Cari Blog Ini

Rabu, 21 Oktober 2015

Tentang MELUDAH DAN BUANG DAHAK

Seorang muslim, sikapnya selalu ditimbang dengan dalil. Karenanya, ia paling semangat menuntut ilmu, untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian. Diam dan geraknya selalu terkait dengan boleh atau tidak, pahala ataukah dosa.

Semakin ia terikat dengan hukum syariat, ketika itu pula jiwa penghambaannya kepada Allah semakin besar. Pada titik ideal, ia akan sampai kepada derajat Ihsan, mencapai muraqabatullah. Yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.

Dahulu, Sufyan bin Said Ats Tsauri pernah mengatakan:
إنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَحُكَّ رَأْسَكَ إلَّا بِأَثَرٍ فَافْعَلْ
“Apabila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan dalil, maka lakukanlah!” [Al Jami’ li Akhlaqi Ar Rawi]

Memang, Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya telah gamblang dijelaskan di dalamnya. Dari aktivitas paling ringan sampai urusan terbesar yang menyangkut umat seluruhnya. Semuanya tergariskan dengan jelas di sana. Masalahnya, kita mau belajar atau tidak.

Meludah, juga buang dahak pun ada aturannya. Bukan hanya sisi adab atau tinjauan kesehatan, bahkan syariat mengatur sedemikian rupa untuk maslahat bersama. Lebih dari itu, hikmahnya adalah untuk memuliakan syiar Islam. Nah, bagaimana keterangan dan pembahasannya seputar adab berikut sedikit bahasan tentangnya. semoga bermanfaat.

Dilarang meludah ke arah kiblat

Rasulullah menjelaskan dalam hadits beliau:
مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَفْلُهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
“Siapa yang meludah ke arah kiblat, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan ludahnya di antara kedua matanya.” [H.R. Abu Dawud dari shahabat Hudzaifah bin Al Yaman oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah]

Hadits yang semakna, Rasulullah bersabda yang artinya, “Orang yang membuang dahak ke arah kiblat, akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan dahaknya di wajahnya.” [H.R. Ibnu Hibban dari shahabat Abdullah bin Umar dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash Shahihah]

Al Hafizh Ibnu Hajar (dalam Fathul Bari) menukilkan dan membenarkan pernyataan An Nawawi tentang dilarangnya meludah (termasuk buang dahak) ke arah kiblat secara mutlak, baik di luar atau di dalam shalat. Demikian pula pendapat Ash Shan’ani (Subulus Salam), juga Al Albani (dalam Ash Shahihah). Di kitab beliau tersebut, Asy Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hal ini termasuk adab dan pemuliaan terhadap Ka’bah.

Apabila harus meludah saat shalat

Ketika terpaksa harus meludah saat shalat, maka boleh meludah ke arah kirinya dengan syarat tidak ada jamaah yang lain. Kalau ada orang lain, bisa meludah ke bawah kakinya apabila lantainya tanah atau pasir, sehingga memungkinkan untuk ditutup dengan tanah. Seandainya lantainya keramik atau karpet, maka meludah ke tisu atau sapu tangan, atau bisa juga ke bajunya. Berdasarkan riwayat bahwa Nabi pernah melihat dahak di kiblat masjid. Kemudian beliau bersabda:
مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ
“Bagaimana ada seorang di antara kalian menghadap Rabbnya, lalu membuang dahak di hadapan-Nya? Apakah ia mau ada orang membuang dahak di wajahnya? Apabila harus buang dahak, maka ke kirinya, di bawah kakinya. Kalau tidak memungkinkan juga maka seperti ini. (Seorang perawi hadits ini yang bernama Al Qasim mempraktikkannya dengan meludah ke bajunya kemudian mengusapkan dengan bagian baju yang lain).” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Hurairah]

Dalam hadits yang lain beliau membimbingkan:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلَا يَبْصُقْ أَمَامَهُ فَإِنَّمَا يُنَاجِي اللهَ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ فَإِنَّ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكًا وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ فَيَدْفِنُهَا
“Apabila kalian shalat, maka jangan meludah ke arah depannya. Karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Allah. Jangan pula ke kanannya, karena di kanannya ada malaikat. Akan tetapi ke kirinya atau bawah kakinya.” [H.R. Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah]

Meludah di dalam masjid?

Masjid adalah tempat mulia khusus untuk berdzikir, membaca Al Qur’an, shalat, dan amal shalih lainnya. Maka dilarang membuang semua bentuk kotoran, termasuk ludah dan dahak. Inilah salah satu cara mengagungkan syiar Islam, rumah Allah ini. Bahkan disebutkan secara khusus bahwa orang yang meludah atau membuang dahak di masjid, ia telah melakukan sebuah kesalahan. Rasulullah bersabda:
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di masjid adalah kesalahan, dan tebusannya adalah dengan menutupnya dengan tanah.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik]

Dalam bahasa yang lebih tegas Rasulullah bersabda yang artinya, “Ditampakkan kepadaku amal umatku, amalan yang baik dan buruknya. Aku mendapati termasuk amal baiknya adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Adapun amalan jeleknya di antaranya membuang dahak di masjid tanpa ditutup tanah.” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Dzar]

Apabila lantai masjid bukan tanah atau terhampar karpet, dijelaskan dalam sebuah riwayat untuk meludah pada kain (bisa pula tisu) kemudian dibuang di luar masjid.
مَنْ دَخَلَ هَذَا الْمَسْجِدَ فَبَزَقَ فِيهِ أَوْ تَنَخَّمَ فَلْيَحْفِرْ فَلْيَدْفِنْهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيَبْزُقْ فِي ثَوْبِهِ ثُمَّ لِيَخْرُجْ بِهِ
“Siapa yang masuk masjid ini, kemudian meludah atau buang dahak di dalamnya, hendaknya ia membuat lubang untuk menimbunnya. Kalau tidak demikian, maka meludahlah di kainnya kemudian dibawa keluar.” [H.R. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]

Demikian solusi apabila terpaksa harus meludah di dalam masjid. Yang terbaik tentu di luar masjid dengan tanpa menghadap kiblat dan ditimbun tanah atau di kloset. Hal ini lebih sesuai dengan adab. Karena kebanyakan orang memang merasa risih dengan ludah, apalagi dahak. Sementara, memerhatikan kenyamanan orang lain adalah tindakan terpuji. Bahkan, membuangnya dengan sembarangan bisa jadi mendapat dosa, apabila ternyata orang lain merasa terganggu.

Dari sisi kesehatan pun tidak kalah penting. Karena, dengan izin Allah, ludah atau dahak merupakan salah satu media penularan penyakit-penyakit tertentu. Seperti TBC, batuk, dan yang lainnya.

Semoga, sedikit yang disampaikan ini menjadi ilmu yang berbuah amal shalih. Dan Allahlah tempat memohon pertolongan. Allahu a’lam.

[farhan]

Sumber : Majalah Tashfiyah

Gema Darussunnah

###

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin ditanya:
هل النهي عن البصاق قبل الوجه خاص بالصلاة، أو هو عام فيشمل خارج الصلاة أيضا؟
Apakah larangan meludah menghadap ke depan khusus ketika shalat atau umum mencakup di luar shalat juga?

Dijawab oleh Syaikh Muhammad Al Utsaimin:
قال بعض العلماء: إنه حتى في خارج الصلاة لا ينبغي للإنسان أن يبصق قبل وجه، ولكن عن يسار ه،ما لم يكن عن يساره أحد، لكن ظاهر الحديث أنه خاص بالصلاة، إلا إن ورد حديث يدل على العموم فعلى ما ورد
Berkata sebagian ulama’:
“Sesungguhnya perkara meludah, meskipun di luar shalat tidak pantas bagi seseorang untuk meludah menghadap ke depan, akan tetapi hendaknya dia meludah dari sebelah kirinya apabila sebelah kirinya tidak ada orang. Akan tetapi zhahir hadits menunjukkan larangan tersebut khusus ketika shalat, kecuali jika datang hadits yang menunjukkan keumumannya maka sesuai dengan apa yang datang (berupa keumuman baik di dalam sholat maupun di luar shalat -ed).”

Dinukil dari kitab Syarh Al Bukhari Karya Fadhilatus Syaikh Pada Bab Hukum Meludah Dengan Tangan Di Masjid.

Wallahu A’lam.

Alih bahasa:
Tim سالكات منهج السلف , telah dikoreksi oleh Al Ustadzah Umm Hudzaifah As Samarindiyyah حفظها الله

Tentang LARANGAN MENOLAK LAMARAN SEORANG LELAKI YANG BAIK AKHLAK DAN AGAMANYA

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺗَﺎﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﺗَﺮْﺿَﻮْﻥَ ﺧُﻠُﻘَﻪُ ﻭَﺩِﻳْﻨَﻪُ ﻓَﺰَﻭِّﺟُﻮْﻩُ. ﺇِﻟَّﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮْﺍ ﺗَﻜُﻦْ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﻓَﺴَﺎﺩٌ ﻋَﺮِﻳْﺾ
Jika datang seorang lelaki yang melamar anak gadismu, yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah (musibah) dan kerusakan yang merata di muka bumi.
[HR.At-Tirmidziy dalam Kitab An Nikah (1084, 1085) dan Ibnu Majah dalam Kitab An Nikah (1967). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1022)]

Tentang MAKAN DI ATAS MEJA MAKAN DAN MAKAN MENGGUNAKAN SENDOK DAN GARPU

APAKAH PARA SAHABAT NABI PERNAH MAKAN MAKANAN YANG DIHIDANGKAN DI ATAS MEJA?

Makan dengan makanan yang dihamparkan pada nampan atau di atas lantai tidak dengan meja makan adalah perbuatan yang dilakukan para Sahabat Nabi. Namun bukan berarti para Sahabat Nabi tidak pernah makan di atas meja makan sama sekali.

Sahabat Nabi Anas bin Malik radhiyallahu anhu tidak pernah mengetahui Nabi makan di atas meja makan, namun pernah terjadi –berdasarkan riwayat Sahabat Nabi lain- bahwa dihidangkan makanan di atas khuwaan (sejenis meja makan dari kayu) dan Nabi tidak mengingkarinya.

Berikut ini akan disebutkan hadits Anas bin Malik yang tidak pernah melihat Nabi makan di atas meja makan dan juga hadits bahwa sebagian Sahabat makan yang dihidangkan di atas meja makan dan tidak diingkari oleh Nabi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا أَكَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلَا فِي سُكُرُّجَة
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu beliau berkata: Tidak (pernah) Nabi shollallahu alaihi wasallam makan di atas meja ataupun menggunakan sukurrujah (sejenis bejana kecil). (H.R al-Bukhari)
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَعِنْدَهُ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَامْرَأَةٌ أُخْرَى إِذْ قُرِّبَ إِلَيْهِمْ خُوَانٌ عَلَيْهِ لَحْمٌ فَلَمَّا أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْكُلَ قَالَتْ لَهُ مَيْمُونَةُ إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ فَكَفَّ يَدَهُ وَقَالَ هَذَا لَحْمٌ لَمْ آكُلْهُ قَطُّ وَقَالَ لَهُمْ كُلُوا فَأَكَلَ مِنْهُ الْفَضْلُ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَالْمَرْأَةُ
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika berada di sisi Maimunah dan bersama beliau ada al-Fadhl bin Abbas dan Kholid bin al-Walid dan seorang wanita lain, pada saat itu didekatkan pada mereka khuwaan (meja) yang di atasnya terdapat daging. Nabi shollallahu alaihi wasallam sudah akan mengambil makanan tersebut, Maimunah berkata kepada beliau: Sesungguhnya itu adalah daging ad-Dhobb (mirip biawak). Maka Nabi menahan diri (tidak jadi makan). Kemudian beliau bersabda: Ini adalah daging yang aku belum pernah memakannya. Kemudian beliau berkata kepada para Sahabat: Makanlah! Maka makanlah al-Fadhl, Kholid bin al-Waliid, dan seorang wanita. (H.R Muslim dari Ibnu Abbas)

Makan di atas meja dengan sendok dan garpu juga bukanlah tasyabbuh dengan orang-orang Kafir.

Berikut kutipan dan terjemahan fatwa al-Lajnah ad-Daaimah:
س: هل صحيح أن الأكل على الطاولة (غرف السفرة) تشبها بالكفار، وهل استعمال الملعقة أو الشوكة أثناء الأكل من الكبر، أو من التشبه بالكفار؟
ج: لا حرج في الأكل على ما ذكر من الطاولة ونحوها، ولا في الأكل بالشوكة والملعقة ونحوهما، وليس في ذلك تشبه بالكفارة لأنه ليس مما يختص بهم. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Pertanyaan: Apakah benar bahwa makan di atas meja makan (ruang makan) adalah tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Apakah menggunakan sendok dan garpu pada saat makan termasuk kesombongan atau tasyabbuh dengan orang-orang kafir?
Jawab:
Tidak mengapa makan sebagaimana yang disebutkan, di atas meja makan dan semisalnya. Tidak mengapa pula makan dengan garpu dan sendok dan semisalnya. Yang demikian bukanlah tasyabbuh dengan orang-orang kafir karena hal itu bukan kekhususan perbuatan mereka .
Wa billahit taufiq wa shollallahu ala nabiyyinaa muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
Al-Lajnah ad-Daaimah lil buhuuts wal iftaa’
Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrozzaq Afiifi
Anggota : Abdullah bin Ghudayyan
(fatwa no 11292).

Intinya, makan dengan makanan yang dihamparkan di atas lantai/ tanah dan makan bersama adalah sesuatu yang sering dilakukan Nabi dan para Sahabat. Sesuatu hal yang utama. Namun, tidaklah dikatakan bahwa makan di atas meja adalah sesuatu hal yang terlarang atau perbuatan yang munkar. Demikian juga makan berjamaah adalah lebih utama, namun makan sendiri-sendiri bukanlah sesuatu hal yang terlarang.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
…Tidak ada dosa bagi kalian makan bersama-sama atau sendiri-sendiri…(Q.S anNuur ayat 61)

Tambahan catatan:
Penjelasan makna khuwaan sebagai meja dari kayu bisa dilihat pada ‘Anul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud.
Wallaahu A’lam.

(Abu Utsman Kharisman)

WA al-I’tishom

WSP

Hanya Sedikit Faedah

###

Syaikh Al Albani rahimahullohu ta'ala

Beliau mengatakan:
و من الغريب أن بعضهم يستوحش من الأكل بالمعلقة، ظناً منه أنه خلاف السنة مع أنه من الأمور العادية، لا التعبدية، كركوب السيارة و الطيارة و نحوها من الوسائل الحديثة
Termasuk perkara yang Aneh ada sebagian orang yang merasa tidak nyaman jika makan dengan sendok karena dia beranggapan bahwa makan dengan sendok itu menyelisihi sunnah.
Padahal makan dengan sendok termasuk perkara adat bukanlah perkara ibadah.
Makan dengan sendok itu semisal dengan naik mobil, pesawat terbang ataupun sarana transportasi modern yang lain.

Silsilah Dhoifah 
At Ta'lik ala hadis 1202

Al Marony 

Forum Ilmiyah Karanganyar