Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَ نَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
“Kita diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang dan kita tidak boleh menahan pakaian dan rambut (ketika sedang mengerjakan shalat).” (HR. Al-Bukhari no. 810, 815, 816 dan Muslim no. 1095 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma)
Dalam lafadz yang lain disebutkan:
وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
“Dan kami tidak boleh menggabungkan/mengumpulkan pakaian dan rambut.” (HR. Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)
Makna لاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ disebutkan dalam An-Nihayah adalah menggabungkan dan mengumpulkannya agar tidak tersebar.
Yang diinginkan di sini adalah mengumpulkan pakaian dengan kedua tangan ketika ruku’ dan sujud.
Ia menarik bajunya hingga terangkat atau melipatnya hingga terangkat. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)
Menahan baju contohnya seperti seseorang mengambil ujung pakaiannya, lalu ia masukkan ke dalam ikat pinggang atau tali celananya. Sedangkan menahan rambut contohnya seseorang mengambil bagian yang terurai dari rambutnya lalu dipilinnya untuk digabungkan dengan rambut di atas kepala atau ia mengikatnya dengan benang, karet, atau yang semisalnya. (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah, 1/256)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan:
“Secara dzahir larangan ini berlaku di waktu seseorang hendak shalat.
Demikian pendapat yang dicondongi oleh Ad-Dawudi. Dalam bab yang nanti akan dijelaskan, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memberi judul hadits ini dengan, “Bab La Yakuffu Tsaubahu fis Shalah”, artinya “Tidak boleh seseorang menahan pakaiannya di dalam shalat.” Judul yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ini memperkuat pendapat tersebut (larangan hanya khusus bila dikerjakan karena ingin shalat). Namun ulama lain, ‘Iyadh rahimahullah menolak pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat seperti itu menyelisihi apa yang dipegangi oleh jumhur ulama, karena mereka membenci hal itu dilakukan oleh orang yang shalat, baik ia melakukannya dalam shalat atau sebelum masuk dalam pekerjaan shalatnya. Namun mereka sepakat, kalaupun seseorang melakukannya tidaklah merusak shalatnya. Akan tetapi, Ibnul Mundzir rahimahullah menghikayatkan dari Al-Hasan rahimahullah, bahwa siapa yang melakukannya wajib mengulangi shalatnya. Di antara hikmah pelarangan tersebut adalah bila seseorang mengangkat pakaian dan rambutnya karena tidak ingin bersentuhan dengan tanah, ia menyerupai orang yang sombong.”
(Fathul Bari, 2/383)
Ulama mengatakan, “Tidak ada perbedaan antara ia melakukannya tatkala hendak shalat karena shalat tersebut, atau ia melakukannya sebelum mengerjakan shalat. Misalnya ia sedang bekerja, ia menarik/menggulung/melipat lengan bajunya atau bagian bawah celananya, kemudian ketika hendak shalat ia membiarkan lengan bajunya tetap tergulung/terlipat, maka kita katakan kepadanya, “Lepaskan lipatan/gulungan lengan bajumu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/461)
Hikmah yang lain, kata ulama, adalah karena semestinya rambut ikut sujud ketika orang yang shalat itu sujud, sehingga harus dibiarkan terurai, jangan ditahan jatuhnya ke tanah. Karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memisalkan orang yang menahan rambutnya seperti orang yang shalat dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang pundaknya. (Al-Minhaj, 4/432)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma disebutkan (bahwa) ia pernah melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambutnya dijalin dari belakang kepalanya (rambutnya dipilin kemudian ujung-ujung rambut disatukan dengan pangkalnya). Maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bangkit dan mulai melepaskan jalinan tersebut. Ketika Abdullah selesai dari shalatnya, ia menghadap ke Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma seraya berkata, ‘Apa yang anda lakukan dengan rambutku?’ Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
“Hanyalah permisalan orang yang dipilin/diikat rambutnya itu seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya di belakang pundaknya.” (HR. Muslim no. 1101)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan:
“Ulama sepakat tentang dilarangnya seseorang shalat dalam keadaan pakaiannya disingsingkan/diangkat, lengan bajunya disingsingkan atau semisalnya, rambutnya dipilin, atau rambutnya dimasukkan di bawah sorban (rambut bagian bawah yang semestinya tidak tertutupi oleh sorban tapi dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sorban karena tidak ingin rambutnya terkena tanah ketika sujud), atau selainnya. Semua ini terlarang dengan kesepakatan ulama, dan hukumnya karahah tanzih (makruh, tidak sampai haram). Bila seseorang shalat dalam keadaan demikian, maka sungguh ia telah berbuat jelek dalam shalatnya, namun shalatnya tetap sah.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari rahimahullah berargumen tentang hal ini dengan kesepakatan ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah menghikayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang keharusan mengulang shalat bila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Kemudian jumhur berpendapat larangan tersebut berlaku mutlak bagi orang yang shalat, baik ia sengaja melakukannya karena hendak mengerjakan shalat (ia sengaja menyingsingkan baju atau lengan bajunya misalnya karena khawatir ketika sujud bajunya akan terkena kotoran) ataupun keadaannya memang demikian sebelum ia mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj, 4/430, 431, 432)
Ibnul Atsir rahimahullah berkata dalam An-Nihayah:
“Makna hadits ini adalah bila seseorang membiarkan rambutnya terurai, niscaya rambut itu akan jatuh ke bumi/tanah ketika ia sujud, maka ia akan diberi pahala sujud dengan rambutnya tersebut. Namun bila rambut itu dipilin, jadilah maknanya rambut itu dibiarkan tidak ikut sujud dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakannya dengan orang yang sujud dalam keadaan terikat kedua lengannya karena kedua lengan tersebut tidak menyentuh tanah di saat sujud.”
Alasan dilarangnya perbuatan tersebut juga ditunjukkan dalam hadits Abu Rafi’ radhiallahu anhu, maula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Abu Rafi’ pernah melewati Al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu anhuma yang sedang shalat dalam keadaan jalinan rambutnya ditekuk ke tengkuknya, maka Abu Rafi’ radhiallahu anhu melepaskannya (mengurainya). Al- Hasan radhiallahu anhuma pun menoleh kepadanya dengan marah. Abu Rafi’ radhiallahu anhu berkata, “Menghadaplah ke shalatmu dan jangan marah karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ
“Pilinan rambut itu adalah tempat duduknya setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan At-Tirmidzi no. 384, dihasankan Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata:
“Perkara ini diamalkan di sisi ahlul ilmi, yaitu mereka membenci seorang lelaki shalat dalam keadaan rambut kepalanya dipilin.” (Sunan At-Tirmidzi, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Kaffisy Sya’ra fish Shalah)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan sebagaimana dinukil Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Kami meriwayatkan kemakruhan hal tersebut dari Umar, Ali, Hudzaifah, dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhum.” (2/746)
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Tidak halal seorang yang shalat menggabungkan pakaiannya atau mengumpulkan rambutnya dengan tujuan karena hendak shalat berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (Al- Muhalla 2/318)
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tampaknya hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi wanita (yakni wanita tidak terlarang shalat dalam keadaan rambutnya dipilin), sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dari Al-’Iraqi rahimahullah.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu alaihi wasallam, 2/743)
Al-’Iraqi rahimahullah berkata:
“Hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya. Dan juga, akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat. Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri telah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib, padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat mandi tersebut.” (Nailul Authar 2/440)
Dalam hal ini kita jumpai dan saksikan, banyak kaum muslimin yang jatuh dalam perbuatan yang dilarang ini. Mereka biasa menggulung (melinting) lengan bajunya saat hendak berwudhu dan ketika hendak shalat lengan baju tersebut tidak diturunkan kembali, namun dibiarkan tetap tergulung. Semua itu mereka lakukan karena ketidaktahuan mereka tentang hukum agamanya. Wallahul musta’an.
Sumber: Asy Syariah Edisi 037