Cari Blog Ini

Sabtu, 06 September 2014

Tentang MELAKSANAKAN TUGAS DAN MENTAATI PERATURAN DAN PERINTAH ATASAN

Hal yang hendaknya diperhatikan oleh setiap pegawai adalah bahwasanya sebagian pegawai terkadang tidak bersemangat dalam menjalankan aturan dengan dalih bahwa peraturan-peraturan tersebut tidaklah diwajibkan oleh syariat, dia digaji oleh negara bukan atasan, atau alasan semacamnya. Alasan seperti ini tidaklah benar.

Adapun dalih bahwasanya peraturan tersebut bukan termasuk peraturan syar’i, maka jawabannya adalah bahwa peraturan tersebut telah ditetapkan oleh penguasa dan mereka telah mengharuskan para pegawai untuk melaksanakannya, sedangkan semua peraturan yang ditentukan oleh penguasa dan tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah ta’ala serta Rasul-Nya maka harus diikuti. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan pemerintah di antara kamu.” [Q.S. An-Nisa : 59]

Adapun alasan yang kedua bahwa gajinya berasal dari negara, maka ini justru termasuk perkara yang mengharuskan seorang pegawai untuk lebih giat melaksanakan tugasnya. Karena kas negara berasal dari uang rakyat, maka hal ini terkait dengan hak segenap rakyat dan masing-masing dari mereka menuntut agar Anda melaksanakan tugas karena anda mengambil gaji dari uang mereka. Andaikan perkara ini terkait dengan hak seorang individu, maka masalahnya akan lebih ringan.

Sumber: tashfiyah[dot]net

Tentang JAM KERJA

Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullahu menjelaskan dalam buku beliau ‘Kaifa Yuaddil Muwazhzhofu Al-Amanah’ (Bagaimana seorang pegawai menunaikan amanahnya), bahwa setiap pegawai atau pekerja wajib menggunakan jam-jam kerjanya untuk melaksanakan pekerjaan yang telah diamanahkan kepadanya. Tidak boleh baginya memanfaatkan seluruh waktu-waktu tersebut atau sebagiannya untuk urusan-urusan lain, baik kepentingan pribadi maupun orang lain bila tidak ada kaitannya dengan pekerjaannya. Karena jam kerja bukanlah semata-mata milik pegawai, namun menyangkut kepentingan banyak pihak dan kemaslahatan pekerjaan yang diembannya.

Seorang ulama yang bernama Al-Muammar bin Ali Al-Baghdadi rahimahullahu telah memberikan beberapa untaian nasehat yang memiliki makna sangat dalam dan bermanfaat kepada perdana menteri Nizhamul Muluk. Di antara nasehat yang beliau sampaikan, “Suatu hal yang telah maklum, wahai Shadrul Islam (panggilan untuk perdana menteri tersebut), bahwasannya setiap individu masyarakat (pada asalnya) bebas untuk datang dan pergi. Jika mereka menghendaki, mereka bisa meneruskan dan memutuskan (urusan mereka). Adapun seseorang yang terpilih untuk menduduki suatu jabatan, maka tidak bebas untuk bepergian karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan ia pada hakekatnya adalah orang upahan, di mana ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya…” [Dzailut Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Rajab]

Sebagaimana seorang pegawai ingin mendapat upahnya secara utuh dan tidak dikurangi gajinya sedikit pun, hendaklah ia tidak mengurangi jam kerjanya untuk urusan-urusan yang tidak terkait dengan pekerjaannya. Allah ta’ala telah mencela orang-orang yang berbuat curang yang mana mereka menuntut hak mereka dengan sempurna dan enggan untuk menunaikan hak orang lain secara utuh. Allah ta’ala berfirman:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.(*) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.(*) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.(*) Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan.dibangkitkan.(*) pada suatu hari yang besar.(*) (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” [Q.S. Al-Muthaffifin : 1-6]

###

Asy Syaikh Sholih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Peraturan jam kerja resmi yang ditentukan negara, anda dapati sebagian orang datang telat setengah jam, atau pergi/keluar (pulang) dari pekerjaan sebelum jam kerja usai setengah jam sebelumnya, dan terkadang terlambat sampai 1 jam atau bahkan lebih. Maka apakah hukum hal tersebut?

Jawab:
Yang tampak perkara ini tidak membutuhkan kepada jawaban.
Karena yang namanya imbalan  itu wajib menyesuaikan kepada yang dikorbankan.
Maka selama seorang pegawai tidak ridho/rela jika negara mengurangi hak gajinya sedikitpun, demikian pula wajib baginya untuk tidak mengurangi hak negara sedikitpun.
Maka tidak boleh bagi seorang pekerja untuk telat dari jam kerja resmi (yang telah ditetapkan) dan tidak pula mendahului (pergi) sebelum jam kerja resmi usai.

Penanya:
Akan tetapi sebagian orang beralasan bahwasanya di sana tidak ada pekerjaan atau pekerjaannya sedikit.

Asy syaikh rahimahullah:
Yang penting (jadi patokan) kamu itu terikat dengan waktu bukan dengan pekerjaan.
Yakni dikatakan kepadamu: ini gajimu atas kehadiranmu dari jam sekian hingga jam sekian, sama saja apakah di sana ada pekerjaan atau tidak ada pekerjaan.
Maka selama upah gaji itu berkaitan dengan waktu maka hendaknya dia harus menyempurnakan waktu tersebut, yakni menunaikan waktu itu, jika tidak maka yang kita makan dari upah gaji yang kita tidak hadir kerja tersebut adalah batil.
Allahu alam.

Ittiba'us Sunnah

Tentang MEMBERI NAFKAH KEPADA ISTRI DAN KELUARGA

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang suami berinfak kepada keluarganya dengan memberi nafkah, maka hal itu teranggap sebagai shadaqoh baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Mas'ud al-Badri radhiyallahu 'anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk budak, dan satu dinar yang engkau shodaqohkan untuk orang-orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan untuk mencari ridha Allah, maka pasti kamu akan diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh isterimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan bahwa kewajiban seorang suami akan bernilai pahala apabila dilakukan untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala.

###

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻭﺟﺎﺕ ﺗﺜﻘﻞ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻄﺎﻟﺐ ﻭﺭﺑﻤﺎ ﻳﺴﺘﺪﻳﻦ ﻟﺬﻟﻚ ﻭﻳﺰﻋﻤﻦ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺣﻘﻬﻦ، ﻓﻬﻞ ﻫﺬﺍ ﺻﺤﻴﺢ؟
Banyak istri yang membebani suami dengan sekian banyak tuntutan. Bahkan, terkadang suami harus berutang untuk memenuhinya. Istri mengira bahwa itu adalah hak mereka. Apakah ini benar?

Jawab:
ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺳﻮﺀ ﺍﻟﻌﺸﺮﺓ، ﻓﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻟِﻴُﻨْﻔِﻖْ ﺫُﻭ ﺳَﻌَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺳَﻌَﺘِﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻗُﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭِﺯْﻗُﻪُ ﻓَﻠْﻴُﻨْﻔِﻖْ ﻣِﻤَّﺎ ﺁﺗَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻻ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﻔْﺴﺎً ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻫَﺎ، ﻓﻼ ﻳﺤﻞ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﺃﻥ ﺗﻄﻠﺐ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻬﺎ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻤﺎ ﺟﺮﻯ ﺑﻪ ﺍﻟﻌﺮﻑ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﻄﻴﻘﻪ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ: ﻭَﻋَﺎﺷِﺮُﻭﻫُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ، ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻭَﻟَﻬُﻦَّ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ. ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻓﻼ ﻳﺤﻞ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﺃﻥ ﻳﻤﻨﻊ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ، ﻷﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻷﺯﻭﺍﺝ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﺎﻟﻮﺍﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﻧﻔﺎﻕ ﻋﻠﻰ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻟﺸﺪﺓ ﺑﺨﻠﻪ ﻭﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺃﻥ ﺗﺄﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﺣﺎﺟﺘﻬﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﺪﻭﻥ ﻋﻠﻤﻪ، ﻭﻗﺪ ﺍﺷﺘﻜﺖ ﻫﻨﺪ ﺑﻨﺖ ﻋﺘﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﺭﺟﻞ ﺷﺤﻴﺢ ﻻ ﻳﻌﻄﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻔﻘﺔ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻬﺎ ﻭﺃﻭﻻﺩﻫﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ: ﺧﺬﻱ ﻣﺎ ﻳﻜﻔﻴﻚ ﻣﻦ ﻣﺎﻟﻪ ﻭﻳﻜﻔﻲ ﺑﻴﺘﻚ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ
Ini termasuk bentuk pergaulan yang buruk. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:
ﻟِﻴُﻨْﻔِﻖْ ﺫُﻭ ﺳَﻌَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺳَﻌَﺘِﻪِ ۖ ﻭَﻣَﻦْ ﻗُﺪِﺭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭِﺯْﻗُﻪُ ﻓَﻠْﻴُﻨْﻔِﻖْ ﻣِﻤَّﺎ ﺁﺗَﺎﻩُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ۚ ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺁﺗَﺎﻫَﺎ ۚ
“Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (ath-Thalaq: 7)
Seorang istri tidak boleh meminta nafkah melebihi kemampuan suami. Tidak boleh pula ia meminta nafkah melebihi kebiasaan masyarakat setempat, meski suami mampu memenuhinya. Hal ini berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla:
ﻭَﻋﺎﺷِﺮﻭﻫُﻦَّ ﺑِﺎﻟﻤَﻌﺮﻭﻑِ ۚ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
ﻭَﻟَﻬُﻦَّ ﻣِﺜﻞُ ﺍﻟَّﺬﻯ ﻋَﻠَﻴﻬِﻦَّ ﺑِﺎﻟﻤَﻌﺮﻭﻑِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (al-Baqarah: 228)
Sebaliknya, tidak boleh enggan memberi nafkah yang wajib. Sebab, memang ada suami yang tidak mau memberikan nafkah yang wajib kepada istrinya karena kekikirannya. Dalam keadaan seperti ini, seorang istri boleh mengambil harta suaminya guna memenuhi kebutuhannya meski tanpa sepengetahuan suami. Sungguh, Hindun bintu Utbah pernah mengeluhkan kepelitan Abu Sufyan (suaminya) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Sufyan tidak memberi nafkah yang mencukupi kebutuhan Hindun dan anak-anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda:
ِﺧُﺬِﻱ ﻣَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻴﻚِ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﻭَﻳَﻜْﻔِﻲ ﺑَﻴْﺘَﻚِ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑ
“Ambillah dengan cara yang baik dari hartanya seukuran yang mencukupi kebutuhanmu dan rumah tanggamu dengan ma'ruf (baik).”

Durus wa Fatawa al-Haramil Makki, 4/249

Syabab Ashhabus Sunnah

www .ittibaus-sunnah .net

ASHHABUS SUNNAH

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiry hafizhahullah

Pertanyaan:
هذه يا شيخ سائلة من بريطانيا؛ تقول: هل واجب على الزوج أن يعطي زوجته مالاً لشراء ملابس العيد أو ما يسمى بهدية العيد؟ لأن بعض الأزواج لا يعطون زوجاتهم مالاً كي يشتروا ملابس جديدة للعيد. وجزاكم الله خيرًا
Wahai syaikh, ini adalah seorang penanya wanita dari Britania. Ia mengatakan: Apakah seorang suami itu wajib memberikan harta kepada isterinya untuk membeli pakaian hari raya atau yang di sebut dengan hadiah id? Karena sebagian suami tidak memberikan uang kepada isterinya untuk membeli pakaian-pakaian yang baru di hari raya. Semoga Allah membalas anda kebaikan.

Jawaban:
يا بنتي! ما دمتِ مسلمة فأظنكِ تقصدين العيدين اللذين في الإسلام؛ وهما عيدُ الفطر وعيدُ الأضحى، ولا أظنكِ تقصدين الأعياد الموسمية، التي تجري في جماهير المسلمين -إلا من رحِمَ الله- تقليدًا لغيرهم، فتلك الأعياد -يا بنتي!- محرمة
Wahai putriku, selama engkau seorang muslimah maka saya menduga bahwa yang engkau maksud adalah dua hari raya di dalam Islam yaitu Idul Fithri dan Idul Adhha dan saya tidak menduga bahwa yang engkau maksudkan adalah hari raya-hari raya musiman yang banyak dilakukan mayoritas kaum muslimin -kecuali yang dirahmati oleh Allah- karena taklid kepada selain mereka, maka hari raya-hari raya tersebut -wahai putriku adalah haram.
وما دمتِ تقصدين فيما يظهرُ لنا العيدين الشرعيين الإسلاميين؛ وهما عيدُ الفطر وعيدُ الأضحى؛ فأقول: أولاً: ندعوكِ أنتِ وسائر بناتنا المسلمات -لاسيَّما صاحباتُ السنة- إلى أن تكون صدوركنَّ واسعة على أزواجكنَّ، وأن تبذلنَّ لهم حسن العشرة، وما هو معتادٌ شرعًا وعرفًا من قِبَلِ الزوجة لزوجها
Dan selama yang engkau maksudkan adalah dua hari raya Islam yang syari sebagaimana yang tampak bagiku yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, maka saya katakan:
Pertama: Saya menyeru engkau dan seluruh putri-putri kami muslimah -terlebih yang berpegang dengan sunnah- supaya dada-dada mereka lapang untuk para suami, berupaya mencurahkan pergaulan yang baik kepada sang suami, dan menunaikan apa yang sudah menjadi kebiasaannya baik secara syari maupun adat kebiasaan dari sisi isteri kepada suami.
وثانيًا: نَحُضُّ الرجال الأزواج إلى أن يُوَسِّعُوا على زوجاتهم وبناتهم، وأن يُظهِروا على أولادهم وبناتهم وزوجاتهم آثار ما وسَّع الله به عليهم من النعمة
Kedua: saya menghasung para lelaki, para suami untuk bersikap lapang terhadap isteri-isteri dan putri-putri mereka dan hendaknya mereka menampakkan atsar (tanda) kenikmatan yang sudah Allah lapangkan bagi mereka.
فإن ما أوصيناكنَّ به وما أوصينا به أزواجكنَّ، هو من حسن العشرة بالمعروف، ومما يُشيعُ بين الرجال والنساء، المحبة والتآلف وقوة الترابط والتعاون على البرَّ والتقوى
Maka nasehat kami untuk kalian dan untuk suami-suami kalian ialah saling bergaul dengan cara yang baik. Dan diantara perkara yang dapat mengantarkan hubungan antara lelaki dan perempuan ialah kecintaan, kedekatan, keterkaitan yang sangat erat, dan saling tolong menolong di atas kebaikan dan takwa.
ونوصيكُنَّ -خاصَّة يا نساء المسلمات- أن تكُنَّ رفيقاتٍ بأزواجكُنَّ إذا كانوا مُعسرين، ويتكلفون ما ذكرتِ إليه من الهدايا كسوةً أو حُلِيًّا أو غير ذلك، فإن هذا مما أوجبه الله عليكُنَّ من حُسنِ العشرة بالمعروف
Dan kami menasehatkan kepada kalian -secara khusus wahai para wanita muslimah- untuk berlaku lemah lembut terhadap suami-suami kalian bila mereka dalam kondisi sulit dan terbebani dengan hadiah-hadiah seperti baju, perhiasan, atau selainnya yang kalian sebutkan kepada mereka. Karena ini diantara perkara yang Allah wajibkan kepada kalian untuk mempergauli mereka dengan cara yang baik.
فإذا تقرر هذا فعليكَ أيُّها الرجل إذا كنت موسرًا أن توسَّع على أولادكَ وبناتِكَ وأمهِم، وأن تجلب لهم في العيدين ما يظهرُ به الفرح والسرور على أهل بيتك، لاسيِّما إذا كان عُرْفُ المسلمين جارٍ عندكم بهذا، فلا تُقصِّر أيُّها المسلم في إدخال الفرح والسرور على أهل بيتك
Apabila ini telah dipahami, maka wajib bagimu wahai para suami bila engkau dalam kondisi mudah (banyak rezeki) untuk bersikap lapang terhadap anak-anakmu, putri-putrimu, dan ibu mereka. Di hari raya, memberi mereka sesuatu yang dapat menampakkan kegembiraan dan keceriaan bagi anggota keluargamu. Terlebih bila itu merupakan kebiasaan kaum muslimin yang berjalan di sisi kalian. Jangan engkau mengurangi sesuatu yang dapat memberikan kebahagiaan dan keceriaan bagi anggota keluargamu wahai lelaki muslim.
وأقولُ: سواءً -يا بنتي!- أعطاكِ زوجكِ نقودًا تشترين بها كسوة العيد وهدايا العيد المعتادة عندكم، أو ذهبَ بكِ إلى السوق واشترى على نظركِ؛ لكن عادة المرأة أعرفُ بما تحتاجه هي وبناتها وصغار الأولاد، والرجل عادةً أعرف منها فيما يحتاجه أولاده الكبار
Dan saya katakan: Sama saja wahai puteriku suamimu memberimu uang untuk engkau membeli pakaian hari raya dan hadiah-hadiah id yang biasa berjalan di sekitar kalian atau engkau pergi ke pasar dan membeli sesuai dengan pandanganmu. Hanya saja, kebiasaan wanita ialah paling mengerti tentang kebutuhan yang ia, puteri-puterinya, dan anak-anak kecilnya butuhkan. Sedangkan kaum pria biasanya lebih mengerti tentang apa yang dibutuhkan oleh anak-anaknya yang besar.
والخلاصة: عليكم جميعًا سعة الصدور، وعليكم جميعًا -وأنا أعني: الرجال وأزواجهم من النساء- عليكم أن يعفوَ بعضكم، أن يعفوَ الرجل عن زوجته، وإذا كان تجهِدُه في الطَلَبات فليحسن لها الاعتذار
Kesimpulannya: wajib bagi kalian semua untuk membesarkan dada. Wajib atas kalian semua yang saya maksudkan: kaum pria dan isteri-isteri mereka. Wajib bagi kalian untuk saling memaafkan. Hendaknya sang suami memberikan maaf kepada isterinya. Dan bila sang isteri sangat meminta tuntutannya, maka ajukanlah udzur (alasan) dengan cara yang baik.
وعليكِ أنتِ -يا بنتي!- وجميع نساء المسلمات أن تدارينَ أزواجكنَّ، وأن لا تكلفنهم من النفقة والكسوة مالا يُطيقون، وأبشرنَ، من تركَ شيئًا لله عوضه الله خيرًا منه، هذا المعنى جاءت به أحاديث يشدُّ بعضها بعضًا، نعم
Dan wajib bagimu -wahai puteriku- dan seluruh wanita muslimah untuk berlaku lemah lembut terhadap para suami dan jangan sekali-kali membebani mereka dengan nafaqah maupun pakaian yang di luar kesanggupan mereka.
Dan bergembiralah, barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan memberikan ganti yang lebih baik darinya. Makna ini datang dalam beberapa hadits yang sebagiannya menguatkan sebagian lainnya. Naam.

Sumber:
ar .miraath .net/audio/942

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang KORUPSI

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat ‘Adi bin ‘Amirah Al-Kindy:
“Siapa saja di antara kalian yang kami angkat sebagai pegawai lalu menyembunyikan sesuatu dari kami meskipun sekecil jarum, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan) yang akan ia bawa di hari kiamat nanti.”

Al-Mubarakfuri mengatakan, “Hadits ini memberikan anjuran kepada para pegawai/pekerja untuk menunaikan amanah dan sekaligus peringatan bagi mereka agar tidak melakukan kecurangan.”