Cari Blog Ini

Jumat, 03 Oktober 2014

Tentang PENDEKATAN ANTAR AGAMA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, penanya dari Libya mengatakan: “Sebagian dai menempuh manhaj atau metode baru yang diada-adakan yang dinamakan “Pendekatan Antar Agama” dengan dalih bahwa kita semua memiliki kitab. Apakah semacam ini termasuk bentuk loyalitas?”

Asy-Syaikh:
Ini termasuk kekafiran, bukan sebatas loyalitas bahkan termasuk kekafiran. Jika menganggap benar keyakinan Yahudi dan keyakinan Nashara sebagai agama yang benar maka ini merupakan kekafiran terhadap Allah, kita berlindung kepada Allah darinya. Karena Allah telah memastikan kekafiran Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Muhammad shallallahu alaihi wa sallam jika mereka tidak mau mengikuti beliau. Dan semua yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu alaihi wa sallam apakah dia seorang Yahudi atau Nashara atau penyembah berhala atau makhluk apapun dia yaitu jin dan manusia maka dia kafir dan di neraka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﻟَﺎ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﺑِﻲْ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻱٌّ ﻭَﻟَﺎ ﻧَﺼْﺮَﺍﻧِﻲٌّ، ﺛُﻢَّ ﻟَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱْ ﺟِﺌْﺖُ ﺑِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ .
“Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku apakah dia seorang Yahudi atau Nashara, lalu dia tidak mau beriman dengan ajaran yang kubawa, kecuali dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Bagaimana mereka dikatakan sebagai orang-orang yang beriman sementara mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga?! Apakah orang-orang yang semacam itu beriman dalam keadaan mereka menyatakan bahwa Allah adalah ketiga dari yang tiga?! Mereka juga kafir atau tidak beriman kepada Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan menentang kerasulan beliau, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman?! Yahudi sendiri menentang kerasulan Al-Masih Isa alaihis salam dan mengatakan bahwa beliau adalah anak pelacur, dan juga menentang kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, lalu ada yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman?! Siapa yang mengatakan demikian ini?!
Jadi tidak ada agama yang benar selain agama Islam yang Muhammad shallallahu alaihi wa sallam diutus dengannya. Adapun selainnya maka bisa jadi merupakan agama yang bathil atau agama yang telah dihapus (tidak berlaku lagi), selesai sudah waktu mengamalkannya.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MENGECOR, MENGAPUR, ATAU MEMBANGUN KUBURAN DAN MENULISINYA

Pertanyaan: Saya perhatikan di daerah kami sebagian kuburan dicor dengan semen seukuran panjang 1 m dan lebar 1/2 m, dan dituliskan padanya nama mayit, tanggal wafatnya, dan.sebagian kalimat seperti: “Ya Allah berilah rahmat kepada Fulan bin Fulan." Apa hukum perbuatan semacam ini?

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz menjawab:

Tidak boleh membangun pada kubur, baik dengan cor ataupun yang lain, demikian pula menulisinya. Karena terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang larangan membangun di atas kuburan dan menulisinya. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari hadits Jabir, ia berkata,
ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃَﻥْ ﻳُﺠَﺼَّﺺَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮُ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻘْﻌَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﺒْﻨَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪ
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dikapur, diduduki, dan dibangun.” (HR. Muslim no. 970)
Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:
ﻭَﺃَﻥْ ﻳُﻜْﺘَﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
"Dan ditulisi." (HR. At-Tirmidzi no. 1052, Abu Dawud no. 3225, dan An-Nasa’i no. 2027. Al-Albany rahimahullah berkata dalam Irwa’ul Ghalil no. 757: “Shahih.”)
Karena hal itu termasuk salah satu bentuk sikap berlebihan sehingga harus dilarang. Juga karena penulisan bisa menghantarkan kepada dampak yang parah berupa sikap berlebihan dan larangan-larangan syar’i lainnya. Yang diperbolehkan hanyalah mengembalikan tanah (galian) kubur tersebut dan ditinggikan sekitar satu jengkal sehingga diketahui bahwa itu adalah kuburan. Inilah yang sunnah dalam masalah kuburan dan ini yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya.

Tidak boleh pula menjadikan kuburan sebagai masjid (yaitu tempat untuk shalat atau shalat menghadapnya). Tidak boleh pula mengerudunginya atau membuat kubah di atasnya, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺍﺗَّﺨَﺬُﻭﺍ ﻗُﺒُﻮْﺭَ ﺃَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِﻬِﻢْ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari sahabat Jundub bin Abdillah Al-Bajali, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum meninggalnya, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai kekasih-Nya sebagaimana menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Seandainya aku mau menjadikan seseorang dari umatku sebagai kekasihku tentu aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai kekasihku. Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur nabi-nabi dan orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kubur-kubur sebagai masjid karena sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan itu.”
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan taufiq-Nya kepada muslimin agar berpegang teguh dengan Sunnah Nabi mereka dan tegar di atasnya, serta berhati-hati dari segala yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat.

[Mukhtarat min Kitab Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah, hal. 228-229]

Sumber : Majalah Asy Syariah

###

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakan kuburan. Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Hayyaj Al-Asadi rahimahullah ia berkata:
ﻗﺎَﻝَ ﻟِﻲْ ﻋَﻠِﻲُّ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲْ ﻃﺎَﻟِﺐٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻻَ ﺃَﺑْﻌَﺜُﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻣﺎَ ﺑَﻌَﺜَﻨِﻲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ؟ ﻻَ ﺗَﺪَﻉَ ﺗِﻤْﺜﺎَﻻً ﺇِﻻَّ ﻃَﻤَﺴْﺘَﻪُ ﻭَﻻَ ﻗَﺒْﺮًﺍ ﻣُﺸْﺮِﻓﺎً ﺇِﻻَّ ﺳَﻮَّﻳْﺘَﻪُ
Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, "Maukah engkau aku utus kepada sesuatu yang Rasulullah telah mengutusku padanya? (Yaitu) jangan kamu membiarkan patung kecuali kamu hancurkan dan kuburan yang menonjol lebih tinggi melainkan kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)

Muslim juga meriwayatkan dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu anhu dia berkata,
ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺄْﻣُﺮُ ﺑِﺘَﺴْﻮِﻳَﺘِﻬَﺎ
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)

Tentang MEMBERIKAN CONTOH YANG BURUK

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan siapa yang melakukan satu sunnah (tuntunan/contoh) yang buruk lalu diamalkan (orang lain) sepeninggalnya, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah itu sepeninggalnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." [HR. Muslim]

Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Tidak ada satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim melainkan atas Ibnu Adam yang pertama bagian dari darahnya, karena dialah yang mula-mula melakukan sunnah (tuntunan/contoh) pembunuhan." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Tentang TANDA-TANDA LAILATUL QADAR

Dari Ubai, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pagi hari setelah malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar seperti bejana dari tembaga hingga tinggi.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul Qadar adalah malam yang tenang, cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari terbit di pagi harinya lemah dan berwarna merah.” (HR. ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Bazzar, sanadnya hasan)

Tentang ALKOHOL

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah, para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol. Terdapat perbedaan ijtihad di antara mereka dalam memandang permasalahan ini.

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berpendapat bahwa sesuatu yang telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang memabukkan. Karena hal ini tetap masuk dalam hadits: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/160-161). Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, dan beliau menshahihkannya dengan syawahidnya dari beberapa shahabat yang lain (Al-Irwa‘, 8/42-43)]

Ketika beliau ditanya tentang obat-obatan yang sebagiannya mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab, “Obat-obatan yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan,” maka tidak boleh digunakan berdasarkan sabda Nabi shalallahu’alaihi wa sallam: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.” Adapun jika obat-obatan itu tidak memabukkan dan banyaknya pun tidak memabukkan, hanya saja berefek membius (menghilangkan rasa) untuk mengurangi beban rasa sakit penderita maka yang seperti ini tidak mengapa.” (Majmu’ Fatawa, 6/18)

Juga ketika beliau ditanya tentang parfum yang disebut cologne, beliau berkata: “Parfum (cologne) yang mengandung alkohol tidak boleh (haram) untuk digunakan. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan keterangan para dokter yang ahli di bidang ini bahwa parfum jenis tersebut memabukkan karena mengandung “spiritus” yang dikenal. Oleh sebab itu, haram bagi kaum lelaki dan wanita untuk menggunakan parfum jenis tersebut. Kalau ada parfum jenis cologne yang tidak memabukkan maka tidak haram menggunakannya. Karena hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya [1], ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya).” (Majmu’ Fatawa, 6/396 dan 10/38-39)

Dan yang lebih jelas lagi adalah jawaban beliau pada Majmu’ Fatawa (5/382, dan 10/41) beliau berkata, ”Pada asalnya segala jenis parfum dan minyak wangi yang beredar di khalayak manusia hukumnya halal. Kecuali yang diketahui mengandung sesuatu yang merupakan penghalang untuk menggunakannya, karena ‘sesuatu’ itu memabukkan atau banyaknya memabukkan atau karena ‘sesuatu’ itu adalah najis, dan yang semacamnya. Jadi, jika seseorang mengetahui ada parfum yang mengandung ‘sesuatu’ berupa bahan memabukkan atau benda najis yang menjadi penghalang untuk menggunakannya, maka diapun meninggalkannya (tidak menggunakannya) seperti cologne. Karena telah tetap (jelas) di sisi kami berdasarkan persaksian para dokter (yang ahli di bidang ini) bahwa parfum ini tidak terbebas dari bahan memabukkan karena mengandung ‘spiritus’ berkadar tinggi, yang merupakan bahan memabukkan, sehingga wajib untuk ditinggalkan (tidak digunakan). Kecuali jika ditemukan ada parfum jenis ini yang terbebas dari bahan memabukkan (maka tentunya tidak mengapa untuk digunakan). Dan jenis-jenis parfum yang lain sebagai gantinya, sekian banyak yang dihalalkan oleh Allah subhanahuwata’ala, walhamdulillah. Demikian pula halnya, segala macam minuman dan makanan yang mengandung bahan memabukkan, wajib untuk ditinggalkan. Kaidahnya adalah: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram”, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnyapun haram.” Dan hanya Allah subhanahuwata’ala lah yang memberi taufik.”

Demikian pula yang terpahami dari fatwa guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah (dalam Ijabatus Sa`il hal. 697) bahwa pendapat beliau sama dengan pendapat gurunya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang cologne. Beliau menjawab (tanpa rincian) bahwa tidak boleh menggunakannya dan tidak boleh memperjualbelikannya, berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu: “Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam melaknat 10 jenis orang karena khamr: yang memprosesnya (membuatnya), yang minta dibuatkan, yang meminumnya, yang membawanya, yang dibawakan untuknya, yang menghidangkannya, yang menjualnya, yang makan (menikmati) harga penjualannya, yang membelinya dan yang dibelikan untuknya.” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1318) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad (1/57) dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dengan lafadz (Allah melaknat…) dari Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhu, oleh Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dengan keseluruhan jalan-jalannya dalam Al-Irwa` (5/365-367)]

Sementara itu, Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berpendapat bahwa pada permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan kita simak dengan jelas dari fatwa keduanya.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/178) cetakan Darul Atsar, berkata: “Bagaimana menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat? Kami nyatakan: Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali) tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai. Telah diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illah, jika ‘illah tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. Nah, selama ‘illah suatu perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wallahu a’lam. Wajib bagi kita untuk mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila anda minum banyak tentu anda mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan “Sedikitnyapun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit tersebut tidak memabukkan?) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang sedikit itu merupakan wasilah/perantara yang akan menyeret pelakunya sampai akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan). Adapun mencampur dengan bahan lain dengan perbandingan kadar alkoholnya sedikit sehingga tidak menjadikan bahan tersebut memabukkan maka yang seperti ini tidak mengubah bahan tersebut menjadi khamr (yang haram). Jadi ibaratnya seperti benda najis yang jatuh ke dalam air (tapi kadar najisnya sedikit) dan tidak menajisi (merusak kesucian) air tersebut (karena warna, bau, ataupun rasanya tidak berubah) maka air tersebut tidak menjadi najis karenanya (tetap suci dan mensucikan).”

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah ketika ditanya tentang berbagai parfum atau minyak wangi yang mengandung alkohol, maka beliau menjawab: “Apabila kadar alkohol yang terkandung di dalamnya menjadikan parfum-parfum yang harum itu sebagai cairan yang memabukkan, dalam arti kalau diminum oleh seorang pecandu khamr dan ternyata memberi pengaruh seperti pengaruh khamr (yaitu mengakibatkan dia mabuk, maka parfum-parfum tersebut hukumnya tidak boleh (haram untuk digunakan). Adapun jika kadar alkoholnya sedikit (dalam arti tidak mengubah parfum-parfum tersebut menjadi memabukkan) maka hukumnya boleh. (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)

Kemudian kita akhiri pembahasan ini dengan fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah yang sangat rinci. Beliau rahimahullah berkata: “Untuk memahami makna hadits: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram,” mari kita mendatangkan contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung 50 gram bahan memabukkan yang kita namakan alkohol, maka cairan ini –yang tersusun dari air dan alkohol– berubah menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung 5 gram alkohol (misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum. Selanjutnya, apakah boleh bagi seorang muslim mengambil 1 liter air kemudian menumpahkan 5 gram alkohol ke dalamnya dengan alasan bahwa 5 gram alkohol tersebut tidak mengubah 1 liter air yang ada menjadi memabukkan? Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan lain tidak boleh dalam syariat Islam. Telah kami nyatakan bahwa obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini –bahkan boleh jadi kebanyakannya– mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar alkoholnya: 5 gram, 10 gram. Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia hanya menelan 1 sendok saja? Inilah yang dimaksudkan dengan hadits “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan alkoholnya sedikit –dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya mabuk– maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak. Namun perkara lain (yang penting untuk diingat) sama dengan apa yang telah saya sebutkan sebelumnya, bahwa obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Allah melaknat 10 jenis orang karena khamr…” Seorang apoteker yang hendak meracik obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat dalam hadits tersebut. Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat tersebut memabukkan, maka ini boleh.” (Kaset Silsilatul Huda wan Nur)

Dan kami memandang bahwa pendapat Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsamin rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, lebih dekat kepada kebenaran. Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah

Footnote:
[1] ‘Illah suatu hukum adalah sebab penentu suatu perkara memiliki hukum tersebut.

Tentang SHALAT JAMAK BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Hamnah bintu Jahsyin radhiyallahu 'anha:
ﻭَﺇِﻥْ ﻗَﻮِﻳْﺖِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﺗُﺄَﺧِّﺮِﻱ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮَ ﻭَﺗُﻌَﺠِّﻠِﻲ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ ﻓَﺘَﻐْﺘَﺴِﻠِﻴْﻦَ ﻭَﺗَﺠْﻤَﻌِﻴْﻦَ ﻳَﺒْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺗَﻴْﻦِ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮَ ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ، ﻭَﺗُﺄَﺧِّﺮِﻳْﻦَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏَ ﻭَﺗُﻌَﺠِّﻠِﻴْﻦَ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀَ، ﺛُﻢَّ ﺗَﻐْﺘَﺴِﻠِﻴْﻦَ ﻭَﺗَﺠْﻤَﻌِﻴْﻦَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺗَﻴْﻦِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠِﻲْ، ﻭَﺗَﻐْﺘَﺴِﻠِﻴْﻦَ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻓَﺎﻓْﻌَﻠِﻲ
“Bila engkau kuat mengakhirkan shalat zhuhur dan menyegerakan shalat ashar, lalu engkau mandi dan menjamak dua shalat, zhuhur dan ashar; dan engkau mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan menjamak dua shalat tersebut, maka lakukanlah; dan engkau mandi di waktu subuh (untuk mengerjakan shalat subuh), maka lakukanlah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 287, at-Tirmidzi no. 128, dihasankan al-Imam al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 188)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya wanita mustahadhah menjamak shalat fardhu. Namun perlu dilihat dulu, apa yang dimaksud menjamak di sini? Mungkin Anda pernah mendengar istilah jamak shuri? Inilah jamak yang dimaksudkan bagi wanita mustahadhah. (Subulus Salam, 1/375)

Caranya, ia mengakhirkan shalat zhuhur sampai pada akhir waktu zhuhur. Saat masuk awal waktu shalat ashar, ia pun mengerjakannya di awal waktu, sehingga ia.mengerjakan kedua shalat ini (zhuhur dan ashar) pada waktunya masing-masing dengan sebelumnya mandi sekali (untuk dua shalat). Demikian pula dengan shalat maghrib dan isya. Adapun untuk shalat subuh, disenangi baginya untuk mandi, karena shalat subuh ini tidak bergabung dengan shalat lima waktu yang lain, yang sebelumnya ataupun setelahnya. Tidaklah diragukan bahwa dengan mandi, kebersihan yang diperoleh akan lebih sempurna. Namun, hal ini dilakukan bila tidak ada kesulitan yang besar seperti cuaca yang sangat dingin dan lainnya. (Taudhihul Ahkam, 1/446)

Sumber: Asy Syariah online

Tentang MANDI DAN WUDHU BAGI WANITA YANG ISTIHADHAH KETIKA HENDAK SHALAT

Apakah Ada Kewajiban Mandi dan Wudhu Setiap Kali Hendak Shalat bagi Wanita yang Istihadhah?

Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut imam yang empat dan selain mereka, mandi setiap hendak shalat hukumnya mustahab, tidak wajib.
Al-Imam an-Nawawi berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud, al-Baihaqi, dan selain keduanya yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Ummu Habibah radhiyallahu 'anha untuk mandi setiap kali hendak shalat, tidak ada yang tsabit (sahih) sedikitpun. Al-Baihaqi dan orang-orang yang sebelumnya telah menerangkan kedhaifannya. Yang sahih dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya yang menyebutkan bahwa Ummu Habibah radhiyallahu 'anha mengalami istihadhah, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺫَﻟِﻚَ ﻋِﺮْﻕٌ، ﻓَﺎﻏْﺴِﻠِﻲ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠِّﻲ. ﻓَﻜَﺎﻧَﺖْ ﺗَﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻋِﻨْﺪَ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Darah istihadhah itu hanyalah darah urat, maka mandilah (seselesainya dari haidmu) kemudian kerjakanlah shalat.” Maka dari itu, Ummu Habibah mandi setiap kali hendak shalat.
Al-Imam asy-Syafi’i menerangkan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hanya memerintahkannya (mandi setelah selesai dari haid). Dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan perintah beliau kepada Ummu Habibah untuk mandi setiap kali hendak shalat. Tidaklah diragukan bahwa mandi Ummu Habibah (setiap kali hendak shalat) itu sifatnya tathawwu’ (sunnah), tidak diperintahkan kepadanya, dan hal itu merupakan kelapangan baginya.”
(al-Majmu’, 2/554)

Adapun berwudhu menurut jumhur ulama wajib dilakukan wanita mustahadhah setiap kali hendak mengerjakan shalat lima waktu. Demikian pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad. Adapun al-Imam Malik berpendapat bahwa wudhu setiap hendak shalat ini tidak wajib, karena menurut beliau darah istihadhah tidak membatalkan wudhu. Namun, kebanyakan ulama menyelisihi pendapat al-Imam Malik ini dengan berdalilkan hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan selainnya bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan wanita yang mustahadhah untuk berwudhu setiap kali shalat. (Majmu’atul Fatawa, 21/629)
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu 'anha yang mengadukan istihadhahnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
ﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲْ ﻟِﻜُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Berwudhulah setiap kali shalat.” (HR. at-Tirmidzi no. 125, disahihkan dalam Irwa’ul Ghalil no. 110)
Dalam riwayat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (no. 228) juga ada tambahan:
ﺛُﻢَّ ﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲْ ﻟِﻜُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ
“Kemudian berwudhulah engkau untuk setiap shalat.”
Namun, kata al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali, yang benar tambahan ini dari ucapan Urwah ibnuz Zubair yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/448)
Tambahan ini diisyaratkan kelemahannya oleh al-Imam Muslim, karena itu beliau tidak membawakannya dalam Shahih-nya. Beliau mengatakan, “Dalam hadits Hammad ibn Zaid ada tambahan yang sengaja kami tinggalkan penyebutannya.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 3/243, ketika membawakan hadits no. 752)
Tambahan lafadz yang dimaksud oleh al-Imam Muslim, kata al-Qadhi ‘Iyadh, adalah:
ﺍﻏْﺴِﻠِﻲ ﻋَﻨْﻚِ ﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲ
“Cucilah darah darimu dan berwudhulah.”
Tambahan ini disebutkan oleh an-Nasa’i dan selainnya. Al-Imam Muslim tidak menyebutkannya karena tambahan ini termasuk lafadz yang Hammad bersendiri dalam menyebutkannya. An-Nasa’i mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun (dari perawi hadits ini) yang mengatakan ﻭَﺗَﻮَﺿَّﺌِﻲ dalam hadits ini selain Hammad.”
Abu Dawud dan selainnya telah menyebutkan tentang wudhu dari riwayat ‘Adi ibn Tsabit dan Hubaib ibn Abi Tsabit serta Ayyub ibn Abi Miskin. Abu Dawud mengatakan, “Semuanya dhaif/lemah.” (al-Ikmal, 2/176)
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan berwudhu setiap kali shalat mudhtharibah (goncang) dan mu’allalah (berpenyakit). (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/450)
Dalam masalah wudhu wanita mustahadhah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat sebagaimana mazhab al-Imam Malik, yaitu wanita mustahadhah dan orang-orang yang terus-menerus mengalami hadats semisalnya, tidak wajib berwudhu setiap kali shalat, tetapi mustahab saja, karena tidak ada dalil yang menunjukkan wudhunya batal. Alasan lainnya, wudhu tidak berfaedah bagi orang yang terus-menerus berhadats tersebut, karena hadatsnya tidak hilang, namun terus ada pada dirinya. Pendapat ini yang belakangan dipegang oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin. (Lihat catatan kaki asy-Syarhul Mumti’ 1/503, Dar Ibnil Jauzi, cet. I, Dzulqa’dah 1422 H)

Tentang DARAH ISTIHADHAH

Sebagian wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji (kemaluan) di luar kebiasaan bulanannya (haidh) dan bukan karena melahirkan. Darah ini diistilahkan dengan darah istihadhah.

Wanita yang mengalami istihadhah tidak berlaku padanya hukum wanita haidh ataupun nifas, namun berlaku padanya hukum wanita suci. Sehingga perlu dibedakan pada darah yang keluar dari farji, apakah itu darah haidh atau darah istihadhah, karena hukum yang berlaku padanya berbeda. Cara membedakannya tergantung pada keadaan wanita yang istihadhah. Keadaan wanita yang istihadhah ada tiga:

Keadaan pertama:
Dia memiliki adat/kebiasaan haidh yang tertentu setiap bulannya sebelum ditimpa istihadhah. Ketika keluar darah dari farjinya, untuk membedakan apakah darah tersebut darah haidh atau darah istihadhah, kembali kepada kebiasaan haidhnya. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidhnya dan berlaku padanya hukum wanita haidh. Adapun di luar waktu itu bila masih keluar darah, berarti ia mengalami istihadhah dan berlaku pada dirinya hukum wanita suci (yakni suci dari haidh/ nifas).
Misalnya: seorang wanita adatnya 6 hari di tiap awal bulan. Kemudian ia ditimpa istihadhah yang menyebabkan darah keluar terus menerus dari farjinya. Maka 6 hari di awal bulan itu dianggap haidh, selebihnya istihadhah.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu 'anha. Fathimah menyangka, ia harus meninggalkan shalat karena istihadhah yang dialaminya. Maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam memberikan tuntunan:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga mengatakan kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin:
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari haidhmu kemudian mandilah.” (Shahih, HR. Muslim no. 334)

Keadaan kedua:
Ia tidak memiliki adat tertentu sebelum ditimpa istihadhah ataupun ia lupa adatnya, namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan darah haidh dengan istihadhah ia memakai cara tamyiz (mengenali sifat darah). Bila ia dapatkan bau tidak sedap dari darah yang keluar dan sifat-sifat lain yang ia kenali, berarti ia sedang haidh, selain dari itu berarti ia istihadhah.
Misalnya: seorang wanita keluar darah dari kemaluannya secara terus menerus, namun 10 hari yang awal darah yang keluar berwarna hitam selebihnya berwarna merah. Maka 10 hari yang awal itu dihitung haidh, selebihnya istihadhah.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu 'anha:
“Apabila darah itu darah haidh, maka dia berwarna hitam yang dikenal. Bila demikian darah yang keluar darimu, berhentilah shalat. Namun bila tidak demikian keadaannya, berwudhulah dan shalatlah.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan lainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 283, 284)

Keadaan ketiga:
Wanita itu tidak memiliki kebiasaaan haidh dan tidak pula dapat membedakan darah. Sementara, darah keluar terus menerus dari farjinya dan sifat darah itu sama (tidak berubah) atau tidak jelas. Maka cara membedakannya dengan melihat kebiasaan umumnya wanita, yaitu menganggap dirinya haidh selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Adapun selebihnya berarti istihadhah.
Misalnya: seorang wanita melihat pertama kali keluar darah dari kemaluannya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah darah haidh atau bukan. Maka dia menganggap dirinya haidh selama 6 atau 7 hari dimulai hari Kamis.
Hal ini berdasarkan sabda Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam kepada Hamnah:
“Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari setan, maka anggaplah dirimu haidh selama enam atau tujuh hari. Setelah lewat dari itu mandilah, maka apabila engkau telah suci shalatlah selama 24 atau 23 hari, puasalah dan shalatlah. Hal ini mencukupimu, demikianlah engkau lakukan setiap bulannya sebagaimana para wanita biasa berhaidh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya. Dinukilkan pula penshahihan Al-Imam Ahmad terhadap hadits ini, sedangkan Al-Imam Al-Bukhari menghasankannya. Lihat Subulus Salam, 1/159-160)
Al-Imam Ash-Shan‘ani berkata bahwa hadits ini menunjukkan, untuk menentukan haidh dengan yang selainnya, dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita. (Subulus Salam, 1/159)
Beliau juga menyatakan: “Ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits di atas: “Anggaplah dirimu haidh selama 6 atau 7 hari,” bukanlah keraguan dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan 6 atau 7 hari) dan bukan pula disuruh memilih antara 6 atau 7 hari. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan demikian untuk mengajarkan bahwasanya kaum wanita memiliki dua adat, di antara mereka ada yang haidh selama 6 hari dan ada yang 7 hari. Maka seorang wanita mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sebaya, dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam, 1/160)
Dan tentunya lebih pantas bagi wanita ini untuk melihat kerabatnya yang paling dekat seperti ibunya, saudara perempuannya, dan semisal mereka. Bukan kembalinya kepada kebiasaan umumnya wanita yang haidh, karena persamaan seorang wanita dengan kerabatnya lebih dekat daripada persamaannya dengan keumuman wanita. Demikian dikatakan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/434).

Wallahu a'lam.

Catatan:
Muncul permasalahan, bagaimana bila wanita yang istihadhah punya adat haidh dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz)? Mana yang harus dia dahulukan, adat atau tamyiz?
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad berpendapat tamyiz didahulukan. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy riwayat Abu Dawud. Mereka beralasan tamyiz merupakan tanda yang jelas sekali, maka sepantasnya kembali kepadanya.
Adapun Abu Hanifah berpendapat ‘adat didahulukan. Pendapat ini dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berdalil dengan hadits Ummu Habibah bintu Jahsyin.
Pendapat terakhir ini yang lebih benar, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dengan alasan:
1. Hadits yang di dalamnya ada penyebutan tamyiz diperselisihkan keshahihannya.
2. Penetapan dengan ‘adat lebih meyakinkan bagi seorang wanita karena sifat darah itu terkadang berubah atau keluarnya bergeser ke akhir bulan atau awal bulan atau terputus-putus sehari berwarna hitam, hari berikutnya berwarna merah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/427)
Misalnya: bila seorang wanita ‘adatnya 5 hari, pada hari ke-4 dari masa haidhnya keluar darah berwarna merah seperti darah istihadhah, namun pada hari ke 5 kembali darahnya berwarna hitam, maka ia berpegang dengan ‘adatnya yang 5 hari sehingga hari ke-4 yang keluar darinya darah berwarna merah, tetap terhitung dalam masa haidhnya.