Cari Blog Ini

Rabu, 17 September 2014

Tentang INAI

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata:

“Tidak apa-apa berhias dengan memakai inai, terlebih lagi bila si wanita telah bersuami di mana ia berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, maka yang benar hal ini mubah (dibolehkan) baginya, namun jangan menampakkannya kepada lelaki yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan.

Banyak pertanyaan yang datang dari para wanita tentang memakai inai ini pada rambut, dua tangan atau dua kaki ketika sedang haidh. Jawabannya adalah hal ini tidak apa-apa karena inai sebagaimana diketahui bila diletakkan pada bagian tubuh yang ingin dihias akan meninggalkan bekas warna dan warna ini tidaklah menghalangi tersampaikannya air ke kulit, tidak seperti anggapan keliru sebagian orang. Apabila si wanita yang memakai inai tersebut membasuhnya pada kali pertama saja akan hilang apa yang menempel dari inai tersebut dan yang tertinggal hanya warnanya saja, maka ini tidak apa-apa.”

[Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, 4/288]

Tentang MENGAJARI ANAK KECIL MENGHAFAL AL-QURAN

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu
Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah

Tanya:
Bolehkah ayah dan ibu mengajarkan hafalan Al-Qur’an kepada anak mereka yang masih kecil, sementara keduanya tahu si anak terkadang melantunkan surat yang dihafalnya di kamar mandi saat buang hajat, atau si anak membacanya dengan cara yang tidak pantas (terhadap Al-Qur’anul Karim), dalam keadaan si anak telah berulang kali diperingatkan?

Jawab:

“Iya, sepantasnya ayah dan ibu membacakan Al-Qur’anul Karim kepada anak mereka agar si anak menghafalnya dan keduanya memperingatkan si anak agar tidak membaca Al-Qur’an di tempat yang tidak sepantasnya. Kalau toh anak-anak tetap melakukannya maka mereka belum mukallaf (belum dibebani syariat, belum terkena perintah dan larangan). Mereka tidak berdosa. Ketika ayah atau ibu mendengar si anak membacanya di tempat yang tidak layak, hendaknya menerangkan bahwa hal itu tidak boleh.
Anak kecil harus dihasung untuk banyak menghafal Al-Qur’an. Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari tentang ‘Amr ibnu Salamah Al-Jarmi yang menjadi imam bagi kaumnya, padahal usianya baru enam atau tujuh tahun. Dan itu terjadi di masa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.”

[Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 151]

###

Jum'at, 25 Dzulhijjah 1436H / 9 Oktober 2015
Dijawab oleh Al Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah

PERTANYAAN

Bismillah
Afwan Ustadzah, mana metode menghafal Al-Qur'an yang bagus untuk anak, apa harus menunggu anak sudah bisa baca Al-Qur'an dengan benar paham tajwidnya baru boleh menghafal atau dimulai sejak dini sejak usia 3 tahun kita ajak mereka terbiasa menghafal dengan diperdengarkan murottal juz 30 tiap hari dan di murajaah kembali bersama umminya ba'da Maghrib?
Karena dengan metode ini hasilnya anak lebih cepat hafal, kadang anak usia 5 tahun sudah bisa hafal juz 30 taip belum  benar makhrajnya Ustadzah?
Jazakallahu khairan.

JAWABAN

Melihat para ulama dimana kebanyakan mereka telah hafal Al-Qur'an 30 juz sejak kanak-kanak, sehingga kita fahami bahwa di usia dini mereka telah belajar menghafal Al-Qur'an, bahkan sebelum belajar ilmu yang lain, mereka lebih dahulukan belajar menghafal Al-Qur'an, sebab usia 3 tahun misalnya untuk mengawali menghafal Al-Qur'an sangat bagus karena akal pikiran dan hati masih suci sehingga lebih cepat berhasil menghafal Al-Qur'an.
Adapun belajar tajwid lebih sulit dari belajar menghafal,  maka tajwid bisa dipelajari setelah usia anak semakin bertambah, dan setelah menghafal Al-Qur'an.
Barakallahu fiki.

Nisaa As-Sunnah

Tentang MENGHORMATI KUBURAN KAUM MUSLIMIN

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ﻟَﺄَﻥْ ﻳَﺠْﻠِﺲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻤْﺮَﺓٍ ﻓَﺘُﺤْﺮِﻕَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻪُ ﻓَﺘَﺨْﻠُﺺَ ﺇِﻟَﻰ ﺟِﻠْﺪِﻩِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻥْ ﻳَﺠْﻠِﺲَ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺒْﺮٍ
“Sungguh, salah seorang kalian duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya sampai menembus kulitnya lebih baik baginya daripada duduk di atas kuburan.” (HR. Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya kuburan muslimin memiliki kehormatan sebagaimana disebutkan dalam Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam karena kuburan adalah rumah orang yang telah meninggal. Tidak boleh dibiarkan ada najis di atasnya, menurut kesepakatan ulama. Tidak boleh pula diinjak atau menjadikannya tempat bertelekan, menurut pendapat kami dan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.”

Asy-Syaikh Muqbil berkata, “Kuburan teranggap rumah orang-orang yang telah meninggal. Tidak boleh seorang pun duduk di atasnya atau menjadikannya tempat lalu lalang kendaraan….”

Asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi mengatakan, “Pemerintah hendaknya mencegah orang-orang zalim yang menjadikan kuburan-kuburan sebagai jalan, pasar, dan tempat duduk-duduk mereka.” (Lihat al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid hlm. 195—196)

Menurut asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, kubur (seorang muslim) mempunyai dua hak atas kita:
1. Kita tidak boleh meremehkan kewajiban menghormatinya, yakni tidak boleh menghinakannya, tidak boleh pula duduk di atasnya.
2. Kita tidak ghuluw terhadapnya …
(Lihat al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid, 1/260)

Tentang BERUSAHA MENCARI KEBENARAN

Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimy rahimahullah berkata:
“Seorang ulama yang kokoh ilmunya adalah yang jika dia mendapatkan ilmu yang meyakinkan dalam sebuah masalah maka dia memegangi dengan kuat, dan dia tidak peduli dengan hal-hal yang terkadang menimbulkan keraguan terhadapnya, bahkan dia akan berpaling dari hal-hal yang menimbulkan keraguan tersebut, atau dia akan memperhatikannya dengan seksama berdasarkan apa yang telah dia yakini itu."
(Al-Anwaar Al-Kaasyifah, hal. 34)

Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata:
“Orang yang mengetahui kebenaran hanyalah yang mau mengumpulkan lima sifat, yang terbesar adalah ikhlash, lalu pemahaman, sikap inshaf (adil), yang keempat – INI YANG PALING SEDIKIT DAN SERINGNYA TIDAK ADA - yaitu semangat dalam berusaha mengetahui mana yang benar, dan semangat mendakwahkannya.”
(Qathfut Tsamar Fii Bayaani Aqiidati Ahlil Atsar, hal. 175)

Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya kebenaran akan senantiasa terjaga, berwibawa, berharga, dan mulia, namun dia tidak akan bisa diraih tanpa mau berusaha mencarinya, tidak tertarik dan tidak ada keinginan untuk mengetahuinya. Kebenaran tidak akan membangkitkan semangat para pengangguran dan orang-orang yang berpaling darinya, dan tidak akan menyeru orang-orang yang sifatnya seperti binatang ternak yang tersesat.”
(Qathfut Tsamar Fii Bayaani Aqiidati Ahlil Atsar, hal. 175)

Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
“Merupakan perkara yang telah diketahui bahwa tidak akan menerima kebenaran kecuali orang yang memang benar-benar mencarinya dan menginginkannya.”
(Majmuu’atut Tauhiid, risalah pertama, hal. 65)

Ibnul Jauzy rahimahullah berkata:
“Musibah terbesar adalah seseorang ridha terhadap dirinya dan merasa puas dengan ilmu yang dia miliki. Ini merupakan bencana yang menimpa mayoritas manusia. Engkau bisa melihat seorang Yahudi atau Nasrani merasa dirinya di atas keyakinan yang benar, sehingga dia tidak mau lagi meneliti dan memperhatikan bukti kenabian yang ada pada nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan jika dia mendengar sesuatu yang akan melembutkan hatinya seperti Al-Qur’an yang penuh mu’jizat, dia justru lari karena memang tidak ingin mendengarnya. Demikian juga setiap orang yang memiliki hawa nafsu yang bercokol pada dirinya, apakah hal itu karena dia mengikuti madzhab ayahnya dan keluarganya, atau karena dia memiliki pandangan tertentu sehingga melihatnya sebagai kebenaran, namun dia tidak mau memperhatikan hal-hal yang menyelisihinya, dan juga tidak berusaha bertanya kepada para ulama agar menjelaskan kesalahannya kepadanya.”
(Shaidul Khaathir, hal. 374)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Hanya saja perlu diketahui bahwa mayoritas orang yang tersesat dalam masalah ini atau tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar padanya, hal itu hanyalah karena dia meremehkan sikap mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasul, tidak mau memperhatikan dan tidak pula mencari petunjuk yang bisa menyampaikannya kepada pengetahuan tentangnya. Maka tatkala mereka berpaling dari Kitab Allah, mereka pun tersesat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ﻓَﺈِﻣَّﺎ ﻳَﺄْﺗِﻴَﻨَّﻜُﻢْ ﻣِﻨِّﻲْ ﻫُﺪًﻯ ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻊَ ﻫُﺪَﺍﻱَ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻀِﻞُّ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺸْﻘَﻰ. ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻋْﺮَﺽَ ﻋَﻦْ ﺫِﻛْﺮِﻱْ ﻓَﺈِﻥَّ ﻟَﻪُ ﻣَﻌِﻴْﺸَﺔً ﺿَﻨْﻜًﺎ ﻭَﻧَﺤْﺸُﺮُﻩُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺃَﻋْﻤَﻰ.
“Jika datang petunjuk dari-Ku kepada kalian, maka barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan juga tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya dia akan merasakan kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat nanti dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 123-124 )
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata: “Allah menjamin siapa saja yang membaca Al-Qur’an dan benar-benar mengamalkan kandungannya, dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Lalu Ibnu Abbas membaca ayat di atas.
(Majmuu’ul Fataawa, III/314)

Ibnu Taimiyah juga berkata:
“Hanyalah yang itu terjatuh ke dalam bid’ah itu orang yang kurang upayanya untuk mengikuti jalan yang ditempuh oleh para nabi baik secara ilmu maupun dalam pengamalannya.”
(Al-Jawaab Ash-Shahiih Liman Baddala Diinal Masiih, III/85)

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menutup pembahasan tentang hukum thalaq (cerai) terhadap wanita yang sedang haidh dan membandingkan dua pendapat yang ada serta memilih pendapat yang menyatakan bahwa thalaq dalam keadaan seperti ini tidak jatuh, beliau mengatakan:
“Jika seseorang termasuk orang yang langkahnya pendek (meremehkan) dalam usaha mencari ilmu sehingga dia tidak mampu memahami dalil dengan benar dan tangannya menjulur ke tanah sehingga dia tidak mampu memetik buah ilmu, maka hendaklah dia menerima alasan orang lain yang telah mengerahkan segenap usahanya dan selalu berada di sekitar warisan ilmu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, menerapkannya dan berhukum kepadanya dengan semangat jika dia menjumpai perselisihan.”
(Zaadul Ma’aad, V/240)