Cari Blog Ini

Minggu, 14 Desember 2014

Tentang REBO WEKASAN ATAU REBO PUNGKASAN

Di antara anggapan dan keyakinan keliru yang terjadi di bulan Shafar adalah adanya sebuah hari yang diistilahkan dengan Rebo Wekasan. Dalam bahasa Jawa ‘Rebo’ artinya hari Rabu, dan ‘Wekasan’ artinya terakhir. Kemudian istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu terakhir pada bulan Shafar (diperkirakan pada bulan Shafar tahun 1436 H ini bertepatan dengan hari Rabu tanggal 17 Desember 2014). Di sebagian daerah, hari ini juga dikenal dengan hari Rabu Pungkasan.

Apakah Rebo Wekasan itu?
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa setiap tahun akan turun 320.000 bala’, musibah, ataupun bencana (dalam referensi lain 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya), dan itu akan terjadi pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Sehingga dalam upaya tolak bala’ darinya, diadakanlah ritual-ritual tertentu pada hari itu. Di antara ritual tersebut adalah dengan mengerjakan shalat empat raka’at, yang diistilahkan dengan shalat sunnah lidaf’il bala’ (shalat sunnah untuk menolak bala’) yang dikerjakan pada waktu dhuha atau setelah shalat isyraq (setelah terbit matahari) dengan satu kali salam. Pada setiap raka’at membaca surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 50 kali (dalam referensi lain 5 kali), Al-Mu’awwidzatain (surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali. Ketika salam membaca sebanyak 360 kali ayat ke-21 dari surat Yusuf yang berbunyi:
وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
Kemudian ditambah dengan Jauharatul Kamal tiga kali dan ditutup dengan bacaan (surat Ash-Shaffat ayat 180-182) berikut:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Ritual ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan sedekah roti kepada fakir miskin. Tidak cukup sampai di situ, dia juga harus membuat rajah-rajah dengan model tulisan tertentu pada secarik kertas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur, bak kamar mandi, atau tempat-tempat penampungan air lainnya.
Barangsiapa yang pada hari itu melakukan ritual tersebut, maka dia akan terjaga dari segala bentuk musibah dan bencana yang turun ketika itu.

Kaum muslimin rahimakumullah, dari mana dan siapakah yang mengajarkan tata cara/ritual ‘ibadah’ seperti itu?
Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa di dalam kitab Kanzun Najah karangan Syaikh Abdul Hamid Kudus yang katanya pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah Al-Mukarramah, diterangkan bahwa telah berkata sebagian ulama ‘arifin dari ahli mukasyafah bahwa pada setiap tahun akan turun 360.000 malapetaka dan 20.000 bahaya, yang turunnya pada setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar. Bagi yang shalat pada hari itu dengan tata cara sebagaimana tersebut di atas, maka akan selamat dari semua bencana dan bahaya tersebut.
Mungkin inilah yang dijadikan dasar hukum tentang ‘disyariatkannya’  ritual di hari Rebo Wekasan tersebut. Namun ternyata amaliyah yang demikian tidak ada dasarnya sama sekali dari Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Generasi salaf dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in tidak pernah melakukan apalagi mengajarkan ritual semacam itu. Demikian pula generasi setelahnya yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik.

Keyakinan tentang Rebo Wekasan sebagai hari turunnya bala’ dan musibah adalah keyakinan yang batil. Lebih batil lagi karena berangkat dari keyakinan tersebut, dilaksanakanlah ritual tertentu untuk menolak bala’ dengan tata cara yang disebutkan di atas. Sementara keyakinan dan ritual tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum, dan tidak pula dicontohkan oleh para imam madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), tidak pula mereka membimbing dan mengajak para murid serta pengikut madzhabnya untuk melakukan yang demikian.
Para ulama dan kaum muslimin yang senantiasa menjaga aqidah dan berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hingga hari ini -sampai akhir zaman nanti- juga tidak akan berkeyakinan dengan keyakinan seperti ini dan tidak pula beramal dengan amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan generasi salaf tersebut.
Jika keyakinan dan ritual ibadah tersebut tidak berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula sebagai amalan para shahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam madzhab yang empat, maka sungguh amalan tersebut bukan bagian dari agama yang murni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk bimbingan dan petunjuk kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjaga kita dan kaum muslimin dari berbagai penyimpangan dalam menjalankan agama ini. Amin.

Ditulis oleh: Abu ‘Abdillah

Situs Resmi Mahad As-Salafy 2014/ 1435 H

Tentang MENGHADIAHKAN AMALAN UNTUK ORANG YANG SUDAH MATI

Pertanyaan dari orang Sudan yang tinggal di Kuwait, ia mengatakan: “Apa hukumnya membaca Al-Fatihah untuk dihadiahkan kepada mayit, juga menyembelih hewan untuknya, demikian pula memberikan uang untuk keluarga mayit?”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Mendekatkan diri kepada mayit dengan sembelihan, uang, nadzar, dan ibadah-ibadah lainnya, semacam meminta kesembuhan darinya, pertolongan, atau bantuan, ini merupakan syirik akbar (menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala). Tidak boleh bagi seorang pun untuk melakukannya, karena syirik adalah dosa dan kejahatan terbesar. Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah (surga), dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Dan banyak ayat yang semakna dengannya. Maka yang wajib dilakukan adalah mengikhlaskan/meniatkan ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala satu-satunya, baik itu berupa sembelihan, nadzar, doa, shalat, puasa, atau ibadah-ibadah selainnya. Di antara syirik juga adalah mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar atau makanan (sesajen), berdasarkan ayat-ayat yang lalu. Juga berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163‏)

Adapun menghadiahkan Al-Fatihah atau selainnya dari Al-Qur’an kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukumnya dari Al-Qur’an atau Hadits). Maka yang wajib dilakukan adalah meninggalkan hal tersebut. Karena tidak pernah dinukilkan dari Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam atau para sahabatnya, sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut. Yang disyariatkan adalah mendoakan untuk mayit dan menshadaqahkan untuk mereka dengan cara berbuat baik kepada para fakir miskin. Dengan itu, seorang hamba mendekatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memohon kepada-Nya agar pahalanya dijadikan untuk ayah atau ibunya, atau orang yang mati atau masih hidup selain keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam,
ﺇﺫﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ ﺃَﻭْ ﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ
"Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
Telah shahih bahwa seseorang berkata,
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥَّ ﺃُﻣِّﻲ ﻣَﺎﺗَﺖْ ﻭَﻟَﻢْ ْﺗُﻮْﺹِ ﻭَﺃَﻇُﻨُّﻬَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﻟَﺘَﺼَﺪَّﻗَﺖْ، ﺃَﻓَﻠَﻬَﺎ ﺃَﺟْﺮٌ ﺇِﻥْ ﺗَﺼَﺪَّﻗْﺖُ ﻋَﻨْﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻧَﻌَﻢْ
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan belum sempat berwasiat, dan aku kira kalau dia sempat bicara ia akan bersedekah, apakah dia dapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab, “Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikian pula halnya menghajikan mayit serta mengumrahkannya juga membayarkan utangnya. Semuanya itu bisa memberi manfaat bagi mayit sesuai dengan keterangan yang datang dalam dalil-dalil syariat.

Adapun jika yang dimaksud penanya dengan pertanyaannya adalah untuk berbuat baik kepada keluarga mayit serta bersedekah dengan uang dan sembelihan, maka itu boleh bila mereka itu orang-orang fakir. Yang utama adalah tetangga dan kerabat membuatkan makanan di rumah mereka masing-masing lalu menghadiahkannya kepada keluarga mayit. Karena telah shahih dari Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bahwa ketika sampai kepada Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam berita kematian Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dalam peperangan Mu’tah, beliau shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kerabatnya untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far dan beliau mengatakan, “Karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” Adapun bila keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang (masyarakat) karena kematian, maka itu tidak boleh. Hal itu termasuk amalan jahiliah, baik itu pada hari kematian, hari keempatnya atau kesepuluh atau setelah genap setahun. Semua itu tidak boleh. Ini berdasarkan riwayat yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu anhu, salah seorang sahabat Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata,
ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﻌُﺪُّ ﺍﻟْﺎِﺟْﺘِﻤَﺎﻉَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﺻَﻨِﻴْﻌَﻪُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ ﺑَﻌْﺪَ ﺩَﻓْﻨِﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻴَﺎﺣَﺔِ
"Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul ke keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakaman adalah termasuk niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad)

Adapun jika ada tamu mendatangi keluarga mayit pada hari-hari berkabung (saat takziyah) maka tidak mengapa keluarga mayit membuat makanan untuk mereka sebagai suguhan untuk tamu. Sebagaimana tidak mengapa bagi keluarga mayit untuk mengundang siapa yang mereka kehendaki dari tetangga atau kerabat untuk makan bersama mereka dari makanan yang dihadiahkan kepada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberi taufiq.

###

Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dan saya hadiahkan untuk ayah ibu saya. Untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah subhanahu wata’ala mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)
"Katakanlah: Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)
Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ﺍﻗْﺮَﺀُﻭﺍ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺷَﻔِﻴْﻌًﺎ ﻟِﺄَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
"Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca) Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)
Beliau shalallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda (maknanya‏): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu‏)
Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
"Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)

Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan, “Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.” Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari Kalamullah atau hadits Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya. Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.

Allah subhanahuwata’ala lah yang memberikan taufiq.

(Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al- Mutanawwi’ah‏)

###

Al Allamah Abdulaziz bin Baz Rahimahullah

Soal: Hukum menghadiahkan bacaan Al Quranul Karim untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau selain beliau?

Jawaban: 
Menghadiahkan bacaan Al Quran Al Karim untuk ruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para mayit tidak memiliki ada asalnya, tidak disyariatkan, dan tidak dilakukan oleh para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain.  Dan kebaikan hanyalah dicapai dengan mengikuti mereka.
Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diberi pahala seperti pahala yang kita peroleh, segala kebaikan yang kita lakukan maka beliau mendapatkan pahala yang semisal dengan pahala kita, karena beliau orang yang menunjukkan kebaikan tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من دل على خير فله مثل أجر فاعله
“Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukan kebaikan tersebut.” [HR. Muslim]
Beliau yang menunjukkan kebaikan bagi umat ini dan membimbing mereka untuk menunaikan kebaikan tersebut.
Jika seseorang membaca Al Quran, menegakkan shalat, berpuasa, dan bersedekah maka beliau diberi pahala seperti pahala orang yang melakukan ibadah tersebut dari kalangan umat ini karena beliau yang menunjukkan umat ini sehingga mengerti kebaikan tersebut dan melaksanakannya. Maka tidak ada hajat yang menuntut untuk menghadiahkan pahala bacaan Al Quran atau ibadah yang lainnya untuk beliau karena hal tersebut tidak ada dalilnya sebagaimana keterangan yang telah lalu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Siapasaja yang melakukan suatu amalan yang tidak dilandasi oleh perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
Demikian juga membaca Al Quran untuk para mayit, hal ini tidak ada dalilnya bahkan yang wajib adalah meninggalkan perkara tersebut (yakni menghadiahkan bacaan untuk mayit).
Adapun bersedekah untuk para mayit dari kalangan kaum muslimin serta mendoakan mereka maka semua ini disyariatkan sebagaimana apa yang Allah taala firmankan tentang sifat hamba-hamba-Nya yang shalih yang mengikuti para pendahulu mereka yang shalih:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berberdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman mendahului kami.” [QS. Al Hasyr: 10]
Allah menyariatkan shalat jenazah dalam rangka mendoakan  dan memohon rahmat bagi para jenazah. Demikian juga sedekah untuk mayit, sedekah tersebut bermanfaat bagi mayit itu sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian juga menghajikan dan mengumrahkan mereka, serta menunaikan utang mereka, semua ini bermanfaat bagi mayit yang memeluk agama Islam.
(Majmu Fatawa Al ‘Allamah AbdulAziz bin Baz Rahimahullah jilid 13 hal. 278-279)

###

Pendapat Al-Imam Syafi’i rahimahullah

Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya: "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39‏)
Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.
Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal. Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴَﺎﻥُ ﺍﻧْﻘَﻄَﻊَ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻣِﻦْ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ؛ ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻦْ ﻭَﻟَﺪٍ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ، ﺃَﻭْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ ﺟَﺎﺭِﻳَﺔٍ، ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻢٍ ﻳُﻨْﺘَﻔَﻊُ ﺑِﻪِ
"Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat."
Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻃْﻴَﺐَ ﻣَﺎ ﺃَﻛَﻞَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻣِﻦْ ﻛَﺴْﺒِﻪِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﻭَﻟَﺪَﻩُ ﻣِﻦ ﻛَﺴْﺒِﻪِ
"Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.” [1]
Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)
Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:
ﻣَﻦْ ﺩَﻋَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻫُﺪًﻯ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﺟْﺮِ ﻣِﺜْﻞُ ﺃُﺟُﻮﺭِ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻴْﺌًﺎ
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.”
(Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39‏)

catatan kaki:
[1] HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi, dikuatkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Ahkamul Jana’iz.
Terdapat hadits-hadits lain yang mendukung makna hadits ini, di antaranya:
Dari Aisyah Radhiyallahu anha:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ
Ada seorang laki-laki berkata: “Ibuku meninggal tiba-tiba (dan tidak sempat berwasiat). Aku mengira jika sempat bicara dia akan bershadaqah. Apakah dia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas namanya?” Rasulullah berkata: “Ya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma:
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا فَأَتَى رَسُولَ اللهِ  فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا فَهَلْ يَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِي الْمَخْرَفَ صَدَقَةٌ عَنْهَا
Ibu dari Sa’d bin ‘Ubadah –saudara Bani Sa’idah– meninggal ketika Sa’d tidak di rumah. Dia lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal ketika aku tidak ada. Apakah bermanfaat baginya jika aku bershadaqah atas namanya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ya.” Sa’d berkata: “Persaksikanlah bahwa kebunku yang pepohonannya sedang berbuah adalah shadaqah atas namanya.” (HR. Muslim)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits-hadits dalam bab ini menjelaskan bahwa shadaqah anak itu bermanfaat bagi orangtuanya yang telah meninggal, walaupun tanpa wasiat dari keduanya.” (Lihat Nailul Authar)

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

“Seseorang yang telah mati bisa mendapatkan manfaat dari amalan orang yang hidup dalam perkara-perkara yang ditunjukkan oleh dalil, seperti doa orang hidup untuknya [1], memintakan ampun untuknya, shadaqah atas namanya, haji dan umrah atas namanya, membayarkan utang-utangnya [2], dan menunaikan wasiat-wasiatnya. Semua perkara tersebut disyariatkan sebagaimana telah ditunjukkan oleh dalil. Sebagian ulama memasukkan semua bentuk taqarrub (ibadah) yang dilakukan muslim dan diperuntukkan pahalanya bagi muslim lain yang masih hidup atau telah mati, ke dalam perkara ini. Namun pendapat yang shahih (benar) adalah mencukupkan hanya yang ada di dalam dalil. Perkara yang terdapat dalilnya mengkhususkan keumuman firman Allah Subhanahu wata’ala:
‘Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya’.” (An-Najm: 39)
[Lihat Fatawa ‘Aqidah hal. 48-49]

Catatan kaki:

[1] Di antara yang menunjukkan hal ini adalah ayat Allah Subhanahu wata’ala:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Di antara dalil masalah ini adalah disyariatkannya shalat jenazah dan ziarah kubur. Karena shalat jenazah disyariatkan untuk mendoakan si mayit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ
“Jika kalian menshalatkan mayit, maka ikhlaskanlah doa baginya.” (HR. Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
“Tidaklah ada muslim yang meninggal kemudian menshalatkan jenazahnya empat puluh orang yang tidak melakukan syirik, kecuali mereka akan diizinkan memberi syafaat kepadanya.” (HR. Muslim)
Demikian juga, ziarah kubur disyariatkan untuk mendoakan si mayit.

[2] Adapun utang, boleh seorang membayarkan utang orang lain yang telah meninggal walaupun bukan dari kerabatnya sekalipun, dan si mayit terbebas dari beban utang tersebut. (Lihat Ahkamul Jana’iz hal. 212-226)

###

Soal:
Apa hukumnya seorang anak yang menghajikan bapak dan ibunya yang sudah meninggal?

Jawab:
Jika orang tua pada masa hidupnya termasuk mampu haji, tetapi tidak ada kesempatan berangkat hingga wafat, anak boleh menghajikannya dengan syarat yang menjadi wakil sudah pernah haji sebelumnya. Begitu pula apabila orang tua berwasiat dan tidak lebih dari1/3 harta, maka ditunaikan wasiatnya.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 083