Cari Blog Ini

Rabu, 24 September 2014

Tentang SAJADAH UNTUK SHALAT

Fatwa Asy-Syaikh AbdulAziz bin Abdillah bin Baz Rahimahullah Ta’ala

Soal:
Apa hukum shalat di atas sajadah yang biasa dipakai untuk shalat dan bergambar sebagian masjid, karena saya mendengar bahwa tidak boleh shalat di atasnya?

Jawaban:
Shalat yang dilaksanakan di atas sajadah sah, baik bergambar masjid atau gambar lainnya. Shalat tersebut sah.
Namun disyariatkan bagi orang yang melaksanakan shalat agar sajadahnya jauh dari corak bergambar baik gambar masjid atau yang lainnya sehingga tidak menggangu shalatnya, sajadah polos tidak bergambar apapun. Ini yang semestinya dilakukan dan lebih berhati-hati bagi seorang mukmin. Oleh karena ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melaksanakan shalat di atas kain yang bergambar, setelah salam, beliau kirim kain tersebut kepada Abu Jahm, ‘Kain tersebut mengganggu shalatku.’
Maksud semua ini, seorang mukmin ketika akan shalat memilih pakaian dan sajadah yang tidak menyibukkan shalatnya. Sajadah yang jauh dari perkara sia-sia dan menyibukkan shalatnya, yang tidak ada hiasan yang menyibukkannya.

Sumber: Fatawa Nur ‘alad darb

Alih bahasa: Abu Bakar Jombang

###

Fadhilatus Syaikh Ibnu Baz rahimahullah

Soal:
يوجد على بعض السجادات التى نصلى عليها صور خاصةبالكعبة والمسجد النبوي؛ فما الحكم؟
Didapati pada sebagian sajadah yang kami sholat di atasnya gambar khusus dengan ka'bah dan masjid an nabawi.
Maka apa hukumnya?

Jawab:
ينبغي أن لا يصلى عليها لأن الوقف على الكعبة والوطئ عليها نوع من الإهانة، لا يجوز تصوير الكعبة على الفرش، وينبغي لمن رآها أن لا يشتري السجاد التى عليها صور الكعبة لأنها إن كانت أمامه لا تشوش عليه وإن كانت تحت رجليه فيه نوع من الإهانة فالأحوط للمؤمن أن لا يستعمل هذه السجادات
Sepantasnya untuk tidak sholat di atasnya, karena berdiri di atas ka'bah dan memijak di atasnya termasuk jenis penghinaan.
Tidak boleh menggambar ka'bah di atas permadani. Sepantasnya bagi orang yang melihatnya untuk tidak membeli sajadah-sajadah yang di atasnya gambar ka'bah, karena jika dia berada di depannya akan mengacaukan pikirannya dan jika berada di bawah di kakinya maka termasuk jenis penghinaan.
Maka yang lebih hati-hati bagi seorang mukmin untuk tidak menggunakan sajadah-sajadah ini.

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=142764

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Penanya:
Sebagian manusia mengatakan bahwa tidak boleh duduk di sajadah, karena padanya terdapat gambar Ka’bah. Apakah pernyataan tersebut benar?

Asy-Syaikh:
Hal ini tidak masalah, jadi tidak mengapa bagimu untuk meletakkan sajadah dan duduk di atasnya, walaupun padanya terdapat gambar Ka’bah atau gambar makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Karena orang yang duduk di atasnya tidak bermaksud untuk menghinakan Ka’bah atau makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dan yang terdapat pada sajadah tersebut hakekatnya bukanlah Ka’bah atau makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sesungguhnya.

Sumber: Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/105 no. 5662

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MEMBUKA TEMPAT PRAKTEK RUQYAH

Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala

Soal: Apa pendapat kalian tentang hukum membuka praktek pengobatan khusus ruqyah?

Jawaban:

Ini tidak boleh dilakukan, karena akan membuka pintu fitnah dan penipuan orang-orang suka menipu. Demikian juga hal ini tidak dilakukan oleh salafush shalih yakni membuka panti-panti dan tempat praktek ruqyah. Membuka lebar pintu ini akan mengakibatkan kejelekan, kerusakan, dan andil orang yang tidak layak untuk masuk pada bidang ini. Keumuman manusia nekat, semata-mata untuk memenuhi hajat dan kerakusannya terhadap harta. Mereka ingin merekrut manusia agar berkumpul di sekelilingnya, walaupun harus memakai cara-cara yang haram. Tidak kemudian dikatakan, “Ini orang shalih (mengapa dilarang?)” Karena manusia terfitnah wal’iyadzu billah. Walaupun ia adalah orang shalih, namun tetap tidak boleh membuka pintu ini (berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas).

Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Al Fauzan 2/148

Alih bahasa: Abu Bakar Jombang

Tentang UDZUR SYAR'I SEORANG PEGAWAI UNTUK TIDAK SHALAT JAMAAH DI MASJID

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Fadhilatus Syaikh, saya seorang satpam di asrama para pekerja non muslim, di dekat saya ada sebuah masjid, namun saya mengerjakan shalat di tempat saya dan tidak pergi ke masjid, karena jika saya pergi ke masjid maka mereka akan memasukkan (ke kompleks asrama tersebut) hal-hal yang diharamkan, apakah shalat saya sah?

Asy-Syaikh:

Ya, jika terlantarnya penjagaan dengan sebab pergi ke masjid yaitu dengan keluar meninggalkan tempat penjagaan akan menyebabkan masuknya keburukan semacam ini, maka kerjakanlah shalat di tempatmu, yaitu di tempat penjagaan.

Tentang GAJI UNTUK PARA MUADZIN, IMAM MASJID, HAKIM, DAN GURU AGAMA

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Shahibul Fadhilah, penanya mengatakan: “Di sebagian negara mereka menjadikan menjadi imam dan muadzin di masjid sebagai pekerjaan yang mendapatkan gaji, tingkatan dan ijazah dan mereka tidak mendapatkan pekerjaan lain di negara, maka apakah hal ini termasuk menerima upah yang dilarang ataukah tidak?

Asy-Syaikh:

Bukan, ini bukan termasuk menerima upah yang dilarang, ini (seperti) upah dari baitul mal yang merupakan haknya. Para muadzin dan imam-imam masjid mereka mendapatkan hak di baitul mal, seperti para hakim dan para pengajar yang mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Mereka diberi dari baitul mal yang mencukupi mereka agar mereka bisa konsentrasi atau fokus pada urusan ini. Dan ini merupakan perkara yang halal –walillahilhamdu– dan telah berlangsung sejak masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun serta perkara yang diamalkan oleh kaum Muslimin.

Hanya saja siapa yang niatnya adalah untuk mendapatkan harta maka sesungguhnya amal-amal itu balasannya sesuai dengan niatnya. Siapa saja yang tujuannya hanya ingin mendapatkan harta jelas dia tidak mendapatkan pahala. Adapun siapa yang niatnya adalah ibadah dan dia mengambil sebagian harta ini sebagai sarana untuk membantu dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia mendapatkan pahala, dibantu dan mendapatkan ganjaran.

Tentang AMBISI KEKUASAAN DAN KEPEMIMPINAN

Al-Abbas paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, angkatlah saya menjadi pemimpin.”
Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
ﺇِﻥَّ ﺍﻹِﻣَﺎﺭَﺓَ ﺣَﺴْﺮَﺓٌ ﻭَﻧَﺪَﺍﻣَﺔٌ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻓَﺈِﻥِ ﺍﺳْﺘَﻄَﻌْﺖَ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﺃَﻣِﻴْﺮًﺍ ﻓَﺎﻓْﻌَﻞْ
“Sesungguhnya kepemimpinan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat nanti, maka jika engkau mampu untuk tidak menjadi pemimpin, lakukanlah!” (Lihat: Shahih Al-Bukhary, no. 174)

Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau diberi kepemimpinan karena memintanya, sungguh akan diserahkan kepadamu (yakni Allah ‘azza wa jalla tidak akan menolongmu). Namun, jika engkau diberi bukan karena memintanya, engkau akan ditolong (oleh Allah ‘azza wa jalla) untuk mengembannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian berkeinginan kuat untuk mendapatkan kepemimpinan, dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak, nikmat di dunia, namun sengsara di akhirat.” (HR. al-Bukhari, no. 6729)

Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau memberiku kedudukan?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk pundakku dengan tangannya, lalu berkata, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Sesungguhnya ini adalah amanat dan sesungguhnya akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan menunaikan haknya dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya’.” (HR. Muslim, no. 1825)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﻏَﺎﺷًّﺎ ﻟِﺮَﻋِﻴَّﺘِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﺮِﺡْ ﺭَﺍﺋِﺤَﺔَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Siapa saja yang mengkhianati rakyatnya maka dia tidak akan mencium bau surga.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary, no. 7150)

Dan berkata Abu Nu’aim: “Demi Allah tidaklah celaka orang yang celaka kecuali karena cinta kepemimpinan.” (Jami Bayan Ilmi 1/570)

Berkata Asy Syathibi rahimahullah dalam “Al I'tishom”: “Hal terakhir yang turun dari hati orang-orang yang shalih adalah cinta kekuasaan dah kepemimpinan.”

Berkata Ibrahim bin Adham: “Seseorang yang cinta kemasyhuran berarti dia tidak jujur kepada Allah.” (Siyar ‘Alam Nubala’)

Berkata Abul Wafa’ Ali bin Aqil Al-Hanbaly rahimahullah: “Cinta kepemimpinan, cenderung kepada dunia dan membanggakannya, menyibukkan diri dengan kelezatannya dan dengan hal-hal yang menyeret kepada syahwat yang tidak diperbolehkan menurut syari’at dan tidak dibenarkan oleh akal sehat, yang semacam ini termasuk sebab-sebab yang menjadi penghalang dan memalingkan dari kebenaran.” (Al-Waadhih Fii Ushuulil Fiqh, I/522)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Orang yang ingin mendapatkan kepemimpinan walau dengan cara yang bathil, dia akan ridha dengan ucapan yang padanya terdapat sanjungan kepadanya walaupun bathil, dan sebaliknya dia akan membenci ucapan yang mengandung celaan kepadanya walaupun sesuai dengan fakta yang ada. Adapun seorang mu’min yang jujur keimanannya maka dia akan ridha dengan perkataan yang benar, baik yang menguntungkan dirinya maupun yang merugikannya. Dan dia akan membenci ucapan yang bathil, baik yang menguntungkan dirinya maupun yang merugikannya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala mencintai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, dan Dia membenci kedustaan dan kezhaliman.” (Majmu’ul Fataawa, X/600)

Bersenandung Ibnu Abdilbarr dalam ”Jami Bayan Ilmi”:
ﺣﺐُّ ﺍﻟﺮﺋﺎﺳـﺔ ﺩﺍﺀٌ ﻳﺤﻠــﻖ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﺤﺐَّ ﺣﺮﺑﺎً ﻟﻠﻤﺤﺒﻴﻨﺎ
ﻳﻔﺮﻱ ﺍﻟﺤﻼﻗﻴﻢ ﻭﺍﻷﺭﺣﺎﻡ ﻳﻘﻄــﻌﻬﺎ ﻓﻼ ﻣﺮﻭﺀﺓ ﻳﺒﻘﻬﺎ ﻭ ﻻ ﺩﻳـﻨﺎ
ﻣَﻦْ ﺩﺍﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﻞ ﺃﻭ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺮﺳﻮﺥ ﻓﻤﺎ ﺗَﻠﻔـﻴﻪ ﺇﻻَّ ﻋـﺪﻭﺍً ﻟﻠﻤﺤﻘﻴﻨﺎ
ﻳﺸﻨﺎ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﻭﻳﻘﻠﻲ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﺣﺴــﺪﺍً ﺿﺎﻫﻰ ﺑﺬﻟﻚ ﺃﻋﺪﺍﺀَ ﺍﻟﻨﺒﻴﻴﻨﺎ
Cinta kepemimpinan penyakit yang menghancurkan dunia dan menjadikan cinta itu sebagai alat perang bagi para pecintanya

Membelah kerongkongan-kerongkongan dan rahim-rahim dan memotongnya, maka tidaklah tersisa kewibawaan tidak pula agama

Barang siapa beragama dengan kebodohan atau belum mendalaminya maka tidaklah anda mendapatinya kecuali sebagai musuh bagi yang berhak atasnya

Menyerang ilmu-ilmu dan membenci para ahlinya karena kedengkian, dengannya menyerupai musuh-musuh para Nabi