Cari Blog Ini

Kamis, 29 Oktober 2015

Tentang TATA CARA SALAT WITIR

Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin Rohimahulloh

Pertanyaan:
فضيلة الشيخ، ذكرت الوتر وفقك الله، أرجو أن تبين لنا صفة صلاة الوتر بخمس وتسع وإحدى عشرة فإني لا أعرف صفتها؟
Fadhilatus Syaikh, Anda telah sebutkan tentang witir وفقـــك الله .
Saya berharap Anda mau menjelaskan kepada kami tata cara shalat witir, baik yang dengan 5, 7, 9, atau 11 rakaat, karena saya belum tahu tata caranya.

Jawaban:
الإيتار بواحدة واضح. بثلاث لك فيه صفتان: إما أن تسلم من ركعتين وتأتي بالثالثة، وإما أن تقرن الثلاث جميعاً بتشهد واحد، ولا تجعلها كالمغرب. بالخمس: تسردها ولا تجلس إلا في آخرها.  بالسبع: تسردها ولا تجلس إلا في آخرها. بالتسع: تجلس بعد الثامنة وتقرأ التشهد ولا تسلم، ثم تأتي بالتاسعة وتسلم. بالإحدى عشرة: تأتي بها مثنى مثنى وتوتر بواحدة
Shalat witir dengan SATU RAKAAT sudah jelas. 
TIGA RAKAAT
Anda bisa kerjakan dengan 2 cara:
- Anda bisa mengerjakan dua rakaat kemudian salam, lalu Anda tambah rakaat yang ketiga (terpisah -pent).
- Boleh juga Anda kerjakan tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud.
Namun jangan Anda kerjakan seperti tata cara Sholat Maghrib.
LIMA RAKAAT
Anda sambung dan jangan duduk (tasyahud -pent) kecuali pada rakaat yang terakhir.
TUJUH RAKAAT 
Anda sambung dan jangan duduk (tasyahud -pent) kecuali pada rakaat terakhir.
SEMBILAN RAKAAT
Anda duduk (tasyahud -pent) pada rakaat kedelapan dan membaca bacaan tasyahud dan jangan salam, lalu sempurnakan rakaat ke sembilan kemudian salam.
SEBELAS RAKAAT
Anda lakukan dua-dua (salam pada setiap dua rakaat -pent) dan tutup dengan satu (rakaat ke sebelas -pent).

Abdurrahman Harun

http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/mm_044_42.mp3

F A W A I D  I L M I Y Y A H

Tentang TATA CARA MEMINTA HUJAN

CARA-CARA ISTISQA (Meminta Hujan)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’aad (1/456-458):

Telah sah riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau meminta hujan dengan beberapa cara:

1. Pertama: Pada hari Jum’at di atas mimbar di sela-sela khutbah, sambil beliau berdo’a:
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
"Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat, hujan yang bermanfaat, hujan yang bermanfaat."
اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا
"Ya Allah turunkah air kepada kami, Ya Allah turunkah air kepada kami, turunkah air kepada kami."

2. Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjanjikan hari tertentu untuk bersama-sama keluar ke mushalla (tempat terbuka untuk shalat) [UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT ISTISQA].

3. Ketiga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan dari atas mimbar, hanya doa minta hujan semata, bukan pada hari Jum’at, dan tidak diriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam melakukan shalat dalam kesempatan tersebut.

4. Keempat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan ketika beliau sedang duduk di masjid. Beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a kepada Allah 'Azza wa Jalla.

5. Kelima, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan di Ahjar Zait dekat dengan az-Zaura’ di luar pintu masjid Nabawi, yang pada hari ini disebut dengan pintu “as-Salam” sejarak lemparan batu berbelok ke arah kanan di luar masjid.

6. Keenam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan pada sebagian peperangan, ketika kaum musyrikin mendahului sampai ke sumber air.

(Dinukil secara ringkas dengan ada sedikit perubahan dari Kitab “Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalat at-Tathawwu’” hal. 155-156, karya asy-Syaikh DR. muhammad bin 'Umar Bazmul hafizhahullah)

###

TATA CARA SALAT ISTISQA

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَاضِعًا مُتَبَذِّلًا مُتَخَشِّعًا مُتَرَسِّلًا مُتَضَرِّعًا، حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى، فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ، وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ، وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ، وَالتَّضَرُّعِ، وَالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar dengan
- penuh tawadhu’,
- berpakaian biasa tidak berhias,
- penuh khusyu’,
- berjalan pelan, dan
- bersungguh-sungguh memohon (kepada Allah),
hingga tiba di Mushalla (tanah terbuka untuk pelaksanaan shalat, pen).
Beliau pun kemudian naik mimbar dan tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini, namun beliau tetap dalam do’a, memohon dengan sungguh-sungguh, dan bertakbir.
Lalu beliau pun shalat dua raka’at SEPERTI PELAKSANAAN SHALAT ‘ID.”
(HR. Ahmad 1/355, Abu Dawud 1165, at-Tirmidzi 558, an-Nasa’i 1/156, dan Ibnu Majah 1266. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Lihat pula Irwa’ul Ghalil 665)

###

TATA CARA SHALAT ISTISQA’

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Shalat Istisqa seperti Shalat ‘Id. Shalat dua raka’at, pada raka’at pertama BERTAKBIR TUJUH (7) KALI, dan pada raka’at kedua BERTAKBIR LIMA (5) KALI.
(RAKA’AT PERTAMA): Bertakbir Takbiratul Ihram, dan bertakbir enam (6) kali setelahnya, kemudian membaca do’a istiftah, kemudian membaca al-Fatihah dan surat yang mudah baginya, kemudian ruku’, bangkit dari ruku’, kemudian sujud dua kali. Lalu berdiri untuk raka’at kedua.
(RAKA’AT KEDUA): Juga dikerjakan seperti shalat ‘Id, ketika sudah berdiri tegak (setelah bangkit dari sujud, pen) dia bertakbir lima (5) kali, kemudian membaca membaca al-Fatihah dan surat yang mudah baginya, … (dst), kemudian membaca at-Tahiyyat, bershalawat kepada Nabi, lalu berdo’a dan salam, mirip dengan shalat ‘id.

Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengerjakan shalat Istisqa seperti ketika beliau shalat ‘Id.

Kemudian bangkit berkhutbah sekali khutbah. Dalam khutbah tersebut:
- Menasehati, mengingatkan, dan memperingatkan umat manusia dari sebab-sebab maksiat dan sebab-sebab terjadinya kekeringan.
- Memperingatkan mereka dari berbagai maksiat karena itu merupakan sebab terjadi kekeringan dan sebab tertahannya hujan, sekaligus sebab datangnya hukuman (dari Allah, pen).
- Memberikan dorongan kepada umat manusia untuk bertaubat dan beristighfar.
- Membacakan kepada mereka ayat-ayat dan hadits-hadits tentang hal tersebut.
- Lalu berdo’a kepada Allah dengan mengangkat kedua tangannya. Para makmum juga mengangkat kedua tangan berdo’a, memohon kepada Allah datangnya hujan yang bermanfaat.
Di antara bentuk do’anya:
1.
اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا ثلاث مرات
“Ya Allah berilah kami hujan bermanfaat, Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat, Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat.” [HR. al-Bukhari 1014]
2.
اللهم اسقنا غيثا مغيثا، هنيئا، مريئا، غدقا، مجللا، سحا، طبقا، عاما، نافعا، غير ضار، تنمي به البلاد، وتغيث به العباد، وتجعله يا رب بلاغا للحاضر والباد
"Ya Allah turunkanlah air kepada kami, hujan yang bermanfaat dan memberi manfaat, yang tenang dan nikmat, turun dengan deras, merata, berlimpah ruah, cocok/sesuai, menyeluruh, bermanfaat tidak berbahaya, dengannya negeri menjadi subur dan para hamba mendapatkan pertolongan,  jadikanlah hujan tersebut – Ya Rabbi – mencukupi bagi penduduk kota maupun pedalaman." [Lihat Majma' al-Fawaid 2/250]
Ini di antara do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
3.
اللهم أنبت لنا الزرع، وأدر لنا الضرع، واسقنا من بركاتك
“Ya Allah tumbuhkanlah tanaman untuk kami, penuhkanlah untuk kami susu perahan, dan turunkanlah air kepada kami dari barakah-Mu.”
Hendaknya kita meminta dengan sangat dalam do’a kita dan terus mengulang-ulang do’a.
4.
اللهم اسقنا الغيث، ولا تجعلنا من القانطين
“Ya Allah siramkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang berputus asa.”
Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
- Kemudian MENGHADAP KIBLAT di tengah-tengah do’a, beliau menghadap kiblat dengan tetap mengangkat kedua tangannya, dan melanjutkan do’anya antara beliau dengan Rabb-nya dan tetap mengangkat tangan. Lalu beliau turun. Para makmum juga demikan, mengangkat kedua tangan dan berdo’a bersama imam. Ketika imam menghadap kiblat juga demikan, para makmum berdo’a juga antara mereka dengan Rabb mereka, mengangkat kedua tangan.
- Termasuk sunnah: memindah letak rida’ (baju luar atas) di tengah-tengah khutbah ketika sedang menghadap kiblat.
Mengganti/memindahkan posisi rida’, yang tadinya di sebelah kanan dipindah ke kiri, jika memang dia mengenakan rida’ atau jubah luar, jika jubah luar maka dibalik, jika tidak mengenakan apa-apa di atasnya maka qutrahnya yang di balik posisinya.

Para ‘ulama menjelaskan (hikmah membalik rida’ tersebut, adalah dalam rangka) mengharap nasib baik agar Allah mengganti dari kekeringan menjadi subur, dari kondisi sempit menjadi lapang, karena terdapat riwayat hadits secara mursal dari Muhammad bin ‘Ali al-Baqir:
أن النبي صلى الله عليه وسلم حول رداءه ليتحول القحط
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam memindahkan/mengubah letak rida’-nya agar kekeringan juga berganti.” (Riwayat ad-Daraquthni, al-Hakim)
Yakni berharap nasib baik (tafaa’ul).
Maka sunnah yang berlaku untuk kaum muslimin juga demikian.

Adapun (memohon hujan) pada Khutbah Jum’at, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam TIDAK MEMINDAHKAN RIDA’. Beliau berdo’a meminta hujan ketika Khutbah Jum’at.
Minta hujan bisa dalam Khutbah Jum’at  bisa juga dalam Khutbah ‘Id, bisa juga dalam kesempatan-kesempatan lain, baik ketika duduk di rumah atau di pasar tidak mengapa. Do’a memohon hujan bisa dilakukan oleh individu maupun kelompok.

Namun, apabila dilakukan dengan cara shalat dua raka’at (yakni shalat Istisqa’), maka hendaknya:
- keluar ke tanah terbuka,
- shalat berjama’ah seperti pelaksanaan shalat ‘Id,
- lalu berkhutbah setelah itu,
- berdo’a dan memindahkan posisi rida’-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala pada posisi menghadap kiblat.

Boleh juga berkhutbah sebelum shalat, kemudian shalat (Istisqa). Datang riwayat dari Nabi dengan ini dan itu:
- Terdapat riwayat bahwa beliau berkhutbah sebelum shalat, dan
- terdapat riwayat bahwa beliau berkhutbah setelah shalat seperti pada shalat ‘Id.
Jika khutbah sebelum shalat, maka seperti shalat Jum’at.
Semua cara tersebut dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Beliau melakukan ini (cara pertama) dan itu (cara kedua).  

Yang menjadi tujuan utama adalah berdo’a dan memohon dengan sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengangkat keluhan kepada-Nya agar menghilangkan kegentingan dan kekeringan serta berharap turunnya pertolongan dan hujan dari-Nya.

Terdapat riwayat pada sebagian hadits bahwa cara pelaksanaan dengan tiga kali rukuk (dalam satu raka’at, pen), ada juga dengan empat kali rukuk, ada juga dengan lima kali rukuk.
Namun riwayat YANG PALING SHAHIH dan PALING KUAT menurut para pakar peniliti hadits dari kalangan para ‘ulama, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam shalat dua raka’at dengan dua kali rukuk saja (yakni masing-masing raka’at sekali rukuk, pen), dengan dua kali rukuk dan dua kali membaca al-Fatihah.

Dinukil dari:
Fatawa Nur 'ala ad-Darb 13/399

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Pertanyaan:
عندنا أمر يحدث ويتكرر كل عام وهو أن الناس اعتادوا أن يصلوا صلاة الاستسقاء قبل صلاة العيد، سواء كان فطرا أم أضحى، وذلك بأن يجمعهم من يؤمهم لصلاة العيد ويصلي بهم ركعتين، صلاة الاستسقاء ثم بعد الفراغ من هاتين الركعتين يصلون صلاة العيد، وإذا عارضناهم قالوا: نستغل كثرة وجود المصلين، وليس هذا الأمر قاصرا على صلاة العيدين فحسب، بل كذلك يفعلون بعد صلاة الجمعة في وقت معين من السنة عند الجدب والقحط، وقلة الأمطار، وكيفية فعلهم هي: بعد أن ينتهي الإمام من صلاة الجمعة يأمرهم بأن ينووا صلاة الاستسقاء، ثم يصلي بهم ركعتين مثل ركعتي صلاة العيد، وإذا قلنا لهم: يكفي استسقاء الخطيب في آخر الخطبة وأنتم تؤمنون كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: أمرنا الرئيس بأن نصلي الاستسقاء يوم الجمعة، وهذا هو أحسن أوقاتها، لاجتماع الناس وكثرتهم
Di tempat kami terjadi peristiwa dan berulang-ulang setiap tahun, yaitu orang-orang terbiasa melaksanakan Shalat Istisqa SEBELUM PELAKSANAAN SHALAT ‘ID, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha, yaitu dengan berkumpul pada satu imam shalat Id, terlebih dahulu shalat dua rakaat shalat Istisqa, selang beberapa saat kemudian melaksanakan shalat ‘Id dua rakaat.
Ketika kami tegur, mereka mengatakan, bahwa kita memanfaat kesempatan banyak orang berkumpul untuk shalat.
Kejadian ini bukan hanya terjadi pada hari ‘Id saja, namun JUGA MEREKA LAKUKAN SETELAH SHALAT JUM’AT pada waktu tertentu dalam setahun ketika terjadi kekeringan dan tidak ada hujan. Tata caranya: setelah imam selesai dari shalat Jum’at, dia memerintahkan kepada para makmum untuk berniat shalat Istisqa, lalu dia mengimami mereka shalat rakaat seperti shalat ‘Id (yakni Shalat Istisqa, pen).
Ketika kami katakan kepada mereka, “Cukup sang khatib berdo’a meminta hujan pada akhir khutbah, sementara kalian (para makmum) mengaminkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.” Mereka menjawab, “Bahwa Presiden memerintahkan kita untuk melakukan shalat Istisqa pada hari Jum’at. Ini adalah waktu yang terbaik, karena orang-orang berkumpul dan jumlah mereka banyak.”
فيا فضيلة الشيخ: نريد منكم فتوى لعلنا نستطيع إقناع الناس بعدم مشروعية هذه الصلاة على هذه الكيفية، إن كانت غير مشروعة، وإن كانت مشروعة وموافقة للصواب فالحمد لله رب العالمين؟
Wahai Syaikh, kami menginginkan fatwa dari Anda supaya kami bisa memberikan jawaban memuaskan kepada umat bahwa tidak disyari’atkan Shalat Istisqa dengan cara tersebut, jika memang benar bahwa itu tidak disyari’at. Adapun jika ternyata benar bahwa cara tersebut disyari’at dan sesuai dengan kebenaran, maka Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Jawab:
يكفي أن يستسقي الخطيب في خطبة الجمعة، ولا يصلي صلاة الاستسقاء بعدها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسقى في خطبة الجمعة ولم يصل للاستسقاء بعدها، بل اكتفى بصلاة الجمعة، وكذا الحكم في صلاة العيد يكفي أن يستسقي في الخطبة، ولا يشرع له صلاة الاستسقاء لا قبلها ولا بعدها؛ لأن ذلك مخالف لهدي النبي صلى الله عليه وسلم. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Cukup bagi khatib untuk berdo’a minta hujan KETIKA KHUTBAH JUM’AT, dan TIDAK MELAKUKAN SHALAT ISTISQA’ SETELAH SHALAT JUM’AT.
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdoa minta hujan pada khutbah Jum’at dan tidak lagi melakukan Shalat Istisqa’ setelahnya, namun mencukupkan dengan shalat Jum’at.
Demikian juga hukum yang berlaku pada Shalat ‘Id, cukup berdo’a minta hujan ketika khutbah, dan tidak disyari’atkan Shalat Istisqa baik sebelum shalat ‘Id maupun setelah shalat ‘Id. Karena yang demikian itu BERTENTANGAN dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Wa Billahi at-Taufiq. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 17575

Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Sumber: Majmu'ah Manhajul Anbiya