga kali

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila kalian mewangi-wangikan mayat maka wangikanlah sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad 3/331, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz)