Pertanyaan:
Shalat 'Idul Fitri dan 'Idul Adha, hukumnya wajib ataukah sunnah? Dan dosa apakah yang akan ditanggung oleh seseorang yang meninggalkannya?
Jawaban:
Shalat 'Idul Fitri dan 'Idul Adha hukumnya FARDHU (wajib) KIFAYAH.
Sebagian ulama lainnya berpendapat hukumnya FARDHU 'AIN sebagaimana shalat jum'at.
Maka tidaklah sepantasnya bagi seorang muslim untuk meninggalkannya.
Wa billahi at-taufiq, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.
(Al-Lajnah ad-Da'imah Lil Buhuts al-'Ilmiyyah wal Ifta' nomor 9555)
Majmu'ah Manhajul Anbiya
###
Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah:
“Shalat ‘Id FARDHU KIFAYAH menurut pendapat kebanyakan para ‘ulama, boleh ada sebagian orang tertinggal tidak menghadiri shalat ‘Id. Namun kehadiran dia dan turut serta bersama-sama saudara-saudaranya kaum muslimin dalam shalat ‘Id merupakan SUNNAH MU’AKKADAH tidak boleh ditinggalkan tanpa ada udzur syar’i.
Sebagian ‘ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ‘id hukumnya adalah FARDHU ‘AIN seperti Shalat Jum’at.
Maka TIDAK BOLEH seorang pun mukallaf dari kalangan pria merdeka yang mukim untuk meninggalkannya.
Pendapat ini LEBIH TEPAT dan LEBIH DEKAT KEPADA KEBENARAN.
Disunnahkan bagi kaum wanita untuk menghadirinya juga, namun DENGAN TETAP MEMPERHATIKAN:
- HIJAB,
- MENUTUP AURAT, dan
- TIDAK MENGENAKAN MINYAK WANGI/PARFUM.
Ini berdasarkan hadits yang telah pasti/sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam ash-Shahihain dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu 'anha bahwa dia berkata,
أمرنا أن نخرج في العيدين العواتق والحيض ليشهدن الخير ودعوة المسلمين وتعتزل الحيض المصلى
“Kami diperintah untuk mengajak keluar pada dua hari raya: para gadis dan para wanita haidh. Agar mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Namun para wanita haidh menjauhi tempat shalat.” (HR. al-Bukhari 324, Muslim 890)
Pada sebagian lafazh lainnya,
فقالت إحداهن: يا رسول الله لا تجد إحدانا جلبابا تخرج فيه، فقال صلى الله عليه وسلم: لتلبسها أختها من جلبابها
Salah seorang di antara kami ada yang mengatakan, “Wahai Rasulullah, ada seorang dari kami tidak memiliki jilbab yang dengannya dia bisa keluar.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjawab, “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan) dari jilbab miliknya.” (HR. Ahmad 20269, Ibnu Majah 1307)
Tidak diragukan, bahwa ini menunjukkan DITEKANKANNYA kaum wanita untuk keluar/berangkat juga guna melaksanakan shalat ‘Id, supaya mereka bisa menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.
(Majmu Fatawa Ibn Baz 13/7-8)
Majmu'ah Manhajul Anbiya
###
Al Ustadz Qamar Su'aidy Lc hafizhahullah
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama:
Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua:
Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga:
Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’i (sendiri) menga-takan dalam (buku) Mukhtashar Al-Muzani:
“Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.”
(Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin.
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab:
“Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur. Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)
WhatsApp Salafy Indonesia
forumsalafy .net
###
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang hukum sholat Ied.
Pendapat pertama: Wajib.
Ini adalah pendapat Ulama’ Hanafiyah (pengikut al-Imam Abu Hanifah).
Alasan Ulama’ yang berpendapat ini di antaranya:
1. Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya sama sekali.
2. Nabi shollallahu alaihi wasallammemerintahkan agar semuanya keluar untuk menyaksikan pelaksanaan sholat Ied, termasuk gadis yang dalam pingitan dan wanita haid. Hanya saja wanita haid diperintahkan agak jauh dari tempat pelaksanaan sholat.
3. Jika Ied bertepatan dengan hari Jumat, dan seseorang laki-laki telah ikut sholat Ied, tidak wajib baginya untuk sholat Jumat di hari itu. Tidak mungkin sesuatu yang wajib bisa digugurkan kewajibannya kecuali dengan yang wajib juga.
Pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Bin Baz, dan Syaikh Ibnu Utsaimin.
Pendapat Kedua: Sunnah Muakkadah.
Ini adalah pendapat Ulama’ Syafiiyyah dan Maalikiyyah. Dalil mereka adalah: ketika datang seorang Arab badui datang kepada Nabi dan bertanya tentang kewajiban-kewajiban dalam Islam, Nabi menjelaskan kewajiban-kewajiban dalam Islam, termasuk sholat wajib (5 waktu). Kemudian orang itu bertanya: Apakah masih ada lagi yang wajib untukku? Nabi menyatakan: Tidak. Kecuali sholat yang sunnah saja.
Pendapat Ketiga: Fardlu Kifayah.
Ini adalah pendapat Ulama’ Hanabilah.
Dalilnya adalah firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2.
Salafy .or .id