Cari Blog Ini

Jumat, 03 Juli 2015

Tentang MUSAFIR TIDAK BOLEH MENGQASHAR SALAT JIKA IMAM TIDAK MENGQASHAR SALAT

Soal:
Saya menanyakan tentang shalat seorang musafir yang bermakmum kepada orang yang mukim/bukan musafir, apakah dia shalat secara sempurna (tidak qashar) bersama imam atau tidak?

Jawab:
Sah hukumnya shalat seorang musafir yang bermakmum kepada imam yang mukim. Dia harus shalat secara sempurna (tidak mengqashar) dan tidak boleh salam kecuali setelah imam salam. Sebab, terdapat dalil yang sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan hal tersebut.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz; Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi; Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa al-Lajnah, 7/422—423)

Sumber: Asy Syariah Edisi 087

Tentang MENGHAFAL ALQURAN

Abu Umar bin Abdil Barr rahimahullah berkata:
“Menuntut ilmu itu ada tahapan-tahapannya. Ada marhalah-marhalah dan tingkatan-tingkatannya. Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk melanggar/melampaui urutan-urutan tersebut. Barangsiapa secara sekaligus melanggarnya, berarti telah melanggar jalan yang telah ditempuh oleh as-salafus shalih rahimahumullah. Dan barangsiapa melanggar jalan yang mereka tempuh secara sengaja, maka dia telah salah jalan, dan siapa saja yang melanggarnya karena sebab ijtihad maka dia telah tergelincir.
Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitabullah serta berusaha memahaminya. Segala hal yang dapat membantu dalam memahaminya juga merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari bersamaan dengannya. Saya tidak mengatakan bahwa wajib untuk menghafal keseluruhannya. Namun saya katakan bahwasanya hal itu adalah kewajiban yang mesti bagi orang yang ingin untuk menjadi seorang yang alim, dan bukan termasuk dari bab kewajiban yang diharuskan.”

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata:
“Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan dan dikedepankan.”

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur’an).”

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-61)

Sumber: Asy Syariah Edisi 051

Tentang MEMBAGI-BAGIKAN UANG KEPADA ANAK-ANAK KECIL DI HARI RAYA

HUKUM MEMBAGIKAN UANG PADA ANAK-ANAK KETIKA HARI RAYA
(Al Lajnah ad Daimah Lil Buhutsi al Ilmiyati wal Ifta)

Pertanyaan:
عندنا أطفال صغار، وتعودنا في بلادنا أن نعطيهم حسب يوم العيد سواء الفطر أو الأضحى ما يسمى بـ (العيدية) وهي نقود بسيطة، من أجل إدخال الفرح في قلوبهم، فهل هذه العيدية بدعة أم ليس فيها شيء؟
Di negeri kami memiliki kebiasaan pada setiap hari Raya Id, baik Idhul Fitri atau Adha, kami membagikan kepada anak-anak kecil uang dengan jumlah tidak terlalu banyak, yang disebut dengan al-Iidiyah. Kami lakukan dalam rangka memberikan kegembiraan kepada mereka. Apakah kegiataan al-Iidiyaah ini termasuk bidah ataukah tidak mengapa?

Jawaban:
لا حرج في ذلك، بل هو من محاسن العادات، وإدخال السرور على المسلم، كبيراً كان أو صغيراً، وأمر رغب فيه الشرع المطهر
Tidak mengapa melakukan yang seperti ini. Bahkan ini termasuk adat kebiasaan yang baik. Karena memberikan kebahagian kepada seorang muslim baik yang besar maupun anak kecil merupakan perkara yang dianjurkan dalam syariat yang suci ini.
Fatwa al Lajnah ad Daimah Lil Buhutsi al Ilmiyati wal ifta 26/247
Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
Syaikh Abdul Aziz aalu Syaikh
Syaikh Shaleh al Fauzan
Syaikh Bakr Abu Zaid

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=122768

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang SALAT MALAM LAGI PADAHAL SUDAH WITIR

Seseorang yang Bangun di Akhir Malam dan Ingin Sholat Malam Lagi
(Disusun oleh: al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

Jika seseorang telah sholat malam termasuk witir setelah sholat Isya’, kemudian dia tidur dan bangun sebelum Subuh, boleh baginya jika setelah bangun mau sholat malam lagi. Namun, dia tidak boleh melakukan witir lagi, hanya melakukan sholat-sholat sunnah yang berjumlah genap.
Karena seseorang ketika tidur, syaithan akan mengikatkan 3 ikatan pada kepalanya. Jika ia bangun dengan mengingat Allah, terlepas satu ikatan. Jika kemudian dia berwudhu’, terlepas satu ikatan lagi. Jika selanjutnya diikuti dengan sholat 2 rokaat, maka akan terlepas seluruh ikatan (ketiga-tiganya), sehingga ia akan menjalani aktifitas hari itu dengan penuh semangat dan keceriaan.
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلَاثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
Syaithan mengikat tiga ikatan pada seseorang ketika tidur. Setiap mengikat satu ikatan (syaithan) berkata: Malammu panjang, tidurlah. Jika dia bangun dan mengingat Allah, terlepaslah satu ikatan. Jika ia berwudhu’, terlepas satu ikatan. Jika ia sholat terlepas satu ikatan (lagi) sehingga pagi harinya ia bersemangat dan cerah jiwanya. Kalau tidak demikian, pagi harinya suasana hatinya akan suram dan malas. (H.R al-Bukhari no 1074 dan Muslim no 1295)

Hanya saja, jika seseorang telah melakukan witir sebelumnya, kemudian bangun tidur ingin sholat malam lagi, cukup mengerjakan jumlah rokaat genap. Karena tidak boleh ada 2 kali witir dalam satu malam.
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِيٍّ فِي يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِيَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلًا فَقَالَ أَوْتِرْ بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
Dari Qoys bin Tholq beliau berkata: Thalq bin Ali mengunjungi kami pada suatu hari Ramadhan, dan beliau berbuka bersama kami. Kemudian beliau melakukan qiyamul lail bersama kami dan melakukan witir. Kemudian beliau turun menuju masjidnya dan sholat bersama para sahabatnya. Hingga ketika sampai pada waktu pelaksanaan witir, beliau mengajukan seseorang (untuk menjadi Imam) dan berkata: Lakukanlah witir dengan orang-orang, (sedangkan aku sudah witir). Karena aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada 2 witir dalam satu malam. (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Secara asal, memang disunnahkan menjadikan witir sebagai akhir dari sholat malam. Rasul shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jadikan akhir sholat malam kalian adalah witir. (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Namun kadangkala Nabi shollallahu alaihi wasallam juga pernah sholat dua rokaat setelah witir. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِتِسْعٍ حَتَّى إِذَا بَدَّنَ وَكَثُرَ لَحْمُهُ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
Dari Abu Umamah radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berwitir dengan 9 rokaat hingga ketika menjadi gemuk tubuh beliau, beliau berwitir dengan 7 rokaat dan sholat dua rokaat (kemudian) dalam keadaan duduk. (H.R Ahmad)

Sumber: Buku Ramadhan Bertabur Berkah  karya Abu Utsman Kharisman hal 217-220

Salafy .or .id