Cari Blog Ini

Minggu, 21 September 2014

Tentang SIHIR

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Tanya:
Apa hukumnya merukunkan suami istri menggunakan sihir?

Jawab:
“Hal tersebut diharamkan dan tidaklah diperbolehkan. Sihir yang bertujuan demikian dinamakan ‘athf. Adapun sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istri (atau dua orang yang saling mencintai), yang dinamakan sharf, juga diharamkan. Bahkan, hukumnya bisa kafir dan syirik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tidaklah mereka berdua mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu maka janganlah engkau kafir.’ Maka mereka mempelajari dari keduanya itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka (tukang sihir itu) tidak dapat memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun selain dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang dapat memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka telah meyakini bahwa barang siapa menukar Kitabullah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat.” (al-Baqarah: 102)

[Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin, 2/177—178, fatwa no. 254]

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i رحمه الله

PERTANYAAN:
ما الفرق بين الكاهن والساحر
Apakah perbedaan antara dukun dan penyihir?

JAWABAN:
الفرق بين الكاهن والساحر فالكاهن يخبر عن أمور مستقبيلة والكهانة هي نوع من السحر والساحر يستطيع أن يقلب الحقائق فقد يكون كاهنا وساحرا إما على سبيل الشعوذة وإما على سبيل التخييل: يخيل إليه من سحرهم أنها تسعى
Perbedaan antara dukun dan penyihir yaitu, seorang dukun itu mampu mengabarkan tentang perkara PERKARA MENDATANG atau (ghaib), dan perdukunan itu termasuk contoh dari jenis sihir, dan seorang penyihir itu bisa memutar balikkan fakta, dia termasuk seorang dukun dan seorang penyihir, baik dengan cara komat-kamit (membaca mantra), sulap-menyulap maupun dengan cara meramal.
Allah Ta'ala berfirman,
قال بل ألقوا فإذا حبالهم وعصيهم يخيل إليه من سحرهم أنها تسعى
Berkata (Musa): Silakan, kamu sekalian melemparkan. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepadanya (Musa) seakan-akan merayap, (lantaran) sihir mereka.
ويجوز أن يكون من باب الحقيقة وأن يتأثر الشخص بفعل الساحر فيستطيع الساحر أن يقلب الشخص حمارا وهذا هو الصحيح والمعتزلة ينفون هذا وهو الرجل نفسه لكن قد صوره أمام الناس في صورة حمار أو في صورة كلب أو غير ذلك ويستطيع أن يرى الناس أنه يطعن عينه وهو لا يطعن عينه ويستطع أن يرى الناس أنه يبقر بطنه وهو لا يبقر بطنه فهذا السحر
Dan termasuk bukti kebenaran (adanya sihir) adalah seseorang DAPAT TERPENGARUHI oleh penyihir tersebut, maka seakan-akan penyihir itu dapat menjadikan orang tersebut menjadi seekor keledai (karena kuatnya sihir itu), dan ini adalah nyata. Dan orang-orang mu'tazilah menganggap perkara ini tidak ada. Dia terlihat seakan-akan seorang manusia, akan tetapi tingkah lakunya di hadapan manusia seperti keledai ataupun seperti seekor anjing, atau yang lainya, dan dia dapat menunjukkan di hadapan manusia seakan dia menusuk matanya, padahal sesungguhnya dia tidak menusuk matanya, dan dia bisa menunjukan kepada manusia seakan dia membelah perutnya, padahal dia tidak membelahnya, dan inilah sebuah perkara sihir.
والنبي - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - يقول: اجتنبوا السبع الموبقات - وذكر منها - السحر. فهو من أكبر الكبائر بل الصحيح أن الساحر يكفر والإمام الشافعي يقول: لا يكفر إلا إذا وصف سحره فوجدنا فيه كفرا لكن الصحيح أنه يكفر لأنه لا يتعلم السحر ولا يعلمه الجن السحر حتى يكفر بالله: وما يعلمان من أحد حتى يقولا إنما نحن فتنة فلا تكفر
Dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Jauhilah tujuh perkara penghancur - disebutkan di antaranya - Sihir.
Maka sihir termasuk dari dosa-dosa besar, bahkan sesungguhnya sihir itu menjadikan pelakunya KAFIR, dan Imam Syafi'i rahimahullah berkata:
لا يكفر إلا إذا وصف سحره فوجدنا فيه كفرا لكن الصحيح أنه يكفر لأنه لا يتعلم السحر ولا يعلمه الجن السحر حتى يكفر بالله
Tidaklah mengkafirkan seorang penyihir kecuali sihirnya mensifati sebuah kekufuran, akan tetapi SESUNGGUHNYA DIA TELAH KAFIR dikarenakan dirinya tidak akan mempelajari sihir atau mengetahuinya kecuali dia telah kufur kepada Allah.
Allah Ta'ala berfirman:
وما يعلمان من أحد حتى يقولا إنما نحن فتنة فلا تكفر
Dan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.
والمسفلة دجالة من الدجاجلة والميت كما قال الله سبحانه وتعالى: لا يستطيعون توصية ولا إلى أهلهم يرجعون. فهذا كذب وهذه من الخرافات والله المستعان
Dan Al-Musfilah *) adalah seorang dajjal perempuan dari segenap dajjal, dan seorang mayyit, seperti Firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala:
فلا يستطيعون توصية ولا إلى أهلهم يرجعون
Sehingga mereka tidak mampu membuat suatu wasiat dan mereka (juga) tidak dapat kembali kepada keluarganya. Maka ini adalah sebuah dusta dan sebuah khurofat, Allahul musta'an.

PERTANYAAN:
ما هي حجة الشافعي في عدم تكفير الساحر
(Bagaimana dengan) hujjah Imam Syafi'i dalam perkara tiada pengkafiran kepada seorang penyihir?

As-Syaikh rahimahullah menjawab:
لعله يحتج بنحو قوله تعالى: إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء. وهو لم يقل هذا مطلقا يقول: صف لنا سحرك فإن كان وصف كفرا كفره وإن كان غير كفر لا يكفره لكنه لا يستطيع أن يتعلم السحر إلا بالكفر والله المستعان
Mungkinlah yang dimaksud Imam Syafi'i Firman Allah Ta'ala:
إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya."
Dan Imam Syafi'i TIDAK MENGATAKAN bahwasanya penyihir ini tidak kafir secara mutlak, dan beliau berkata:
صف لنا سحرك فإن كان وصف كفرا كفره وإن كان غير كفر لا يكفره لكنه لا يستطيع أن يتعلم السحر إلا بالكفر والله المستعان
"Tunjukkanlah pada kita sihirmu, dan apabila dalamnya tersirat sebuah kekufuran maka beliau mengkafirkannya, dan apabila tidak tersirat sebuah kekufuran maka tidak beliau tidak mengkafirkannya, akan tetapi seorang penyihir tidaklah akan mempelajari ilmu sihir kecuali dirinya telah kufur kepada Allah Ta'ala, Allahul mustaan."

*) Al-Musfilah adalah:
امرأة تزعم أنها تنزل إلى الموتى وتعرف أحوالهم وتأتي بأخبار عنهم لأقربائهم
Seorang wanita yang dianggap sanggup datang atau hadir dalam sebuah kematian (ghaib) dan mengerti keadaan-keadannya dan dia mengabarkan tentang kesanggupannya tentang itu kepada kerabatnya.
Rujuk kitab Qom'ul Ma'anid (Juz 1/Hal 37-38)

Sumber:
www .muqbel .net/fatwa .php?fatwa_id=3529

Alih Bahasa:
Abu 'Utsman Affan 'Ali Sungkar حفظه الله - [FBF 6]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

Tentang HAKIKAT PETIR DAN KILAT

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (24/263—264):

“Adapun petir dan kilat, terdapat keterangan pada hadits marfu’ yang diriwayatkan dalam kitab Sunan at-Tirmidzi dan lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar-ra’d (petir). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﻣَﻠَﻚٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔِ ﻣُﻮَﻛَّﻞٌ ﺑِﺎﻟﺴَّﺤَﺎﺏِ، ﻣَﻌَﻪُ ﻣَﺨَﺎﺭِﻳﻖُ ﻣِﻦْ ﻧﺎَﺭٍ ﻳَﺴُﻮﻗُﻬَﺎ ﺑِﻬَﺎ ﺣَﻴْﺚُ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ
“Malaikat dari malaikat-malaikat Allah yang ditugasi mengatur urusan awan di tangannya ada makhariq (cambuk) dari api untuk mengarak awan menurut kehendak Allah.” [1]

Pada kitab Makarim al-Akhlaq karya al-Kharaithi, terdapat atsar dari Ali Radhiyallahu ‘anhu:
ﺃَﻧَّﻪُ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺮَّﻋْﺪِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﻠَﻚٌ. ﻭَﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺒَﺮْﻕِ، ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﺨَﺎﺭِﻳْﻖُ ﺑِﺄَﻳْﺪِﻱ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ. ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﻋَﻨْﻪُ: ﻣَﺨَﺎﺭِﻳْﻖُ ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳْﺪٍ ﺑِﻴَﺪِﻩِ.
Beliau ditanya tentang petir, maka beliau menjawab, “Malaikat.” Beliau ditanya lagi tentang kilat, beliau menjawab, “Cambuk-cambuk di tangan para malaikat.” Pada riwayat lain beliau berkata, “Cambuk-cambuk dari besi di tangan malaikat.”

Telah diriwayatkan pula atsar-atsar yang semakna dengan ini. Begitu pula telah diriwayatkan keterangan lain dari beberapa salaf yang tidak menyelisihi
keterangan di atas, seperti ucapan sebagian mereka, “Sesungguhnya petir itu adalah (suara) benturan subtansi-subtansi (zat-zat) awan akibat adanya tekanan udara dalam awan.” Keterangan ini tidaklah kontradiksi dengan keterangan di atas karena ar-ra’d (petir/guruh) adalah mashdar dari ﺭَﻋَﺪَ ‏ (ra’ada artinya telah berguruh), ﻳَﺮْﻋُﺪ‏ (yar’udu artinya sedang/akan berguruh, ﺭَﻋْﺪًﺍ (ra’dan artinya guruh/petir‏). Demikian pula ﺍﻟﺮَّﺍﻋِﺪُ ‏ (ar-ra’id artinya yang berguruh) dinamakan ﺭَﻋْﺪًﺍ‏ ra’dan (petir/guruh), seperti halnya ﺍﻟْﻌَﺎﺩِﻝُ‏ (al-‘adil artinya yang adil) dinamakan ﻋَﺪْﻻًً (‘adlan artinya adil‏). Gerakan yang ada mengharuskan keluarnya suara, sementara para malaikatlah yang menggerakkan (mengarak) awan. Mereka memindahkannya dari satu tempat ke tempat lainnya. Seluruh gerakan yang terjadi di alam atas dan alam bawah, yang mengaturnya adalah para malaikat. Suara manusia pun bersumber dari benturan anggota-angota tubuhnya, yaitu kedua bibirnya, lidahnya, gigi-giginya, anak lidah, dan tenggorokan. Bersama dengan itu, manusia disifati bahwa dia bertasbih kepada Rabbnya, memerintahkan kepada yang kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Jika begitu, petir adalah suara menghardik awan.

Begitu pula halnya dengan kilat. Telah dikatakan, “(Kilat itu) kilauan air atau kilauan api.” Hal ini pun tidak menafikan (menampik) bahwa kilat itu adalah cambuk yang ada di tangan malaikat, karena api yang berkilau di tangan malaikat seperti cambuk, seperti penggiring hujan. Malaikat menggiring (mengarak) awan seperti halnya penunggang menggiring binatang tunggangannya."

Catatan kaki:
[1] Setelah itu beliau ditanya lagi tentang suara petir yang terdengar itu. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﺯَﺟْﺮُﻩُ ﺑِﺎﻟﺴَّﺤَﺎﺏِ ﺇِﺫَﺍ ﺯَﺟَﺮَﻩُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻨْﺘَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﻴْﺚُ ﺃُﻣِﺮَ
“Hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya (untuk mengaraknya) hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya.”
Ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dengan riwayat at-Tirmidzi (pada Kitab Tafsir al-Qur’an, Bab Wa min Surah ar-Ra’d no. 3117) tentang kedatangan sekelompok Yahudi menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya tentang petir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ahmad, ath-Thabarani, adh-Dhiya’ al-Maqdisi, dan lainnya dengan lafadz:
ﺃَﻗْﺒَﻠَﺖْ ﻳَﻬُﻮﺩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ: ﻳَﺎ ﺃَﺑَﺎ ﺍﻟْﻘَﺎﺳِﻢِ، ﻧَﺴْﺄَﻟُﻚَ ﻋَﻦْ ﺃَﺷْﻴَﺎﺀَ ﺇِﻥْ ﺃَﺟَﺒْﺘَﻨَﺎ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﺗَّﺒَﻌْﻨَﺎﻙَ ﻭَﺻَﺪَّﻗْﻨَﺎﻙَ ﻭَﺁﻣَﻨَّﺎ ﺑِﻚَ … ﻓَﺄَﺧْﺒِﺮْﻧَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺮَّﻋْﺪِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺍﻟﺮَّﻋْﺪُ ﻣَﻠَﻚٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﻼَﺋِﻜَﺔِ ﻣُﻮَﻛَّﻞٌ ﺑِﺎﻟﺴَّﺤَﺎﺏِ ‏( ﺑِﻴَﺪَﻳْﻪِ - ﺃَﻭْ ﻓِﻲْ ﻳَﺪِﻩِ - ﻣِﺨْﺮَﺍﻕٌ ﻣِﻦْ ﻧَﺎﺭٍ ﻳَﺰْﺟُﺮُ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺴَّﺤَﺎﺏَ‏) ﻭَﺍﻟﺼَّﻮْﺕُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳُﺴْﻤَﻊُ ﻣِﻨْﻪُ ﺯَﺟْﺮُﻩُ ﺍﻟﺴَّﺤَﺎﺏَ ﺇِﺫَﺍ ﺯَﺟَﺮَﻩُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻨْﺘَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﻣَﺮَﻩُ
Sekelompok orang Yahudi menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Abul Qasim, kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa hal. Jika engkau menjawabnya, kami akan mengikutimu, membenarkanmu dan beriman kepadamu … Kabarkan kepada kami tentang petir, apakah itu?" Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Petir adalah salah satu malaikat Allah yang ditugasi mengurus awan, (di kedua tangannya—atau di tangannya—ada cambuk dari api untuk menghardik awan), dan suara yang terdengar darinya adalah hardikannya terhadap awan jika ia menghardiknya hingga berhenti di tempat yang diperintahkannya."
Yang dalam kurung adalah tambahan lafadz dari adh-Dhiya’ pada salah satu riwayatnya.
Dinyatakan berderajat sahih oleh al-Albani. Lihat ash-Shahihah no. 1872.

————————————————
Sumber: Majalah Asy Syariah

Tentang PENCIPTAAN AIR HUJAN

Tanya: Apakah benar teori yang.mengatakan bahwa air hujan berasal dari uap air yang menguap dari air laut?

Dijawab oleh al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari

Alhamdulillah, masalah ini telah diterangkan oleh para ulama dengan dalil-dalilnya. Di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnul Qayyim, dan al-Imam Ibnu Baz Rahimahullah.

Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (24/262), “Hujan yang turun diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di angkasa dari awan. Dari awan itulah hujan tercurah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kalian minum. Kaliankah yang menurunkannya dari awan atau Kamikah yang menurunkannya?” (al-Waqi’ah: 68—69‏)

Begitu pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah.” (an-Naba’: 14‏)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
“Maka engkau pun melihat hujan keluar dari celah-celahnya.” (an-Nur: 43)
Yakni dari celah-celah awan.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala pada beberapa ayat lainnya, artinya dari atas. Kata as-sama’ adalah isim jenis untuk sesuatu yang tinggi (di atas). Boleh jadi maknanya adalah untuk di atas ‘Arsy, atau bermakna benda-benda angkasa, atau atap rumah. Hal itu tergantung perangkat bahasa yang bergandeng dengan kata tersebut. Substansi (zat) asal air hujan terkadang diciptakan dari udara yang ada di angkasa dan terkadang diciptakan dari uap air yang menguap dari bumi. Inilah yang disebutkan oleh ulama muslimin dan ahli filsafat pun sependapat dengan ini.”

Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (13/87), “Ulama menyebutkan (penciptaan air hujan) bahwasanya uap air yang menguap dari lautan bisa jadi terkumpul darinya air di awan dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengubah rasanya yang asin menjadi tawar. Bisa jadi pula, Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan air di angkasa (awan), kemudian tercurah sebagai air hujan yang menyirami manusia dengan.perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dialah yang Mahakuasa atas segala sesuatu sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)

Makna ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftah Dar as-Sa’adah, dan disebutkan pula oleh selainnya. Telah tsabit (tetap) dalam hadits-hadits sahih bahwa air memancar keluar dari sela-sela jari-jemari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah dan di luar Madinah, lalu orang-orang minum dan berwudhu darinya. Hal itu termasuk dari ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah Subhanahu wa ta’ala yang besar, yang menunjukkan kemahasempurnaan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala, ilmu, rahmat, dan karunia-Nya, serta kebenaran Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

Tentang ALLAH ADA DI MANA-MANA

Bagaimana membantah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala di mana-mana? Maha Tinggi Allah dari hal itu. Dan apa hukum orang yang mengatakannya?

Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:

Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas Arsy (singgasana)-Nya. Tidak di dalam alam, bahkan terpisah darinya. Dan Dia mengetahui serta melihat segala sesuatu. Tiada yang tersembunyi baginya sesuatupun baik di bumi maupun di langit. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa` (berada/naik) di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (Al-Furqan: 59)

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (Hud: 7)

Di antara yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah turunnya Al-Qur`an dari-Nya. Dan tidaklah dikatakan turun kecuali dari atas ke bawah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)

“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur`an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1-2)

“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 1-2)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala di atas makhluk-Nya.

Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami, ia mengatakan: “Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku di daerah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku melihat ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing yang digembalanya. Aku adalah seorang manusia dari bani Adam, yang bisa marah sebagaimana orang-orang marah, hingga aku menamparnya satu kali. Maka aku datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menilainya sebagai suatu perkara besar atasku. Sehingga aku katakan: ‘Tidakkah kubebaskan saja dia?’ Beliau menjawab: ‘Bawa dia kemari.' Akupun membawanya kepada beliau. Beliaupun mengatakan kepadanya: ‘Di manakah Allah?’ ‘Di atas langit,’ jawabnya. ‘Siapakah aku?’ tanya Rasulullah. ‘Engkau adalah Rasulullah,’ jawabnya. Lantas beliau mengatakan: ‘Bebaskan dia, sesungguhnya dia adalah wanita mukminah.’ (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan yang lain)

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri , ia mengatakan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian percaya kepadaku, sementara aku adalah kepercayaan Yang di atas langit? Datang kepadaku berita langit pagi dan petang hari.”

Kedua: Barangsiapa meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di mana-mana maka dia tergolong aliran Hululiyyah (yang meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersatu dengan makhluk-Nya, red). Orang seperti itu dibantah dengan dalil-dalil yang telah lalu, yang menunjukkan bahwa Allah berada pada ketinggian dan berada di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kalau dia tunduk kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma (kesepakatan) (maka itu yang seharusnya, red). Kalau tidak tunduk maka dia kafir, murtad dari agama Islam.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada.” (Al-Hadid: 4)
Maknanya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama mereka dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui keadaan mereka.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Al-An’am: 3)
Maka maknanya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang diibadahi penghuni langit dan bumi.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Dan Dia-lah Ilah (Yang disembah) di langit dan Ilah (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)
Maknanya bahwa Allah 'Azza wa Jalla adalah sesembahan penduduk langit dan penduduk bumi, tiada yang diibadahi dengan benar selain Dia. Demikianlah penggabungan antara ayat-ayat dan hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menurut pemeluk kebenaran.

Wa billahi taufiq washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ditandatangani oleh:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdurrazzaq Afifi, Abdullah Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/218]

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Syubhat-Syubhat dan Bantahannya

(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

1. Allah ada di mana-mana

Keyakinan ini adalah batil. Untuk menguatkan keyakinan yang menyelisihi sekian banyak dalil ini, mereka memperkuatnya dengan apa yang dianggap sebagai dalil-dalil di dalam al-Qur’an, di antaranya:
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (al-Hadid: 4)
“Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (al-Mujadalah: 7)

Jawab: Ayat di atas dianggap dalil dan landasan oleh mereka untuk membangun keyakinan yang salah itu. Padahal, konteks kalimatnya sedikit pun tidak menunjukkan makna bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya di mana saja mereka berada. Tidak pula mengarah ke makna demikian dari sisi mana pun.
Dalam bahasa Arab, bahasa yang al-Qur’an diturunkan dengannya, ma’iyah (kebersamaan) tidak menunjukkan selalu bersatu/berkumpul dalam sebuah tempat. Kata tersebut menunjukkan kebersamaan yang bersifat mutlak yang ditafsirkan sesuai dengan konteks kalimat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahuah mengatakan, bulan yang terletak di atas langit dan termasuk makhluk Allah yang paling kecil, dia bersama orang yang sedang musafir dan bersama orang yang tidak musafir. Hal ini menunjukkan bahwa kebersamaan tidak selalu bermakna bergabung, menyatu, dan bercampur dalam sebuah tempat. Memaknakan ayat di atas dengan maksud Allah berada di mana-mana adalah batil dari banyak sisi.
a. Hal ini menyelisihi ijma’ salafus saleh umat ini. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menafsirkannya dengan makna demikian. Yang ada, mereka sepakat menentang dan mengingkarinya.
b. Menafsirkannya dengan makna Allah di mana-mana berarti menyelisihi sifat ketinggian Allah yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ salafus saleh umat ini.
c. Sikap ini akan melahirkan perkara-perkara batil yang tidak pantas bagi Allah.
Lalu, apa yang dimaksud oleh ayat tersebut?
Makna yang benar tentang ayat di atas adalah Allah bersama hamba-hamba-Nya. Artinya, Dia meliputi mereka dengan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran, penglihatan, pengaturan, kekuatan, dan makna-makna rububiyah lainnya. Allah senantiasa di atas ‘Arsy-Nya, di atas semua makhluk. Inilah makna konteks kedua ayat di atas tanpa ada keraguan.
Dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw (hlm. 75) ada sebuah riwayat dari ar-Ramadi, “Aku bertanya kepada Nu’aim bin Hammad tentang firman Allah, ‘Dia bersama kalian.’
Dia menjawab, ‘Maknanya adalah tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari ilmu Allah. Tidakkah engkau membaca firman-Nya:
“Tiadalah tiga orang sedang berbicara melainkan Allah adalah keempatnya.” (al-Mujadilah: 7) (Lihat Majmu’ Fatawa, 5/103 dan al-Qawaidul Mutsla, hlm. 59)
Di antara ayat yang mereka anggap sebagai hujah adalah firman Allah:
“Dan Dialah yang di langit sebagai Ilah (sesembahan) dan di bumi sebagai Ilah (sesembahan). Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 84)
Menurut mereka, ayat ini bermakna Allah di langit dan Allah di bumi.
Jawabnya, ayat ini sedikit pun tidak menunjukkan kepada keyakinan mereka bahwa Allah berada di mana-mana. Justru ayat ini menjelaskan besarnya hak Allah sebagai satu-satunya Dzat yang disembah. Maknanya adalah Dialah sesembahan segala makhluk yang ada di langit dan sesembahan seluruh penduduk bumi.

2. Mereka melakukan penakwilan terhadap ayat yang menunjukkan Allah berada di atas.
Di antaranya firman Allah:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang naik di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
Mereka menakwilkan kata اِسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اِسْتَوْلَى (berkuasa) sebagaimana mereka melakukan penakwilan terhadap kata lain yang menyebutkan sifat Allah, baik dalam al-Qur’an maupun hadits.
Mereka menguatkan hujahnya dengan sebuah syair:
قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ
مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
Sungguh Bisyr telah istiwa (berkuasa) atas Irak
tanpa perang dan pertumpahan darah
Mereka memaknai اِسْتَوَى di sini dengan “menguasai". Kata mereka, bait ini berasal dari seorang Arab yang fasih, sehingga tidak mungkin maknanya ‘Bisyr naik/tinggi di Irak’. Terlebih di masa itu belum ada pesawat terbang yang membuatnya berada di atas Irak.

Jawab: Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Istiwa’ ini sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah, tidak sama dengan istiwa’ makhluk-Nya. Kata اسْتَوَى disebutkan oleh Allah pada tujuh tempat di dalam al-Qur’an.
Memaknakan اسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اسْتَوْلَى (berkuasa) adalah batil dari banyak sisi yaitu:
1. Menyelisihi penafsiran salaf umat ini yang berijma’ atas penafsiran tersebut.
Bukti ijma’ mereka adalah tidak ada penukilan dari salah seorang mereka bahwa اسْتَوَى berarti اسْتَوْلَى .
2. Menyelisihi konteks nash karena lafadz اسْتَوَى apabila digandengkan dengan huruf ‘ala bermakna di atas dan menetap. Inilah makna lahiriah lafadznya dan yang diinginkan di dalam al-Qur’an dan oleh bahasa Arab.
3. Apabila kita memaknakan اسْتَوَى dengan اسْتَوْلَى, akan muncul konsekuensi yang batil di dalamnya, Mahasuci Allah.
Di antaranya adalah:
• Allah Yang Mahasuci dari praduga ahli kebatilan, saat menciptakan langit dan bumi tidak dalam kondisi berkuasa atas ‘Arsy-Nya, setelah itu baru Dia berkuasa.
• Penggunaan kalimat اسْتَوْلَى (berkuasa) mayoritasnya terjadi setelah ada perebutan kekuasaan. Padahal tidak ada seorang makhluk pun yang setara dengan Allah apalagi mengalahkannya.
• Kalau benar makna اسْتَوَى adalah اسْتَوْلَى, dan ini batil, boleh juga kita mengatakan Allah اسْتَوَى di atas bumi, pohon-pohon, dan gunung-gunung, karena Allah berkuasa atas semuanya. Tentu saja makna ini batil. (Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 319 dan Fathu Rabbil Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah, hlm. 39)

3. Jika kalian, wahai Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa Allah berada di langit, berarti kalian telah menjadikan Allah diliputi oleh langit, padahal tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang meliputi Allah.

Jawab: Syubhat ini jawabannya dari dua sisi.
a. Kata السَّمَاء dalam bahasa Arab artinya ‘sesuatu yang di atas, baik langit maupun yang lain’. Dengan demikian, segala apa yang di atas kita adalah sama’, sehingga makna ayat, ‘apakah kalian merasa aman dengan Dzat yang ada di langit’, maksudnya ‘yang berada di atas.’
b. Kata فِي di dalam bahasa Arab memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam sesuai dengan konteksnya. Adapun kata فِي di sini bermakna عَلَى (di atas) sehingga makna فِي السَّمَاء, artinya di atas langit, bukan di dalam langit.
Kata فِي bermakna عَلَى dalam beberapa ayat al-Qur’an,
“Sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma.” (Thaha: 71)
Tidak mungkin penyaliban itu terjadi di dalam pangkal kurma, tetapi di atasnya.
Demikian juga ayat:
“Maka berjalanlah di penjurunya.” (al-Mulk: 15)
Tidak mungkin perintah tersebut bermakna ‘kita diperintah untuk berjalan di dalam bumi’, tetapi di atasnya. (Lihat Tuhfatu Murid Syarah al-Qaulul Mufid, hlm. 6—7)

Sumber: Asy Syariah Edisi 074

Tentang MENCEGAH KEHAMILAN, MEMBATASI JUMLAH ANAK, DAN MENGGUNAKAN ALAT KONTRASEPSI

Apa hukumnya bila seorang suami menyetujui istrinya dipakaikan alat kontrasepsi oleh pihak rumah sakit guna mencegah kehamilan?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berfatwa:

Sang suami tidak boleh menyetujuinya, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyatakan: "Menikahlah kalian sehingga jumlah kalian menjadi banyak karena sesungguhnya aku membanggakan (banyaknya) kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat." [1]
Dan juga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiallahu 'anhu agar dilipatkan jumlah harta dan anaknya. [2]
Selain itu, bisa jadi kita akan dihadapkan dengan takdir Allah (berupa musibah kematian anaknya sehingga ia kehilangan si buah hati).

(Bila ada alasan untuk menunda kehamilan) maka ketika mendatangi istrinya (jima‘), sang suami diperbolehkan melakukan ‘azal. [3]
Adapun (menunda kehamilan) dengan menggunakan obat-obatan/pil, memotong rahim (pengangkatan rahim) atau yang lain, tidak diperbolehkan.

Perlu diketahui, musuh-musuh Islam menghias-hiasi perbuatan yang menyelisihi agama di hadapan kita. (Mereka menyerukan agar kaum muslimin membatasi kelahiran) sementara mereka sendiri, justru terus berupaya memperbanyak jumlah mereka. Dan benar-benar mereka telah melakukannya.

Aku bertanya kepada kalian, wahai saudara-saudaraku. Bila sekarang ini, di zaman ini, ada orang yang memiliki sepuluh anak, apakah kalian saksikan Allah menyia-nyiakannya? Atau justru kalian melihat, Allah membukakan rizki baginya dari arah yang tidak disangka-sangka?

Bila seseorang membatasi kelahiran karena alasan duniawi (takut rizki misalnya), ia benar-benar telah keliru. Karena Rabbul ‘Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi ini kecuali Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (Hud: 6)
Dan juga firman-Nya:
“Berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa (mengurus) sendiri rizkinya tapi Allah lah yang memberikan rizkinya dan juga memberikan rizki kepada kalian.” (Al-Ankabut: 60)

Namun bila ia melakukannya karena khawatir adanya mudharat/bahaya yang bakal menimpa sang istri, maka diperbolehkan menunda kehamilan dengan melakukan ‘azal. Adapun kalau harus menggunakan alat/obat yang berasal dari musuh-musuh Islam, baik berupa obat/pil pencegah kehamilan atau lainnya, maka ini tidaklah kami anjurkan.

‘Azal sendiri sebenarnya makruh, namun diizinkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau bersabda ketika mengizinkan para shahabatnya untuk melakukan ‘azal:
“Tidak ada satu jiwa pun yang telah ditakdirkan untuk diciptakan sampai hari kiamat kecuali mesti akan ada/tercipta.” [4]
Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu berkata:
“Kami melakukan ‘azal sementara Al-Qur`an (wahyu) masih turun (belum berhenti terus tersampaikan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam).” [5]
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan ‘azal. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

(Ijabatus Sa`il, hal. 467-468)

Sumber: Asy Syariah Edisi 021

Footnote:

[1] Ma’qil bin Yasar radhiallahu 'anhu berkata:
Seseorang datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia tidak dapat melahirkan anak, apakah boleh aku menikahinya?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: “Tidak boleh.” Orang itu datang lagi kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutarakan keinginan yang sama, namun Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap melarangnya. Kemudian ketika ia datang untuk ketiga kalinya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (dapat melahirkan anak yang banyak) karena sesungguhnya aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/211)

[2] Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, ini Anas pelayanmu, mohonkanlah kepada Allah kebaikan untuknya." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdoa:
“Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya. Dan berkahilah dia atas apa yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6378 dan Muslim no. 1499)

[3] Mengeluarkan air mani di luar kemaluan istri, di mana ketika akan inzal, sang suami menarik kemaluannya dari kemaluan istrinya sehingga air maninya terbuang di luar farji (kemaluan). (Fathul Bari)

[4] Hadits di atas diriwayatkan dalam Ash-Shahihain.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan makna hadits di atas:
“Setiap jiwa yang telah Allah takdirkan untuk diciptakan, maka pasti akan Ia ciptakan. Sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Sedangkan apa yang Allah tidak takdirkan untuk diciptakan maka pasti tidak terjadi, sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Dengan demikian ‘azal kalian tidak ada faedahnya, bila Allah telah mentakdirkan penciptaan satu jiwa, maka air mani kalian mendahului kalian (ada yang tertumpah ke dalam farji tanpa kalian sadari) sehingga tidaklah bermanfaat semangat kalian untuk mencegah penciptaan Allah.” (Al-Minhaj, 10/252)

[5] HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.

###

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan:

Adapun di masa ini, didapatkan sarana-sarana yang memungkinkan seorang lelaki mencegah air maninya agar tidak tertumpah sama sekali (di kemaluan) istri, seperti apa yang disebut dengan rabthul mawasir (mengikat saluran telur) dan kondom yang dipasangkan di kemaluan ketika jima’, dan yang semacamnya.

Bagaimanapun juga, yang dimakruhkan menurutku adalah bila dalam dua perkara ini atau salah satunya [1], tidak ada tujuan seperti tujuan orang kafir melakukan ‘azal. Seperti takut miskin karena banyak anak dan terbebani untuk menafkahi serta mendidik mereka. Bila disertai hal ini maka hukumnya naik dari makruh ke tingkat haram, karena kesamaan niat orang yang melakukan ‘azal dengan tujuan orang kafir melakukannya. Di mana orang-orang kafir membunuh anak-anak mereka karena takut menafkahi dan takut miskin, sebagaimana telah diketahui.

Berbeda halnya bila si wanita sakit, yang dokter mengkhawatirkan sakitnya akan bertambah parah bila hamil. Dalam keadaan ini, si wanita boleh memakai alat pencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu. Adapun bila sakitnya berbahaya dan dikhawatirkan menyebabkan kematian, si wanita boleh –dalam keadaan ini saja– bahkan wajib melakukan rabthul mawasir untuk menjaga agar dia tetap hidup. Wallahu a’lam.

(Adabuz Zifaf, hal. 136-137)

Sumber: Asy Syariah Edisi 021

Footnote:
[1] Yaitu dua hal yang timbul akibat terhalangnya tertumpahnya mani:
Pertama: memberi madharat dengan mengurangi kenikmatan istri,
Kedua: menghilangkan sebagian tujuan pernikahan.

###

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan:

Adapun menggunakan sesuatu yang bisa mencegah kehamilan, ada dua:

Pertama:
Mencegah kehamilan secara permanen. Hal ini tidak diperbolehkan karena akan memutus kehamilan sehingga mempersedikit keturunan. Ini bertentangan dengan tujuan syariat memperbanyak jumlah umat Islam. Juga, ada kemungkinan bahwa anak-anaknya yang ada akan meninggal, sehingga si wanita menjadi tidak punya anak sama sekali.

Kedua:
Mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu. Seperti bila si wanita banyak hamil sedangkan hamil akan melemahkannya, dan dia ingin mengatur kehamilan setiap dua tahun sekali atau semacamnya. Hal yang seperti ini diperbolehkan, dengan syarat seijin suaminya dan tidak memadharatkan si wanita. Dalilnya, para shahabat dahulu melakukan ‘azal terhadap istri-istri mereka pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan tujuan agar istri-istri mereka tidak hamil. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarang hal itu.

(Risalah fid Dima’ Ath-Thibi’iyyah lin Nisa`, hal. 44)

Sumber: Asy Syariah Edisi 021

###

Tanya: Apakah dibolehkan menggunakan obat pencegah kehamilan untuk mengatur/menjarangkan kehamilan dengan tujuan agar dapat mendidik anak yang masih kecil?

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

“Tidak boleh menggunakan obat pencegah kehamilan kecuali dalam keadaan darurat, apabila memang pihak medis/dokter menyatakan kehamilan berisiko pada kematian ibu.Namun menggunakan obat pencegah kehamilan dengan tujuan menunda sementara kehamilan yang berikutnya, tidaklah terlarang bila memang si ibu membutuhkannya. Misalnya karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk hamil dalam interval waktu yang berdekatan, atau bila si ibu hamil lagi akan memudaratkan anak/bayinya yang masih menyusu. Dengan ketentuan, obat tersebut tidak memutus/menghentikan kehamilan sama sekali, tapi hanya sekedar menundanya. Bila memang demikian tidaklah terlarang sesuai dengan kebutuhan yang ada, dan tentunya setelah mendapat saran dari dokter spesialis kandungan.”

[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/175]

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin Rahimahulloh

Pertanyaan: Ada seorang memiliki 4 anak dia mengatakan: Sesungguhnya dia menginginkan membatasi jumlah keturunan, dan sudah merasa cukup dengan anak yang ada, dengan alasan supaya bisa lebih fokus dalam beribadah kepada Rabbnya. Dikarenakan banyak anak akan memalingkan perhatiannya (dalam beribadah). Apakah ia berdosa atas perbuatannya itu ataukah tidak?

Jawaban:

INI MERUPAKAN CARA PANDANG YANG SEMPIT. Mendidik anak-anak juga termasuk ketaatan kepada Alloh. Apabila anak-anakmu mendapat hidayah dengan sebab dirimu, maka ini akan memberikan manfaat kepadamu baik tatkala engkau masih hidup atau seteleh meninggal dunia. Sebagaimana Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﺑﻦ ﺁﺩﻡ ﺍﻧﻘﻄﻊ ﻋﻤﻠﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺙ : ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻳﺔ، ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ، ﺃﻭ ﻭﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ
“Apa bila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya. Kecuali dari 3 perkara: Shodaqoh jariyyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak sholeh yang mendo’akan kebaikan kepadanya.”

Kemudian kami katakan kepada anda: Banyak anak merupakan bentuk memperbanyak jumlah umat, dan Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam menganjurkan seseorang menikah dengan perempuan yang penyayang, dan perempuan yang subur (banyak keturunannya) dalam rangka untuk memperbanyak anak. Beliau Shollallohu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa beliau akan berbangga kepada para nabi dengan banyaknya umat beliau pada hari kiamat. Seharusnya si penanya kembali kepada pengarahan ini. Supaya dia memperbanyak anak, banyak rezekinya dan memperbanyak anak yang mendapat hidayah dengan sebab dirinya. Dan mereka anak-anak tersebut sebagai simpanan (aset) bagi dirinya baik tatkala dia masih hidup atau setelah meninggalnya, dan dalam rangka mewujudkan berbangganya Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam nanti pada hari kiamat.

Sumber: Silsilah Liqo Syahri 7

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan: 
أنجبت زوجتي أربعة أطفال ولم تعد قادرة على الإنجاب مرة أخرى منذ أربع سنوات واتفق الأطباء على تلقيحها صناعيا، علماً بأنه لا يوجد في مستشفياتنا الحكومية، بل فقط في جدة وقد رفضت إجراء العملية فما الحكم؟
Isteriku telah melahirkan empat orang anak dan tidak lagi mampu melahirkan untuk kesekian kalinya sejak empat tahun yang lalu. Para dokter telah sepakat untuk melakukan fertilisasi buatan. Dan perlu diketahui bahwa hal itu tidak didapati di rumah sakit-rumah sakit pemerintahan kami, bahkan fasilitas itu hanya ada di Jeddah.
Dan saya sudah menolak untuk melangsungkan tindakan tersebut. Maka apa hukumnya?

Jawaban:
إن التلقيح الصناعي أجازه بعض أهل العلم المعاصرين، بشروط مهمة واحتياطات حتى لا يقع ما حرم الله عز وجل، ولكن أنا ممن توقف في ذلك وأنصح بعدم فعله؛ لأنه قد يفتح باب شر لا نهاية له، ولكن إذا كانت لا تستطيع الإنجاب، فالأربعة الذين حصلوا فيهم الكفاية والحمد لله، وفي إمكانه أن يتزوج ثانية وثالثة ورابعة ويأتي الله له برزق آخر من غير هذه المرأة، فتركه أفضل
Sebagian ‘ulama di masa sekarang ini membolehkan fertilisasi buatan, dengan memberikan syarat-syarat penting dan hati-hati supaya tidak terjatuh pada perkara yang diharamkan Allah.
Namun saya termasuk orang yang tawaquf (diam) dalam masalah ini dan saya nasehatkan untuk tidak melakukannya. Karena acap kali membuka pintu kerusakan yang tiada ujung akhirnya. Dan bila ia tidak mampu lagi melahirkan, maka empat anak yang telah dihasilkan sudah mencukupi, walhamdulillah.
Dan masih memungkinkan bagi sang suami untuk menikah lagi di kali yang kedua, ketiga, dan keempat. Dan Allah akan memberinya rezeki yang lain dari selain wanita ini. Maka meninggalkan fertilisasi buatan itu lebih utama.

Selesai pengiriman melalui program Fatawa Ibn Baz milik Anderwide

Sumber: http://tiny.cc/binbaz

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Tanya: Bismillah. Saya mempunyai saudari yang baru saja menikah. Pihak suami dan keluarganya menyuruh saudari saya itu untuk menunda kehamilan dengan alasan belum berkecukupan. Saudari saya sedih. Dia tidak mau ber-KB seperti saran suami dan mertuanya. Dia sudah berusaha memberikan pengertian kepada suaminya. Apa yang sebaiknya dia lakukan, apakah ber-KB seperti yang disuruhkan oleh suaminya? Mohon jawaban, Ustadz.

Al-Ustadz Qomar Su’aidi hafizhahullah menjawab:

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan rezeki kepada seluruh hamba-Nya.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya.” (Hud: 6)
Terkait dengan masalah tersebut, kami memandang bahwa alasan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk ber-KB. Sebab, alasan tersebut mirip dengan alasan kaum musyrikin yang membunuh anak-anak mereka karena takut miskin. Allah 'Azza wa Jalla melarang mereka dengan keras dalam beberapa ayat-Nya. Di antaranya adalah firman-Nya,
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberikan rezeki kepada mereka dan kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (al-Isra’: 31)
Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa Allah pasti memberikan rezeki-Nya asalkan kita mau berusaha dan banyak berdoa. Allah 'Azza wa Jalla berfirman,
“Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (an-Nur: 32)
Setiap orang yang lahir sudah ditetapkan rezekinya oleh Allah. Jangankan manusia, hewan saja sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Oleh karena itu, yakin dan bersabarlah. Semoga Allah memudahkan rezeki yang baik dan halal bagi kami dan kalian semua.

Sumber : Majalah Qonitah

Tentang WAS-WAS DARI SETAN

Tanya: ِSaya sering dikuasai rasa was-was. Bila saya ingin melintasi sebuah jalan, rasa was-was itu menghantui saya hingga saya merasa bahwa jalan yang saya lalui salah, seharusnya lewat sisi yang lain. Ketika hendak makan, setan juga menyusupkan was-was pada diri saya bahwa makanan saya tidak sehat dan menimbulkan mudarat. Karenanya saya mohon nasihat antum, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi balasan kebaikan kepada antum.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

“Was-was itu dari setan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah (ya Muhammad): Aku berlindung kepada Rabb manusia. Rajanya manusia. Sesembahan manusia, dari kejelekan was-was al-khannas.” (An-Nas: 1-4)
Al-Khannas adalah setan.
Maka wajib bagi anda wahai saudaraku untuk berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari was-was tersebut serta berhati-hati dari tipu daya setan. Dan hendaknya pula anda berketetapan hati dalam melakukan segala urusan anda. Jika anda melewati sebuah jalan maka mantapkanlah, terus anda lalui hingga anda memang mengetahui dengan yakin di jalan tersebut ada sesuatu yang akan mengganggu. Jika memang demikian, tinggalkanlah. Demikian pula ketika memakan makanan. Jika anda tidak tahu ada perkara yang membuat makanan tersebut diharamkan, makanlah serta tinggalkan was-was yang ada. Saat berwudhu juga demikian, terus kerjakan dan tinggalkan segala was-was yang mungkin membisikkan, “Anda tidak menyempurnakan wudhu”, “Anda belum melakukan ini dan itu”, teruskan wudhu anda selama anda pandang telah menyempurnakannya. Lalu pujilah Allah subhanahu wa ta’ala. Demikian pula saat anda mengerjakan shalat. Hati-hatilah anda dari was-was dalam segala sesuatu, yakinlah itu dari setan. Bila anda mendapati suatu was-was dalam jiwa anda, berlindunglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari setan serta teruskan apa yang sedang anda lakukan. Berketetapan hatilah hingga membuat jengkel setan musuh anda. Hingga pada akhirnya ia tidak dapat menguasai anda setelah sebelumnya.dapat melakukannya karena sikap lembek anda kepadanya. Kita mohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejelekan dan tipu daya setan.”

[Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, hal. 76]

###

Tanya: Apa doa yang bisa dipanjatkan agar terlepas dari was-was setan?

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

“Seseorang dapat berdoa dengan doa yang Allah subhanahu wa ta’ala mudahkan baginya, seperti ia mengatakan:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻋِﺬْﻧِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﺟِﺮْﻧِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻈْﻨِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻋِﻨِّﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺫِﻛْﺮِﻙَ ﻭَﺷُﻜْﺮِﻙَ ﻭَﺣُﺴْﻦِ ﻋِﺒَﺎﺩَﺗِﻚَ ،ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺣْﻔَﻈْﻨِﻲ ﻣِﻦْ ﻣَﻜَﺎﺋِﺪِ ﻋَﺪُﻭِّﻙَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ
“Ya Allah, lindungilah aku dari setan. Ya Allah, jagalah aku dari setan. Ya.Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu (berdzikir kepada-Mu), untuk bersyukur kepada-Mu dan membaguskan ibadah kepada-Mu. Ya Allah, jagalah aku dari tipu daya musuh-Mu (yaitu) setan.”

Hendaklah ia memperbanyak dzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, banyak membaca Al-Qur`an dan berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika mendapatkan was-was, sekalipun ia sedang mengerjakan shalat. Bila.gangguan was-was itu mendominasinya dalam shalat, hendaklah ia meludah (meniup dengan sedikit ludah) ke kiri tiga kali dan berta’awwudz dari gangguan setan sebanyak tiga kali. Ketika ’Utsman bin Abil ’Ash Ats-Tsaqafi mengeluh kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang was-was yang didapatkannya di dalam shalat, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk.meludah ke kiri tiga kali dan berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari gangguan setan dalam keadaan ia mengerjakan shalat. Utsman pun melakukan saran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala pun menghilangkan gangguan yang didapatkannya.

Kesimpulannya, bila seorang mukmin dan mukminah diuji dengan was-was, hendaknya bersungguh-sungguh meminta kesembuhan dan keselamatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari gangguan tersebut. Ia banyak berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari setan, berupaya menepis perasaan was-was tersebut, tidak memedulikan serta menurutinya, baik di dalam maupun di luar shalatnya. Bila berwudhu, ia melakukannya dengan mantap dan tidak mengulang-ulangi wudhunya. Bila sedang shalat ia mantap mengerjakannya dan tidak mengulang-ulangi shalatnya. Bila bertakbir (takbiratul ihram) ia mengerjakannya dengan mantap dan tidak mengulangi takbirnya. Semuanya dalam rangka menyelisihi bisikan musuh Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam rangka menyalakan permusuhan terhadapnya. Demikianlah yang wajib dilakukan seorang mukmin, agar ia menjadi musuh bagi setan, memeranginya, menepisnya, dan tidak tunduk kepadanya. Bila setan membisikkan kepada anda bahwa anda belum berwudhu dan belum shalat (dengan tujuan menyusupkan was-was hingga anda mengulang-ulangi wudhu dan shalat karena merasa belum mengerjakannya dengan benar), padahal anda tahu anda telah berwudhu, anda lihat sisa-sisa air pada tangan anda dan anda tahu anda telah mengerjakan shalat, maka janganlah menaati musuh Allah subhanahu wa ta’ala itu. Yakinlah anda telah shalat. Yakinlah anda telah berwudhu sebelumnya. Jangan anda ulang-ulangi wudhu dan shalat anda.serta berta’awwudzlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari musuh-Nya. Wajib bagi seorang mukmin untuk kuat dalam melawan ‘musuh Allah subhanahu wa ta’ala ’ (setan) hingga musuh itu tidak bisa/mampu mengalahkan dan mengganggunya. Karena ketika setan dapat menguasai dan mengalahkan seseorang, ia akan menjadikan orang itu seperti orang gila yang dipermainkannya. Wajib bagi mukmin dan mukminah untuk berhati-hati dari musuh Allah subhanahu wa ta’ala, ber-ta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejelekan dan tipu dayanya. Hendaklah si mukmin itu kuat dalam melawan setan serta bersabar dalam menangkal gangguan tersebut (tidak mudah menyerah), sehingga ia tidak menuruti setan untuk mengulangi shalatnya, wudhunya, takbirnya, atau yang lainnya. Demikian pula bila setan mengatakan kepada anda, “Pakaianmu itu najis”, “Tempat ini najis”, “Di dalam kamar mandi ada najis”, “Tanah yang anda pijak ada najisnya”, atau “Tempat shalatmu ada ini dan itu”, jangan anda turuti ucapan tersebut, tapi dustakanlah si musuh Allah subhanahu wa ta’ala itu. Berlindunglah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejelekannya. Tetaplah anda shalat di tempat yang biasanya, pakailah alas yang biasa anda gunakan, di atas tanah yang biasa anda pijak selama anda tahu tempat itu bersih/suci. Kecuali anda melihat dengan mata.kepala anda ada najis yang anda injak dalam keadaan basah barulah cuci kaki anda. Ketahuilah hukum asal sesuatu itu adalah berada di atas thaharah/kesucian, sehingga jangan menuruti musuh Allah subhanahu wa ta’ala dalam suatu perkara pun kecuali pada diri anda ada keyakinan yang anda lihat dan saksikan dengan mata kepala anda. Itu semua agar musuh Allah subhanahu wa ta’ala tidak menguasai anda. Kita mohon keselamatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari semuanya.”

[Fatawa Nurun ‘Alad Darbi, hal. 77-78]

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله

Asy-Syaikh رحمه الله ditanya tentang seseorang yang banyak ragu-ragu (was-was) di dalam thaharah.

Beliau menjawab:

Ragu-ragu yang masuk kedalam akal dalam ibadah maupun akidah dan selainnya, bahkan sampai pada dzat Allah ta'ala, semua itu dari setan.

Oleh karena itu, ketika para shahabat رضي الله عنهم mengeluh kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang apa yang mereka dapati pada diri mereka dan mereka anggap itu sesuatu yang besar, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن ذلك من صريح الإيمان
"Sesungguhnya hal itu menunjukkan adanya iman yang benar." (HR. Muslim)
Yakni iman yang murni.

Hal itu dikarenakan setan yang memadukan syubhat semacam itu ke dalam hati seseorang yang tidak ada syubhat, dengan tujuan agar orang tersebut mengikuti syubhat dari setan.

Adapun orang yang hatinya penuh dengan syubhat atau bahkan melesat jauh dari agama, maka setan tidak berkepentingan untuk memasukkan syubhat semacam ini ke dalam hatinya, sebab dia telah penuh dengan syubhat.

Maka saya berkata kepada penanya di atas:
Sesungguhnya wajib atasnya untuk berlindung kepada Allah dari godaan setan, dan jangan pedulikan was-was nya itu, yang telah masuk pada pikirannya, baik ketika wudhu, shalat, dan selainnya.

Ragu-ragu ini menunjukkan adanya iman, tapi pada waktu yang sama jika terus menerus ragu-ragu, menunjukkan lemahnya semangat.

Dan kami katakan: ragu-ragu (was-was) itu tidak rasional.
Misalnya, ketika kamu pergi ke pasar dengan niat untuk membeli atau menjual, apakah ada keraguan yang datang padamu 'untuk apa kamu datang ke pasar?!'
Jawabnya: Tidak! 

Hal itu karena setan tidak membisikkan was-was kepada manusia dalam permasalahan dunia seperti itu.

Akan tetapi setan membisikkan was-was dan ragu-ragu kepada manusia ketika melakukan ibadah, dengan tujuan untuk merusaknya.

MAKA jika sering ragu-ragu, jangan dihiraukan!

Begitu pula jika ragu-ragu muncul setelah SELESAI melakukan ibadah, maka jangan dihiraukan, kecuali jika ada KEYAKINAN.

Syak/ragu-ragu setelah SELESAI melakukan suatu ibadah, tidak berpengaruh (yakni jangan dihiraukan).

Adapun syak pada MAKANAN yang asalnya halal, maka jangan dianggap.

Sebagai contoh, ada seorang wanita Yahudi dari Khaibar, memberi hadiah kambing (yang sudah dimasak) kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم , maka beliau memakannya, juga dihidangkan untuk beliau roti dan gandum, beliau memakannya.

Dan dalam Shahih Bukhari dijelaskan, bahwa ada satu kaum yang baru masuk Islam, mereka menghadiahkan kepada jama'ah kaum muslimin daging. Maka para shahabat bertanya: "Ya Rasulullah, sesungguhnya kaum itu memberi kita daging, dan kita tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah ataukah tidak ketika menyembelihnya."

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab:
سموا  انتم وكلوا
"Bacalah kalian basmalah, lalu makanlah." (HR. Bukhari)
 
Maka hukum asal sembelihan, dari orang yang halal sembelihannya adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkan.

Dan larangan itu mempersempit, tidak bisa diterima (tanpa dalil).

Dari kitab:
Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah

Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah pada Selasa, 22 Dzulhijjah 1436 H / 6 Oktober 2015

Nisaa` As-Sunnah

###

Ketika seseorang berkeinginan untuk beramal kebaikan, setan datang memberikan was-was kepadanya dengan mengatakan, “Engkau melakukan itu karena riya dan sum’ah.” Karena omongan ini, akhirnya ia urung melakukan amalan kebaikan. Bagaimanakah cara menjauhi was-was semacam ini?

Jawab:

“Caranya adalah memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari setan yang terkutuk dan terus melanjutkan beramal kebaikan, tanpa menoleh kepada was-was yang menghalangi/mencegahnya dari berbuat kebaikan tersebut. Jika ia berpaling dan tidak memedulikan omongan itu, serta/berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari setan yang terkutuk, niscaya akan hilang darinya was-was tersebut dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.”
Demikian bimbingan Fadhilatusy Syaikh ibnu al-Utsaimin rahimahullah (2/209, fatwa no. 277).

###

Saya seorang wanita yang mengerjakan ibadah yang diwajibkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada saya, hanya saja di saat mengerjakan shalat saya banyak lupa di mana saya shalat sedangkan pikiran saya bisa melayang-layang mengingat beberapa kejadian pada hari tersebut. Padahal sebelumnya pikiran itu tidak terlintas di benak saya melainkan setelah saya mulai melakukan shalat. Saya tidak mampu lepas dari hal ini kecuali ketika membaca bacaan shalat dengan keras. Lalu apa yang Anda nasihatkan kepada saya?

Jawab: “Masalah yang Anda keluhkan ini banyak pula dikeluhkan oleh orang yang shalat, ketika setan membuka pintu was-was baginya di tengah shalat. Terkadang ada orang selesai dari mengerjakan shalatnya dalam keadaan ia tidak tahu apa yang tadi diucapkan/dibacanya saat.shalat. Akan tetapi penyakit yang demikian telah diberikan bimbingan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatasinya yaitu dengan meniup (meludah kecil) ke arah kiri tiga kali dan mengucapkan ‘audzu billahi minasy syaithani rajim. Bila ia lakukan hal ini, akan hilanglah darinya apa yang didapatinya dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Bagi orang yang masuk dalam amalan shalat hendaknya meyakini ia sedang berada di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, sedang bermunajat dengan Allah subhanahu wa ta’ala, bertaqarrub/mendekat kepada-Nya dengan membesarkan dan mengagungkan-Nya serta membaca kalam-Nya, disertai doa yang dipanjatkan pada tempat-tempat yang memang disyariatkan untuk berdoa dalam shalat. Apabila seseorang bisa merasakan perasaan seperti ini dalam shalat maka ia bisa masuk menghadap Rabbnya dengan khusyuk, penuh pengagungan, mencintai kebaikan yang ada di sisi-Nya, serta takut akan hukuman-Nya apabila ia sampai tidak serius menunaikan kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan atasnya,” demikian jawaban dari Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

[Fatawa al-Mar’ah, 1/32—33]

###

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta

Tanya:
Ada seseorang yang mengalami gangguan pada perutnya, barangkali karena sering masuk angin, sehingga ia sangat kesulitan menyempurnakan wudhu’. Misalnya ketika membasuh wajah, ia merasa angin keluar dari perutnya (was-was buang angin/kentut). Karena khawatir wudhu’nya tidak sempurna iapun mengulanginya. Hal itu juga dialaminya ketika sedang shalat. Namun ia tidak mencium bau apapun. Bagaimanakah solusinya?

Jawab:
Alhamdulillah, itu hanyalah was-was dari setan saja untuk merusak ibadah seorang muslim. Ia harus menepis perasaan was-was tersebut. Ia tidak perlu membatalkan shalatnya atau mengulang wudhu’nya hingga ia mendengar suara atau mencium baunya. Berdasarkan riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Jika salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu pada perutnya sehingga membuatnya ragu apakah keluar sesuatu darinya ataukah tidak, hendaknya ia tidak keluar dari masjid sehingga ia mendengar suara atau mencium baunya.”
Maksudnya adalah ia benar-benar yakin telah buang angin (berhadats), selama ia masih ragu maka wudhu’nya masih dianggap sah.

Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/226

Sumber: salafy[dot]or[dot]id

###

Bagaimana seorang itu bisa mengobati rasa takut mati. Lebih-lebih jika dia takut naik pesawat misalnya. Terkadang dia mengatakan: ”Jangan-jangan pesawat ini jatuh dan sungguh saya akan mati.”

Jawaban Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziiz bin Baaz rahimahullah:

Hal ini diobati dengan tawakal kepada Allah, memohon kepadaNya keselamatan, berlindung diri dari syaitan dari was-was ini. Semua manusia menaiki pesawat terbang, mobil, onta, bighal dan keledai. Hal ini tidak membahayakan mereka. Alhamdulillah tidak terjadi pada mereka kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya. Maka wajib baginya untuk percaya kepada Allah, untuk berbaik sangka kepada Allah. Hendaknya dia memohon kepada Rabb-nya keselamatan. Dan mesti menjauhi perasaan was-was dan kecemasan-kecemasan yang tidak ada dasarnya ini.

###

Tanya: Apakah termasuk musibah dan ujian dari Allah bagi seorang hamba bila ia diganggu oleh bisikan-bisikan untuk berpikir menanyakan keberadaan Allah dan penciptaan-Nya. Juga bisikan yang menakut-nakuti dia akan hal-hal yang tidak disukai atau takut kehilangan yang dicintai, dijenuhkan dengan banyaknya aturan syariat yang dibebankan kepadanya sehingga hal tersebut membuatnya sedih, lemas, dan mengganggu ibadahnya. Namun ia tetap berusaha untuk taat kepada Allah dan ajaran Nabi-Nya.
(Natsir Jayapura)

Jawab:

Alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Apa yang anda alami adalah bisikan-bisikan setan, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:
ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ: ﻣَﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﻛَﺬَﺍ؟ ﻣَﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﻛَﺬَﺍ؟ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘُﻮﻝَ : ﻣَﻦْ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻠﻪَ؟ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺑَﻠَﻐَﻪُ ﻓَﻠْﻴَﺴْﺘَﻌِﺬْ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﻟْﻴَﻨْﺘَﻪِ.  ﻭَﻓِﻲ ﻟَﻔْﻆٍ: ﻓَﻠْﻴَﻘُﻞْ: ﺁﻣَﻨْﺖُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭُﺳُﻠِﻪِ
“Setan akan mendatangi salah seorang dari kalian lalu membisikkannya: ‘Siapa yang menciptakan ini? Siapa yang menciptakan itu?’ Sampai kemudian ia akan membisikkan: ‘Siapa yang menciptakan Allah?’ Jika dia sampai pada tingkatan itu maka hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah (berta'awudz) dan berhenti.” (Shahih Al-Bukhari no. 3276 dan Shahih Muslim no. 134)
Dalam riwayat Muslim yang lain dengan lafadz: “Maka hendaklah ia mengatakan: ‘Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.’”

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa setan pasti akan melontarkan pertanyaan yang batil tersebut. Baik sekedar bisikan belaka (yang disusupkan ke dalam qalbu) atau melalui lisan para setan dari kalangan manusia dan ahlul ilhad (orang-orang yang menentang dan mencela agama). Dan faktanya adalah seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena dua hal ini benar-benar terjadi. Setan selalu memasukkan bisikan-bisikannya ke dalam qalbu seseorang yang tidak memiliki bashirah (ilmu) dengan pertanyaan yang batil ini. Demikian pula ahlul ilhad, senantiasa melontarkan syubhat ini, yang merupakan sebatil-batil syubhat. Mereka juga senantiasa berbicara dan membahas tentang penyebab terciptanya alam serta materi penciptaannya dengan pembahasan-pembahasan yang lemah dan tidak masuk akal. Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membimbing bagaimana cara menangkal pertanyaan ini, yaitu dengan tiga cara:
1. Berhenti darinya karena Allah memberi batasan pada akal dan pikiran yang tidak akan mampu dilampaui. Tidak mungkin akal dan pikiran bisa melampaui batasan tersebut karena itu adalah sesuatu yang mustahil. Upaya untuk mencapai sesuatu yang mustahil adalah perbuatan batil dan merupakan kedunguan. Sementara berantainya pencipta tanpa batas akhir (artinya bahwa sang pencipta diciptakan oleh pencipta sebelumnya tanpa batas akhir) merupakan perkara yang paling mustahil. Karena setiap makhluk memiliki permulaan dan batas akhir, dan mungkin saja banyak dari perkara-perkara makhluk yang berantai penciptaannya hingga berakhir pada Allah yang menciptakan seluruh makhluk, sifat, materi, dan unsur-unsurnya. Sebagaimana firman Allah:
ﻭَﺃَﻥَّ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻚَ ﺍﻟْﻤُﻨْﺘَﻬَﻰ
“Dan sesungguhnya kepada Rabb-mulah segala sesuatu berakhir.” (An-Najm: 42)
Jika jangkauan akal sudah sampai pada batas terakhir (yaitu bahwa Allah yang menciptakan seluruh makhluk), maka dia akan berhenti dan menyerah (tidak mampu memikirkan lebih lanjut). Karena Allah adalah Dzat yang Awwal (Yang Pertama dan tidak berpermulaan), yang tidak ada sesuatupun sebelumnya dan Dia-lah yang akhir dan tidak ada akhirnya, yang tidak ada sesuatupun setelahnya.
Jadi keberadaan Allah adalah sebagai Dzat yang awal yang mendahului segala sesuatu dan tidak memiliki batas permulaan, sejauh manapun kita menarik waktu dan keadaan ke belakang yang bisa ditakdirkan. Karena Dia-lah Dzat yang menciptakan keberadaan seluruh waktu dan keadaan serta akal yang merupakan bagian dari kekuatan (kemampuan) manusia. Jika demikian, bagaimana mungkin akal akan berupaya memaksakan diri dalam memikirkan pertanyaan yang batil tersebut (siapa yang menciptakan Allah). Yang wajib bagi akal dalam masalah ini adalah berhenti dan mengakhiri apa yang dipikirkannya.
2. Memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Karena ini merupakan was-was dan bisikan setan yang dimasukkan ke dalam qalbu manusia guna menimbulkan syak (keraguan) dalam mengimani Rabb-nya. Wajib bagi setiap hamba jika merasakan hal demikian untuk memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan dengan kuat dan sungguh-sungguh. Niscaya Allah akan mengusir setan itu hingga menjauh darinya dan lenyaplah was-was dan bisikannya yang batil.
3. Menangkalnya dengan iman kepada Allah dan para rasul. Karena sesungguhnya Allah dan para rasul-Nya telah mengabarkan bahwa Dia-lah yang awal yang tiada sesuatupun sebelumnya. Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki keesaan, satu-satunya pencipta yang menciptakan segala sesuatu yang ada di masa lalu dan masa yang akan datang. Keimanan yang benar disertai keyakinan yang kokoh kepada Allah dan rasul-Nya akan menangkal seluruh syubhat (pemikiran rancu) yang bertentangan dengan iman. Karena kebenaran akan menangkal kebatilan dan syak (keraguan) yang dicampakkan oleh setan tidak akan bisa menggoyahkan keyakinan yang kokoh.
Inilah tiga perkara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang membatalkan syubhat-syubhat yang senantiasa diserukan oleh ahlul ilhad dengan ungkapan-ungkapan yang beraneka macam. Alhamdulillah, perkara yang pertama akan mengakhiri kejelekan tersebut saat itu juga. Perkara yang kedua akan mengakhiri sebab yang akan menyeret kepada kejelekan tersebut dan perkara yang ketiga akan membentengi serta melindungi dari segala perkara yang bertentangan dengan iman.
Ketiga perkara ini merupakan kumpulan sebab-sebab yang akan menangkal setiap syubhat yang bertentangan dengan iman. Maka (yang demikian ini) sangatlah patut dilakukan dalam rangka menangkal setiap syubhat dan kesamaran yang merongrong iman. Hendaklah seorang hamba menangkalnya saat itu juga dengan hujjah-hujjah yang menunjukkan batilnya serta menetapkan al-haq yang tidak ada selainnya kecuali kesesatan. Kemudian berlindung kepada Allah dari setan yang senantiasa mencampakkan ke fitnah syubhat dan syahwat ke dalam qalbu manusia untuk menggoyahkan keimanan dan menjerumuskan manusia ke dalam berbagai kemaksiatan. Dengan kesabaran dan keyakinan yang dimiliki, seorang hamba akan selamat dari fitnah-fitnah syubhat dan syahwat. Semoga Allah memberi taufik dan perlindungan kepada kita."
(Bahjatu Qulubil Abrar wa Qurratu ‘Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hal. 18-20)

Sumber: Asy Syariah Edisi 031

Tentang ACARA BERKABUNG

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan: Bolehkah meletakkan kotak sumbangan di acara berkabung di mana ketika seseorang meninggal maka keluarganya mengambil uang yang dikumpulkan di kotak tersebut dan memberikan jamuan bagi mereka yang datang di acara tersebut?

Jawaban:

Asal acara berkabung semacam ini adalah bathil, bid’ah dan membebani manusia dengan hal-hal yang Allah tidak menurunkan keterangan tentangnya. Dan tidak boleh meletakkan kotak sumbangan di acara kematian karena hal itu merupakan bentuk membantu kemaksiatan dan bid’ah. Adapun menyampaikan duka cita maka tidak perlu melakukan itu semua. Cukup dengan engkau mendoakan mayit dan keluarga yang ditinggal dan engkau katakan: “Semoga Allah memberimu kesabaran dan meringankan musibahmu dan semoga mengampuni si mayit.”
Engkau ucapkan jika berjumpa dengan keluarga si mayit di mana saja. Atau engkau bisa menghubunginya melalui telepon atau HP untuk menyampaikan bela sungkawa. Tidak perlu dengan berkumpul-kumpul, menyiapkan jamuan dan juga tidak perlu meninggalkan pekerjaan selama 3 hari. Para shahabat dahulu tidak sampai meninggalkan pekerjaan selama 3 hari. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, mereka tidak membuat acara berkabung, tidak pula hingga 3 hari. Demikian juga ketika Abu Bakr, Umar, Utsman dan shahabat yang lain wafat, mereka tidak pernah melakukan hal semacam ini sama sekali. Oleh karena inilah salah seorang shahabat (Jarir bin Abdillah –pent) ada yang mengatakan:
ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ﺍﻟِﺎﺟْﺘِﻤَﺎﻉَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻَﻨْﻌَﺔَ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ .
“Kami menganggap acara berkumpul-kumpul untuk keluarga mayit dan membuat makanan termasuk meratap.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya, dan Al-Albany rahimahullah menilainya shahih dalam Ahkamul Janaiz, hal. 210 –pent)

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang NASYID

Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah

Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:
“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini –insya Allah–. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.
Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.
Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus –dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)– sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah, seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di kaset. Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah. Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka! Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya. Al-Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan, sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya(3/317):
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia berkata:
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)
Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)
Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk mengabaikannya.
Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Beliau rahimahullah ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid Islami dan di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian. Tanpa musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah hukumnya? Sebagai pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang dengannya dan mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah. Aku berharap dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”

Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh. Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya. Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk tangan dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara yang indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini tidak didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu. Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan ahli ilmu dan agama. Karena, di dalamnya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya. Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai nasihat kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu akan menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasihat-nasihat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan cara ini. Hal ini sangat berbahaya, bahkan dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud (tidak butuh) terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama dan imam.” (Diterjemahkan dari kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)

Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah

“Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala, dari ilmu dan amalannya.” (Iqamatud Dalil ‘Alal Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal. 6, dari situs sahab.net)

“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang, yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas. Namun para sahabat hanya mencukupkan melantunkan syair-syair tersebut dengan mengangkat suara. Tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara, seperti yang dilakukan para pelajar di zaman kita. Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Kejahatan yang sesungguhnya adalah dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka, serta tidak dikenal pada zaman mereka. Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama secara berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan menamakannya dengan dzikir, padahal pada hakikatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan dzikir-Nya. Dan siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai pendahulu dan panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:
1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam, sekaligus pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik lagu. Tidak pula beliau mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
3. Menisbahkan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bahwa mereka telah menelantarkan salah satu perkara Islam dan tidak mengamalkannya.
4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam dan ia menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)
Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)

Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Beliau menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):
“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah, yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian. Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim serta ceramah-ceramah agama. Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang membuat orang bergoyang sebagai agama mereka. Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)