Cari Blog Ini

Kamis, 20 Agustus 2015

Tentang JUAL BELI DENGAN ANAK KECIL

Ada 2 keadaan:
a. Belum mumayyiz (memahami dan membedakan)
Tidak ada perbedaan pendapat tentang ketidaksahan akad jual belinya.
b. Telah mumayyiz
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:
1. Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpen-dapat: Tidak sah jual belinya walaupun seizin walinya.
2. Jumhur ulama berpendapat: Bila dengan izin dari sang wali, maka sah.
Mereka mensyaratkan, anak kecil itu tidak tertipu dengan tingkat penipuan yang parah. Bila hal ini terjadi, maka sang wali punya hak untuk meminta kembali barang yang dijual dari sang pembeli. Pada kasus seperti ini tidak sah akad jual belinya.
Faedah: Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan anak kecil berjual beli barang-barang yang remeh walaupun tanpa seizin wali. Adapun barang-barang yang mahal/besar, maka harus dengan izin wali. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Asy syariah edisi 025
(ditulis oleh al ustadz Muhammad Afifuddin)

Tentang MENGUCAPKAN LAFADZ IJAB KABUL KETIKA JUAL BELI

Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

1. Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah jual beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana sang pembeli mematok harganya.
Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
2. Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan barangnya remeh, tidak besar, atau mahal.
Menurut mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.
3. Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani: Jual beli sah dengan apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.

Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.

Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah.
Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul.
Mu’athah ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”
Mu’athah juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.

Sumber: Asy syariah edisi 025
(ditulis oleh al ustadz Muhammad Afifuddin)

Tentang JUAL BELI DENGAN ORANG YANG SEDANG BUTUH UANG

Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:
1. Jumhur ulama berpendapat, jual beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
2. Al-Imam Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits:
“Rasulullah melarang jual beli orang yang sedang butuh.”
3. Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh. Sebab, jika dilarang mem-beli barang orang yang tengah membutuh-kan tadi, justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
Yang rajih (pendapat yang kuat), insya Allah, adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi Thalib.

Sanad ini di-dha’if-kan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya). Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.

Sumber: Asy syariah edisi 025
(ditulis oleh al Ustadz Muhammad Afifuddin)

Tentang JUAL BELI KARENA TERPAKSA ATAU KARENA MALU

Jual beli orang yang dipaksa

Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat*) dan hadits**) di atas, juga dengan hadits berikut:

“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal. 369-371, no. 528)

Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.

*) Yakni firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29)

**) Yakni sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.”

Sumber: Asy syariah edisi 025
(ditulis oleh al Ustadz Muhammad Afifuddin)

Tentang ZIKIR BERJAMAAH

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:
Bagaimana hukum dzikir berjamaah setelah shalat dengan suara bersamaan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang?
Dan bagaimanakah tata cara yang disunnahkan, dzikir dikeraskan ataukah dipelankan?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah MENGERASKAN suara ketika berdzikir setelah shalat lima waktu dan setelah shalat Jumat seusai salam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan di dalam as-Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma:
Sesungguhnya MENGERASKAN suara ketika berdzikir ketika jamaah selesai menunaikan shalat wajib (setelah salam) merupakan KEBIASAAN yang dilakukan di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas berkata:
Dahulu aku bisa mengetahui bahwa mereka (para jamaah shalat) telah selesai mengerjakan shalat, apabila aku mendengarnya (mendengar suara dzikir yang dikeraskan setelah shalat).
[lihat Shahih al-Bukhari 841, Muslim 583]
Adapun melakukan dzikir secara berjamaah, setiap orang berusaha untuk bisa membaca dzikir bebarengan dengan yang lain dari awal sampai akhir, berusaha untuk mengikuti suaranya, maka tata cara yang seperti ini tidak ada asalnya, bahkan ini adalah BIDAH. Yang disyariatkan adalah semua berdzikir kepada Allah secara tanpa ada niatan untuk mempertemukan/membarengkan suara dari awal sampai akhir.

Sumber:
binbaz .org .sa/mat/946

WhatsApp Manhajul Anbiya

###

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan:
Anda mengatakan bahwa diperbolehkan mengeraskan suara ketika berdzikir setelah shalat, apakah hal tersebut dilakukan secara berjama'ah?

Jawaban:
Kenyataannya, saya tidak mengatakan hal tersebut diperbolehkan, bahkan saya katakan bahwa hal tersebut merupakan amalan sunnah, yaitu amalan yang lebih afdhal.
Adapun membaca dzikir ini secara berjama'ah, termasuk amalan bid'ah. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak pernah mengamalkannya. Bahkan hendaknya setiap orang yang shalat membaca dzikir tersebut secara bersendirian, akan tetapi dengan mengeraskan suaranya.

Sumber artikel:
Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 13/279-280

Alih bahasa:

Ust. Abdulaziz Taufiq al-Bantuly حفظه الله

TIS | طلب العلم الشر عي

Tentang MENYEBUTKAN SUMBERNYA KETIKA MENUKIL PERKATAAN SESEORANG

" Memastikan dalil serta Menyebutkan sumber dan Menisbatkan perkataan kepada yang mengatakannya "

Imam Ibn Abdil Bar rahimahullah :
يقال إن من بركة العلم أن تضيفَ الشيء إلى قائله
Dikatakan , sesungguhnya diantara keberkahan Ilmu adalah engkau menyandarkan perkataan kepada yang mengatakannya.
[ Aljaami' ( 2 / 922 ) ]

***************************

Syaikhul Islam Ibn Taymiah rahimahullah :
فمن اراد ان ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل وإلا فكل أحد يقدر على الكذب
Maka barangsiapa yang ingin menukil perkataan dari suatu golongan :
Maka hendaklah dia menyebutkan Yang mengatakannya dan Yang menukilkannya
Jika tidak : ( setiap orang sanggup untuk berdusta ).
{ Minhaajussunnah 2 / 518 }

*********************

Ibnul Mubaarak - rahimahullah - :
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال مَنْ شاء ما شاء
Sanad ( penyandaran ) itu merupakan bahagian dari Agama , kalaulah bukan dikarenakan Sanad niscaya seseorang akan mengatakan apa saja yang dikehendakinya.
~ Amajruuhiin ~ ( 1 / 181 )

************************

Asy Syaikh Ibn Utsaimin - rahimahullah - :
إننا في عصر كثر فيه المتكلمون بغير علم ولهذا يجب على الإنسان ألا يعتمد على أي فتيا إلا من شخص معروف موثوق
Sesungguhnya kita berada dimasa dimana banyaknya orang - orang yang berbicara tanpa Ilmu dan oleh karena ini wajib atas seorang Insan untuk tidak bersandar dengan fatwa apa saja terkecuali dari seseorang yang dikenal dan terpercaya.
Sumber Kitab : liqaaul baabil maftuuh - [ 32 / 16 ]

Fanspage Dakwah Tauhid dan Sunnah

Tentang KHATIB MENGHADAPKAN WAJAHNYA KE DEPAN DAN TIDAK MENOLEH KE KANAN DAN KE KIRI KETIKA KHOTBAH JUMAT

ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH

Tanya:
Apakah termasuk sunnah seorang khatib menoleh ke kanan dan ke kiri?

Jawab:
Hal ini bukanlah termasuk sunnah. Karena apabila ia menghadap ke arah kanan, akan memadharatkan jamaah yang ada di sisi kiri, dan apabila menghadap ke arah kiri, akan memadharatkan jamaah yang ada di sisi kanan. Dan disunnahkan untuk menghadapkan wajahnya ke depan. Dan apabila ada di antara orang-orang yang mendengarkan khutbah menghadap ke arahnya, hal ini tidak mengapa baginya. Karena diriwayatkan dari para shahabat radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka melakukannya.

Tanya:
Apakah termasuk sunnah, seorang khatib yang menggerak-gerakkan kedua tangannya?

Jawab:
Ini tidak termasuk sunnah.

Sumber:
Majmu’ Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 16/95-96

Alih bahasa:
Abdulaziz Bantul
Ma’had Ibnul Qoyyim, Balikpapan