Cari Blog Ini

Selasa, 07 Oktober 2014

Tentang BERDIRI UNTUK SESEORANG

Pertanyaan: Seseorang masuk dalam keadaan saya di suatu majelis. Para hadirin kemudian berdiri, namun saya tidak berdiri. Haruskah saya berdiri? Apakah orang yang berdiri berdosa?

Jawab:

Anda tidak harus berdiri menyambut orang yang datang. Namun hal ini termasuk akhlak yang mulia. Barangsiapa yang berdiri untuk menjabat tangannya dan menuntunnya, terlebih lagi tuan rumah dan para pemuka. Maka ini merupakan akhlak yang mulia. Sungguh Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam telah berdiri menyambut Fathimah radhiyallahu anha (putri beliau Shalallahu ’alaihi wa sallam), demikian juga Fathimah radhiyallahu anha berdiri menyambut kedatangan beliau. Para sahabat berdiri atas perintah Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam untuk menyambut Sa’d bin Mu’adz radhiyallahu anhu ketika dia datang untuk menghukumi Bani Quraizhah. Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu berdiri di hadapan Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam ketika Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu datang pada peristiwa diterimanya taubat beliau oleh Allah Subhanahu wata’ala. Thalhah menjabat tangannya, mengucapkan selamat kepadanya kemudian duduk. Ini merupakan akhlak yang mulia, dan perkaranya lapang. Yang dingkari adalah berdiri untuk mengagungkan. Adapun berdiri untuk menyambut tamu yang datang dalam rangka memuliakannya, menjabat tangannya, atau memberi salam hormat, ini merupakan perkara yang disyariatkan. Adapun dia berdiri untuk mengagungkan sedangkan yang lain duduk, atau dia berdiri ketika ada yang masuk tanpa menyambut atau menjabat tangannya, ini tidak pantas. Yang lebih keras (pelarangannya) adalah berdiri untuk mengagungkannya dalam keadaan (yang diagungkan itu) duduk, bukan untuk menjaga tapi semata untuk mengagungkan.

Berdiri ada tiga macam:
Pertama: Berdiri terhadap seseorang dalam keadaan orang itu duduk, seperti orang-orang ajam (non Arab) mengagungkan raja dan pembesar mereka. Hal ini tidak diperbolehkan, sebagaimana diterangkan Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk duduk ketika beliau Shalallahu ’alaihi wa sallam mengimami shalat sambil duduk. Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk duduk dan shalat bersama beliau sambil duduk. Ketika mereka berdiri, Nabi Shalallahu ’alaihi wa sallam mengatakan: “Hampir-hampir kalian mengagungkan aku sebagaimana orang-orang ajam mengagungkan pembesar mereka.”
Kedua: Berdiri untuk kedatangan atau kepergian seseorang, tanpa menyambut atau menjabat tangannya, namun semata-mata untuk mengagungkannya. Hal ini minimalnya makruh. Dahulu para sahabat radhiyallahu anhum tidak berdiri untuk Nabi Shalallahu’alaihi wa sallam ketika beliau masuk kepada mereka, ketika mereka mengetahui ketidaksukaan beliau Shalallahu ’alaihi wa sallam terhadap hal itu.
Ketiga: Berdiri untuk orang yang datang untuk menjabat tangannya atau menuntunnya untuk menempatkannya pada tempat tertentu, atau mendudukkannya pada tempatnya, atau yang serupa dengan itu. Hal ini tidak mengapa, bahkan termasuk Sunnah (Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam) sebagaimana telah lalu.

[Dimuat dalam majalah Al-Arabiyyah dalam kolom Is`alu Ahla Adz-Dzikr, dari Fatawa wa Maqalat Ibn Baz, jilid 6]

Sumber: Majalah Asy Syariah

Tentang NEGARA ISLAM DAN NEGARA KAFIR

Al-Ustadz Abu Abdillah Luqman Ba’abduh

Di antara polemik yang sering muncul di tengah-tengah umat Islam dan telah menimbulkan banyak kekeliruan di dalam memahaminya, sehingga berujung pada sikap dan tindakan yang keliru, adalah pemahaman tentang definisi Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah. Kapan sebuah negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah dan kapan dinyatakan sebagai Daulah Kafirah.

Tolok ukur suatu negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah atau Daulah Kafirah adalah kondisi penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi negeri tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. (Majmu’ Fatawa, 18/282) [1]

Sebagian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: Sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat ‘Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika pelaksanaan syi’ar-syi’ar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan yang lainnya di mana syi’ar-syi’ar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (Lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)

Sehingga dengan demikian, negeri seperti Indonesia ini adalah termasuk negeri Islam. Karena syi’ar-syi’ar Islam, baik shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat ‘Id, dilaksanakan secara umum di negeri ini. Demikian juga, adzan senantiasa berkumandang setiap waktu shalat di masjid-masjid kaum muslimin.

Beranjak dari definisi dan pemahaman yang keliru tentang Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah, banyak dari aktivis teroris (neo-Khawarij) menghukumi sekian negara-negara muslimin sebagai negara kafir.

Footnote:
[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.”

Tentang MENYIKAPI KELUARGA YANG MEREMEHKAN AGAMA

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan: Saya tinggal di keluarga yang banyak meremehkan syari’at Allah, jika saya ingin melarang mereka dari sesuatu yang mungkar seperti dengan melepas foto-foto yang ada di dinding atau televisi atau lagu atau musik, mereka mengatakan: “Engkau terlalu keras.” Maka bagaimanakah sikap saya terhadap hal ini?

Jawaban:
Jika mereka mau berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka katakan kepada mereka: “Hukum yang berlaku antara saya dengan kalian adalah Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” Dan saya nasehatkan kepadamu agar mendakwahi mereka dengan cara yang lembut dan halus serta sabar menghadapi mereka, mudah-mudahan dengan cara itu Allah akan memberikan hidayah kepada mereka.Tetapi jika engkau mengkhawatirkan dirimu akan terfitnah (terbawa arus) jika tetap tinggal bersama mereka atau engkau tidak mampu bersama mereka dan engkau mampu meninggalkan mereka dalam keadaan engkau yakin tidak akan tertimpa kerusakan, maka engkau boleh menjauhi mereka jika engkau telah putus asa dari mereka, dan hendaknya engkau terus mendoakan mereka. Dan jika engkau tetap tinggal bersama mereka dalam keadaan hatimu membenci kemungkaran mereka, maka bertakwalah kepada Allah semampunya.
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim no. 49, Ahmad, dan Ashabus Sunan, dari hadits Abu Sa’id Sa’ad bin Sinan bin Malik bin ‘Ubaid Al-Khudry radhiyallahu anhu]

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Pendengar yang berinisial ( ﺍ ﺱ ) Ummu Juwairiyah dari Kuwait di antara pertanyaannya kepada Fadhilatus Syaikh adalah dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang gadis yang bercadar –dan dia memuji Allah atas perkara tersebut– dia mengatakan: “Hanya saja ibu saya tidak mau pergi bersama saya untuk mengunjungi keluarga dan kerabat, karena beliau menganggap bahwa saya merupakan sumber masalah yang memberatkan beliau dan beliau tidak ridha dengan tindakan saya memakai cadar dan tidak mau berjabat tangan dengan pria yang bukan mahram serta perkara-perkara lain yang harus dipegangi dengan kuat. Maka bagaimana saya menyikapi ibu saya dan bagaimana bimbingan Anda? Semoga Allah memberi Anda pahala.”

Jawaban:
Jawaban terhadap perkara ini dari dua sisi:
Pertama: Berkaitan dengan ibumu maka sesungguhnya saya menasehatinya agar meninggalkan perkara ini, yaitu menyulitkan dirimu dengan sebab engkau berpegang teguh dengan syari’at. Dan saya katakan kepadanya bahwasanya yang wajib atasnya adalah bersemangat membantumu untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, dan hendaknya dia memuji Allah Azza wa Jalla karena Dia telah menjadikan sebagian keturunannya ada yang shalih. Dan setiap orang tanpa diragukan lagi akan merasa senang jika anak-anaknya menjadi orang-orang yang shalih, baik anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan. Seorang anak yang shalih apakah dia laki-laki atau perempuan, dialah yang akan bermanfaat bagi orang tuanya setelah dia meninggal. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ: ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ، ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ، ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seorang hamba meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari 3 hal: shadaqah jariyah (yang manfaatnya masih berlangsung), ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 1631)
Dan tidak halal baginya selama-lamanya untuk menyulitkan dirimu untuk melakukan perkara yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran.

Kedua: Berkaitan dengan dirimu, maka hendaknya engkau tetap berpegang teguh dengan batasan-batasan Allah yang Dia tetapkan dan engkau jangan mempedulikan siapapun. Tidak ibumu dan tidak pula selainnya. Jika engkau melakukan hal-hal yang membuat Allah ridha, maka jangan pedulikan kemarahan semua manusia kepadamu, walaupun ibumu. Dan barangsiapa marah kepadamu karena engkau mentaati Allah, maka silahkan dia marah dan jangan engkau pedulikan sama sekali. Adapun sikap ibumu yang merasa keberatan untuk pergi bersamamu, maka itu menunjukkan sedikitnya bashirah (ilmu) dia. Karena sesungguhnya pada cadar dan ketidakmauan untuk berjabatan tangan dengan pria yang bukan mahram sama sekali tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan hal itu termasuk nikmat Allah yang sepantasnya seseorang untuk merasa gembira dengannya serta memuji Allah yang telah menolongnya untuk melakukannya, karena sesungguhnya hal itu termasuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MENGHITUNG TASBIH

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan: Apa hukum menghitung tasbih dengan menggunakan jari dan bukan dengan ruas jari?

Jawaban:

Yang saya ketahui bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam menghitung tasbih dengan tangan kanan beliau. [1]

Adapun hadits yang berbunyi:
ﺳَﺒِّﺤْﻦَ ﻭَﺍﻋْﻘِﺪْﻥَ ﺑِﺎﻟْﺄَﻧَﺎﻣِﻞِ، ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻦَّ ﻣُﺴْﺘَﻨْﻄَﻘَﺎﺕٌ
“Bertasbihlah kalian wahai para wanita dengan hitunglah dengan ruas-ruas jari, karena ruas-ruas jari tersebut akan diperintahkan untuk berbicara.”
Yang saya ketahui pada hadits ini terdapat kelemahan. Yang saya ingat padanya ada seorang perawi yang tidak dikenal, wallahu a’lam. [2]

Tinggal perkaranya engkau diberi pilihan untuk menghitung tasbih menggunakan jari, engkau perhatikan mana yang mudah bagimu untuk menghitung. Jika engkau merasa lebih mudah menghitungnya dengan cara menekuk atau melipat jari maka engkau boleh melakukannya. Namun jika engkau merasa lebih mudah menghitungnya dengan ruas-ruas jari maka engkau juga boleh melakukannya. Selama hadits menyebutkan secara umum, maka engkau tidak perlu menentukan atau mempersulit dirimu.

Penanya: Bagaimana dengan menggunakan alat penghitung tasbih?

Asy-Syaikh:
Pertanyaan yang bagus, baarakallahu fiik. Akh Ali, menggunakan alat penghitung tasbih adalah bid’ah.
Sedangkan hadits yang berbunyi:
ﻧِﻌْﻢَ ﺍﻟْﻤُﺬَﻛِّﺮُ ﺍﻟﺴَّﺒْﺤَﺔُ
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.”
Maka ini adalah hadits palsu.

Juga hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melewati seorang wanita yang sedang bertasbih dan menghitungnya menggunakan kerikil, lalu beliau menyetujui hal itu, ini juga tidak shahih. Hal itu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Asy-Syaikh Nashir Al-Albany di jilid pertama dari kitab As-Silsilah Adh-Dha’ifah. [3]

Jadi ini adalah mengingatkan yang baik, jazakallahu khairan.

Sumber artikel:
http://www.muqbel.net/

Keterangan:
[1] Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma menceritakan:
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻌْﻘِﺪُ ﺍﻟﺘَّﺴْﺒِﻴْﺢَ ﺑِﻴَﻤِﻴْﻨِﻪِ
“Saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghitung tasbih menggunakan tangan kanan beliau.”
Lihat: Shahih Sunan Abi Dawud no. 1346.
[2] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah, III/48 penjelasan hadits no. 1002.
[3] Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah no. 83.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MEMBACA BASMALAH DALAM SHALAT

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Ulama yang mendalam pengetahuannya terhadap hadits telah bersepakat, tidak ada satu pun hadits (sahih) yang tegas menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Demikian pula, tidak diketahui ada salah satu kitab sunan yang masyhur —seperti Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i— yang membawakan periwayatan basmalah secara jahr. Periwayatan yang menyebutkan secara jahr hanya didapatkan dalam hadits-hadits maudhu’ah (palsu) yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-Mawardi —dalam Tafsir— dan yang serupa dengan beliau berdua, atau disebutkan di beberapa kitab fuqaha yang tidak membedakan antara riwayat yang palsu dan yang tidak.
Ketika Al-Imam Ad-Daraquthni datang ke Mesir, beliau pernah diminta mengumpulkan hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Beliau pun melakukannya. Ketika beliau ditanya, adakah yang sahih dari hadits-hadits tersebut? Beliau menyatakan, “Adapun dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak didapatkan. Sedangkan atsar dari sahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam ada yang sahih dan ada pula yang dhaif (lemah).”
(Majmu’ Fatawa, 22/416,417)

Beliau juga berkata, “Sebenarnya, banyak beredar kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr karena orang-orang Syi’ah berpendapat bacaan basmalah dijahrkan, padahal mereka dikenal oleh kaum muslimin sebagai kelompok yang paling pendusta di antara kelompok-kelompok sempalan dalam Islam. Mereka memalsukan hadits-hadits dan membuat rancu agama mereka dengan hadits-hadits tersebut. Oleh karena itu, didapatkan ucapan imam Ahlus Sunnah dari penduduk Kufah, seperti Sufyan ats-Tsauri, yang menyatakan bahwa termasuk sunnah adalah mengusap kedua khuf dan meninggalkan membaca basmalah secara jahr. Sebagian mereka juga menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama dan lebih mulia daripada para sahabat yang lainnya, dan ucapan-ucapan yang semisalnya, karena hal-hal tersebut —yaitu tidak mau mengusap khuf, membaca basmalah secara jahr, menganggap ada yang lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama, dan lebih mulia daripada Abu Bakr dan Umar— merupakan syiar Rafidhah. Ada pula seorang imam mazhab Syafi’i, Abu Ali ibnu Abi Hurairah, yang meninggalkan jahr ketika membaca basmalah. Ketika ditanya sebabnya, beliau berkata, “Karena membaca basmalah secara jahr telah menjadi syiar orang-orang yang menyelisihi agama.”
(Majmu’ Fatawa, 22/424)

###

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

Penanya: Di sebagian masjid bacaan basmalah dibaca dengan keras dan di sebagian yang lain dibaca dengan lirih, bagaimana menyikapi perbedaan ini?

Jawaban:
Ini adalah perkara yang diperselisihkan bahkan oleh sebagian shahabat radhiyallahu anhum. Adapun pendapat yang dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada adalah dengan tidak mengeraskan bacaan basmalah. Dan siapa yang mengeraskan bacaan maka tidak boleh diingkari lebih dari sekedar menjelaskan dalil bagi pendapat yang rajih (lebih kuat).

Alih bahasa: Abu Almass

###

Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta
Fatwa no. 2428
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Tanya:
هل الرسول صلى الله عليه وسلم كان يفتتح صلاته بـ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}  أو بـ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}؟
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulai (bacaan) shalatnya (setelah do’a istiftah) dengan “Bismillahirrahmanirrahim” ataukah dengan “Alhamdulillahirabbil ‘Alamin”?

Jawab:
لا نعلم دليلا يدل على أنه صلى الله عليه وسلم كان يفتتح قراءته في الصلاة الجهرية ببسم الله الرحمن الرحيم جهرا، والذي دلت عليه الأحاديث الصحيحة أنه كان يفتتحها بالحمد لله رب العالمين جهرا ويسر التسمية. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memulai bacaannya dalam shalat jahriyyah (shalat-shalat yang bacaannya dikeraskan, seperti shalat Maghrib, ‘Isya’, dan Shubuh) dengan mengeraskan “Bismillahirrahmanirrahim”.
Namun yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memulai bacaannya dengan “Alhamdulillahirabbil ‘Alamin” dan memelankan bacaan basmalah.

Majmuah Manhajul Anbiya

###

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
tanpa mengeraskan suara, sebagaimana dipahami dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang memiliki banyak jalan dengan lafadz yang berbeda-beda, dan semua menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeraskan suara ketika mengucapkan basmalah. Salah satu jalannya adalah dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar, membuka (bacaan dengan suara keras) dalam shalat mereka dengan ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.” (HR. Al-Bukhari no. 743 dan Muslim no. 888)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar tidak memperdengarkan kepada makmum (orang yang shalat di belakang mereka) ucapan basmalah dengan suara keras saat membaca Al-Fatihah (dalam shalat jahriyah). Mereka membacanya dengan sirr/perlahan. (Subulus Salam 2/191)

Adapun ucapan Anas, “Mereka membuka (bacaan dengan suara keras) dalam shalat mereka dengan Alhamdulillah…” tidak mesti dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah secara sirr. (Fathul Bari, 2/294)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Makna hadits ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mengawali bacaan Al-Qur’an dalam shalat dengan (membaca) Fatihatul Kitab sebelum membaca surah lainnya. Bukan maknanya mereka tidak mengucapkan Bismillahir rahmanir rahim.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/156)

Ulama berselisih pandang dalam masalah men-jahr-kan (mengucapkan dengan keras) ucapan basmalah ataukah tidak dalam shalat jahriyah. Sebetulnya, semua ini beredar dan bermula dari perselisihan apakah basmalah termasuk ayat dalam surah Al-Fatihah atau bukan. Juga, apakah basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri pada setiap permulaan surah dalam Al-Qur’an selain surah Al-Bara’ah (At-Taubah), ataukah bukan ayat sama sekali kecuali dalam ayat 30 surah An-Naml? Insya Allah pembaca bisa melihat keterangannya pada artikel: Apakah Basmalah Termasuk Ayat dari Surah Al-Fatihah?

Kami (penulis) dalam hal ini berpegang dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan sirr. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam —di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya— dan ulama setelah mereka dari kalangan tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bahwasanya ucapan basmalah tidak dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang shalat mengucapkannya dengan perlahan, cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, dalam kitab beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain (2/97), menyatakan bahwa riwayat hadits-hadits yang menyebutkan basmalah dibaca secara sirr itu lebih shahih/kuat daripada riwayat yang menyebutkan bacaan basmalah secara jahr.

Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut mazhabnya, juga —sebelum mereka— beberapa sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair radhiallahu ‘anhum, serta kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi, 1/155)

http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi-bagian-ke-7/

###

Bolehnya Membaca Basmalah Secara Jahr dalam Keadaan Tertentu Karena Maslahat

Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata,
“Riwayat yang menyebutkan basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada (pemahaman) bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjahrkan basmalah untuk mengajari orang yang shalat di belakang beliau (para makmum) apabila beliau membacanya (dalam shalat sebelum membaca Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti ini, terkumpullah hadits-hadits yang ada. Terdapat hadits-hadits shahih yang memperkuat apa yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiyallahu 'anhu yaitu disyariatkannya membaca basmalah secara sirr.”
(Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/296)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Terkadang disyariatkan membaca basmalah dengan jahr karena sebuah maslahat yang besar, seperti pengajaran imam terhadap makmum, atau menjahrkannya dengan ringan untuk melunakkan hati dan mempersatukan kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengurungkan keinginan untuk membangun kembali Baitullah sesuai dengan fondasi Ibrahim karena kaum Quraisy di Makkah pada waktu itu baru saja meninggalkan masa jahiliah dan masuk Islam. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan mereka dan melihat maslahat yang lebih besar berkenaan dengan persatuan dan keutuhan hati-hati kaum muslimin. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pun lebih memilih hal tersebut daripada membangun Baitullah di atas fondasi Ibrahim 'alaihissalam.
Pernah pula Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu shalat dengan sempurna empat rakaat di belakang Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu dalam keadaan mereka sedang safar. Orang-orang pun mengingkari Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan Utsman radhiyallahu 'anhu, karena seharusnya dia shalat dua rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi, beliau menjawab dan menyatakan, “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal, seperti menjahrkan basmalah dalam suatu keadaan, menyambung shalat witir, atau yang lainnya, untuk menjaga persatuan kaum mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan yang semisalnya.”
(Majmu’ Fatawa, 22/437—438)

http://asysyariah.com/bolehnya-membaca-basmalah-secara-jahr-dalam-keadaan-tertentu-karena-maslahat/

Tentang OTOPSI JENAZAH DAN BEDAH MAYAT

Islam sebagai agama yang sempurna menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh shallallahu alaihi wasallam. Di antara kaedah tersebut adalah:
"Apabila bertentatangan antara dua kemaslahatan maka diambil maslahat yang terbesar demikian juga bila bertentangan antara dua mafsadah maka diambil yang paling ringan." (Al Qowaidul Fiqhiyah karya Asy Syaikh As Sa’di)

Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat. Semua ini walaupun bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih besar maslahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak.

Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka praktek bedah dengan tujuan seperti ini diperbolehkan. Wallahu A’lam.

Jika ada yang bertanya, "Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja?" Maka dijawab, "Ada perbedaan yang besar antara organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran, sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran." Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat.

Ada baiknya kita nukilkan teks fatwa Haiah Kibarul Ulama’ no. 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis:
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu:
- Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas,
- Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini,
- Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran.
Setelah dibahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majelis memutuskan sebagai berikut:
Untuk masalah pertama dan kedua, majelis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang diotopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak. Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang, dan karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Aisyah bahwa Rosululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkanya ketika hidup."
Juga melihat bahwa bedah itu menghinakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum *), maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut boleh. Hanya saja dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum.
Wallahul Muwaffiq.

Faidah dari:
Ustadz Abu Sufyan Sedayu Gresik

*) Makna ma’shum adalah: yang memiliki jaminan perlindungan.

###

FATWA SAMAHATUSY SYAIKH ABDUL AZIZ BIN ABDILLAH BIN BAZ RAHIMAHULLAH

Tanya:
Saya mendapati pada Fakultas Kedokteran di Kairo sebuah Ruangan Bedah Mayat yang di dalamnya terdapat beberapa mayat laki laki, wanita dan mayat anak anak yang dibedah dan dipotong-potong anggota tubuhnya untuk kegiatan praktikum. Apakah hal itu dibolehkan menurut syariat karena adanya suatu kebutuhan?
Terkhusus lagi laki laki membedah mayat wanita dan wanita membedah mayat laki laki. Bolehkah memotong anggota tubuh dan organ manusia?

Jawab:
Apabila mayat tersebut memiliki jaminan perlindungan pemerintah semasa hidupnya --baik Muslim maupun kafir, pria maupun wanita, maka tidak boleh--. Karena hal itu menyakiti dan melanggar kehormatannya.
Telah datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda :
كسر عظم الميت ككسره حيا
Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya ketika ia hidup.
Adapun jika mayat tersebut tidak memiliki jaminan perlindungan pemerintah seperti orang yang murtad atau kafir harby (orang kafir yang memerangi kaum muslimin) maka sejauh ini aku tidak mengetahui adanya larangan untuk kepentingan kedokteran. Waallahu alam.

Tanya:
Apa hukum otopsi jenazah yang diragukan sebab kematiannya?

Jawab:
Jika ada alasan yang syari tidak mengapa.

Sumber:
Kitab Al-Fatawa al-Mutaalliqah bith-thibbi Wa ahkamil-mardha
Kumpulan fatwa yang ditulis oleh Asy-Syaikh Allamah Doktor Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzahullah

Alih Bahasa:
Al-Ustadz Abu Abdillah Al-watesy (Jember) حفظه الله

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | alfawaaid .net

Tentang MEMBOIKOT DAN MEMUTUS HUBUNGAN SAUDARA SESAMA MUKMIN

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan bab dalam Shahih-nya, dalam kitab al-Adab, bab al-Hijrah, sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﺮَﺟُﻞٍ ﺃَﻥْ ﻳَﻬْﺠُﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﻓَﻮْﻕَ ﺛَﻠَﺎﺙِ
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga (hari).”

Berkata al-Hafizh al-Aini rahimahullah dalam al-Umdah, “Al-Hijrah, dengan Ha yang dikasrah dan Jim yang disukun, adalah meninggalkan berbicara dengan saudaranya mukmin tatkala keduanya bertemu, dan setiap dari keduanya berpaling dari sahabatnya tatkala berkumpul.”

Dikeluarkan al-Imam Muslim dalam ash-Shahih (4/2564) dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻻ ﺗَﺤَﺎﺳَﺪُﻭﺍ ﻭﻻ ﺗَﻨَﺎﺟَﺸُﻮﺍ ﻭﻻ ﺗَﺒَﺎﻏَﻀُﻮﺍ ﻭﻻ ﺗَﺪَﺍﺑَﺮُﻭﺍ
“Janganlah kalian saling hasad, jangan kalian saling melakukan najasy [1], jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling memutus hubungan.”

Berkata al-Hafizh Abu Ubaid dalam Gharib al-Hadits, "At-Tadabur artinya memutus hubungan dan memboikot, diambil dari kata: seseorang yang menghadapkan duburnya kepada yang lain, dan memalingkan wajahnya darinya, yaitu saling memutus hubungan.”

Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, dari hadits Abu Ayyub bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﺮَﺟُﻞٍ ﺃَﻥْ ﻳَﻬْﺠُﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﻓَﻮْﻕَ ﺛَﻠَﺎﺙِ ﻟَﻴَﺎﻝٍ ﻳَﻠْﺘَﻘِﻴَﺎﻥِ ﻓَﻴُﻌْﺮِﺽُ ﻫﺬﺍ ﻭَﻳُﻌْﺮِﺽُ ﻫﺬﺍ ﻭَﺧَﻴْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻳَﺒْﺪَﺃُ ﺑِﺎﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga malam, keduanya bertemu lalu ini berpaling dan yang itu juga berpaling, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”

Dikeluarkan pula oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari hadits Anas radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﺮَﺟُﻞٍ ﺃَﻥْ ﻳَﻬْﺠُﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﻓَﻮْﻕَ ﺛَﻠَﺎﺙِ ﻟَﻴَﺎﻝٍ ﻳَﻠْﺘَﻘِﻴَﺎﻥِ ﻓَﻴُﻌْﺮِﺽُ ﻫﺬﺍ ﻭَﻳُﻌْﺮِﺽُ ﻫﺬﺍ ﻭَﺧَﻴْﺮُﻫُﻤَﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻳَﺒْﺪَﺃُ ﺑِﺎﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga malam, keduanya bertemu lalu ini berpaling dan yang itu juga berpaling, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻳﻮﻡ ﺍﻹﺛﻨﻴﻦ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺨَﻤِﻴﺲِ ﻓَﻴُﻐْﻔَﺮُ ﻟِﻜُﻞِّ ﻋَﺒْﺪٍ ﻟَﺎ ﻳُﺸْﺮِﻙُ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﺷﻴﺌﺎ ﺇﻻ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺃَﺧِﻴﻪِ ﺷَﺤْﻨَﺎﺀُ ﻓَﻴُﻘَﺎﻝُ ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫَﺬَﻳْﻦِ ﺣﺘﻰ ﻳَﺼْﻄَﻠِﺤَﺎ ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫَﺬَﻳْﻦِ ﺣﺘﻰ ﻳَﺼْﻄَﻠِﺤَﺎ ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫَﺬَﻳْﻦِ ﺣﺘﻰ ﻳَﺼْﻄَﻠِﺤَﺎ
“Pintu-pintu surga terbuka pada setiap hari senin dan hari kamis, lalu diampuni setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun, kecuali seseorang yang terjadi permusuhan antara dia dengan saudaranya, lalu dikatakan: Tunda ampunan kedua orang ini hingga keduanya berdamai. Tunda ampunan kedua orang ini hingga keduanya berdamai. Tunda ampunan kedua orang ini hingga keduanya berdamai."

Diriwayatkan pula oleh Imam Abdullah bin Mubarak dalam kitabnya “az-Zuhd” dengan sanad yang shahih dari Imam Abul ‘Aliyah bahwa dia berkata, “Aku banyak mendengarkan hadits-hadits tentang dua orang yang saling memutus hubungan, semuanya keras, dan yang paling ringan dari apa yang aku dengarkan adalah: Keduanya senantiasa menjauh dari kebenaran selama dalam keadaan demikian.”

Disebutkan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam al-Fath, "Hadits-hadits ini dijadikan sebagai dalil bahwa siapa yang berpaling dari saudaranya muslim dan mencegah diri untuk berbicara dengannya dan mengucapkan salam kepadanya, maka dia berdosa. Sebab menafikan kehalalan menunjukkan haramnya, dan orang yang melakukan perkara haram berdosa.”

Footnote:
[1] Najasy adalah seseorang yang sengaja menaikkan harga barang seorang penjual padahal dia tidak ingin membelinya, namun dengan tujuan agar orang lain membelinya dengan harga yang tinggi.