Cari Blog Ini

Senin, 03 Oktober 2016

Tentang DR. AHMAD MU’ADZ HAQQIY

Siapakah DR. Ahmad Mu’adz Haqqiy ?

PERTANYAAN
Assalamu'alaykum ustadz, 'afwan, siapakah DR. Ahmad Mu’adz Haqqiy itu?apakah boleh mengambil ilmu dari tulisannya?

JAWABAN

Wa'alaykumussalam warohmatullah.
Secara khusus belum diketahui tentang manhaj beliau. Hanya diperoleh data bahwa beliau adalah akademisi bidang Aqidah dan Madzhab Kontemporer, dan telah memperoleh gelar Profesor dan mengajar di beberapa Universitas. Hanya sekedar itu, sehingga belum bisa disarankan untuk dirujuk karya-karyanya. Karena sebagaimana kesimpulan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau IbnulQoyyim alJauziyyah rahimahumallah, (secara makna) bahwa asal keadaan manusia itu adalah "jahalah" (tidak dikenal kebaikannya). Sehingga diterapkan selektif dalam menuntut ilmu dengan tidak mengambil ilmu kecuali dari yang telah jelas kebaikan di atas kebenaran.

Kecuali jika ada yang memperoleh rekomendasi dari para ulama.
Mungkin ada yang lebih dulu memperolehnya silahkan disampaikan.

والله الموفق لما فيه رضاه

__________
Ustadz Abu Abdirrahman Sofian - Probolinggo

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/siapakah-dr-ahmad-muadz-haqqiy.html

BANTAHAN SYUBHAT TENTANG BID’AH

BANTAHAN SYUBHAT TENTANG BID'AH

Ini kami dapat postingan dari group sebelah pencerahan perihal bid'ah, memang bener hati hati kita dg ringannya memvonis krn beda pendapat dg kita maka perbuatan itu disebut bid'ah, sebagai mana contoh dibawah sesama ulama terkemuka panutan kawan kawan salafi mengklaim bahwa pendapat yg berbeda dgnya adalah bid'ah. Sehingga kita yg awam jadi bingung pendapat mana yg mau diikuti???

Pilihlah satu jawaban yang benar menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHALIH!

:: Soal tasbih: Apakah? ::

A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!

Menggunakan tasbih untuk menghitung bilangan dzikir?

Ayo, dijawab dengan benar sesuai pemahaman salaf. Boleh bertanya kepada Mbah Google. Sudah ketemu jawabannya?

Jawab: Apakah jawaban anda A? Jika iya, selamat! Anda berarti sependapat dengan Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Beliau memang dengan tegas menyebut bahwa penggunaan tasbih untuk dzikir itu bid’ah. Beliau menyebut:

أن السبحة بدعة لم تكن في عهد النبي صلى الله عليه وسلم. (سلسلة الأحاديث الضعيفة 
والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة، الألباني، (1/ 185)

Penggunaan tasbih itu bid’ah, karena tak ada di zaman Nabi. (al-Albani, Silsilat al-Ahadits ad-Dhaifah, h. 1/ 185).

So, jawaban yang benar menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHALIH untuk pertanyaan ini apakah “A”?

Eitss, nanti dulu. Itu bukan menurut al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman SALAFUSSHALIH. Itu pendapat Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H).

“Oh, tidak bisa. Sekali bid’ah ya bid’ah. Sudah jelas dalilnya. Semua bid’ah adalah sesat. Semua harus mengikuti dalil. Amalan itu harus ada dalilnya. Jika saja itu baik, pasti Nabi dan Salafusshalih sudah lebih dahulu mengamalkannya.”

Wah, apakah dalam hati Anda berkata seperti itu? Jika iya, sepertinya ada baiknya Anda menambah referensi tempat ngaji dan sesekali mengganti channel TV Islami Anda.

Itu tak lebih hanya jargon marketing, yel-yel MLM. Sebagaimana jual jamu yang katanya, “bisa menyembuhkan segala macam penyakit, dari ramuan asli nenek moyang.” Semua hukum kok dalilnya “tidak ada dalilnya”.

Perlu diketahui, menurut Syeikh Utsaimin (w. 1421 H) penggunaan tasbih untuk berdzikir itu boleh lho. Beliau menyebutkan:

فإن التسبيح بالمسبحة لا يعد بدعة في الدين؛ لأن المراد بالبدعة المنهي عنها هي البدع في الدين، والتسبيح بالمسبحة إنما هو وسيلة لضبط العدد. مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (13/ 241)

“Membaca tasbih dengan alat tasbih itu tidak dianggap bid’ah. Karena maksud dari bid’ah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan membaca dzikir tasbih dengan alat tasbih itu hanya cara untuk menghitung bilangan.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmu’ Fatawa, h. 13/ 241)

Begitu juga disampaikan oleh Syeikh bin Baz (w. 1420 H). Beliau menyebutkan:

يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى، وتركها ذلك في بيته، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان. مجموع فتاوى ابن باز (29/ 318)

“Boleh saja menghitung bilangan tasbih dengan kerikil, alat tasbih, atau biji. Sedangkan melakukan hal itu hanya di rumah saja, sehingga orang tidak bertaqlid kepada hal itu maka lebih baik. Sebagian para salaf dahulu juga mengamalkannya. Hanya saja menghitung dzikir dengan jari itu lebih baik.” (Ibnu Bazz, Majmu’ Fatawa, h. 29/ 318).

Malahan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menyebut bahwa menggunakan tasbih untuk menghitung bilangan dzikir itu sesuatu yang baik. Beliau menyebutkan:

وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي صلى الله عليه وسلم أم المؤمنين تسبح بالحصى وأقرها على ذلك وروي أن أبا هريرة كان يسبح به. (مجموع الفتاوى، ابن تيمية، 22/ 506)

“Menghitung bilangan dzikir dengan biji, krikil atau selainnya itu perkara yang baik. Sebagian shahabat Nabi juga pernah melakukannya.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, h. 22/ 506).

Siapa yang sesuai Salafusshalih?

Lantas, siapakah dari mereka yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman SALAFUSSHALIH?. Kata al-Albani, di zaman Nabi tidak ada. Kata Ibnu Taimiyyah, sudah ada di zaman Nabi, malahan dianggap sesuatu yang hasanah.

Apakah Anda bingung pilih yang mana? Atau perkara bid’ah ini khilafiyyah? Bukankah semua bid’ah itu tersesat? Adakah bid’ah khilafiyyah?

Jika Anda bingung, kita lanjut ke pertanyaan berikutnya.

:: Soal adzan di dalam masjid, Apakah? ::

A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!

Melaksanakan adzan di dalam masjid?

Masak sih bid’ah? Pertanyaan macam apa ini? Bukankah kebanyakan adzan itu di dalam masjid?

Jangan salah! Menurut Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), adzan di dalam masjid itu bid’ah. Beliau menyebut:

أن الأذان في المسجد بدعة على كل حال. الأجوبة النافعة عن أسئلة لجنة مسجد الجامعة، الألباني، (ص: 70)

“Pokoknya, Adzan di dalam masjid itu bid’ah”. (Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Ajwibah an-Nafiah, h. 70).

Nah, adzan di dalam masjid itu bid’ah menurut Syeikh al-Albani. Mungkin beliau pernah hadir di masjid Nabawi dulu dan melihat adzannya tak di dalam masjid.

Hanya saja Lajnah Daimah Arab Saudi membantahnya. Disebutkan dalam fatwanya:

لا ينبغي الإنكار على المؤذن إذا أذن داخل المسجد؛ لأننا لا نعلم دليلاً يدل على الإنكار عليه‏. (اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء، ص. 8/ 200)

“Tak sepantasnya inkar terhadap orang adzan di dalam masjid. Karena kita pun tak tahu dalil yang menujukkan pengingkaran itu” (Lajnah Daimah, h. 8/ 200).

Pertanyaan berikutnya.

:: Soal membuat mihrab atau tempat imam dalam masjid, Apakah? ::

A. Bid’ah
B. Tidak bid’ah
C. Bisa jadi bid’ah
D. Masak sih bid’ah!

Membuat mihrab atau tempat imam dalam masjid?
Apakah jawaban Anda? Seberapa seriuskah anda anti terhadap bid’ah?

Jika jawaban Anda “A”. Anda lagi-lagi sependapat dengan Al-Albani (w. 1420 H). Beliau dengan tegas menyebut bahwa mihrab itu bid’ah. Beliau menyebut:

وجملة القول: أن المحراب في المسجد بدعة، ولا مبرر لجعله من المصالح المرسلة. (سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة، الألباني، 1/ 647)

Mihrab itu bid’ah. Tak ada alasan mengatakannya mashlahah mursalah. (al-Albani, Silsilat al-Ahadits ad-Dhaifah, h. 1/ 647).

Jika bid’ah, apakah harus dihancurkan mihrab itu? Karena katanya setiap bid’ah itu pasti dhalalah.

Ternyata hal berbeda diungkap oleh Syeikh Utsaimin (w. 1421 H). Beliau menyebut bahwa mihrab itu mubah. Beliau menyebut:

والذي أرى أن اتخاذ المحاريب مباح. مجموع فتاوى ورسائل العثيمين (12/ 412)

“Hal yang saya ketahui bahwa membuat mihrab itu mubah.” (Ustaimin, Majmu’ Fatawa, h. 12/ 412).

Hal itu dikuatkan dengan fatwa dari Lajnah Daimah Arab Saudi. Disebutkan:

لم يزل المسلمون يعملون المحاريب في المساجد في القرون المفضلة وما بعدها؛ لما في ذلك من المصلحة العامة للمسلمين، ومن ذلك بيان القبلة وإيضاح أن المكان مسجد. فتاوى اللجنة الدائمة - 1 (6/ 256)

“Umat Islam sejak dahulu telah membuat mihrab dalam masjid mereka, termasuk di zaman salaf dan setelahnya. Hal itu demi kemaslahatan umat Islam.” (Fatawa Lajnah Daimah, h. 6/ 256).

:: Bid’ah khilafiyyah ::

Jika dari ketiga contoh kasus diatas, para ulama panutan gerakan anti bid’ah hasanah itu berbeda pendapat terkait bid’ah, sebenarnya hal itu juga berlaku sama pada permasalahan bid’ah-bid’ah yang lain.

Permasalah bid’ah itu seringnya bukan terkait dalil atau tidak adanya dalil. Tetapi lebih kepada "ta’rif" atau pendefinisian sesuatu yang baru, dan "takyif syar’i" atau penyesuaian kasus baru dengan dalil-dalil syar’i yang sudah ada.

Jadi, siapakah dewan juri yang paling berhak dan punya “stempel” menetapkan jawaban dari permasalah-permasalah yang dianggap bid’ah?

Jawabnya adalah para ulama Islam. Tentunya ulama’nya tidak hanya monopoli golongan tertentu saja. Ada bid'ah yang disepakati dhalalahnya, ada pula bid'ah yang masih diperselisihkan dhalalahnya. Waallahua’lam bisshawab.

JAWABAN

Ya, syubhat yang berbahaya jika digeneralisir.
Yang terjadi perselisihan memahami suatu masalah kontemporer bisa jadi khilafiyyah.
Tersisa pertanyaan yang pasti perlu jawaban ADAKAH YANG BISA DIKUATKAN diantara sekian perselisihan?
Sebagaimana dalam masalah khilafiyyah tata cara ibadah umyang terjadi sejak dahulu. Apakah kita biarkan diri kita terkadang menerapkan bersedekap cara madzhab maliki, boleh juga menjuntaikan lengan tanpa sedekap sebagaimana al ahnaf pada lain waktu.
Atau kita perlu mengkaji, dan menimbang riwayat dan perselisihan yang terjadi, kemudian kita bersikap sesuai yang paling mendekati nash dan pemahaman generasi terbaik?

Masalahnya sekali lagi pada MENGENERALISIR dan tidak menyebut SECARA RINCI.

Seandainya, si penulis jantan, silahkan menyebutkan apa yang dia merasa resah dalam "perbedaan" terhadap suatu hal yang dihukumi BIDAH, dan silahkan datangkan juga siapa-siapa tokoh yang berpendapat pada setiap pendapat, akan jelas bagi kita yang dimaukan.

Adapun ahlul 'ilm yang mereka adalah ahlul ijtihad maka kesalahan jika terjadi diyakini tetap beroleh ajr, sementara yang benar akan mendapatkan secara berganda.
Namun itu tidak diperoleh pihak yang sok jadi ulama, dan bersikap merendahkan mereka.

والله المستعان وعليه التكلان

Ternyata memang dari simpatisan Sayyid Quth (Quthbiyyun)

Penggalan (ejekan) terakhir dari si penulis

*Kuis ini berhadiah haji ke Makkah. Hanya biar tidak bid’ah hadiahnya, maka pergi hajinya naik unta.
Source: *Ust. Hanif Luthfi, Lc*

generasis*l*f.wordpress.com/2016/09/21/kuis-anti-bidah/


bukti kecintaan penulis pada sosok Sayyid Quthb, inspirator terorisme modern

__________
Ustadz Abu Abdirrahman Sofian

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/bantahan-syubhat-tentang-bid.html

Tentang MENCUCI KAKI KETIKA BERWUDHU

HARUSKAH MERATAKAN AIR DENGAN TANGAN SAAT BERWUDHU?

PERTANYAAN
Jazakallahu khoiron ustadz. afwan,  mohon penjelasannya kembali, mengenai mencuci kaki, apakah wudhunya sudah sah jika hanya mengalirkan/menyiramnya saja atau harus selalu disertai dengan meratakan air menggunakan tangan ?

JAWABAN

Jumhur Ulama berpendapat bahwa menyiramkan saja (asalkan merata terkena seluruh bagian) sudah mencukupi. Sah. Sedangkan meratakan air dgn tangan adalah mustahab (disukai) dan menjadikan lebih sempurna.

__________
Ustadz Kharisman

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/haruskah-meratakan-air-dengan-tangan.html

Perayaan Tahun Baru Hijriah Dalam Pandangan Islam

Dan termasuk suatu perkara yang baru dalam islam yaitu perayaan tahun baru hijriyah di hari pertama bulan muharram pada setiap tahunnya dengan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya, hari libur dan sebagainya.

al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya: “Hari-hari ini banyak disebarkan melalui media-media ajakan untuk beristighfar dan bertaubat pada Akhir Tahun Hijriyah, serta mengucapkan selamat dengan datangnya Tahun Baru?”
Belaiu menjawab: “Semua itu BID’AH. Sebenarnya tidak ada Tahun Baru, itu sekedar istilah. Tidak ada tahun baru. Setiap hari mungkin saja engkau menyempurnakan tahun dari umurmu, setiap hari, setiap bulan, dan setiap pekan, sesuai dengan waktu kelahiranmu, tidak terikat dengan bulan Muharram.

Namun itu (penyebutan tahun baru) hanyalah istilah. Dulu Khalifah ‘Umar bin al Khattab radhiyallahu ‘anhu bermusyawarah dengan para shahabat, karena berdatangan kepada beliau surat-surat dinas dari para gubernur dan pegawai beliau tanpa ada tanggalnya, sehingga tidak diketahui kapan surat tersebut ditulis. Maka beliaupun bermusyawarah dengan para shahabat.

Padahal ketika itu kalender miladi/masehi sudah ada. Namun beliau dan para shahabat tidak mau ikut-ikutan Yahudi dan Nashara.

Maka pendapat mereka sepakat untuk membuat penanggalan berdasarkan hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena hijrah merupakan peristiwa terbesar dalam Islam. Maka dijadikanlah peristiwa tersebut sebagai awal kalender hijriyyah, karena suatu mashlahah (perkara kebaikan) dan kebutuhan.

Sehingga tidak ada pengkhususan tahun hijriyah dengan ucapan selamat, tidak pula dikhususkan dengan do’a tertentu. Karena itu tidak ada dasarnya. Jadi hal tersebut adalah bid’ah.

sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=140856

Disebutkan oleh al Imam al Miqrizi as Syafi’i rahimahullah bahwa kelompok pertama yang mengadakan hari peringatan tahun baru hijriyah pada bulan muharram adalah kelompok yang disebut Fatimiyyun di negeri Mesir.

Dijadikannya bulan muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah oleh Amirul Mu’minin Umar bin al Khattab radhiyallahuanhu dikarenakan pada bulan inilah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke kota Madinah, meskipun pada akhirnya beliau baru bisa hijrah ke madinah pada bulan Rabi’ul awwal sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah.

Kesimpulannya, perayaan Tahun BAru Hijriyah yang pada waktu lalu banyak dilakukan oleh kaum muslimin adalah suatu perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. sepantasnya bagi kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan merayakan perayaan Tahun Baru, baik Tahun Baru Hijriyah terlebih Tahun Baru Masehi.

Wallahu a’lam bis showab.

The post Perayaan Tahun Baru Hijriah Dalam Pandangan Islam appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/03/perayaan-tahun-baru-hijriah-pandangan-islam/