Apakah Bunga Bank termasuk Riba?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/396-397):
“Riba dengan kedua jenisnya: fadhl dan nasi`ah, adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
Allah Subhanahu wata'ala berfirman pula:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Allah Subhanahu wata'ala berfirman juga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 278-279)
Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulis, dan kedua saksinya. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:
هُمْ سَوَاءٌ
“Mereka semua sama.”
Dengan demikian diketahui bahwa bunga yang diberikan kepada nasabah berupa persentase dari uang pokoknya, baik itu per pekan, bulanan atau tahunan, semuanya termasuk riba haram yang terlarang secara syar’i, baik persentase ini berfluktuatif maupun tidak (suku bunga flat)….”
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh bank?”
Mereka menjawab (13/349): “Faedah (bunga) yang diambil bank dari nasabah dan bunga yang diberikan bank kepada nasabah adalah riba yang telah tetap (pasti) keharamannya berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’.”
Bolehkah Mengambil Bunga Bank?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/354-355):
“Bunga harta yang riba adalah haram. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Wajib atas pihak yang di tangannya ada sesuatu dari bunga tersebut untuk berlepas diri darinya, dengan cara menginfakkannya untuk hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada faqir miskin. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Dan tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk mengambil bunga bank, tidak pula terus-menerus mengambilnya….”
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mempunyai fatwa yang panjang tentang masalah ini. Kita nukilkan di sini karena hal ini sangat penting.
Beliau ditanya: Ada seorang pemuda yang tengah studi di Amerika. Dia terpaksa menyimpan uangnya di bank riba. Konsekuensinya, pihak bank memberinya bunga. Apakah boleh baginya mengambil dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik? Sebab bila tidak diambil akan dimanfaatkan oleh pihak bank.
Beliau menjawab:
Pertama, tidak dibolehkan bagi seseorang untuk menyimpan uangnya di bank-bank tersebut, karena pihak bank otomatis akan mengambil dan memanfaatkan uang itu untuk usaha. Perkara yang telah dimaklumi, kita tidak diperkenankan memberi wewenang kepada pihak kafir atas harta kita, yang mana mereka akan menjadikannya sebagai (modal) usaha. Namun bila kondisinya darurat, khawatir hartanya dicuri atau dirampas, bahkan berisiko hilangnya nyawa demi mempertahankannya, maka tidak mengapa dia menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena darurat.
Namun, bila dia menyimpannya (di bank itu) karena darurat, tidak boleh mengambil apapun sebagai ganti. Haram atasnya untuk mengambil sesuatu (faedah). Bila dia mengambilnya maka itu adalah riba. Bila itu adalah riba, maka Allah Subhanahu wata'ala telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat di atas secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatupun darinya.
Pada hari Arafah, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah di depan massa yang besar dari kalangan kaum muslimin. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ إِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ
“Ketahuilah, bahwa riba jahiliyyah disirnakan.”
Riba yang telah sempurna transaksinya sebelum Islam, telah disirnakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. (Beliau juga bersabda):
وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ مِنْ رِبَانَا رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطلبِ فَإِنَّهُ مَوُضُوعٌ كُلُّهُ
“Dan riba yang pertama kali aku sirnakan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthalib. Semuanya disirnakan.”
Bila anda mengatakan: “Bila uang (bunga) itu tidak diambil, mereka (orang kafir) akan mengambil dan menyalurkan nya ke gereja-gereja serta membiayai perang untuk memusnahkan kaum muslimin.”
Jawabannya: Sesungguhnya bila saya melaksanakan perintah Allah Subhanahu wata'ala dengan meninggalkan riba, maka apa pun yang terjadi dari situ tanpa sepengetahuan saya. Saya (hanya) dituntut dan diperintahkan untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu wata'ala. Bila menimbulkan beberapa mafsadah, maka itu di luar kuasa saya. Saya memiliki perkara yang telah ditentukan dari Allah, yaitu:
اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut). (Al-Baqarah: 278)
Kedua, kami katakan: Apakah bunga yang mereka berikan kepada saya termasuk uang saya?
Jawabannya: Itu bukan uang saya. Sebab boleh jadi mereka mengembangkan uang tersebut dalam sebuah usaha lalu merugi. Maka bisa dipastikan bahwa bunga yang mereka berikan kepada saya bukanlah pengembangan dari uang saya.
Bisa pula mereka meraup keuntungan yang berlipat, namun mungkin pula tidak meraup keuntungan apa pun dari uang saya. Sehingga tidak bisa dikatakan: “Bila saya kuasakan sebagian uang saya kepada mereka maka mereka akan menyalurkannya ke gereja-gereja atau membeli persenjataan untuk memerangi kaum muslimin.”
Ketiga, kita katakan: Mengambil bunga berarti terjatuh kepada apa yang diakui sebagai riba. Orang tersebut akan mengaku di hadapan Allah Subhanahu wata'ala nanti pada hari kiamat bahwa itu adalah riba. Jika (sudah jelas) riba, maka mungkinkah seseorang beralasan bahwa itu untuk kemaslahatan, padahal dia meyakini bahwa itu adalah riba? Jawabnya: Tidak mungkin, sebab tidak ada qiyas bila dihadapkan kepada nash (dalil).
Keempat, apakah dapat dipastikan mereka menyalurkan uang tersebut kepada apa yang anda sebutkan, yaitu untuk kemaslahatan gereja atau untuk perlengkapan perang melawan kaum muslimin? Jawabnya: Tidak dapat dipastikan.
Bila demikian, kalau kita mengambil bunga tersebut, maka kita telah terjatuh pada larangan yang pasti untuk menghindar dari mafsadah yang belum pasti. Akalpun akan menolak hal ini, yakni seseorang melakukan mafsadah yang sudah pasti untuk menyingkirkan mafsadah yang belum pasti, yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak.
Sebab, boleh jadi pihak bank mengambilnya untuk kemaslahatan pribadi. Mungkin pula pihak karyawan bank yang mengambilnya untuk kemaslahatan mereka pribadi. Dan tidak dapat dipastikan bahwa uang tersebut disalurkan ke gereja-gereja atau untuk membiayai perang melawan kaum muslimin.
Kelima, sesungguhnya bila anda mengambil apa yang disebut sebagai ‘bunga’ dengan niat menginfakkan dan mengeluarkannya dari hak milik anda, sebagai upaya untuk lepas darinya, maka sama saja anda melumuri diri anda dengan kotoran untuk diupayakan cara menyucikannya. Ini tidaklah masuk akal.
Justru kita katakan: Jauhilah kotoran tersebut terlebih dahulu sebelum anda terlumuri dengannya. Kemudian setelah itu upayakan cara menyucikannya.
Apakah masuk akal, seseorang berupaya agar pakaiannya terkena kencing dengan maksud membersihkannya bila telah terkena? Ini tidak masuk akal, selamanya, sepanjang anda meyakini bahwa bunga itu adalah riba, kemudian anda berupaya mengambil, mensedekahkan, dan berupaya melepaskan diri darinya.
Justru kita katakan: Jangan anda ambil bunga tersebut sama sekali dan bersihkan diri anda darinya!
Keenam, kita katakan: Jika seseorang mengambilnya dengan niat tersebut, apakah dia merasa yakin dapat mengalahkan hasrat jiwanya, berlepas diri darinya dengan menyalurkannya untuk sedekah dan kemaslahatan umum?
Sekali-kali tidak. Boleh jadi pada awalnya dia mengambil dengan niat tersebut, namun hatinya mengingatkan dan membisiki agar pikir-pikir dulu. Apalagi bila dia mendapati nominalnya ternyata sangat besar, 1 juta atau 100 ribu real, misalnya.
Maka awalnya dia punya azam (keinginan kuat), lalu menjadi berpikir-pikir, setelah itu pindahlah ke kantong pribadi.
Seseorang tidak boleh merasa aman dari bisikan dirinya. Terkadang dia ambil dengan niat tersebut, namun azam-nya luntur tatkala melihat nominal uang yang sangat banyak. Dia pun berubah menjadi kikir dan akhirnya tidak mampu mengeluarkannya (sebagai sedekah).
Pernah diceritakan kepada saya, ada seseorang yang terkenal bakhil. Suatu hari dia naik ke loteng rumahnya dan meletakkan jarinya di telinganya seraya berteriak memanggil para tetangganya: “Selamatkan saya! Selamatkan saya!” Tetangganya pun tersentak kaget. Mereka berdatangan dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu Fulan?” Diapun berkata: “Saya tadi telah memisahkan harta saya untuk saya keluarkan zakatnya. Namun saya dapati uang zakat tersebut sangat banyak. Hati kecil saya berkata: ‘Bila orang lain yang mengambilnya, maka hartamu akan berkurang.’ Maka tolonglah saya darinya.”
Ketujuh, sesungguhnya mengambil riba adalah tindakan tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang dicela Allah Subhanahu wata'ala dalam firman-Nya:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa`: 160-161)
Kedelapan, mengambil riba tersebut mengandung kemudaratan dan celaan terhadap kaum muslimin. Sebab ulama Yahudi dan Nasrani tahu bahwa Islam mengharamkan riba. Bila seorang muslim mengambilnya, mereka akan berkata: “Lihatlah kaum muslimin! Kitab suci mereka mengharamkan riba, namun mereka tetap mengambilnya dari kita.”
Tidak syak lagi, ini adalah titik lemah kaum muslimin. Bila musuh-musuh mengetahui bahwa kaum muslimin menyelisihi agamanya, maka mereka mengetahui dengan yakin bahwa ini adalah titik kelemahan. Karena kemaksiatan tidak hanya berdampak kepada pelakunya, tetapi juga kepada Islam secara keseluruhan.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 25)
Perhatikanlah! Para shahabat Radhiyallahu 'anhum adalah hizbullah dan pasukan-Nya, dan mereka bersama dengan sebaik-baik manusia, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, pada perang Uhud. Ada satu kemaksiatan yang terjadi pada mereka, lalu apa yang terjadi? Kekalahan setelah kemenangan. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ
“Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (Ali ‘Imran: 152)
Kemaksiatan memiliki pengaruh besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin, penguasaan musuh terhadap mereka, dan kekalahan di hadapan musuh-musuh mereka. Bila sebuah kemenangan yang ada di depan mata dapat hilang karena sebuah kemaksiatan, bagaimana kiranya dengan sebuah kemenangan yang belum terwujud?
Musuh-musuh Islam sangat bergembira bila kaum muslimin mengambil riba, walaupun di sisi lain mereka tidak menyukainya. Namun mereka bergembira, sebab kaum muslimin terjatuh dalam kemaksiatan, sehingga akan terkalahkan.
Maka, satu dari delapan mafsadah yang dapat saya singgung di sini sudah cukup untuk melarang mengambil bunga bank. Dan saya kira, bila seseorang mencermati dan mengamati masalah ini dengan seksama, dia akan mendapati bahwa pendapat yang benar adalah tidak boleh mengambilnya.
Inilah pendapat dan fatwa saya. Bila benar maka datangnya dari Allah Subhanahu wata'ala yang telah menganugerahkannya dan segala puji untuk-Nya. Namun bila salah maka itu dari pribadi saya. Tetapi saya mengharap bahwa pendapat tersebut benar, berdasarkan dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan hikmah-hikmah yang telah saya uraikan.” (Fatawa Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, 2/709-713, dinukil dari Fatawa Buyu’ hal. 120-124)
Beliau juga mempunyai fatwa senada dalam Liqa`at Babil Maftuh (2/138-141) pada liqa` yang ke-27. Wallahul muwaffiq.
Bolehkah membayar bunga yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepada kita?
Misalnya, meminjam uang di bank dengan bunga 5% per bulan, lalu dibayar dengan bunga dari uang yang disimpan di bank.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab kasus di atas (13/360-361):
“Engkau menyimpan uang di bank dengan mengambil bunganya adalah haram. Dan engkau meminjam uang di bank dengan bunga juga haram. Maka tidak diperbolehkan bagimu untuk membayar bunga pinjaman yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepadamu karena tabunganmu.
Tetapi, yang wajib bagimu adalah berlepas diri dari bunga yang telah engkau terima dengan menginfakkannya dalam perkara-perkara kebaikan, untuk fakir miskin, memperbaiki fasilitas umum dan semisalnya. Dan engkau wajib bertaubat dan beristighfar serta menjauhi muamalah riba, karena hal itu termasuk dosa besar.”
Bolehkah mengambil bunga bank untuk membayar pajak?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/367):
“Tidak diperbolehkan bagimu menyimpan uang di bank dengan faedah (bunga), untuk membayar pajak yang dibebankan kepadamu dari bunga tersebut, berdasarkan keumuman dalil tentang haramnya riba.”
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Sumber: Asy Syariah Edisi 029
###
BAGAIMANA MEMANFAATKAN BUNGA BANK
Soal:
Seseorang memiliki bunga (bank) dalam jumlah yang besar –semoga Allah menyucikan kita dan melindungi muslimin darinya–. Apakah boleh dia menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan yang baik, seperti membangun perguruan tinggi syariah atau madrasah tahfidzul Qur’an secara khusus, dan kegiatan-kegiatan baik lainnya secara umum? Dan apakah membangun masjid dengannya haram atau makruh, atau hanya kurang baik? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah menambahkan ilmu kepada Anda sekalian.
Jawab:
Bunga riba termasuk harta yang haram. Allah berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Seseorang yang memiliki sesuatu dari harta tersebut hendaknya berusaha membersihkan diri darinya, dengan menginfakkannya pada hal yang bermanfaat bagi muslimin. Di antaranya membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada orang-orang fakir. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Tidak halal pula bagi seseorang untuk senantiasa mengambil atau memanfaatkan bunga.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Bakr Abu Zaid
(Fatawa Al-Lajnah, 13/354, fatwa no. 16576)
Soal:
Apakah boleh seseorang meminta bunga dari uang seseorang yang telah meninggal –yang dahulu ditabungkan– ketika uang itu hendak diambil? Kalau tidak boleh, apakah bunga bank tersebut dibiarkan diambil oleh bank tersebut, baik untuk kepentingan bank atau selainnya?
Jawab:
Bila seorang muslim wafat dan meninggalkan harta di sebagian bank ribawi di mana ada bunganya, ahli waris atau para walinya yang lain tidak boleh mengambil bunga tersebut untuk kepentingan mereka, karena Allah mengharamkan riba. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga melaknat orang-orang yang memakannya, menulisnya, dan menjadi saksinya.
Namun jangan biarkan bunga itu ada di bank tersebut, bahkan ambil dan salurkanlah secepatnya pada kegiatan-kegiatan kebaikan. Seperti menyantuni orang fakir, melunasi utang orang yang kesulitan membayarnya, dan sejenisnya. Bagi orang yang berwenang terhadap pokok harta tersebut, hendaknya mengambilnya dari bank. Karena keberadaannya di bank adalah salah satu bentuk saling membantu dalam dosa dan permusuhan. Kecuali bila terpaksa untuk tetap menyimpannya di sana, maka tidak mengapa namun tanpa bunga, seperti jawaban pertanyaan pertama yang telah lalu.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad, wa alihi wshahbihi wasallam.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakil: Abdurrazzaq Afifi, anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud
Dalam permasalahan seseorang yang menyimpan uang di bank dan ia mengetahui haramnya riba, apakah ia harus mengambil uangnya saja atau beserta ribanya, terdapat perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan dalam kaset Silsilatul Huda wa Nur (no. 231), bahwa ada yang berpendapat riba tersebut tidak diambil secara mutlak, adapula yang berpendapat boleh diambil dan diberikan kepada fuqara. Ada lagi yang berpendapat riba tersebut boleh diambil tapi jangan dimanfaatkan olehnya secara pribadi. Namun riba tersebut hendaknya diberikan untuk pembuatan fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersama seperti jalan atau saluran air, dan yang sejenisnya.
Sumber: Asy Syariah Edisi 053
###
Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin Hadiy Al-Madkholiy -حفظه الله-
PERTANYAAN:
هذا سائل يقول: إخوة ميراثهم مال وضعه أبوهم في البنك يعني لبعد وفاته وصلهم المال لكن بالأرباح الربوية فماذا عليهم
Di sini ada seorang penanya yang bertanya: ikhwah mendapatkan warisan berupa uang, yang ditaruh oleh ayahnya di Bank -yakni- setelah wafatnya, dan sampailah kepada mereka uang tersebut akan tetapi uang itu sudah disertai dengan keuntungan riba (bunga) bank, maka apa yang harus mereka lakukan?
JAWABAN:
هذا الميراث الذي وضعه أبوهم في البنك ووصل إليهم لا يأخذون الربا عليهم أن يأخذوا ما أودعه الوالد من المال الصحيح هذاأولا
وثانيا:إن خشوا من البنك يستعين بهذه الأموال -وخصوصا لا أدري قد يكون هذا في بلاد غير الإسلام- أن يستفيد من العوائد الربوية هذه إذا بقيت عنده فلتأخذوها أنتم أيها المسلمون لكن لا تدخلوها في الإرث أنفقوها في مصالح المسلمين العامة يعني منبناء مدارس أو بناء أربطة للضعفاء أو القناطر أو دورات مياه وجدتم مثلا مدارس تحتاج للمسلمين دورات مياه يبنى بها ونحو ذلك تنفق في مصالح المسلمين تعبيد أرصفتهم ونحو ذلك ولا تترك للبنوك تستعين بها على الباطل
(Masalah) warisan yang disimpan ayah mereka di Bank dan sampai kepadanya, (maka) jangan mereka ambil riba (bunganya), wajib bagi mereka mengambil apa yang dititipkan oleh ayah mereka dari uang yang bersih saja (uang pokoknya), ini yang pertama.
Dan yang kedua: Jika mereka khawatir pihak Bank akan mengambil uang riba tersebut --khususnya, saya tidak tahu mungkin ini hanya terjadi di negeri-negeri non Islam-- yaitu pihak bank memanfaatkan hasil riba ini (untuk kebathilan) apabila kamu menyisakan bunganya di Bank, maka kalian ambillah wahai kaum muslimin bunga bank tersebut.
Tapi jangan kalian gabungkan hasil riba itu ke dalam warisan, akan tetapi berikanlah hasil riba/bunga bank itu untuk kemashlahatan kaum muslimin secara umum, yakni untuk pembangunan sekolah, atau pembangunan tempat persatuan orang-orang yang lemah, pembangunan jembatan, atau pembuatan kamar mandi / WC umum --misalkan kalian temukan madrasah-madrasah milik kaum muslimin yang membutuhkan kamar mandi/ WC untuk dibangun di dalamnya-- dan sebagainya.
Berikanlah uang riba (bunga bank) tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin, pengaspalan jalan-jalan dsb, jangan kamu tinggalkan uang tersebut untuk bank-bank yang akan memanfaatkan dari uang riba tersebut di atas kebathilan.
Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/10829
Alih Bahasa:
Abu Kuraib bin Ahmad Bandung حفظه الله - [FBF 1]
WA Forum Berbagi Faidah [FBF]
###
FATWA LAJNAH DAIMAH
Pertanyaan:
Apa hukum mengembangkan uang di bank, karena sudah maklum kalau bank-bank ini memberikan bunga bagi tabungan di dalamnya?
Jawaban:
Dan sudah maklum disisi para ulama yang ahli syariat Islam, bahwasanya mengembangkan uang di dalam bank-bank dengan bunga-bunga ribawi hukumnya haram secara syariat, tergolong dosa besar dari dosa-dosa besar, memerangi Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Sebagaimana Allah berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ الله الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى الله وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah)
Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.
Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah 278-279)
Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : “Sesungguhnya beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan riba, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau berkata: Mereka sumuanya sama.” (HR. Muslim dalam shahihnya)
Dan Imam Al-Bukhary meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Juhaifah radhiyallahu anhu bahwasanya Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba dan melaknat tukang gambar.”
Dan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Kami bertanya: Apa itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Menyekutukan Allah, berbuat sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haknya, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan jihad, menuduh berzina wanita yang baik-baik yang tidak terbetik dalam hatinya zina.”
Dan ayat-ayat dan hadits-hadits dengan makna seperti ini, yaitu tentang haramnya riba dan peringatan darinya, itu sangat banyak. Maka wajib atas setiap muslim untuk meninggalkanya, berhati-hati darinya dan saling berwasiat untuk andil didalam melarangnya. Dan wajib bagi penguasa kaum muslimin untuk mencegah para pengelola bank-bank ribawi dari praktek riba di negeri mereka. Dan mengharuskan mereka berhukum dengan syariat yang suci, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan takut akan siksaanNya. Allah berfirman:
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُون
Artinya : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”(QS. Al-Maidah. 57-58)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (QS. at-Taubah 80)
Dan Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Manusia itu jika melihat kemungkaran tapi mereka tidak mau merubahnya, maka niscaya Allah akan meratakan siksaan-Nya.”
Dan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang wajibnya amar makruf nahi mungkar itu banyak dan sudah diketahui. Maka kita memohon taufiq kepada Allah untuk kaum muslimin, baik pemerintahnya, maupun rakyatnya, ulamanya ataupun masyarakat umum agar mereka bisa berpegang dengan syariat-Nya dan agar mereka istiqomah di atasnya dan berhati-hati terhadap segala apa yang menyelisihinya, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik tempat meminta.
Alih bahasa : Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary
http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaDetails.aspx?languagename=ar&lang=ar&IndexItemID=25775&SecItemHitID=28713&ind=21&Type=Index&View=Page&PageID=2249&PageNo=1&BookID=2&Title=DisplayIndexAlpha.aspx#%d8%a7%d8%b3%d8%aa%d8%ab%d9%85%d8%a7%d8%b1%d8%a7%d9%84%d8%a3%d9%85%d9%88%d8%a7%d9%84%d9%81%d9%8a%d8%a7%d9%84%d8%a8%d9%86%d9%88%d9%83