Cari Blog Ini

Kamis, 27 Agustus 2015

Tentang BERGAUL DENGAN NON-MUSLIM

Allah subhanahu wa taala berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, sebagai kawanmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al Mumtahanah: 8—9)

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi seluruh jenis aliran dan agama karena Allah menyebutkan secara umum meliputi siapa pun yang tidak memerangi dan tidak mengusir kaum mukminin, tidak ada pengkhususan. Ayat ini tidaklah dihapuskan hukumnya (mansukh), karena seorang mukmin tidak diharamkan atau tidak dilarang berbuat baik kepada orang kafir harbi, baik yang ada hubungan nasab kekerabatan maupun tidak, jika hal itu tidak mengakibatkan mereka menyingkap rahasia kaum muslimin atau menguatkan mereka dengan kuda-kuda perang atau senjata.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan, “Maksud ayat ini adalah menjelaskan siapa saja yang diperbolehkan untuk diperbuat baik kepadanya. Juga menjelaskan bahwa tentang diperbolehkannya memberi hadiah atau tidak kepada orang musyrik, tidak dapat dihukumi secara umum (mutlak). Di antara ayat yang serupa dengan ayat ini adalah:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Berbuat baik (berbakti), menyambung hubungan kekerabatan, dan berbuat ihsan (kebaikan) tidak mengharuskan terjadinya saling mencintai dan berkasih sayang karena hal ini dilarang oleh syariat, sebagaimana dalam firman Allah:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al Mujadilah: 22)
Ayat ini berlaku umum, meliputi orang kafir yang memerangi (kaum mukminin karena agama) ataupun tidak. Wallahu a’lam. (lihat al-Fath 5/261)

Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, ayat ini bermakna bahwa Allah tidak melarang kamu (wahai kaum mukminin) untuk berbuat baik, menyambung hubungan kekerabatan, dan memberi hadiah dengan baik, serta berlaku adil terhadap orang-orang musyrik dari kerabat kalian ataupun bukan, selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari negeri kalian. Sikap semacam ini tidak membahayakan dan tidak pula menimbulkan mafsadah (kerusakan). Seperti firman Allah tentang kedua orang tua yang musyrik, jika anaknya muslim (untuk berbuat baik kepada keduanya), “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Adapun ayat Allah, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.”
Makna larangan berloyal atau menjadikan mereka sebagai teman adalah larangan memberikan kasih sayang dan menolong mereka, baik ucapan maupun perbuatan. Adapun bakti dan perbuatan baik kalian yang tidak menimbulkan sikap loyal kepada orang-orang musyrik, Allah tidak melarangnya. Bahkan, hal ini termasuk dalam keumuman perintah untuk berbuat baik kepada kerabat dan yang lainnya, dari manusia maupun yang lain.
Adapun makna “Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”, yaitu kezaliman sebatas loyalitas yang dilakukan. Jika loyalitasnya penuh (total), bisa mengakibatkan kekafiran dan mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika tidak penuh, ada tingkatannya, ada yang parah dan ada yang di bawahnya. (Lihat Taisir Karim ar-Rahman, pada tafsir surat al-Mumtahanah: 8—9)

Dalam Tafsir Ayat Ahkam, Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Wallahu a’lam, dikatakan bahwa sebagian kaum muslimin merasa berdosa karena hubungan yang terjadi dengan kaum musyrikin. Saya kira, hal itu karena turunnya perintah jihad (perang) dan diputusnya hubungan mereka dengan kaum musyrikin, dan turunlah ayat al-Mujadilah ayat 22 (yang berisi larangan mencintai dan berkasih sayang dengan kaum musyrikin). Mereka khawatir bahwa menjalin hubungan dengan harta akan dianggap sebagai bentuk berkasih sayang dengan mereka. Maka dari itu, turunlah ayat al-Mumtahanah ayat 8—9. Menjalin hubungan melalui harta, kebaikan, berlaku adil, lunak/halus dalam berbicara, surat-menyurat tentang hukum Allah, tidak termasuk dalam larangan berloyal dengan orang-orang yang dilarang, dan tidak termasuk membantu mereka untuk memusuhi kaum muslimin. Allah membolehkan berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang musyrik yang tidak membantu memusuhi muslimin. Hal ini tidak diharamkan. Allah menyebut orang-orang yang membantu dalam permusuhan terhadap kaum muslimin dan melarang berloyal dengan mereka. Berloyal dengan mereka berbeda dengan berbuat baik dan berbuat adil.”

###

Berikut ini beberapa bentuk muamalah yang boleh dilakukan bersama mereka dan tidak dianggap melanggar prinsip al-wala’ wal bara’.

1. Menyambung hubungan silaturahim.

Dalam satu riwayat, Asma bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anha berkata,
“Ibuku datang kepadaku dalam keadaan musyrik. Ketika itu Quraisy terikat perjanjian (dengan kaum msulimin). Akupun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ibuku datang ingin bertemu. Apakah boleh aku sambung hubungan silaturahmi dengannya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sambunglah hubungan silaturahmi dengan ibumu.” (HR. Muslim no. 1003)

2. Menjawab salam mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبْدَؤُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
“Janganlah kalian mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 2167)
Dalam hadits lain,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُواوَعَلَيْكُمْ
Jika ahlul kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah, “Untuk kalian juga.” (HR. Muslim no. 2163)

3. Menjenguk mereka yang sakit, jika diharapkan keislamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda Yahudi yang sedang sakit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengajaknya masuk Islam. Pemuda itu pun masuk Islam sebelum meninggalnya.

4. Tetap menjaga perjanjian selama mereka tidak mengingkari/membatalkannya.

Di dalam surat at-Taubah, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
فَمَا ٱسۡتَقَٰمُواْ لَكُمۡ فَٱسۡتَقِيمُواْ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧
“Selama mereka terus menjaga perjanjian dengan kalian maka terus penuhi perjanjian dengan mereka. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang bertakwa.” (at-Taubah: 7)

5. Terjaganya darah kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’min.

Ketika menerangkan bahwa ayat Allah ‘azza wa jalla,
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ
“Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan dibunuh kecuali dengan sebab yang benar.” (al-An’am: 151)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jiwa yang diharamkan adalah jiwa muslim, kafir dzimmi, kafir mu’ahad dan kafir musta’min.

Sumber: Asy Syariah Edisi 106

Tentang SALAT SUNAH EMPAT RAKAAT DI WAKTU DHUHA DAN EMPAT RAKAAT SEBELUM SALAT ZUHUR

Dari Abu Musa Radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa shalat Dhuha empat raka’at dan sebelum (shalat) yang pertama (yakni Zhuhur) empat raka’at, maka akan dibangunkan untuknya istana di jannah.”

Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (1/59), Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihah (no.2349), “Sanadnya Hasan.”

Tentang MEMBACA SURAT AL IKHLASH SEPULUH KALI

Membaca Surat Al-Ikhlas Sebanyak Sepuluh Kali (dalam sehari)

Dari Mu’adz bin Anas Radhiallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membaca Qul Huwallahu Ahad hingga menyelesaikannya sebanyak sepuluh kali, maka akan Allah bangunkan untuknya sebuah istana di jannah.”

Diriwayatkan Ahmad (no.155788) dan Al-Albani berkata di dalam Ash-Shahihah (no.589), “Hasan dengan syawahid (penguat)nya.”

Tentang BERZIKIR KETIKA MEMASUKI PASAR

Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari bapaknya Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa berkata di pasar,
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
(artinya: tidak ada sesembahan yang hak diibadahi selain Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala pujian. Dia Maha menghidupkan dan Maha mematikan, Dia hidup tidak mati, di tangan-Nya lah segala kebaikan. Dan Dia Maha mampu atas segala sesuatu), maka Allah akan menuliskan untuknya satu juta kebaikan dan menghapuskan darinya satu juta kejelekan, dan akan dibangunkan baginya sebuah istana di jannahh.”

Diriwayatkan at-Tirmidzi (no.3429) dan dihasankan Al-Albani. Berkata Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/539), “Hadits shahih.”

Tentang SEPATU BERHAK TINGGI

al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

Berbusana modis ala zaman ‘sesuai anggapan mereka’ lengkap dengan sepatu berhak tinggi merupakan pemandangan yang terlalu sering dan sangat biasa terlihat di luar sana. Seakan-akan semua itu merupakan penampilan yang harus diikuti oleh perempuan modern.

Sepatu berhak tinggi yang dianggap kelayakan dari sebuah penampilan ini sungguh merupakan musibah, karena terlalu banyak perempuan (baca: muslimah) yang tergoda untuk memakainya. Padahal kalau mau dirunut, budaya memakai alas kaki “kelebihan hak” ini bukanlah dari Islam. Lantas, budaya dari mana? Kita pun teringat dengan perempuan Bani Israil atau Yahudi, bagaimana mereka mengada-ada dalam berhias sehingga terjatuh dalam pelanggaran syariat.

Sebagai contoh, akan kita bawakan beberapa kabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat tentang hal tersebut.

Sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisah,
كَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ قَصِيْرَةٌ تَمْشِي مَعَ امْرَأَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ، فَاتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ وَخَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ مُغْلَقٍ مُطْبَقٍ، ثُمَّ حَشَتْهُ مِسْكًا وَهُوَ أَطْيَبُ الطِّيْبِ، فَمَرَّتْ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ فَلَمْ يَعْرِفُوْهَا
“Ada seorang wanita bertubuh pendek dari kalangan Bani Israil berjalan bersama dua wanita yang berpostur tinggi. Yang bertubuh pendek memakai dua kaki dari kayu (semacam sandal atau sepatu untuk menambah tingginya) dan mengenakan cincin dari emas yang digantung, yang ditutup. Kemudian dia memenuhinya dengan misik yang merupakan minyak wangi paling harum. Lalu dia lewat di antara dua wanita yang tinggi sementara mereka tidak mengenalinya.” (HR. Muslim, kitab al-Alfazh, no. 5842)

Said ibnul Musayyab rahimahullah, tokoh ulama tabi’in, berkata, “Muawiyah radhiallahu ‘anhu datang ke Madinah, lalu berkhutbah dan mengeluarkan gelungan rambut[1].
Beliau pun berkata,
مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُهُ إِلاَّ الْيَهُوْدُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَلَغَهُ فَسَمَّاهُ الزُّوْرَ
‘Semula aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang melakukannya[2] selain Yahudi. Sesungguhnya telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (berita) tentang menyambung rambut, maka beliau menamakannya dengan kedustaan’.” (HR. Muslim, kitab al-Libas, no. 5545)

Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah, alim dari negeri Yaman pada masanya, membawakan riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang berkata,
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ أَرْجُلاً مِنْ خَشَبٍ يَتَشَرَّفْنَ لِلرِّجَالِ فِي الْمَسَاجِدِ، فَحَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِنَّ الْمَسَاجِدَ وَسُلِّطَتْ عَلَيِهْنَّ الْحَيْضَةُ
“Dahulu para perempuan Bani Israil mengenakan kaki-kaki dari kayu agar mereka terlihat lebih tinggi oleh para lelaki di masjid-masjid. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengharamkan bagi mereka mendatangi masjid dan ditimpakan kepada mereka haid.” (Mushannaf Abdur Razzaq 3/149)

Kata Ibnu Hajar rahimahullah, “Sanadnya sahih.”

Beliau rahimahullah juga berkata, “Walaupun hadits ini mauquf (ucapan sahabat, yaitu Aisyah radhiallahu ‘anha), tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sebab, urusan seperti ini tidak bisa dikatakan bersumber dari pendapat sendiri atau akal-akalan. Maksud ‘ditimpakan kepada mereka haid’ dalam hadits di atas adalah masa haid perempuan Bani Israil panjang. Mereka harus menjalani waktu yang lama untuk sampai kepada masa suci. Hal ini termasuk hukuman yang ditimpakan akibat perbuatan mereka yang disebutkan dalam hadits.” (Fathul Bari, 2/407)

Maksud ‘kaki-kaki dari kayu’ menjadi lebih jelas dengan atsar dari sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahuyah rahimahullah dalam Musnadnya (2/147),
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ قَوَالِبَ
Kata قَوَالِب adalah bentuk jamak dari قاَلِبٌ , artinya ‘sandal dari kayu’. (Lisanul ‘Arab, maddah qalaba, 1/689)

Berita tentang perbuatan perempuan Yahudi dan kerusakan yang mereka adaadakan adalah bukti bahwa sumber mayoritas kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini adalah mereka, bangsa Yahudi.

Kita tidak heran dengan ulah bangsa yang dimurkai[3] dan dilaknat ini[4] karena mereka memang cinta kerusakan dan membenci perbaikan, cinta kekafiran dan benci kepada keimanan berikut ahlul iman[5], kecuali mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan mendapat petunjuk.[6]

Karena ulah kaum perempuan Yahudi tersebut, kaum lelaki mereka tergoda. Kita pun teringat dengan hadits yang menyatakan bahwa bencana pertama yang menimpa Bani Israil bersumber dari kaum perempuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوْا الدُّنْيَا وَاتَّقُوْا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيِلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah dari wanita[7], karena sesungguhnya awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah pada godaan wanita.” (HR. Muslim, kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, no. 6883)

Nah, sepatu tinggi ternyata diadopsi dari kaki kayu yang dibuat oleh perempuan Yahudi untuk mengesankan tubuhnya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kita katakan seperti ini karena merekalah yang pertama kali berhias dan tampil di hadapan lelaki dengan model seperti itu, sebagaimana tersebut dalam hadits.

Jadi, memakai sandal atau sepatu tinggi berarti bertasyabbuh (menyerupai atau meniru) dengan Yahudi, padahal mereka adalah orang-orang kafir penghuni neraka. Tasyabbuh dengan ashabun nar (penghuni neraka) dalam hal yang merupakan kekhususan mereka adalah terlarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam haditsnya,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, kitab al-Libas, no. 4031. Dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’, 2/1059)

Menyerupai orang kafir secara lahiriah akan mengantarkan kepada penyerupaan secara batin. Tasyabbuh dengan orang yang buruk adalah keburukan dan sebaliknya tasyabbuh dengan orang yang baik adalah kebaikan.

Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana apabila perempuan yang mengenakan sepatu tinggi tersebut tidak berniat tasyabbuh sama sekali?”

Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya, al-Iqtidha’, berikut ini adalah jawabannya. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ialah melakukan sesuatu yang asalnya merupakan perbuatan mereka.

Berdasarkan hal ini, wanita yang memakai sepatu tinggi berarti ber-tasyabbuh dengan wanita kafir, walaupun tujuannya bukan meniru mereka. Hanya saja, karena asal perbuatan tersebut diambil dari mereka, jadilah yang berbuat terjatuh dalam tasyabbuh.

Ternyata, bukan hanya kerusakan tasyabbuh yang dihindari dari pemakaian sepatu berhak tinggi ini. Namun, ada kerusakan atau pelanggaran lain pada pemakaiannya. Apakah itu? Perempuan yang keluar rumah memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi telah melanggar salah satu adab syar’i bagi muslimah saat keluar rumah.

Adab yang dimaksud adalah tidak bersengaja memperdengarkan suara langkah kaki atau apa yang tersembunyi di baliknya dari perhiasan yang dikenakan, seperti suara gelang kaki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….” (an-Nur: 31)

Apabila perempuan bersepatu tinggi melangkah, satu, dua, tiga langkah, dan seterusnya…. Apakah Anda mendengar suara sepatunya? Ya…. tuk…tuk…tuk atau suara semacam itu. Belum lagi apabila dia mengenakan gelang kaki, tentu lebih ramai lagi suaranya.

Kata Ummu Abdillah al-Wadi’iyah hafizhahallah, seorang penuntut ilmu senior dari negeri Yaman, putri al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I rahimahullah, “Kita ditimpa bencana di zaman ini dengan al-ka’bul ‘ali (alas kaki bertumit tinggi). Kita dapati perempuan mengenakannya. Saking tingginya sandal tersebut, sampai memiliki suara (saat dipakai melangkah). Kadang si perempuan bertingkah genit ketika berjalan.[8]

Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Jika dia keluar rumah, setan memerhatikannya dan menghiasinya (dalam pandangan lelaki[9]).” (HR. at-Tirmidzi, kitab ar-Radha’, no. 1173, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykat no. 3109 dan al-Irwa’ no. 273. Lihat Nashihati lin Nisa’, hlm. 99)

Ada lagi satu madarat ketika perempuan mengenakan alas kaki yang tinggi. Si perempuan menghadapkan dirinya kepada bahaya, yaitu bisa saja terpeleset jatuh saat berjalan karena hak tinggi yang dikenakannya. Apalagi ketika dia berjalan terburu-buru.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ ketika ditanya tentang hukum memakai sepatu hak tinggi bagi wanita memberikan jawaban sebagai berikut.
“Memakai sepatu hak tinggi tidak diperbolehkan. Sebab, perempuan yang memakainya bisa terjatuh. Sementara itu, syariat ini memerintah manusia untuk menjauhi segala yang berbahaya, semisal keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (al- Baqarah: 195)
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (an-Nisa: 29)
Selain itu, sepatu ini menampakkan perawakan si perempuan lebih dari yang semestinya (tampak lebih tinggi) sehingga ada unsur tadlis (menipu, menampakkan kepalsuan).
Di samping itu, mengenakan sepatu tinggi berarti memperlihatkan sebagian perhiasaan perempuan mukminah (di hadapan lelaki yang tidak halal melihatnya)[10]. Hal ini dilarang berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah mereka (para perempuan) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, mertua lelaki mereka, anak-anak lelaki mereka, anak-anak lelaki dari suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki mereka (keponakan), anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka.” (an-Nur: 31) (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 475)

Yang jelas, seorang muslimah yang taat bukanlah pengikut setiap gaya dan mode yang ditawarkan di luar sana. Seorang muslimah sejati bukanlah seseorang yang latah atau ikut-ikutan dengan manusia di sekitarnya.

Dia adalah seseorang yang selalu berpegang dan terikat dengan aturan agamanya. Dia selalu memerhatikan, apakah sesuatu itu sesuai dengan ketentuan agamanya atau tidak? Adakah pelanggaran ataukah tidak? Apabila ternyata melanggar dan berbahaya, dia tidak merasa berat untuk meninggalkannya.

Nasihat untuk muslimah, jadilah seorang yang memerhatikan perhiasan untuk negeri akhiratmu, beroleh keridhaan sang Rabb. Sebab, sebentar lagi akan tiba hari perjumpaan dengan-Nya.

Janganlah perhatian diri hanya tertuang untuk berhias di negeri dunia hingga tidak peduli, apakah melanggar aturan Rabb atau tidak. Agama kita tidak melarang berhias dan berpenampilan, namun tentu dengan sesuatu yang tidak melanggar syariat dan mengandung dosa.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[1] Rambut palsu ini biasa dipakai oleh wanita untuk disambungkan dengan rambut aslinya.

[2] Menyambung rambut.

[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan doa orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya ash-shirathal mustaqim dan berlindung dari jalan Yahudi,
“… bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai….” (al-Fatihah)

[4] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil lewat lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling melarang terhadap perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu lihat kebanyakan dari mereka berloyalitas dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam azab.” (al-Maidah: 78—80)

[5] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh-sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling sengit permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (al-Maidah: 82)

[6] Di antara orang-orang Yahudi yang beroleh kemuliaan dengan petunjuk tersebut ialah Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha dan sahabat yang mulia, Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.

[7] Maknanya, hindarilah, jangan sampai kalian para lelaki tergoda dengan perempuan. (al-Minhaj, 17/58)

[8] Karena sepatu yang tinggi mendorong pemakainya berlenggak-lenggok ketika berjalan, dan ini bisa kita buktikan.

[9] Akibatnya lelaki tergoda dengannya.

[10] Dalam hal ini sepatu tinggi tersebut merupakan perhiasan si perempuan yang sengaja dipakainya untuk memberi nilai lebih atau menambah indah penampilannya.

Sumber: Asy syariah edisi 102