Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimy rahimahullah berkata:
“Seorang ulama yang kokoh ilmunya adalah yang jika dia mendapatkan ilmu yang meyakinkan dalam sebuah masalah maka dia memegangi dengan kuat, dan dia tidak peduli dengan hal-hal yang terkadang menimbulkan keraguan terhadapnya, bahkan dia akan berpaling dari hal-hal yang menimbulkan keraguan tersebut, atau dia akan memperhatikannya dengan seksama berdasarkan apa yang telah dia yakini itu."
(Al-Anwaar Al-Kaasyifah, hal. 34)
Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata:
“Orang yang mengetahui kebenaran hanyalah yang mau mengumpulkan lima sifat, yang terbesar adalah ikhlash, lalu pemahaman, sikap inshaf (adil), yang keempat – INI YANG PALING SEDIKIT DAN SERINGNYA TIDAK ADA - yaitu semangat dalam berusaha mengetahui mana yang benar, dan semangat mendakwahkannya.”
(Qathfut Tsamar Fii Bayaani Aqiidati Ahlil Atsar, hal. 175)
Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya kebenaran akan senantiasa terjaga, berwibawa, berharga, dan mulia, namun dia tidak akan bisa diraih tanpa mau berusaha mencarinya, tidak tertarik dan tidak ada keinginan untuk mengetahuinya. Kebenaran tidak akan membangkitkan semangat para pengangguran dan orang-orang yang berpaling darinya, dan tidak akan menyeru orang-orang yang sifatnya seperti binatang ternak yang tersesat.”
(Qathfut Tsamar Fii Bayaani Aqiidati Ahlil Atsar, hal. 175)
Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
“Merupakan perkara yang telah diketahui bahwa tidak akan menerima kebenaran kecuali orang yang memang benar-benar mencarinya dan menginginkannya.”
(Majmuu’atut Tauhiid, risalah pertama, hal. 65)
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata:
“Musibah terbesar adalah seseorang ridha terhadap dirinya dan merasa puas dengan ilmu yang dia miliki. Ini merupakan bencana yang menimpa mayoritas manusia. Engkau bisa melihat seorang Yahudi atau Nasrani merasa dirinya di atas keyakinan yang benar, sehingga dia tidak mau lagi meneliti dan memperhatikan bukti kenabian yang ada pada nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan jika dia mendengar sesuatu yang akan melembutkan hatinya seperti Al-Qur’an yang penuh mu’jizat, dia justru lari karena memang tidak ingin mendengarnya. Demikian juga setiap orang yang memiliki hawa nafsu yang bercokol pada dirinya, apakah hal itu karena dia mengikuti madzhab ayahnya dan keluarganya, atau karena dia memiliki pandangan tertentu sehingga melihatnya sebagai kebenaran, namun dia tidak mau memperhatikan hal-hal yang menyelisihinya, dan juga tidak berusaha bertanya kepada para ulama agar menjelaskan kesalahannya kepadanya.”
(Shaidul Khaathir, hal. 374)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Hanya saja perlu diketahui bahwa mayoritas orang yang tersesat dalam masalah ini atau tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar padanya, hal itu hanyalah karena dia meremehkan sikap mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasul, tidak mau memperhatikan dan tidak pula mencari petunjuk yang bisa menyampaikannya kepada pengetahuan tentangnya. Maka tatkala mereka berpaling dari Kitab Allah, mereka pun tersesat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ﻓَﺈِﻣَّﺎ ﻳَﺄْﺗِﻴَﻨَّﻜُﻢْ ﻣِﻨِّﻲْ ﻫُﺪًﻯ ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻊَ ﻫُﺪَﺍﻱَ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻀِﻞُّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺸْﻘَﻰ. ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻋْﺮَﺽَ ﻋَﻦْ ﺫِﻛْﺮِﻱْ ﻓَﺈِﻥَّ ﻟَﻪُ ﻣَﻌِﻴْﺸَﺔً ﺿَﻨْﻜًﺎ ﻭَﻧَﺤْﺸُﺮُﻩُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺃَﻋْﻤَﻰ.
“Jika datang petunjuk dari-Ku kepada kalian, maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan juga tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia akan merasakan kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat nanti dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 123-124 )
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata: “Allah menjamin siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan benar-benar mengamalkan kandungannya, dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Lalu Ibnu Abbas membaca ayat di atas.
(Majmuu’ul Fataawa, III/314)
Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Hanyalah yang itu terjatuh ke dalam bid’ah itu orang yang kurang upayanya untuk mengikuti jalan yang ditempuh oleh para nabi baik secara ilmu maupun dalam pengamalannya.”
(Al-Jawaab Ash-Shahiih Liman Baddala Diinal Masiih, III/85)
Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menutup pembahasan tentang hukum thalaq (cerai) terhadap wanita yang sedang haidh dan membandingkan dua pendapat yang ada serta memilih pendapat yang menyatakan bahwa thalaq dalam keadaan seperti ini tidak jatuh, beliau mengatakan:
“Jika seseorang termasuk orang yang langkahnya pendek (meremehkan) dalam usaha mencari ilmu sehingga dia tidak mampu memahami dalil dengan benar dan tangannya menjulur ke tanah sehingga dia tidak mampu memetik buah ilmu, maka hendaklah dia menerima alasan orang lain yang telah mengerahkan segenap usahanya dan selalu berada di sekitar warisan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, menerapkannya dan berhukum kepadanya dengan semangat jika dia menjumpai perselisihan.”
(Zaadul Ma’aad, V/240)