Cari Blog Ini

Selasa, 07 Oktober 2014

Tentang MENYIKAPI KELUARGA YANG MEREMEHKAN AGAMA

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

| | |

Pertanyaan: Saya tinggal di keluarga yang banyak meremehkan syari’at Allah, jika saya ingin melarang mereka dari sesuatu yang mungkar seperti dengan melepas foto-foto yang ada di dinding atau televisi atau lagu atau musik, mereka mengatakan: “Engkau terlalu keras.” Maka bagaimanakah sikap saya terhadap hal ini?

Jawaban:
Jika mereka mau berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka katakan kepada mereka: “Hukum yang berlaku antara saya dengan kalian adalah Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” Dan saya nasehatkan kepadamu agar mendakwahi mereka dengan cara yang lembut dan halus serta sabar menghadapi mereka, mudah-mudahan dengan cara itu Allah akan memberikan hidayah kepada mereka.Tetapi jika engkau mengkhawatirkan dirimu akan terfitnah (terbawa arus) jika tetap tinggal bersama mereka atau engkau tidak mampu bersama mereka dan engkau mampu meninggalkan mereka dalam keadaan engkau yakin tidak akan tertimpa kerusakan, maka engkau boleh menjauhi mereka jika engkau telah putus asa dari mereka, dan hendaknya engkau terus mendoakan mereka. Dan jika engkau tetap tinggal bersama mereka dalam keadaan hatimu membenci kemungkaran mereka, maka bertakwalah kepada Allah semampunya.
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, jika dia tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” [HR. Muslim no. 49, Ahmad, dan Ashabus Sunan, dari hadits Abu Sa’id Sa’ad bin Sinan bin Malik bin ‘Ubaid Al-Khudry radhiyallahu anhu]

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan: Pendengar yang berinisial ( ﺍ ﺱ ) Ummu Juwairiyah dari Kuwait di antara pertanyaannya kepada Fadhilatus Syaikh adalah dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang gadis yang bercadar –dan dia memuji Allah atas perkara tersebut– dia mengatakan: “Hanya saja ibu saya tidak mau pergi bersama saya untuk mengunjungi keluarga dan kerabat, karena beliau menganggap bahwa saya merupakan sumber masalah yang memberatkan beliau dan beliau tidak ridha dengan tindakan saya memakai cadar dan tidak mau berjabat tangan dengan pria yang bukan mahram serta perkara-perkara lain yang harus dipegangi dengan kuat. Maka bagaimana saya menyikapi ibu saya dan bagaimana bimbingan Anda? Semoga Allah memberi Anda pahala.”

Jawaban:
Jawaban terhadap perkara ini dari dua sisi:
Pertama: Berkaitan dengan ibumu maka sesungguhnya saya menasehatinya agar meninggalkan perkara ini, yaitu menyulitkan dirimu dengan sebab engkau berpegang teguh dengan syari’at. Dan saya katakan kepadanya bahwasanya yang wajib atasnya adalah bersemangat membantumu untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, dan hendaknya dia memuji Allah Azza wa Jalla karena Dia telah menjadikan sebagian keturunannya ada yang shalih. Dan setiap orang tanpa diragukan lagi akan merasa senang jika anak-anaknya menjadi orang-orang yang shalih, baik anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan. Seorang anak yang shalih apakah dia laki-laki atau perempuan, dialah yang akan bermanfaat bagi orang tuanya setelah dia meninggal. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ: ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ، ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ، ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
“Jika seorang hamba meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari 3 hal: shadaqah jariyah (yang manfaatnya masih berlangsung), ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuknya.” (HR. Muslim no. 1631)
Dan tidak halal baginya selama-lamanya untuk menyulitkan dirimu untuk melakukan perkara yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran.

Kedua: Berkaitan dengan dirimu, maka hendaknya engkau tetap berpegang teguh dengan batasan-batasan Allah yang Dia tetapkan dan engkau jangan mempedulikan siapapun. Tidak ibumu dan tidak pula selainnya. Jika engkau melakukan hal-hal yang membuat Allah ridha, maka jangan pedulikan kemarahan semua manusia kepadamu, walaupun ibumu. Dan barangsiapa marah kepadamu karena engkau mentaati Allah, maka silahkan dia marah dan jangan engkau pedulikan sama sekali. Adapun sikap ibumu yang merasa keberatan untuk pergi bersamamu, maka itu menunjukkan sedikitnya bashirah (ilmu) dia. Karena sesungguhnya pada cadar dan ketidakmauan untuk berjabatan tangan dengan pria yang bukan mahram sama sekali tidak ada sesuatu yang memberatkan. Bahkan hal itu termasuk nikmat Allah yang sepantasnya seseorang untuk merasa gembira dengannya serta memuji Allah yang telah menolongnya untuk melakukannya, karena sesungguhnya hal itu termasuk ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.

Alih bahasa: Abu Almass

Tidak ada komentar:

Posting Komentar