Cari Blog Ini

Minggu, 16 November 2014

Tentang MENGIKAT RAMBUT, MENGGULUNG LENGAN BAJU ATAU BAGIAN BAWAH CELANA, DAN MEMASUKKAN BAJU KE DALAM CELANA ATAU SARUNG KETIKA SHALAT

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظَمٍ وَلاَ نَكُفَّ ثَوْبًا وَلاَ شَعْرًا
“Kita diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang dan kita tidak boleh menahan pakaian dan rambut (ketika sedang mengerjakan shalat).” (HR. Al-Bukhari no. 810, 815, 816 dan Muslim no. 1095 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma)
Dalam lafadz yang lain disebutkan:
وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ
“Dan kami tidak boleh menggabungkan/mengumpulkan pakaian dan rambut.” (HR. Al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)

Makna لاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعْرَ  disebutkan dalam An-Nihayah adalah menggabungkan dan mengumpulkannya agar tidak tersebar.
Yang diinginkan di sini adalah mengumpulkan pakaian dengan kedua tangan ketika ruku’ dan sujud.

Ia menarik bajunya hingga terangkat atau melipatnya hingga terangkat. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/460)

Menahan baju contohnya seperti seseorang mengambil ujung pakaiannya, lalu ia masukkan ke dalam ikat pinggang atau tali celananya. Sedangkan menahan rambut contohnya seseorang mengambil bagian yang terurai dari rambutnya lalu dipilinnya untuk digabungkan dengan rambut di atas kepala atau ia mengikatnya dengan benang, karet, atau yang semisalnya. (At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah, 1/256)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah mengatakan:
“Secara dzahir larangan ini berlaku di waktu seseorang hendak shalat.
Demikian pendapat yang dicondongi oleh Ad-Dawudi. Dalam bab yang nanti akan dijelaskan, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah memberi judul hadits ini dengan, “Bab La Yakuffu Tsaubahu fis Shalah”, artinya “Tidak boleh seseorang menahan pakaiannya di dalam shalat.” Judul yang diberikan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah ini memperkuat pendapat tersebut (larangan hanya khusus bila dikerjakan karena ingin shalat). Namun ulama lain, ‘Iyadh rahimahullah menolak pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat seperti itu menyelisihi apa yang dipegangi oleh jumhur ulama, karena mereka membenci hal itu dilakukan oleh orang yang shalat, baik ia melakukannya dalam shalat atau sebelum masuk dalam pekerjaan shalatnya. Namun mereka sepakat, kalaupun seseorang melakukannya tidaklah merusak shalatnya. Akan tetapi, Ibnul Mundzir rahimahullah menghikayatkan dari Al-Hasan rahimahullah, bahwa siapa yang melakukannya wajib mengulangi shalatnya. Di antara hikmah pelarangan tersebut adalah bila seseorang mengangkat pakaian dan rambutnya karena tidak ingin bersentuhan dengan tanah, ia menyerupai orang yang sombong.”
(Fathul Bari, 2/383)

Ulama mengatakan, “Tidak ada perbedaan antara ia melakukannya tatkala hendak shalat karena shalat tersebut, atau ia melakukannya sebelum mengerjakan shalat. Misalnya ia sedang bekerja, ia menarik/menggulung/melipat lengan bajunya atau bagian bawah celananya, kemudian ketika hendak shalat ia membiarkan lengan bajunya tetap tergulung/terlipat, maka kita katakan kepadanya, “Lepaskan lipatan/gulungan lengan bajumu.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/461)

Hikmah yang lain, kata ulama, adalah karena semestinya rambut ikut sujud ketika orang yang shalat itu sujud, sehingga harus dibiarkan terurai, jangan ditahan jatuhnya ke tanah. Karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memisalkan orang yang menahan rambutnya seperti orang yang shalat dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang pundaknya. (Al-Minhaj, 4/432)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma disebutkan (bahwa) ia pernah melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambutnya dijalin dari belakang kepalanya (rambutnya dipilin kemudian ujung-ujung rambut disatukan dengan pangkalnya). Maka Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bangkit dan mulai melepaskan jalinan tersebut. Ketika Abdullah selesai dari shalatnya, ia menghadap ke Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma seraya berkata, ‘Apa yang anda lakukan dengan rambutku?’ Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ
“Hanyalah permisalan orang yang dipilin/diikat rambutnya itu seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya di belakang pundaknya.” (HR. Muslim no. 1101)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga mengatakan:
“Ulama sepakat tentang dilarangnya seseorang shalat dalam keadaan pakaiannya disingsingkan/diangkat, lengan bajunya disingsingkan atau semisalnya, rambutnya dipilin, atau rambutnya dimasukkan di bawah sorban (rambut bagian bawah yang semestinya tidak tertutupi oleh sorban tapi dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sorban karena tidak ingin rambutnya terkena tanah ketika sujud), atau selainnya. Semua ini terlarang dengan kesepakatan ulama, dan hukumnya karahah tanzih (makruh, tidak sampai haram). Bila seseorang shalat dalam keadaan demikian, maka sungguh ia telah berbuat jelek dalam shalatnya, namun shalatnya tetap sah.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari rahimahullah berargumen tentang hal ini dengan kesepakatan ulama. Ibnul Mundzir rahimahullah menghikayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah tentang keharusan mengulang shalat bila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Kemudian jumhur berpendapat larangan tersebut berlaku mutlak bagi orang yang shalat, baik ia sengaja melakukannya karena hendak mengerjakan shalat (ia sengaja menyingsingkan baju atau lengan bajunya misalnya karena khawatir ketika sujud bajunya akan terkena kotoran) ataupun keadaannya memang demikian sebelum ia mengerjakan shalat.” (Al-Minhaj, 4/430, 431, 432)

Ibnul Atsir rahimahullah berkata dalam An-Nihayah:
“Makna hadits ini adalah bila seseorang membiarkan rambutnya terurai, niscaya rambut itu akan jatuh ke bumi/tanah ketika ia sujud, maka ia akan diberi pahala sujud dengan rambutnya tersebut. Namun bila rambut itu dipilin, jadilah maknanya rambut itu dibiarkan tidak ikut sujud dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakannya dengan orang yang sujud dalam keadaan terikat kedua lengannya karena kedua lengan tersebut tidak menyentuh tanah di saat sujud.”

Alasan dilarangnya perbuatan tersebut juga ditunjukkan dalam hadits Abu Rafi’ radhiallahu anhu, maula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Abu Rafi’ pernah melewati Al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu anhuma yang sedang shalat dalam keadaan jalinan rambutnya ditekuk ke tengkuknya, maka Abu Rafi’ radhiallahu anhu melepaskannya (mengurainya). Al- Hasan radhiallahu anhuma pun menoleh kepadanya dengan marah. Abu Rafi’ radhiallahu anhu berkata, “Menghadaplah ke shalatmu dan jangan marah karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ
“Pilinan rambut itu adalah tempat duduknya setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan At-Tirmidzi no. 384, dihasankan Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata:
“Perkara ini diamalkan di sisi ahlul ilmi, yaitu mereka membenci seorang lelaki shalat dalam keadaan rambut kepalanya dipilin.” (Sunan At-Tirmidzi, bab Ma Ja`a fi Karahiyati Kaffisy Sya’ra fish Shalah)

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan sebagaimana dinukil Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Kami meriwayatkan kemakruhan hal tersebut dari Umar, Ali, Hudzaifah, dan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhum.” (2/746)

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Tidak halal seorang yang shalat menggabungkan pakaiannya atau mengumpulkan rambutnya dengan tujuan karena hendak shalat berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.” (Al- Muhalla 2/318)

Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah berkata:
“Tampaknya hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak berlaku bagi wanita (yakni wanita tidak terlarang shalat dalam keadaan rambutnya dipilin), sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaukani rahimahullah dari Al-’Iraqi rahimahullah.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu alaihi wasallam, 2/743)

Al-’Iraqi rahimahullah berkata:
“Hukum ini khusus bagi laki-laki, tidak bagi wanita. Karena rambut mereka (para wanita) adalah aurat, wajib ditutup di dalam shalat. Bila ia melepaskan ikatan rambutnya bisa jadi rambutnya tergerai dan sulit untuk menutupinya hingga membatalkan shalatnya. Dan juga, akan menyulitkannya bila harus melepaskan rambutnya tatkala hendak shalat. Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri telah memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk tidak melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi wajib, padahal (hal ini) sangat perlu untuk membasahi seluruh rambut mereka di saat mandi tersebut.” (Nailul Authar 2/440)

Dalam hal ini kita jumpai dan saksikan, banyak kaum muslimin yang jatuh dalam perbuatan yang dilarang ini. Mereka biasa menggulung (melinting) lengan bajunya saat hendak berwudhu dan ketika hendak shalat lengan baju tersebut tidak diturunkan kembali, namun dibiarkan tetap tergulung. Semua itu mereka lakukan karena ketidaktahuan mereka tentang hukum agamanya. Wallahul musta’an.

Sumber: Asy Syariah Edisi 037

Tentang MEMAKAI CELANA PANTALON

Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah berkata:
“Pada pakaian/celana pantalon ada dua musibah:
Musibah pertama:
Orang yang memakai pakaian/celana ini telah menyerupai orang kafir, karena kaum muslimin dulunya memakai sirwal yang lapang dan longgar, di mana celana sirwal ini masih terus dipakai di Suriah dan Lebanon. Kaum muslimin tidak mengenal celana pantalon kecuali setelah mereka dijajah oleh orang-orang kafir. Kemudian ketika para penjajah ini telah pergi, mereka meninggalkan pengaruhnya yang buruk, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin karena kebodohan mereka.
Musibah kedua:
Celana pantalon ini bila dikenakan akan membentuk aurat, sementara aurat laki-laki antara lutut dan pusar. Orang yang sedang shalat wajib baginya untuk menjauhi perbuatan maksiat kepada Allah, karena ia hendak bersujud kepada-Nya. Lalu bagaimana jadinya bila ia sujud dalam keadaan kedua belah pantatnya membentuk di balik pantalonnya. Bahkan engkau lihat kemaluannya juga membentuk. Bagaimana orang yang seperti ini shalat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin.
Yang aneh, kebanyakan pemuda muslim mengingkari pakaian ketat yang dikenakan wanita karena memperlihatkan bentuk tubuh mereka, namun melupakan dirinya sendiri. Karena ia justru terjatuh dalam perbuatan yang ia ingkari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk tubuhnya dengan pria yang mengenakan pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat laki-laki dan perempuan sama-sama aurat.” (Dinukil dari ta’liq kitab Al-Qaulul Mubin fi Aktha`il Mushallin, hal. 22-23)

Adapun bila pantalon itu lebar, tidak ketat, dan tidak tipis sehingga menerawang auratnya terhadap orang yang di belakangnya maka sah shalat dengan memakainya. Dan yang afdhal bila di atas pantalon itu dipakai gamis/jubah (baju panjang) yang menutupi antara pusar sampai lutut dan panjangnya sampai setengah betis atau sampai di atas mata kaki, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menutup aurat. Namun apabila menerawang karena tipisnya sehingga menampakkan auratnya terhadap orang yang di belakangnya, maka batal shalatnya. Dan apabila hanya membentuk kemaluannya saja, maka dibenci shalatnya, terkecuali bila dia tidak mendapatkan pakaian yang lainnya. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Ibnu Baz 10/414 dan jawaban Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` nomor 2003)

Sumber: Asy Syariah Edisi 037

###

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah

Pertanyaan: 
ماحكم لبس البنطال للمرأة في البيت مع زوجها أو عند النساء ؟
Apa hukum memakai bantalon bagi kaum wanita ketika di rumah bersama sang suami atau ketika bersama kaum wanita lainnya?

Jawaban:
الذي يظهر أن البنطال تشبه بأعداء الإسلام، والرسول صلى الله عليه وعلى آله و سلم يقول: من تشبه بقوم فهو منهم
Yang tampak bahwa bantalon itu tasyabuh terhadap musuh-musuh Islam. Sedangkan Rasul shallallahu ‘alaihi was salam bersabda:
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barang siapa menyerupai (tasyabuh) suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”

Dari kaset: Jalsah bil Harazat

Sumber:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=1943

Alih bahasa : Syabab Forum Salafy

http://forumsalafy.net/hukum-memakai-bantolun-bagi-wanita-ketika-bersama-wanita-lain/

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang MENINGGALKAN PERDEBATAN DAN BERBANTAH-BANTAHAN

Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah

Ini adalah termasuk perkara yang paling penting, yaitu hendaknya seseorang berada di atas jalan Salaf yang shalih pada semua bab-bab agama yaitu tauhid, ibadah, muamalah, dan selainnya. Demikian juga hendaknya dia meninggalkan perdebatan dan berbantah-bantahan, karena perdebatan dan berbantah-bantahan adalah pintu yang akan menutupi jalan kebenaran. Jadi perdebatan dan berbantah-bantahan akan menyeret seseorang untuk berbicara hanya karena ingin membela dirinya saja. Bahkan walaupun kebenaran telah jelas baginya, engkau akan menjumpai orang yang suka berdebat akan tetap mengingkarinya, atau dia akan menta’wil atau menyimpangkan maknanya dengan cara-cara yang dibenci demi membela dirinya dan untuk memaksa orang yang tidak sependapat dengannya agar menerima ucapannya.

Jadi jika engkau menjumpai pada diri saudaramu mendebat dan membantah secara membabi buta ketika kebenaran telah jelas, maka hendaknya engkau lari darinya sebagaimana engkau lari dari singa. Maksudnya kebenaran telah jelas, tetapi dia tidak mau mengikutinya. Maka ketika itu hendaknya engkau lari darinya sebagaimana engkau lari dari singa, dan katakan kepadanya: “Cukup sampai di sini!” Dan tinggalkan dia!

Sumber artikel:
sahab[dot]net

Tentang CERAMAH ATAU KHUTBAH DI PEKUBURAN SEUSAI PENGUBURAN JENAZAH

al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Masalah ini dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis:

• Duduk bersama para hadirin untuk mengingatkan tentang kematian dan hal-hal setelahnya, tidak dengan cara berdiri berceramah seperti orang berkhutbah. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

• Berdiri setelah penguburan untuk memberi ceramah layaknya penceramah/khatib di mimbar-mimbar dan masjid-masjid. Hal ini tidak disyariatkan dan tidak pernah dicontohkan sama sekali oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai bid’ah tercela. Berikut kami nukilkan beberapa fatwa ulama besar zaman ini.

1. Fatwa al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
(Ahkam al-Jana’iz hlm.198—202)

Boleh duduk di sisi kuburan saat pemakaman berlangsung dengan maksud mengingatkan para hadirin tentang kematian dan hal-hal yang akan dihadapi setelahnya di alam kubur. Dalilnya adalah hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ  مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ,فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ كَأَنَّمَا  عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرُ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ بِهِ فِي الْأَرْضِ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: اسْتَعِيذُوا بِاللهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ -مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا-…. الْحَدِيْثَ
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada acara mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar. Kami sampai ke kuburan sementara lahadnya belum siap. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau seakan-akan di atas kepala-kepala kami ada burung. Di tangan beliau ada kayu untuk mencocok-cocok di tanah saat berpikir. Kemudian beliau mengangkat kepala dan bersabda, ‘Berlindunglah kepada Allah dari azab kubur—dua kali atau tiga kali’ …. dst.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim. Al-Hakim menyatakannya sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, dibenarkan oleh adz-Dzahabi dan al-Albani)

2. Fatwa al-Imam Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah
(Majmu’ al-Fatawa war Rasa’il 17/232—234)

Pendapat yang menyatakan tidak ada dalil dalam masalah ini adalah pendapat yang salah. Pendapat yang mengatakan disunnahkan berceramah di sisi kuburan juga tidak benar. Sebab, tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri di sisi kuburan atau di perkuburan saat ada jenazah yang dikuburkan lantas berceramah dan memberi wejangan seakan-akan khatib shalat jum’at. Kami tidak pernah mendengar bahwa hal itu ada dalilnya. Bahkan, hal itu adalah bid’ah yang bisa jadi pada waktu yang akan datang menyeret kepada hal yang lebih berbahaya.

Oleh karena itu, kami berpendapat tidak boleh seseorang berdiri berceramah di perkuburan bagaikan khatib yang berkhutbah karena hal itu bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berdiri berceramah seusai pemakaman atau saat menanti pemakaman. Kami juga tidak pernah mendapati hal semacam itu dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, sedangkan mereka lebih dekat kepada as- Sunnah daripada kita. Tidak pula hal itu kami ketahui pernah dilakukan oleh para al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Tidak pernah ada yang melakukan hal itu pada masa kekhalifahan Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhu. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk kaum salaf jika sesuai dengan kebenaran.

Adapun wejangan yang sifatnya penyampaian nasihat di majelis bersama hadirin (sambil duduk bersama), hal itu tidak mengapa. Sebab, telah tsabit (tetap/sahih) dalam kitab-kitab Sunan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar ke perkuburan Baqi’ (al-Gharqad) untuk mengantar jenazah seorang pria dari kaum Anshar sedangkan lahadnya belum siap. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dan para sahabat ikut duduk bersama beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka tentang keadaan yang akan dialami manusia setelah kematiannya dan pemakamannya, tidak dalam bentuk ceramah (khutbah). Telah tetap pula dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Shahih al-Bukhari dan kitab lainnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ. فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ نَتَّكِلُ؟ قَالَ: لاَ، اعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Tidak seorang pun dari kalian kecuali telah dituliskan tempat duduknya di dalam surga dan tempat duduknya di dalam neraka. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami bersandar dengan hal itu?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak boleh. Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan dengan apa yang telah ditakdirkan untuknya.”
Alhasil, wejangan yang disampaikan dengan berdiri seperti berkhutbah ketika atau setelah pemakaman berlangsung bukan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun wejangan yang tidak bersifat khutbah/ceramah, seperti halnya seorang yang duduk dikitari oleh rekan-rekannya lantas ia berbicara dengan topik pembicaraan yang sesuai dengan keadaan, hal itu bagus demi mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Aku berpendapat bahwa kebiasaan berdiri memberi ceramah di sisi kuburan adalah menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Sebab, hal itu tidak pernah diamalkan di masa hidup Nabi shallallahu alaihi wasallam, padahal beliau adalah manusia yang paling menasihati hamba-hamba Allah Subhanahu wata’ala dan paling bersemangat/perhatian menyampaikan kebenaran. Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memberi wejangan sambil berdiri layaknya khatib yang berkhutbah. Hanyalah Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah menyampaikan nasihat (sambil duduk ketika menanti pemakaman).

Adapun menjadikan hal ini sebagai kebiasaan, setiap kali ada mayat yang dikuburkan lantas ada yang tampil berdiri memberi ceramah, hal ini mutlak bukan kebiasaan salaf. Hendaknya masalah ini dikembalikan kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saya khawatir hal ini tergolong ekstrem (berdalam dalam lebih dari yang diinginkan). Sebab, pada hakikatnya kesempatan ini adalah waktu untuk khusyuk dan tenang (untuk merenung), bukan untuk menggugah perasaan. Tempat untuk berkhutbah adalah mimbar-mimbar dan masjid-masjid, sebagaimana yang senantiasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak mungkin kita berdalil dengan sesuatu yang lebih khusus atas sesuatu yang lebih umum. Jika ada yang mengatakan, ‘Kami ingin menjadikan hal itu (yakni khutbah-khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di mimbar dan masjid) sebagai dasar masalah ini’; kami jawab, ‘Pendalilan itu tidak benar. Sebab, seandainya hal itu adalah dalil dalam masalah ini, tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam akan melakukannya semasa hidupnya. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkannya, berarti itulah yang menjadi sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

3. Fatwa al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
(Majmu’ al-Fatawa 13/209—210)

Tidak mengapa memberikan wejangan di sisi kuburan sebelum pemakaman dan hal itu tidak tergolong bid’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melakukannya sebagaimana disebutkan oleh hadits ‘Ali dan al-Bara’ bin ‘Azib.

Sungguh, telah tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah lebih dari satu kali memberi wejangan di perkuburan saat para sahabat menanti dilangsungkannya pemakaman. Dari situ diketahui bahwa memberi wejangan di sisi kuburan adalah hal yang disyariatkan. Hal itu telah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam demi mengingatkan temtang kematian, surga, dan neraka, urusan-urusan akhirat lainnya, serta persiapan untuk berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi taufik.

[Pada kedua fatwa Ibnu Baz rahimahullah yang kami nukil ini terdapat penegasan bahwa wejangan itu dilakukan sebelum pemakaman (yakni saat menanti pemakaman). Namun, tidak ada sama sekali pada ucapan beliau yang mengatakan bahwa wejangan itu bersifat ceramah yang disampaikan sambil berdiri di hadapan jamaah yang hadir dan dilakukan seusai pemakaman. Wallahu a’lam.]

4. Terakhir, apa yang kami dapati secara pribadi ketika berguru di Darul Hadits Dammaj bersama Ayahanda tercinta, al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah. Kami tidak pernah menyaksikan praktik ceramah sambil berdiri seusai pemakaman yang sebagiannya dihadiri langsung oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah.

Ini yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagi kami dalam menjawab masalah yang banyak dipraktikkan oleh kaum muslimin ini seusai pemakaman jenazah. Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 094

Tentang SALING MENCINTAI KARENA ALLAH

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻓِﻲ ﺗَﻮَﺍﺩِّﻫِﻢْ ﻭَﺗَﺮَﺍﺣُﻤِﻬِﻢْ ﻭَﺗَﻌَﺎﻃُﻔِﻬِﻢْ ﻣَﺜَﻞُ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺷْﺘَﻜَﻰ ﻣِﻨْﻪُ ﻋُﻀْﻮٌ ﺗَﺪَﺍﻋَﻰ ﻟَﻪُ ﺳَﺎﺋِﺮُ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﺑِﺎﻟﺴَّﻬَﺮِ ﻭَﺍﻟْﺤُﻤَّﻰ
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺤِﺐَّ ﻟِﺄَﺧِﻴﻪِ ﻣَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

Berkata sebagian salaf rahimahumullah:
“Orang-orang yang mencintai karena Allah Subhanahu wata’ala, maka mereka akan memperhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Subhanahu wata’ala. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Maka seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan:
ﺳَﺒْﻌَﺔٌ ﻳُﻈِﻠُّﻬُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲ ﻇِﻠِّﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﻟَﺎ ﻇِﻞَّ ﺇِﻟَّﺎ ﻇِﻠُّﻪُ؛ ﺇِﻣَﺎﻡٌ ﻋَﺎﺩِﻝٌ، ﻭَﺷَﺎﺏٌّ ﻧَﺸَﺄَ ﻓِﻲ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﻗَﻠْﺒُﻪُ ﻣُﻌَﻠِّﻖٌ ﺑِﺎﻟـﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ، ﻭَﺭَﺟُﻠَﺎﻥِ ﺗَﺤَﺎﺑَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺗَﻔَﺮَّﻗَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺩَﻋَﺘْﻪُ ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٌ ﺫَﺍﺕُ ﻣَﻨْﺼَﺐٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻝٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺗَﺼَﺪَّﻕَ ﺑِﺼَﺪَﻗَﺔٍ ﻓَﺄَﺧْﻔَﺎﻫَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻢَ ﺷِﻤَﺎﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗُﻨْﻔِﻖُ ﻳَﻤِﻴﻨَﻪُ، ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺧَﺎﻟِﻴًﺎ ﻓَﻔَﺎﺿَﺖْ ﻋَﻴْﻨَﺎﻩُ
“Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan pada saat di mana tidak ada naungan kecuali naungan Allah: Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa terkait dengan masjid, dua orang yang saling cinta karena Allah, bersatu dan berpisah di atasnya, seseorang yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan namun pemuda tersebut berkata, ‘Aku takut kepada Allah’, seseorang yang bershadaqah dan ia menyembunyikan shadaqahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta seseorang yang berdzikir kepada Allah sendirian hingga meneteskan air mata.” (HR. Al-Bukhari no. 660, Muslim no. 1031)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺛَﻠَﺎﺙٌ ﻣَﻦْ ﻛُﻦَّ ﻓِﻴﻪِ ﻭَﺟَﺪَ ﺣَﻠَﺎﻭَﺓَ ﺍﻟْﺈِﻳﻤَﺎﻥِ؛ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﺳِﻮَﺍﻫُﻤَﺎ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺤِﺐَّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀَ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺒُّﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻠﻪِ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳَﻜْﺮَﻩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻌُﻮﺩَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜُﻔْﺮِ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻜْﺮَﻩُ ﺃَﻥْ ﻳُﻘْﺬَﻑَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Subhanahu wata’ala. Dan dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api." (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣَﺐَّ ﺃَﻥْ ﻳَﺠِﺪَ ﻃَﻌْﻢَ ﺍﻟْﺈِﻳْﻤَﺎﻥِ ﻓَﻠْﻴُﺤِﺐَّ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀَ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺒُّﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻠﻪِ
“Barangsiapa yang ingin merasakan lezatnya iman hendaknya dia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah.” (HR. Ahmad, dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 6164)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﺎ ﺗَﺪْﺧُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤَﺎﺑُّﻮﺍ، ﺃَﻭَ ﻟَﺎ ﺃَﺩُﻟُّﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﺇِﺫَﺍ ﻓَﻌَﻠْﺘُﻤُﻮﻩُ ﺗَﺤَﺎﺑَﺒْﺘُﻢْ؟ ﺃَﻓْﺸُﻮﺍ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu‏)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling mencintai (mahabbah) karena Allah Subhanahu wata’ala adalah termasuk kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah Subhanahu wata’ala. Dan termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺃَﺧِﻴﻪِ
“Dan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu‏)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:
“Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi, seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Subhanahu wata’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127‏)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺯَﺍﺭَ ﺃَﺧًﺎ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﻗَﺮْﻳَﺔٍ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻓَﺄَﺭْﺻَﺪَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺪْﺭَﺟَﺘِﻪِ ﻣَﻠَﻜًﺎ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﻳْﻦَ ﺗُﺮِﻳﺪُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺃُﺭِﻳﺪُ ﺃَﺧًﺎ ﻟِﻲ ﻓِﻲ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻘَﺮْﻳَﺔِ. ﻗَﺎﻝَ: ﻫَﻞْ ﻟَﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻧِﻌْﻤَﺔٍ ﺗَﺮُﺑُّﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧِّﻲ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺘُﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺑِﺄَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪْ ﺃَﺣَﺒَّﻚَ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺘَﻪُ ﻓِﻴﻪِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Subhanahu wata’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?”
Dia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.”
Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?”
Dia menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Subhanahu wata’ala.”
Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah Subhanahu wata’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Subhanahu wata’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Berkata Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu:
“Sesungguhnya di antara bentuk keimanan adalah mencintai seseorang yang tidak ada hubungan nasab di antara keduanya dan tidak pula kekerabatan dan tidak pula hubungan harta yang ia berikan, dan tiada rasa cinta melainkan karena Allah azza wa jalla.” (Hayatus salaf, 1150)

Tentang BERLEBIHAN DALAM MENCINTAI ATAU MEMBENCI SESEORANG

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
أَحْبِبْ حَبِيبَكَ ‏‏هَوْنًا ‏مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْمًا مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ‏ ‏هَوْنًا‏ ‏مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti harus kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di satu hari nanti dia menjadi orang yang harus kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 1997 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178)

Umar bin Al-Khaththab radhiallahu anhu berkata, “Wahai Aslam, janganlah rasa cintamu berlebihan dan jangan sampai kebencianmu membinasakan.”
Aslam berkata, “Bagaimana itu?”
Umar radhiallahu anhu berkata, “Jika engkau mencintai seseorang, janganlah berlebihan seperti halnya anak kecil yang menyenangi sesuatu dengan berlebihan. Jika engkau membenci seseorang, jangan sampai kebencian menimbulkan keinginan orang yang kamu benci celaka atau binasanya.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Hendaknya kalian mencintai jangan berlebihan dan membenci tidak berlebihan. Telah ada orang-orang yang berlebihan dalam mencintai satu kaum akhirnya binasa. Ada pula yang berlebihan dalam membenci satu kaum dan mereka pun binasa.” (Lihat Ni’matul Ukhuwah hal. 41)