Cari Blog Ini

Selasa, 03 November 2015

Tentang SALAT MENGHADAP GAMBAR, CERMIN, PINTU YANG TERBUKA, ATAU HAL LAINNYA YANG DAPAT MENGGANGGU SALAT

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan

Pertanyaan: 
Apakah boleh seorang wanita muslimah shalat sambil memasang kalung di lehernya atau memakai cincin pada jarinya? Atau dia shalat sementara di hadapannya ada gambar atau cermin? Berikanlah kami fatwa tentang hal ini, barakallahu fikum.

Jawab:
Wajib bagi setiap muslim untuk menjauh dari semua yang menyibukkannya dari amalan shalat dan mengganggu shalatnya. Jadi, tidak sepantasnya dia shalat menghadap cermin, menghadap pintu yang terbuka, atau hal lainnya yang menyibukkan atau mengganggu shalatnya.
Demikian pula gambar (makhluk bernyawa), tidak sepantasnya seseorang shalat di tempat yang ada gambar yang digantung atau dipajang, karena perbuatan tersebut menyerupai orang-orang yang beribadah kepada gambar-gambar. Sisi lainnya, apabila gambar berada di hadapannya tentu akan mengganggu shalatnya dan menyibukkan pandangannya.
Tentang memasang perhiasan saat shalat, ini pun termasuk hal yang menyibukkan orang yang shalat. Tidak sepantasnya dia melakukan pekerjaan yang menyibukkan dari shalatnya. Dia bisa menunda memakai perhiasan atau lainnya sampai selesai dari shalatnya.
Akan tetapi, kalau pun dilakukan dan tidak membutuhkan waktu yang lama serta tidak membutuhkan gerakan yang banyak, shalatnya sah. Gerakan yang ringan yang tidak memengaruhi shalat, seperti meluruskan pakaian dan serban, memakai jam tangan, dan semisalnya. Yang seperti ini tidak apa-apa dilakukan, walaupun sepantasnya seorang muslim berkonsentrasi dalam shalatnya dan tidak melakukan apa pun selain amalan shalatnya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail 1/351)

Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 100

Tentang SEMBELIHAN YANG TIDAK DIKETAHUI APAKAH DISEMBELIH DENGAN MENGUCAPKAN BISMILLAH ATAU TIDAK

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Tanya:

Bagaimana dengan daging yang dijual di pasar, yang kita tidak tahu proses penyembelihannya dengan mengucapkan tasmiyah (basmalah) atau tidak? Karena ada orang yang menyembelih tanpa mengucapkan apapun. Bahkan ada ayam yang sudah mati (bangkai) kemudian juga dijual sebagai ayam potong di pasar.
(Hadi Prasetyo, via email)

Jawab:

Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.

Tasmiyah yaitu ucapan ‘Bismillah’ pada proses penyembelihan ketika hendak menggerakkan pisau di leher binatang yang disembelih. Hukumnya wajib, bahkan merupakan syarat sahnya penyembelihan.

Apabila seseorang sengaja tidak membaca tasmiyah saat penyembelihan padahal dia telah mengetahui hukumnya, maka dia berdosa dan binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram.

Apabila seseorang tidak membacanya karena lupa atau kejahilan/ketidaktahuan tentang hukum tersebut, maka dia tidak berdosa. Namun penyembelihan yang dilakukannya tidak sah sehingga binatangnya menjadi bangkai yang najis dan haram dikonsumsi. Dia tidak berdosa berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah bahwa seseorang yang meninggalkan kewajiban karena jahil (tidak tahu hukum) atau karena lupa, dia mendapatkan udzur yang dengannya dia tidak berdosa. Di antara dalil-dalil tersebut adalah firman Allah:

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)

Adapun penyembelihan yang dilakukannya dianggap tidak sah karena membaca tasmiyah merupakan syarat sahnya penyembelihan, berdasarkan:

1. Firman Allah:

“Maka makanlah binatang-binatang sembelihan yang dibacakan nama Allah atasnya (saat menyembelihnya).” (Al-An’am: 118)

2. Firman Allah:

“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah atasnya, karena sesungguhnya hal itu adalah kefasikan.” (Al-An’am: 121)

3. Hadits Rafi’ bin Khadij, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Alat apa saja yang mengalirkan darah (binatang sembelihan) dan dibacakan nama Allah atasnya maka makanlah (sembelihan itu), selama alat itu bukan gigi atau kuku. Adapun gigi, karena gigi adalah tulang. Sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5509 dan Muslim no. 1968)

Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa binatang yang halal untuk dimakan adalah yang disembelih dengan membaca tasmiyah atasnya, dan bahwa binatang yang disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya adalah haram untuk dimakan, dan memakannya adalah kefasikan, tanpa membedakan apakah tidak membaca tasmiyah dengan sengaja atau tidak sengaja.

Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (35/239-240), Al-’Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481, 484-485), dan guru kami Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668). [1]

Berdasarkan hal ini, jika seseorang mengetahui bahwa binatang itu adalah bangkai atau disembelih tanpa membaca tasmiyah atasnya, maka tidak boleh baginya untuk memakan daging tersebut.

Adapun ketidaktahuan kita akan proses penyembelihan yang dilakukan oleh saudara kita sesama muslim, apakah dia membaca tasmiyah atau tidak, apakah daging itu sembelihan atau bangkai, tidak menghalangi kita untuk membeli dan memakannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (35/240): “Namun jika seseorang mendapatkan daging hasil sembelihan orang lain, boleh baginya untuk memakannya dengan menyebut nama Allah atasnya, dengan dasar membawa (menganggap) amalan kaum muslimin kepada amalan yang sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Sebagaimana telah tsabit (tetap) dalam Ash-Shahih [2]:
أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ نَاسًا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ وَلَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَمْ يَذْكُرُوا؟ فَقَالَ: سَمُّوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ
“Bahwasanya suatu kaum berkata (kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam): ‘Wahai Rasul Allah, sesungguhnya orang-orang yang baru masuk Islam datang dengan membawa daging (untuk kami) sedangkan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: ‘Bacalah oleh kalian nama Allah atasnya [3], kemudian makanlah’.”

Beliau juga berkata (35/240): “Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui apakah yang menyembelih menyebut nama Allah atasnya atau tidak, maka boleh baginya untuk memakan daging sembelihan itu. Jika dia yakin (mengetahui) bahwa tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka janganlah dia memakannya.”

Semakna dengan ini penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (7/481-482) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah di atas: “Hal ini karena seseorang dituntut untuk membenarkan amalan yang dilakukannya. Bukan dituntut untuk mengurusi sah tidaknya amalan orang lain. Karena suatu amalan bila dikerjakan oleh ahlinya maka hukum asalnya adalah bahwa amalan itu sah dan selamat dari kesalahan yang membatalkannya. Jadi, kita mengatakan: ‘Janganlah kalian memakan binatang yang tidak dibacakan nama Allah atasnya’, dan jika kita memakan daging yang tidak dibacakan nama Allah atas penyembelihannya dalam keadaan lupa atau tidak tahu akan hal itu, maka kita tidak berdosa, karena Allah berfirman:
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan tanpa sengaja.” (Al-Baqarah: 286)
Namun jika kita mengetahui bahwa sembelihan ini tidak dibacakan nama Allah atasnya, maka tidak boleh bagi kita untuk memakannya.”

Begitu pula fatwa Al-’Allamah Muqbil Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sa’il (hal 668) setelah menyebutkan hadits ‘Aisyah, “Kita mengatakan bahwa maksud hadits ini adalah jika seorang muslim menyembelih binatang dan menghadiahkan dagingnya kepadamu, sedangkan engkau tidak tahu apakah dia membaca tasmiyah atas penyembelihannya atau tidak, maka hukum asal pada diri seorang muslim adalah membaca tasmiyah. Namun jika engkau yakin bahwa dia tidak membaca tasmiyah, maka yang zhahir (nampak) -dalam permasalahan ini- engkau tidak boleh memakannya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan memberi ganti yang lebih baik, wallahul musta’an.”

Demikian pula fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa Al-Lajnah (22/367) setelah menyebutkan hadits Aisyah di atas: “Hadits ini menunjukkan bahwa jika seorang muslim menyembelih binatang maka amalannya dibawa kepada penyembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah, meskipun masuk Islamnya belum lama, dalam rangka berbaik sangka kepadanya. Maka halal bagi seseorang untuk makan daging sembelihannya dan jangan membebani diri untuk menyelidiki proses penyembelihannya, apakah dia menyebut nama Allah atau tidak. Yang disyariatkan baginya hanyalah semata-mata menyebut nama Allah ketika hendak memakannya, dalam rangka melaksanakan syariat yang dibebankan ketika hendak makan. Tanpa mencari tahu tentang penyebutan nama Allah atasnya saat penyembelihan.”

Tersisa satu permasalahan terkait dengan hal ini. Yaitu apabila tersebar informasi bahwa sebagian daging yang dijual di pasar adalah bangkai atau daging yang proses penyembelihannya tidak syar’i dan tidak ada kejelasan/kepastian tentang kebenaran informasi itu sehingga tidak meyakinkan. Namun bagi sebagian orang, informasi itu kuat sehingga menjadi syubhat dan menimbulkan prasangka kuat pada diri mereka bahwa hal itu benar. Maka wajib atas mereka untuk bertanya dan meminta informasi yang jelas dan tepercaya ketika hendak membeli daging agar mendapatkan daging yang benar-benar diyakini halal. Hal ini dalam rangka mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Al-Hakim dan yang lainnya, dari Al-Hasan bin Ali dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` (1/44) dan Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/222)

Yang serupa dengan ini adalah fatwa Al-’Allamah Al-Albani ketika ditanya tentang suatu negeri yang dikenal mengimpor daging-daging sembelihan dari Eropa [4], yang diduga kuat bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i, sedangkan daging-daging itu dijual di pasar bercampur dengan daging-daging sembelihan lokal yang syar’i, tanpa bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Apakah wajib atas seorang muslim untuk menanyakan sumber pengambilan daging yang hendak dibelinya kepada pihak yang tepercaya?
Beliau menjawab: “Selama ada prasangka kuat –sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan– bahwa daging-daging itu tidak disembelih dengan proses penyembelihan yang syar’i, maka wajib atasnya untuk bertanya. Demikian pula, dibangun atasnya hukum tidak memenuhi undangan makan apabila diundang untuk menghadiri jamuan yang menyajikan daging seperti ini. Bahkan tidak boleh menghadirinya. Bertanya yang tidak disyariatkan sehingga tidak disukai –sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian atsar– adalah yang dipicu oleh rasa was-was [5]. Adapun bertanya yang didasari oleh prasangka kuat bahwa daging itu bukan sembelihan yang halal menurut syariat, karena bukan sembelihan kaum muslimin, maka tidak termasuk was-was. Melainkan termasuk dalam bab pengamalan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
[Lihat Al-Hawi min Fatawa Al-Albani (hal. 370-371)]

Al-Lajnah Ad-Da`imah juga dimintai fatwa tentang daging-daging sembelihan yang diimpor oleh negara Arab Saudi dari negara-negara kafir dari jenis Ahli Kitab, karena tersebar isu bahwa proses penyembelihannya tidak syar’i.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan bahwa hukum asal sembelihan kaum muslimin dan ahli kitab (Yahudi dan Nashara) adalah halal, kecuali jika ada alasan yang tsabit (tetap) yang menggesernya dari hukum asal menjadi haram. Sedangkan informasi yang tersiar mengenai status daging-daging sembelihan itu masih tetap saja simpang siur tanpa ada kejelasan yang meyakinkan. Sehingga pihak Kementerian Perdagangan Kerajaan Arab Saudi masih tetap mengingkari dengan keras isu yang tersiar bahwa daging-daging itu adalah hasil penyembelihan yang tidak syar’i.
Kemudian Al-Lajnah Da’imah berkata: “Berdasarkan hal ini, isu yang tersiar itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengubah hukum makanan-makanan impor tersebut dari hukum asalnya, yaitu halal menjadi haram. Adapun daging-daging yang diimpor dari negara-negara komunis dan semacamnya dari kalangan bangsa-bangsa kafir selain kaum muslimin dan ahli kitab, maka hukumnya adalah haram. Karena sembelihan-sembelihan mereka statusnya bangkai.
Meskipun demikian, barangsiapa meragukan kehalalan makanan-makanan impor tersebut hendaklah dia meninggalkannya (tidak mengonsumsinya) dalam rangka berhati-hati dan mengamalkan hadits:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
[Lihat Fatawa Al-Lajnah (22/400-402)]

Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Pendapat yang lain mengatakan apabila lupa membaca tasmiyah maka sembelihannya sah dan halal untuk dimakan -pen.

2 Yaitu Shahih Al-Bukhari no. 2057 dan 5507.

3 Yaitu membaca ‘Bismillah’ -pen.

4 Mayoritas mereka adalah kaum kafir dari kalangan ahli kitab. Apabila proses penyembelihan yang mereka lakukan sesuai dengan syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan mereka halal berdasarkan keumuman firman Allah:
“Dan sembelihan orang-orang yang diberi kitab (Ahli Kitab) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Hukum asal sembelihan mereka adalaha halal seperti halnya sembelihan kaum muslimin. Kecuali jika diketahui bahwa sembelihan mereka tidak memenuhi syarat-syarat syar’i penyembelihan, maka sembelihan itu berstatus bangkai yang haram dikonsumsi. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/397) dan Asy-Syarhul Mumti’ (7/488-490) -pen.

5 Yaitu keraguan dan prasangka lemah yang tidak beralasan -pen.

http://asysyariah.com/hukum-daging-yang-dijual-di-pasar/

Tentang BANYAK MELAKUKAN GERAKAN SIA-SIA DI DALAM SALAT

Asy Syaikh Bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan:
كثير من الناس يكثر من العبث والحركة في الصلاة، فهل هناك حد معين من الحركة يبطل الصلاة؟ وهل لتحديده بثلاث حركات متواليات أصل؟ وبماذا تنصحون من يكثر من العبث في الصلاة؟
Banyak orang yang melakukan gerakan tidak perlu dan sia-sia di dalam shalatnya, maka apakah ada batasan tertentu tentang bergerak yang membatalkan shalat?
Apakah batasan tiga kali gerakan berturut-turut ada dasarnya?
Apa nasehat Anda kepada orang yang sering melakukan gerakan yang sia-sia di dalam shalat?

Asy Syaikh Bin Baaz rahimahullah menjawab:
الواجب على المؤمن والمؤمنة الطمأنينة في الصلاة وترك العبث؛لأن الطمأنينة من أركان الصلاة لما ثبت في الصحيحين عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر الذي لم يطمئن في صلاته أن يعيد الصلاة والمشروع لكل مسلم ومسلمة الخشوع في الصلاة والإقبال عليها وإحضار القلب فيها بين يدي الله سبحانه. لقول الله عز وجل:قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ، ويكره له العبث بثيابه أو لحيته أو غير ذلك، وإذا كثر وتوالى حرم وأبطل الصلاة. وليس لذلك حد محدود فيما نعلمه من الشرع المطهر، والقول بتحديده بثلاثحركات قول ضعيف لا دليل عليه. فإنما المعتمد كونه عبثا كثيرا في اعتقاد المصلي. فإذا اعتقد المصلي أن عبثه كثير وقد توالى فعليه أن يعيد الصلاة إن كانت فريضة. وعليه التوبة من ذلك، ونصيحتي لكل مسلم ومسلمة العناية بالصلاة والخشوع فيها وترك العبث فيها وإن قل لعظم شأن الصلاة وكونها عمود الإسلام وأعظم أركانه بعد الشهادتين وأول ما يحاسب عنه العبد يوم القيامة، وفق الله المسلمين لأدائها على الوجه الذي يرضيه سبحانه
Wajib bagi seorang mukmin dan mukminah untuk tenang dan tidak terburu-buru di dalam mengerjakan shalat, karena hal itu termasuk rukun shalat.
Ini berdasarkan riwayat yang terdapat di dalam Ash Shahihain, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan orang yang tidak tuma’ninah di dalam shalatnya untuk mengulangi shalatnya.
Disyariatkan bagi setiap muslim dan muslimah untuk khusyu’ di dalam shalat, konsentrasi, dan menghadirkan seluruh perhatian dan hatinya di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُون
َ“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (Al Mu’minun:1-2)
Dan dimakruhkan melakukan gerakan sia-sia terhadap pakaiannya, jenggotnya, atau lainnya. Jika sering melakukan hal itu dan berturut-turut, maka sejauh yang kami ketahui, bahwa itu diharamkan menurut syariat, dan itu berarti membatalkan shalat.
Tidak ada batasan tertentu dalam hal ini. Pendapat yang membatasinya dengan tiga kali gerakan adalah pendapat yang lemah karena tidak ada dasarnya. Maka yang dijadikan landasan adalah gerakan sia-sia yang banyak, dalam keyakinan orang yang shalat itu sendiri.
Jika orang yang shalat itu berkeyakinan bahwa gerakannya yang sia-sia banyak dan berturut-turut, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya jika itu shalat fardhu. Di samping itu, hendaknya ia bertaubat dari perbuatan tersebut.
Dan nasehatku untuk setiap muslim dan muslimah, hendaknya mereka memelihara aktivitas shalat disertai kekhusyu’an di dalamnya dan meninggalkan gerakan yang sia-sia dalam pelaksanaannya walaupun sedikit, karena agungnya perkara shalat. Juga karena shalat itu merupakan tiang agama Islam serta rukun Islam terbesar setelah dua kalimat syahadat.
Lagipula, pada hari kiamat nanti, yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Semoga Allah subhanahu menunjuki kaum muslimin kepada jalan yang diridhaiNya.

http://www.binbaz.org.sa/node/902

Penerjemah: Abu Mas'ud

Ahad, 20 Dzulhijjah 1436H
Bertepatan dengan tanggal 4 Oktober 2015

Forum Salafy Surabaya

###

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan

Pertanyaan: 
Apakah boleh seorang wanita muslimah shalat sambil memasang kalung di lehernya atau memakai cincin pada jarinya? Atau dia shalat sementara di hadapannya ada gambar atau cermin? Berikanlah kami fatwa tentang hal ini, barakallahu fikum.

Jawab:
Wajib bagi setiap muslim untuk menjauh dari semua yang menyibukkannya dari amalan shalat dan mengganggu shalatnya. Jadi, tidak sepantasnya dia shalat menghadap cermin, menghadap pintu yang terbuka, atau hal lainnya yang menyibukkan atau mengganggu shalatnya.
Demikian pula gambar (makhluk bernyawa), tidak sepantasnya seseorang shalat di tempat yang ada gambar yang digantung atau dipajang, karena perbuatan tersebut menyerupai orang-orang yang beribadah kepada gambar-gambar. Sisi lainnya, apabila gambar berada di hadapannya tentu akan mengganggu shalatnya dan menyibukkan pandangannya.
Tentang memasang perhiasan saat shalat, ini pun termasuk hal yang menyibukkan orang yang shalat. Tidak sepantasnya dia melakukan pekerjaan yang menyibukkan dari shalatnya. Dia bisa menunda memakai perhiasan atau lainnya sampai selesai dari shalatnya.
Akan tetapi, kalau pun dilakukan dan tidak membutuhkan waktu yang lama serta tidak membutuhkan gerakan yang banyak, shalatnya sah. Gerakan yang ringan yang tidak memengaruhi shalat, seperti meluruskan pakaian dan serban, memakai jam tangan, dan semisalnya. Yang seperti ini tidak apa-apa dilakukan, walaupun sepantasnya seorang muslim berkonsentrasi dalam shalatnya dan tidak melakukan apa pun selain amalan shalatnya.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail 1/351)

Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 100

Tentang IBADAH KURBAN BERBARENGAN DENGAN AKIKAH

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah

Bolehkah aqiqah sekaligus qurban?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Aqiqah TIDAK BISA MENGGANTIKAN Qurban, dan Qurban TIDAK BISA MENGGANTIKAN aqiqah.
Kalau anak yang dilahirkan, hari ketujuhnya bertepatan dengan hari Iedul Adha, maka yang lebih benar adalah dia harus menyembelih untuk qurban dan aqiqah dengan dua kambing, karena masing-masing merupakan ibadah yang dimaksudkan (sebagai ibadah tersendiri)."

Dikutip dari:
Al-Kanzu ats-Tsamin fii Su'alaat Ibni Sunaid li Ibni 'Utsaimin hal. 135

Majmu'ah Manhajul Anbiya

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Al Ustadz Qamar Su'aidy, Lc hafizhahullah

Dari Tanya Jawab Muhadharah Ma’had Daarus Salaf Sukoharjo Solo, Hari Ahad, 26 Dzulqo’dah 1435H | 21 September 2014M

Pertanyaan:
Di antara berkurban dan aqiqoh waktunya bersamaan/berdekatan, dan kemampuan kita hanya bisa melakukan salah satu dari keduanya dari ibadah tersebut. Mana yang harus didahulukan?

Jawab:
Wallahu a’lam, ibadah kurban yang didahulukan, karena aqiqoh waktunya memanjang. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa hari ketujuh adalah sunnah, dan Nabi mengaqiqohi dirinya setelah menjadi Nabi/setelah berumur 40 tahun, dari riwayat yang dishahihkan Syaikh Albani.

Sumber: 
http://forumsalafy.net/tanya-jawab-fikih-qurban-bagian-2/

Pertanyaan:
Saya lahir belum diaqiqahi orang tua, tetapi saya sudah beberapa kali berkurban. Alhamdulillah saya sendiri sudah mempunyai rejeki sendiri. Apakah kewajiban aqiqah jatuh pada diri saya?

Jawab:
Belum, kurban sendiri,  aqiqah sendiri. Jadi nanti aqiqahi diri sendiri

Sumber: 
http://forumsalafy.net/tanya-jawab-fikih-qurban-bagian-5/

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang MUSYAWARAH

PENTINGNYA MUSYAWARAH DALAM MEMBANGUN DAN MENJALANKAN UKHUWAH DAN DAKWAH ILLALLAH

Kata asy-syura adalah ungkapan lain dari kata musyawarah atau masyurah yang dalam bahasa kita juga dikenal dengan musyawarah.

Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah “ahli syura”.

Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan.

Karena bagaimanapun bagusnya seorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal.

Sampai-sampai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya.

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu mengatakan, “Jika Allah  mengatakan kepada Rasul-Nya—padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya, dan paling bagus idenya—, ‘Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan yang selain beliau?” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 154)

Allah Subhanallahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): “Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)

Juga Allah Jalla wa 'Ala memuji kaum mukminin dengan firman-Nya: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rezekikan kepada mereka.” (asy-Syura: 38)

Kedua ayat yang mulia di atas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah.

Ditambah lagi dengan praktik Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam  yang sering melakukannya dengan para sahabatnya, seperti dalam masalah tawanan Perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menanggapi tuduhan orang-orang munafik yang menuduh ‘Aisyah Radiyallahu 'anhu berzina, dan lain-lain. Demikian pula para sahabat beliau radiyallahu anhuma 'ajmain berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)

Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya menyebutkan faedah-faedah musyawarah, di antaranya (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 154):

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak bermusyawarah) dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Dikhawatirkan, orang tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya. Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada tempatnya.

4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela.

Dikutip dengan edit seperlunya dari: Majalah Asy Syariah Edisi 06

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang PAHAM SEKULER

Fadhilatusy Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah

PERTANYAAN:
نسمع في هذا العصر دعوى العلمانية وهي فصل الدين عن الدولة فهل أصحاب هؤلاء مرتدون؟
Kami mendengar di masa ini seruan paham sekuler yaitu paham yang memisahkan agama dari negara, lalu apakah para penganut paham tersebut orang-orang murtad ?

J A W A B A N :
لا شك أن أصحاب المذاهب المعاصرة الإلحادية مرتدون، مثل: العلمانية، والحداثية، والقومية، والشيوعية لأنها مخالفة للإسلام
Tidak diragukan lagi para penganut paham atheis masa kini adalah orang-orang murtad, misalnya: paham sekuler, modern, nasionalis, komunis. Karena paham tersebut bertentangan dengan agama Islam.

Sumber:
Pelajaran dalam Syarhu Nawaqidhil Islam (penjelasan pembatal-pembatal keislaman) hal. 34

Alih Bahasa: Anas Abu Zulfa Semarang hafizhahullah - [ASK 2]

WA Ahlus Sunnah Karawang ll www.ahlussunnahkarawang.com

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang MELETAKKAN SESUATU DI ATAS MUSHAF

Berkata Al-Imam Al-Baihaqi:
لا يحمل على المصحف كتاب آخر ولا ثوب
ولا شيئ إلا أن يكون مصحفان فيوضع أحدهما
فوق الآخر فيجوز
“Tidak diperkenankan meletakkan kitab, pakaian, atau benda apapun di atas Mushaf, kecuali ada 2 mushaf,
salah satunya diletakkan di atas mushaf yang lain maka baru diperbolehkan.”
(Sya'bul Iman jilid 2/hal. 239)

AlHusna Madiun

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html