Cari Blog Ini

Minggu, 21 September 2014

Tentang ALLAH ADA DI MANA-MANA

Bagaimana membantah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala di mana-mana? Maha Tinggi Allah dari hal itu. Dan apa hukum orang yang mengatakannya?

Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:

Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas Arsy (singgasana)-Nya. Tidak di dalam alam, bahkan terpisah darinya. Dan Dia mengetahui serta melihat segala sesuatu. Tiada yang tersembunyi baginya sesuatupun baik di bumi maupun di langit. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa` (berada/naik) di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (Al-Furqan: 59)

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (Hud: 7)

Di antara yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah turunnya Al-Qur`an dari-Nya. Dan tidaklah dikatakan turun kecuali dari atas ke bawah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)

“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur`an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1-2)

“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 1-2)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala di atas makhluk-Nya.

Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami, ia mengatakan: “Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku di daerah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku melihat ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing yang digembalanya. Aku adalah seorang manusia dari bani Adam, yang bisa marah sebagaimana orang-orang marah, hingga aku menamparnya satu kali. Maka aku datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau menilainya sebagai suatu perkara besar atasku. Sehingga aku katakan: ‘Tidakkah kubebaskan saja dia?’ Beliau menjawab: ‘Bawa dia kemari.' Akupun membawanya kepada beliau. Beliaupun mengatakan kepadanya: ‘Di manakah Allah?’ ‘Di atas langit,’ jawabnya. ‘Siapakah aku?’ tanya Rasulullah. ‘Engkau adalah Rasulullah,’ jawabnya. Lantas beliau mengatakan: ‘Bebaskan dia, sesungguhnya dia adalah wanita mukminah.’ (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan yang lain)

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri , ia mengatakan: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidakkah kalian percaya kepadaku, sementara aku adalah kepercayaan Yang di atas langit? Datang kepadaku berita langit pagi dan petang hari.”

Kedua: Barangsiapa meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berada di mana-mana maka dia tergolong aliran Hululiyyah (yang meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersatu dengan makhluk-Nya, red). Orang seperti itu dibantah dengan dalil-dalil yang telah lalu, yang menunjukkan bahwa Allah berada pada ketinggian dan berada di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kalau dia tunduk kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma (kesepakatan) (maka itu yang seharusnya, red). Kalau tidak tunduk maka dia kafir, murtad dari agama Islam.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada.” (Al-Hadid: 4)
Maknanya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala bersama mereka dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui keadaan mereka.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Al-An’am: 3)
Maka maknanya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang diibadahi penghuni langit dan bumi.

Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Dan Dia-lah Ilah (Yang disembah) di langit dan Ilah (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)
Maknanya bahwa Allah 'Azza wa Jalla adalah sesembahan penduduk langit dan penduduk bumi, tiada yang diibadahi dengan benar selain Dia. Demikianlah penggabungan antara ayat-ayat dan hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menurut pemeluk kebenaran.

Wa billahi taufiq washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ditandatangani oleh:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdurrazzaq Afifi, Abdullah Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/218]

Sumber: Majalah Asy Syariah

###

Syubhat-Syubhat dan Bantahannya

(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

1. Allah ada di mana-mana

Keyakinan ini adalah batil. Untuk menguatkan keyakinan yang menyelisihi sekian banyak dalil ini, mereka memperkuatnya dengan apa yang dianggap sebagai dalil-dalil di dalam al-Qur’an, di antaranya:
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (al-Hadid: 4)
“Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (al-Mujadalah: 7)

Jawab: Ayat di atas dianggap dalil dan landasan oleh mereka untuk membangun keyakinan yang salah itu. Padahal, konteks kalimatnya sedikit pun tidak menunjukkan makna bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya di mana saja mereka berada. Tidak pula mengarah ke makna demikian dari sisi mana pun.
Dalam bahasa Arab, bahasa yang al-Qur’an diturunkan dengannya, ma’iyah (kebersamaan) tidak menunjukkan selalu bersatu/berkumpul dalam sebuah tempat. Kata tersebut menunjukkan kebersamaan yang bersifat mutlak yang ditafsirkan sesuai dengan konteks kalimat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahuah mengatakan, bulan yang terletak di atas langit dan termasuk makhluk Allah yang paling kecil, dia bersama orang yang sedang musafir dan bersama orang yang tidak musafir. Hal ini menunjukkan bahwa kebersamaan tidak selalu bermakna bergabung, menyatu, dan bercampur dalam sebuah tempat. Memaknakan ayat di atas dengan maksud Allah berada di mana-mana adalah batil dari banyak sisi.
a. Hal ini menyelisihi ijma’ salafus saleh umat ini. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menafsirkannya dengan makna demikian. Yang ada, mereka sepakat menentang dan mengingkarinya.
b. Menafsirkannya dengan makna Allah di mana-mana berarti menyelisihi sifat ketinggian Allah yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ salafus saleh umat ini.
c. Sikap ini akan melahirkan perkara-perkara batil yang tidak pantas bagi Allah.
Lalu, apa yang dimaksud oleh ayat tersebut?
Makna yang benar tentang ayat di atas adalah Allah bersama hamba-hamba-Nya. Artinya, Dia meliputi mereka dengan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran, penglihatan, pengaturan, kekuatan, dan makna-makna rububiyah lainnya. Allah senantiasa di atas ‘Arsy-Nya, di atas semua makhluk. Inilah makna konteks kedua ayat di atas tanpa ada keraguan.
Dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw (hlm. 75) ada sebuah riwayat dari ar-Ramadi, “Aku bertanya kepada Nu’aim bin Hammad tentang firman Allah, ‘Dia bersama kalian.’
Dia menjawab, ‘Maknanya adalah tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari ilmu Allah. Tidakkah engkau membaca firman-Nya:
“Tiadalah tiga orang sedang berbicara melainkan Allah adalah keempatnya.” (al-Mujadilah: 7) (Lihat Majmu’ Fatawa, 5/103 dan al-Qawaidul Mutsla, hlm. 59)
Di antara ayat yang mereka anggap sebagai hujah adalah firman Allah:
“Dan Dialah yang di langit sebagai Ilah (sesembahan) dan di bumi sebagai Ilah (sesembahan). Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 84)
Menurut mereka, ayat ini bermakna Allah di langit dan Allah di bumi.
Jawabnya, ayat ini sedikit pun tidak menunjukkan kepada keyakinan mereka bahwa Allah berada di mana-mana. Justru ayat ini menjelaskan besarnya hak Allah sebagai satu-satunya Dzat yang disembah. Maknanya adalah Dialah sesembahan segala makhluk yang ada di langit dan sesembahan seluruh penduduk bumi.

2. Mereka melakukan penakwilan terhadap ayat yang menunjukkan Allah berada di atas.
Di antaranya firman Allah:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang naik di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
Mereka menakwilkan kata اِسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اِسْتَوْلَى (berkuasa) sebagaimana mereka melakukan penakwilan terhadap kata lain yang menyebutkan sifat Allah, baik dalam al-Qur’an maupun hadits.
Mereka menguatkan hujahnya dengan sebuah syair:
قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ
مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
Sungguh Bisyr telah istiwa (berkuasa) atas Irak
tanpa perang dan pertumpahan darah
Mereka memaknai اِسْتَوَى di sini dengan “menguasai". Kata mereka, bait ini berasal dari seorang Arab yang fasih, sehingga tidak mungkin maknanya ‘Bisyr naik/tinggi di Irak’. Terlebih di masa itu belum ada pesawat terbang yang membuatnya berada di atas Irak.

Jawab: Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Istiwa’ ini sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah, tidak sama dengan istiwa’ makhluk-Nya. Kata اسْتَوَى disebutkan oleh Allah pada tujuh tempat di dalam al-Qur’an.
Memaknakan اسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اسْتَوْلَى (berkuasa) adalah batil dari banyak sisi yaitu:
1. Menyelisihi penafsiran salaf umat ini yang berijma’ atas penafsiran tersebut.
Bukti ijma’ mereka adalah tidak ada penukilan dari salah seorang mereka bahwa اسْتَوَى berarti اسْتَوْلَى .
2. Menyelisihi konteks nash karena lafadz اسْتَوَى apabila digandengkan dengan huruf ‘ala bermakna di atas dan menetap. Inilah makna lahiriah lafadznya dan yang diinginkan di dalam al-Qur’an dan oleh bahasa Arab.
3. Apabila kita memaknakan اسْتَوَى dengan اسْتَوْلَى, akan muncul konsekuensi yang batil di dalamnya, Mahasuci Allah.
Di antaranya adalah:
• Allah Yang Mahasuci dari praduga ahli kebatilan, saat menciptakan langit dan bumi tidak dalam kondisi berkuasa atas ‘Arsy-Nya, setelah itu baru Dia berkuasa.
• Penggunaan kalimat اسْتَوْلَى (berkuasa) mayoritasnya terjadi setelah ada perebutan kekuasaan. Padahal tidak ada seorang makhluk pun yang setara dengan Allah apalagi mengalahkannya.
• Kalau benar makna اسْتَوَى adalah اسْتَوْلَى, dan ini batil, boleh juga kita mengatakan Allah اسْتَوَى di atas bumi, pohon-pohon, dan gunung-gunung, karena Allah berkuasa atas semuanya. Tentu saja makna ini batil. (Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 319 dan Fathu Rabbil Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah, hlm. 39)

3. Jika kalian, wahai Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa Allah berada di langit, berarti kalian telah menjadikan Allah diliputi oleh langit, padahal tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang meliputi Allah.

Jawab: Syubhat ini jawabannya dari dua sisi.
a. Kata السَّمَاء dalam bahasa Arab artinya ‘sesuatu yang di atas, baik langit maupun yang lain’. Dengan demikian, segala apa yang di atas kita adalah sama’, sehingga makna ayat, ‘apakah kalian merasa aman dengan Dzat yang ada di langit’, maksudnya ‘yang berada di atas.’
b. Kata فِي di dalam bahasa Arab memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam sesuai dengan konteksnya. Adapun kata فِي di sini bermakna عَلَى (di atas) sehingga makna فِي السَّمَاء, artinya di atas langit, bukan di dalam langit.
Kata فِي bermakna عَلَى dalam beberapa ayat al-Qur’an,
“Sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma.” (Thaha: 71)
Tidak mungkin penyaliban itu terjadi di dalam pangkal kurma, tetapi di atasnya.
Demikian juga ayat:
“Maka berjalanlah di penjurunya.” (al-Mulk: 15)
Tidak mungkin perintah tersebut bermakna ‘kita diperintah untuk berjalan di dalam bumi’, tetapi di atasnya. (Lihat Tuhfatu Murid Syarah al-Qaulul Mufid, hlm. 6—7)

Sumber: Asy Syariah Edisi 074

Tidak ada komentar:

Posting Komentar