Cari Blog Ini

Kamis, 18 September 2014

Tentang MASUK KE KANCAH PEMILU DAN PARLEMEN

Asy Syaikh Abu Muhammad Rabi’ Bin Hadi Al-Madkhali Hafizhahullah Ta’ala

Soal:
Sebagian orang berkata: "Jika-salafiyun tidak masuk ke kancah parlemen dan pemilu, mereka tinggalkan hak-hak tersebut untuk kaum liberal.” Apa tanggapan kalian terhadap hal ini?
[Kaset yang berjudul: Waqafat fil Manhaj Al-Kuwait 2-1423]

Jawaban:
Wallahi, aku pandang jika mereka memasuki parlemen niscaya mereka menjadi perangkat bagi ilmaniyin (kaum liberal yang memisahkan kepemerintahan dan agama). Orang-orang menyangka bahwa jika mereka memasuki parlemen, mereka akan mengusir kaum liberal dari kursi-kursi tersebut dan menduduki.jatahnya. Apakah hal ini diwujudkan oleh orang yang ikut andil pada parlemen? Apakah mereka berhasil mengusir ilmaniyin dari kursi-kursi mereka? Atau tidak semakin menambah kaum ilmaniyin selain kekokohan. Karena ketika mereka menyaingi (kaum liberal), mereka siapkan perbekalan, tegakkan kekerasan dan persaingan. Engkau ingin mengalahkannya sementara ia pun ingin mengalahkanmu. Pada akhirnya dia mengalahkanmu. Hal ini dikarenakan engkau tidak menempuh jalan syar'i yang melazimkan pertolongan Allah –Tabaraka Wata'ala–. Ini merupakan perkara yang makruf.
Apakah Ikhwanul Muslimin sukses ketika masuk parlemen di Suria, Iraq, Mesir, dan negeri-negeri yang lainnya? Apakah mereka berhasil dan agama Islam tegak? Tidak ada hasilnya selain kaum Ba'tsiyin, komunis, dan sekutu-sekutu mereka dari kalangan Nashrani dan yang lainnya semakin kuat. Kekuatannya semakin bertambah sementara mereka semakin lemah. Apa yang mereka wujudkan?
Wahai saudaraku, kami katakan kepada kalian: ‘Tempuhlah jalan dakwah kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik. Bimbing umat manusia, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi. Para nabi datang (mendakwahi) umat yang sangat melampaui batas. Terkadang di antara mereka, ada yang memiliki parlemen atau yang setara dengannya, para nabi tidak bangkit menyaingi (umat-umat tersebut untuk merebut) kursi-kursi kepimpinan, semata-mata untuk memperbaiki jiwa-jiwa mereka. Para nabi tidak mengatakan hal yang demikian.’
Ibrahim 'alahish shalatu wassalam datang (membawa syariat Allah) ketika ada raja zhalim yang dipertuhankan. Demi Allah, dia tidak mengatakan: ‘Saya akan memasuki parlemen, lalu saya akan memperbaiki keadaan umat ini dengan ajaran Islam’. Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam, orang-orang kafir Quraisy tawarkan kepadanya kerajaan Makkah, beliau enggan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam enggan (untuk menerima tawaran tersebut). Beliau tempuh jalan berdakwah kepada Allah dan menyelamatkan umat manusia dari kesyirikan dan kesesatan.
Apakah kalian, dengan cara mendesak kaum ilmaniyin, kalian hancurkan kesyirikan, kesesatan, dan pemahaman liberal (yang memisahkan kepemerintahan dan agama) atau justru kalian kuatkan mereka? Ketika engkau bagi-bagikan materi-materi kekafiran, engkau memuliakan, mengamalkan, dan membenarkannya. Bukankah engkau semakin menguatkan dan mengkokohkan kekufuran tersebut, dan kaki-kaki orang-orang kafir semakin kokoh dalam melawan Islam?
Saya tanyakan: "Jika mereka berkuasa di mesir –sehingga kita bisa menjadikan mereka sebagai teladan–, mewujudkan sesuatu (yang mereka dambakan), mengalahkan kaum ilmaniyin, mengusir dan menduduki kursi-kursi mereka dan menguasai mereka. Jika mereka melakukan dan mewujudkan hal yang demikian, kita lihat perkaranya, mungkin kita mencontoh mereka." Kita katakan: "Demi Allah, mereka berhasil pada perkara ini, tentunya kita pun berhasil dalam perkara ini." Namun kita tidak temukan selain kegagalan. Kita tidak dapatkan selain keterbengkalaian. Kita tidak temukan selain dukungan terhadap kebatilan. Kita tidak dapati selain menyibukkan para pemuda (hingga lalai) terhadap dakwah kepada Allah. Bahkan mereka mengajarkan kedustaan dan menebarkan berita-berita dusta, demi membela orang.yang mereka calonkan untuk mendapatkan kursi. Mengajari para pemuda untuk menyodorkan sogokan dan menerimanya. Sehingga mereka rusak akhlak para pemuda. Berapa banyak akhlak yang dirusak akibat pemilu, coblosan, dan persaingan tersebut. Berapa banyak akhlak yang dirusak. Kedustaan, penyuapan, khianat, penipuan, dan.. dan.. dan seterusnya.
Akibat aktivitas ini, dakwah ke jalan Allah Tabaraka Wata’ala binasa. Jalan yang benar adalah dakwah yang shahih di jalan Allah Tabaraka Wata'ala, meluruskan akidah, dan mengikat kaum muslimin dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menumbuhkan penilaian manusia bahwa engkau tidak menginginkan sedikitpun dari dunia mereka, engkau tidak menginginkan selain apa yang bermanfaat bagi mereka, hingga engkau bisa meyakinkan hal demikian kepada pemilik kursi tersebut. Engkau katakan: "Wallahi, aku tidak menginginkan apapun, biarkan kursimu itu untukmu." Berangkatlah kamu, daripada engkau bersaing dan bergulat dengannya demi mendapatkan kursinya, berangkatlah ke rumahnya, sodorkan kepadanya nasehat yang sarat akan dalil, semoga Allah memberi hidayah kepadanya melaluimu. Ini adalah cara yang paling baik, daripada kamu beradu dan bersaing dengannya, masuk melakukan penyuapan dan kedustaan, sehingga orang ilmani ini tidak menerimamu dan orang yang lainnya tidak menyambut ajakkanmu, karena dia tahu bahwa sesungguhnya kamu bertindak karena ingin mendapatkan kursi, harta, dunia, dan jabatan. Namun ketika engkau membawa dakwah yang bersih (dari semua tendensi tadi, pen), engkau tidak ingin menyaingi perdagangan, kekuasaan, dan kursi mereka, sesungguhnya kita hanya ingin menghadiahkan kebaikan dan menyuguhkan kebenaran bagi mereka, semoga Allah Tabaraka Wata'ala ridha terhadap mereka, sehingga mereka bahagia di dunia dan di akhirat.
Adapun jika kita datang bergulat dan bertinju, manusia tidak membutuhkanmu ketika mereka melihat bahwa engkau melakukan pertinjuan dan pergulatan untuk meraih kursi-kursi (jabatan tersebut). Bukankah dakwah salafiyah di Kuwait melemah setelah salafiyin atau orang yang menamakan dirinya sebagai salafiyin mengajak ke pemilu, parlemen, dan pergerakan yang beraneka ragam. Dakwah salafiyah lemah. Seandainya mereka tetap berada pada jalan mereka yang semula, tidak jarang para pejabat tersebut menjadi orang-orang yang berjalan di atas kebenaran, pemerintahan menjadi terbimbing, dan berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam.

Sumber:
Fatawa Fadhilatisy Syaikh Rabi' al-Madkhali 1/213-215

###

Al-Allamah Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah ditanya, “Apakah mengikuti pemilu/masuk parlemen merupakan wasilah yang disyariatkan untuk menolong agama atau tidak?”

Beliau menjawab, “Tidak.” (al-Fatawa al-Jaliyyah ‘anil Manahij ad-Da’wiyah, hlm. 25)

Selain itu, beliau mengatakan bahwa termasuk di antara bentuk penipuan dengan suara terbanyak adalah yang disebut pemilu, pencalonan diri, atau yang semisalnya. Siapa yang berhasil meraih suara terbanyak, dia yang diutamakan untuk diangkat, meskipun dia termasuk manusia yang paling buruk. Ini adalah metode orang-orang kafir yang mereka gunakan untuk menetapkan pemimpin negara, menteri, atau yang lainnya. (al-Amali an-Najmiyah ‘ala Masail al-Jahiliyah, no. 12)

Tentang MENGUCAPKAN "SHADAQALLAHUL 'AZHIM"

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullahu Ta’ala ditanya:
Apakah dibenarkan bagi seorang muslim untuk mengucapkan: ﺻﺪﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ Shadaqallahul ‘Azhim (Allah Yang Mahaagung benar), setelah membaca al-Quran? Apakah hal ini memiliki dalil?

Jawaban:

Perkara ini tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tidak satupun dari para shahabatnya, atau para salaf bahwa mereka melazimi kalimat ini setelah membaca al-Quran. Senantiasa melazimi bacaan ini, menetapkannya seakan-akan termasuk rangkaian hukum membaca al-Quran, dan termasuk perkara yang harus dilakukan ketika membaca al-Quran, ini termasuk bid’ah yang tidak memiliki dalil sama sekali.

Adapun jika seseorang terkadang mengucapkannya ketika ayat al-Quran dibacakan kepadanya atau dia merenungkan suatu ayat hingga ia menemukan pengaruh yang jelas pada dirinya maupun orang lain, boleh baginya untuk mengucapkan:
ﺻﺪﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ
sesungguhnya terjadi demikian dan demikian.

Allah Ta’ala berfirman:
‏ ﻗُﻞْ ﺻَﺪَﻕَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌُﻮﺍ ﻣِﻠَّﺔَ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ‏
“Katakan wahai Nabi: ‘Benarlah (apa yang difirmankan) Allah.’ Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus." (Q.S. Ali-Imran: 95)

Allah Ta’ala berfirman:
ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺻْﺪَﻕُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺣَﺪِﻳﺜًﺎ ‏
“Dan siapa yang lebih benar ucapannya daripada Allah”. (Q.S. An-Nisa: 87)

Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
ﺇﻥ ﺃﺻﺪﻕ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ‏
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah.”

Berdasarkan hal ini, ucapan “Shadaqallahul ‘Azhim” yang diucapkan pada beberapa keadaan, jika nampak ada faktor yang membenarkannya sebagaimana jika engkau melihat suatu yang terjadi sementara Allah Subhanahu Wata’ala telah mengingatkannya di dalam al-Quran, tidak apa-apa (untuk mengucapkan “Shadaqallahul ‘Azhim”).

Adapun jika kita menjadikan kalimat “Shadaqallahul ‘Azhim” seakan-akan termasuk rangkaian hukum (yang disyariatkan untuk diucapkan setelah) membaca al-Quran, ini tidak memiliki dalil dan jika dilakukan terus menerus, ini adalah bid’ah. Sesungguhnya di antara dzikir-dzikir yang disyariatkan ketika hendak membaca al-Quran adalah kita memohon perlindungan kepada Allah (dari ganguan Syaithan, yang diistilahkan dengan isti’adzah, pen) sebelum membaca al-Quran. Allah Ta’ala berfirman:
‏ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗَﺮَﺃْﺕَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻓَﺎﺳْﺘَﻌِﺬْ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺍﻟﺮَّﺟِﻴﻢِ ‏
“Jika kamu hendak membaca al-Quran, hendaklah kamu memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (Q.S. an-Nahl: 98)

Dahulu Nabi memohon perlindungan kepada Allah (dari gangguan syaithan) sebelum membaca al-Quran dan membaca:
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
“Dengan (memohon pertolongan Allah aku) menyebut nama-nama-Nya Dzat Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”, jika beliau membaca al-Quran di awal surat kecuali surat.Baraah (At-Taubah).

Adapun seusai membaca al-Quran, tidak disyariatkan untuk melazimi dzikir khusus, bukan bacaan “Shadaqallahul ‘Azhim” bukan pula yang lainnya.

Alih bahasa:
Abu Bakar Abdullah bin Ali Al-Jombangi

###

Pertanyaan: Apa hukum mengucapkan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an?

Jawab:
Ucapan shadaqallahul azhim setelah membaca Al-Qur’an adalah bid’ah karena Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan dan mencontohkannya. Demikian pula al-Khulafa’ ar-Rasyidun dan seluruh sahabat. Hal ini juga tidak pernah pula dilakukan oleh para imam (ulama) dari kalangan salaf, padahal mereka adalah orang-orang yang banyak membaca Al-Qur’an, penuh perhatian terhadap Al-Qur’an, dan mengetahui kadarnya. Karena itu mengucapkan kalimat itu dan terus-menerus mengucapkannya setiap selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah yang diada-adakan. Di sisi lain, telah pasti kabar dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻲ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini apa yang bukan bagian darinya maka perkara yang diada-adakan itu tertolak.” (HR. al-Imam al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya)
Wabillahit taufiq.

(Fatwaal-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ yang saat itu diketuai oleh Samahatul Walid asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dengan wakil asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi no. 3303)

Sumber: Majalah Asysyariah online

Tentang MENYINGKAT LAFADZ SHALAWAT DAN SALAM

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

"Tidak sepantasnya lafadz shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya ﺹ atau ﺻﻠﻌﻢ ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
“Bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya. Menyingkat lafadz shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.

Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqaddimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafadz shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan ﻭَﺳَﻠَّﻢَ .”

Al-’Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafadz shalawat dengan ﺹ , ﺻﻢ , atau ﺻﻠﻌﻢ. Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.

As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat di sini dan di setiap tempat yang disyariatkan padanya shalawat, sebagaimana disebutkan dalam Syarah Muslim dan selainnya, berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻴﻤًﺎ
As-Suyuthi juga mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan ﺻﻠﻌﻢ, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”

Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar mereka mencari yang utama/afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

###

Al Lajnah Ad Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Soal:
Bolehkah menulis huruf ﺹ yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap, shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini. Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ﺹ atau ﺹ - ﻉ – ﻭ (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ud

(Fataawa al-Lajnah ad-Daaimah lil-Buhuts al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No. 5069)

###

Asy Syaikh Wasiyullah Abbas

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan ﺱ - ﺭ - ﺏ . Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb”). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Sumber: bakkah[dot]net

Tentang SHALAWAT NABI

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal al-Bugisi

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya!” (al-Ahzab: 56)

Penjelasan Makna Shalawat

Yang rajih (kuat) di antara definisi shalawat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala kepada hamba-Nya adalah apa yang disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari Rahimahullah dalam Shahih-nya secara mu’allaq dari Abul ‘Aliyah Rufai’ bin Mihran. Beliau berkata,
ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺛَﻨَﺎﺅُﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔِ، ﻭَﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔِ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ
"Shalawat Allah kepada hamba-Nya adalah pujian-Nya kepada hamba di sisi para malaikat, sedangkan shalawat para malaikat adalah doanya.” (al-Hafizh Rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.” Lihat Fathul Bari, Kitabut Tafsir, 8/392)
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalawat para malaikat bermakna doa adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻟَﻢْ ﺗَﺰَﻝِ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔُ ﺗُﺼَﻠِّﻲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﺎ ﺩَﺍﻡَ ﻓِﻲ ﻣُﺼَﻠَّﺎﻩُ: ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْﻟَﻪُ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﺭْﺣَﻤْﻪُ
"Para malaikat senantiasa bershalawat kepada hamba-Nya selama berada di tempat shalatnya. (Mereka mengatakan), ‘Ya Allah, berikan shalawat kepadanya. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia’.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari hadits yang panjang)
Ibnu ‘Abbas Radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Mereka bershalawat yaitu mendoakan berkah.” (Diriwayatkan.secara ta’liq dan disebutkan sanadnya oleh ath-Thabari Rahimahullah, lihat al-Fath, 8/393)

Hadits-Hadits Anjuran Bershalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam

1. Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
ﻻَ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﺍ ﻗَﺒْﺮِﻱ ﻋِﻴْﺪًﺍ ﻭَﻻَ ﺗَﺠْﻌَﻠُﻮﺍ ﺑُﻴُﻮﺗَﻜُﻢْ ﻗُﺒُﻮﺭًﺍ ﻭَﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻲَّ ﻓَﺈِﻥَّ ﺻَﻠَﺎﺗَﻜُﻢ ﺗَﺒْﻠُﻐُﻨِﻲ ﺣَﻴْﺚُ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
"Jangan kalian menjadikan kuburan sebagai (tempat) berhari raya dan jangan kalian jadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan bershalawatlah kepadaku di mana pun kalian berada karena sesungguhnya shalawat kalian (itu) sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud no. 2042 dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani Rahimahullah)

2. Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻲَّ ﺻَﻠَﺎﺓً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻋَﺸْﺮًﺍ
"Barang siapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali, maka Allah mengucapkan shalawat kepadanya 10 kali.” (Sahih, HR. Muslim no. 408)

3. Dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻲَّ ﺻَﻠَﺎﺓً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻋَﺸْﺮَ ﺻَﻠَﻮَﺍﺕٍ ﻭَﺣُﻄَّﺖْ ﻋَﻨْﻪُ ﻋَﺸْﺮُ ﺧَﻄَﻴَﺎﺕٍ ﻭَﺭُﻓِﻌَﺖْ ﻟَﻪُ ﻋَﺸْﺮُ ﺩَﺭَﺟَﺎﺕٍ
"Barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah bershalawat kepadanya 10 shalawat, dihapuskan darinya 10 kesalahan, dan diangkat untuknya 10 derajat.” (HR. an-Nasa’i, 3/50 dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Waktu yang Dianjurkan untuk Bershalawat

1. Ketika nama beliau disebut
Berdasarkan hadits al-Husain bin ‘Ali Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺍﻟْﺒَﺨِﻴﻞُ ﻣَﻦْ ﺫُﻛِﺮْﺕُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺼَﻞِّ ﻋَﻠَﻲَّ
"Orang yang kikir adalah orang yang aku disebut di dekatnya, lalu dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad, dan lain-lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 1/5)
Juga dari hadits Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺭَﻏِﻢَ ﺃَﻧْﻒُ ﺭَﺟُﻞٍ ﺫُﻛِﺮْﺕُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺼَﻞِّ ﻋَﻠَﻲَّ
"Kehinaan bagi seseorang yang aku disebut di dekatnya, namun dia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. at-Tirmidzi, al-Hakim dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al- Irwa’,1/6)

2. Pada hari Jum’at
Berdasarkan hadits Aus bin Aus Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺃَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻲَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺻَﻠَﺎﺗَﻜُﻢْ ﻣَﻌْﺮُﻭﺿَﺔٌ ﻋَﻠَﻲَّ. ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻛَﻴْﻒَ ﺗُﻌْﺮَﺽُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺭَﻣْﺖَ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺃَﻥْ ﺗَﺄﻛُﻞَ ﺃَﺟْﺴَﺎﺩَ ﺍﻟْﺄَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ
"Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari Jum’at, kerena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa disampaikan (kepadamu sedang jasadmu telah hancur)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah mengharamkan tanah untuk memakan jasad para nabi.” (HR. Abu Ishaq al-Harbi dalam Gharibul Hadits dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, 1/4 dan mempunyai syawahid [pendukung] yang lain)

3. Ketika masuk masjid
Berdasarkan hadits Fathimah Radhiyallaahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bila masuk masjid bershalawat untuk diri beliau sendiri dan berkata,
ﺭَﺏِّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻲ ﺫَﻧْﺒِﻲ ﻭَﺍﻓْﺘَﺢْ ﻟِﻲ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏَ ﺭَﺣْﻤَﺘِﻚَ
"Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu!” (HR. at-Tirmidzi, 2/314, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

4. Saat berdoa
Berdasarkan hadits Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻛُﻞُّ ﺩُﻋَﺎﺀٍ ﻣَﺤْﺠُﻮﺏٌ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ
"Setiap doa terhijab (tertutup) hingga bershalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam.” (HR. ad-Dailami dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)

5. Di waktu pagi dan petang
Berdasarkan hadits Abu Ad-Darda Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻲَّ ﺣِﻴﻦَ ﻳُﺼْﺒِﺢُ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﺣِﻴﻦَ ﻳُﻤْﺴِﻲ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﺃَﺩْﺭَﻛَﺘْﻪُ ﺷَﻔَﺎﻋَﺘِﻲ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
"Barang siapa yang bershalawat kepadaku di pagi hari 10 kali dan di sore hari 10 kali, maka dia akan.mendapatkan syafaatku pada hari kiamat.” (HR. ath-Thabrani dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihul Jami’)

Al-Munawi Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil keutamaan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hal tersebut termasuk amalan yang paling afdhal serta zikir yang paling agung dan mengikuti (perintah) Al-Jabbar (Allah) dalam firman-Nya: ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi’, kalau sekiranya tidak ada ganjaran lain bagi yang bershalawat kecuali mengharapkan syafaatnya, maka itu sudah cukup.” (Faidhul Qadir, hlm. 170—171)

6. Ketika tasyahhud dalam shalat
Berdasarkan hadits Fudhalah bin ‘Ubaid Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya lalu tidak bershalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggil.dan berkata kepadanya:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺒْﺪَﺃْ ﺑِﺘَﺤْﻤِﻴﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﺜَّﻨﺎﺀِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻟْﻴَﺼَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺛُﻢَّ ﻟْﻴَﺪْﻉُ ﺑِﻤَﺎ ﺷَﺎﺀَ
"Jika salah seorang kalian shalat, maka hendaklah dia memulai dengan memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian bershalawatlah atas Nabi, lalu berdoa dengan apa yang dia kehendaki.” (HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan disahihkan oleh asy-Syaikh Muqbil t dalam al-Jami’ ash-Shahih, 2/124)

7. Sesudah adzan
Berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-’AshRadhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺪَﺍﺀَ ﻓَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮﻝُ، ﺛُﻢَّ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻲَّ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻲَّ ﺻَﻠَﺎﺓً ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﻬَﺎ ﻋَﺸْﺮًﺍ، ﺛُﻢَّ ﺳَﻠُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪِ ﻟِﻲ ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣَﻨْﺰِﻟَﺔٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻻَ ﺗَﻨْﺒَﻐِﻲ ﺇِﻻَّ ﻟِﻌَﺒْﺪٍ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺃَﺭْﺟُﻮ ﺃَﻥْ ﺃَﻛُﻮﻥَ ﺃَﻧَﺎ ﻫُﻮَ، ﻓَﻤَﻦْ ﺳَﺄَﻝَ ﻟِﻲ ﺍﻟْﻮَﺳِﻴﻠَﺔَ ﺣَﻠَّﺖْ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺸَّﻔَﺎﻋَﺔُ
"Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan lalu bershalawatlah kalian kepadaku. Karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali. Lalu mintalah wasilah untukku karena (wasilah) itu adalah satu kedudukan (yang tertinggi) dalam jannah (surga) yang tidak sepantasnya (dimiliki) kecuali bagi seorang hamba di antara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap (hamba) itu adalah aku. Maka siapa yang memintakan wasilah tersebut untukku, maka halal baginya syafaat.” (Sahih, HR. Muslim)

Cara Bershalawat

Ada beberapa riwayat sahih yang datang dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang tata cara bershalawat kepada beliau (lihat kitab Shifat Shalat an-Nabi karya asy-Syaikh al-Albani, hlm. 164—167). Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3370) dan Muslim (no. 406) dari Ka’b bin Ujrah Radhiyallaahu ‘anhu. Ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar menuju kami lalu kami pun berkata, ‘Kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?’ Beliau menjawab, “Ucapkanlah:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﻤَﺎ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﺇِﻧَّﻚَ ﺣَﻤِﻴﺪٌ ﻣَﺠِﻴﺪٌ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺑَﺎﺭِﻙْ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﻤَﺎ ﺑَﺎﺭَﻛْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﺇِﻧَّﻚَ ﺣَﻤِﻴﺪٌ ﻣَﺠِﻴﺪٌ
Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 405) dari hadits Abu Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu. Ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang kepada kami dan kami bersama Sa’d bin ‘Ubadah. Lalu Basyir bin Sa’d berkata kepada beliau, ‘Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memerintahkan kami bershalawat kepadamu, wahai Rasulullah. Lalu bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pun diam sehingga kami berangan-angan seandainya dia tidak menanyakannya. Lalu beliau bersabda, ‘Ucapkanlah:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﻤَﺎ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﻤَﺎ ﺑَﺎﺭَﻛْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ ﺇِﻧَّﻚَ ﺣَﻤِﻴﺪٌ ﻣَﺠِﻴﺪٌ ٌ
Faedah
An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Apabila bershalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, hendaklah menggabungkan antara shalawat dan salam, serta tidak mencukupkan salah satunya. Maka janganlah ia mengatakan, ‘shallallahu ‘alaihi’ saja, dan tidak pula (hanya mengatakan) ‘alaihis salam’ saja.” (lihat al-Adzkar hlm. 98, an-Nawawi)

Sumber: asysyariah .com

###

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

“Mengucapkan shalawat untuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam merupakan perkara yang disyariatkan. Di dalamnya terdapat faedah yang banyak. Di antaranya menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyepakati Allah dan para malaikat-Nya yang juga bershalawat untuk Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Faedah lainnya adalah melipat gandakan pahala orang yang bershalawat tersebut, adanya harapan doanya terkabul, dan bershalawat merupakan sebab diperolehnya berkah dan langgengnya kecintaan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana bershalawat menjadi sebab seorang hamba beroleh hidayah dan hidup hatinya. Semakin banyak seseorang bershalawat kepada beliau dan.mengingat beliau, akan semakin kental pula kecintaan kepada beliau di dalam hati. Sehingga tidak tersisa di hatinya penentangan terhadap sesuatu pun dari perintahnya dan tidak pula keraguan terhadap apa yang beliau sampaikan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri telah memberikan anjuran untuk mengucapkan shalawat atas beliau dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Siapa yang bershalawat untukku satu kali maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.”

Dari hadits Abu Hurairah juga, disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai id. Bershalawatlah untukku karena shalawat kalian sampai kepadaku di mana pun kalian berada.”

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah pula bersabda: “Terhinalah seorang yang aku (namaku) disebut di sisinya namun ia tidak mau bershalawat untukku.”

Bershalawat untuk Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam disyariatkan dalam tasyahhud shalat, dalam khutbah, saat berdoa serta beristighfar. Demikian pula setelah adzan, ketika keluar serta masuk masjid, ketika mendengar nama beliau disebut, dan sebagainya. Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka.menjalankan perintah Allah 'Azza wa Jalla kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut."

(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)

###

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‏ﺇِﻥَّ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑِﻲ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﻋَﻠَﻲَّ ﺻَﻠَﺎﺓً
"Orang yang paling dekat denganku pada hari Qiyamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku." [HR. Ibnu Hibban, dihasankan al-Allamah al-Albani]

Tentang OBAT PENCEGAH HAID

Tanya: Bolehkah seorang wanita mengonsumsi obat yang bisa mencegah datangnya haid?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab, “Apabila wanita yang menggunakan obat pencegah haid tidak mendapati mudarat/bahaya/dampak negatif pada obat tersebut dari sisi kesehatan, maka tidak mengapa menggunakannya, namun dengan syarat harus seizin suaminya —bila ia sudah bersuami—. Akan tetapi, sepanjang yang saya ketahui, obat-obatan pencegah haid tersebut dapat memudaratkan wanita yang menggunakannya. Telah diketahui pula bahwa keluarnya darah haid itu sifatnya alamiah, sementara sesuatu.yang sifatnya alamiah bila ditahan/dicegah pada waktu yang semestinya ia keluar niscaya akan memberikan dampak negatif bagi tubuh. Sisi lain dari dampak negatif obat-obatan ini adalah mengacaukan waktu kebiasaan haid (adat) seorang wanita sehingga haid akan datang di luar kebiasaan yang ada. Akibatnya, si wanita menjadi bimbang dan ragu (apakah darah yang menimpanya tersebut haid atau bukan) dalam pelaksanaan shalatnya, dalam hubungannya dengan suaminya, dan lainnya. Karena itulah, dalam penggunaan obat-obatan semacam itu saya tidak mengatakannya haram akan tetapi aku tidak menyukai bila seorang wanita menggunakannya karena mengkhawatirkan kemudaratan bagi dirinya.

Saya katakan, sepantasnya seorang wanita meridhai apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan atas dirinya. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu ‘anha pada waktu haji wada’, beliau dapati Aisyah sedang menangis sementara Aisyah telah berihram untuk umrah. Beliau pun bersabda:
ﻣَﺎ ﻟَﻚِ، ﺃَﻧُﻔِﺴْﺖِ ‏؟ ﻗُﻠْﺖُ: ﻧَﻌَﻢْ. ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﻫﺬَﺍ ﺃَﻣْﺮٌ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻨَﺎﺕِ ﺁﺩَﻡَ
“Ada apa dengan dirimu? Apakah engkau ditimpa haid?”
Aisyah menjawab, “Iya.”
Beliau bersabda, “Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, yang sepantasnya bagi seorang wanita adalah bersabar dan mengharapkan pahala. Apabila ia berhalangan untuk menunaikan ibadah puasa dan shalat karena haid yang menimpanya, sungguh pintu zikir terbuka baginya, alhamdulillah. Ia bisa berzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bertasbih (menyucikan Allah Subhanahu wa ta’ala), ia bisa bersedekah serta berbuat baik kepada orang lain dengan ucapan dan perbuatan, ini termasuk amalan yang paling utama.”

[Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 11/283]

Tentang TINDIK TELINGA DAN TINDIK HIDUNG

Yang benar dalam masalah ini, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, tidak apa-apa melubangi daun telinga anak perempuan, karena hal ini dalam rangka berhias dengan sesuatu yang mubah. Telah datang berita yang pasti tentang para wanita dari kalangan shahabat di mana mereka mengenakan anting-anting di telinga mereka. Perbuatan melubangi telinga ini meski ada unsur menyakiti namun sifatnya ringan. Bila seorang anak dilubangi telinganya sejak kecil maka akan sembuh dengan segera.

Adapun melubangi ujung hidung, maka aku tidak ingat ada ucapan ulama tentang masalah ini, akan tetapi perbuatan seperti ini ada unsur mencacati dan menjelekkan hidung dalam pandangan kami, mungkin selain kami tidak memandang demikian. Bila memang wanita tersebut berada di negeri yang terbiasa meletakkan perhiasan pada hidung maka tidak apa-apa ia melubangi ujung hidungnya untuk menggantungkan perhiasan padanya.

[Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/137]

###

Soal : Bolehkah menindik telinga anak perempuan agar bisa dipasang (padanya) anting-anting?

Jawaban al-Lajnah ad-Daaimah:

Yang demikian itu diperbolehkan, karena hal tersebut untuk perhiasan, bukan untuk melukainya ataupun merubah ciptaan Allah. Dan juga karena hal ini telah dikenal sejak zaman jahiliyyah (sebelum datangnya Islam) dan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tanpa ada larangan dan bahkan beliau mengizinkannya. Hanya Allah-lah yang memberikan taufiq.

Shalawat dan salam (keselamatan) senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shabatanya.

Sumber: Fatawa al-Lajnah ad-Daaimah no 4048

Alih bahasa: Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy

###

Masalah: Hukum tusuk telinga bayi perempuan

Jumhur ulama berpendapat boleh-boleh saja. Meskipun padanya sedikit menyakiti bayi saat melakukan tusuk telinga, namun perbuatan ini menghantarkan kepada maksud dari tujuan ditusuknya telinga bayi, yaitu sebagai perhiasan dan kecantikannya. Biasanya apabila hal ini dilakukan saat bayi masih kecil maka lebih cepat sembuhnya.
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma: Kemudian beliau perintahkan untuk bersedekah, sehingga para wanita melepaskan anting-anting yang berada di telinga mereka dan kalung yang berada di leher mereka. [HR. Al-Bukhari]
Telah berfatwa bolehnya hal ini para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah, asy-Syaikh al-Utsaimin, asy-Syaikh al-Fauzan, Syaikhuna dan ulama yang lainnya.
Berkata asy-Syaikh al-Fauzan hafizhahullah: Tidak mengapa menusuk telinga bayi perempuan dengan tujuan untuk memasang perhiasan di telinganya. Perbuatan ini terus menerus dilakukan oleh kebanyakan manusia, bahkan di zaman Nabi Shallallahu alaihi wasallam para wanita dahulu memakai perhiasan di telinga mereka, tanpa ada pengingkaran.

Ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy
23 Dzul Qadah 1435 H/18 September 2014
Daarul Hadits Al Fiyusy Harasahallah

WA. Permata Muslimah Salafiyyah

ummuyusuf .com

Tentang WANITA YANG TIDAK BERPUASA KARENA HAMIL ATAU MENYUSUI

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan:
Apa hukum seorang wanita yang hamil jika dia tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena khawatir terhadap keselamatan janinnya dan wanita yang menyusui khawatir terhadap bayinya?

Jawab:

Para ulama berbeda pendapat, di antara mereka ada yang mengatakan bahwa yang wajib baginya adalah mengganti puasa, dan di antara mereka ada yang berpendapat dia harus mengganti dan membayar kafarat, dan di antara mereka ada juga yang berpendapat tidak wajib baginya untuk mengganti dan membayar kaffarah, dan pendapat ini berdasarkan hadits (Abu Umayyah) Anas bin Malik Al-Ka’by bahwasanya dia safar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi berkata kepadanya: “Makanlah!” Anas menjawab: “Saya sedang berpuasa.” Maka Nabi bersabda:
ﺃَﻣَﺎ ﻋَﻠِﻤْﺖَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺿَﻊَ ﺷَﻄْﺮَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﺎﻣِﻞِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺿِﻊِ
“Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Allah mengugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan mengqashar yang empat raka’at menjadi dua raka’at) dan menggugurkan kewajiban puasa terhadapnya dan terhadap wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” [1]

Jadi mereka berdalil dengan hadits ini bahwasanya tidak ada sedikitpun kewajiban baginya. Dan yang nampak bagi saya bahwasanya yang wajib baginya adalah dengan mengganti puasa saja, tidak perlu baginya untuk membayar kaffarah dan hal ini tidak sah, jadi yang mewajibkan dia untuk mengganti puasa adalah firman Allah Ta’ala:
ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳْﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Footnote:
[1] HR. Ahmad (4/347 hadits ke 18568), At-Tirmidzy (715), Abu Dawud (2408), An-Nasa’iy (2276, 2278) dan Ibnu Majah (1667, 1668) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (2/438) dan di dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (127) dengan lafazh:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﺿَﻊَ ﺷَﻄْﺮَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﺃَﻭْ ﻧِﺼْﻒَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﻭَﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤُﺮْﺿِﻊِ ﺃَﻭْ ﺍﻟْﺤُﺒْﻠَﻰ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan mengqashar yang empat raka’at menjadi dua raka’at) dan menggugurkan kewajiban puasa terhadapnya dan terhadap wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.”

Sumber artikel:
Nashaa-ih wa Fadhaa-ih, terbitan Maktabah Shan’a Al-Atsariyyah, cetakan ke-2 tahun 1425 H, hal. 76-77

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan:
Penanya menanyakan tentang wanita yang tidak mampu berpuasa Ramadhan karena melahirkan atau hamil?

Jawab:

Yang wajib baginya adalah mengganti puasa, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳْﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ ‏
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Jadi dia wajib mengganti pada waktu yang dia telah mampu, bisa setahun, atau dua tahun, atau tiga tahun setelahnya.
ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ
“Allah tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Terdapat riwayat di dalam kitab-kitab As-Sunan dari hadits (Abu Umayyah) Anas bin Malik Al-Ka’by bahwasanya dia safar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi berkata kepadanya: “Makanlah!” Anas menjawab: “Saya sedang berpuasa.”
Maka Nabi bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﺿَﻊَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﺷَﻄْﺮَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺍﻟْﺤَﺎﻣِﻞِ ﻭَﺍﻟْﻤُﺮْﺿِﻊِ ﺍﻟﺼَّﻴَﺎﻡَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menggugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan mengqashar yang empat raka’at menjadi dua raka’at) dan menggugurkan kewajiban puasa terhadap wanita yang hamil dan wanita yang menyusui.” [1]
Atau yang semakna.
Yang dimaksud dengan menggugurkan di sini adalah menggugurkan yang sifatnya sementara, yaitu berdasarkan ayat yang baru saja kalian dengar:
ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣَﺮِﻳْﻀًﺎ ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Sebagian ulama berpendapat bahwa jika telah berlalu setahun namun wanita tersebut belum mengganti puasa Ramadhan yang pertama, maka dia wajib membayar kaffarah di samping tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan. Atau wajib bagi orang lain yang meninggalkan puasa karena sakit atau safar untuk membayar kaffarah di samping tetap mengganti puasa yang dia tinggalkan jika telah berlalu setahun namun dia belum mengganti puasanya. Hanya saja pendapat ini tidak memiliki dalil dari Kitabullah maupun dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi was sallam, tetapi hanya pendapat sebagian Salaf saja. Sedangkan kami maka kami mengambil apa yang nampak dari ayat di atas. Dan Allah Azza wa Jalla tidak berfirman: “Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa), maka hendaknya mengganti sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan jika telah berlalu setahun namun dia belum juga mengganti puasanya, maka dia wajib membayar kaffarah.”
ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻧَﺴِﻴًّﺎ
“Dan Rabbmu sekali-kali tidak pernah lupa.” (QS. Maryam: 64)

Jadi tidak ada kewajiban atas wanita tersebut selain mengganti puasanya yang dia tinggalkan saja jika dia telah benar-benar mampu melakukannya, walaupun telah berlalu 3 Ramadhan atau lebih. Ketika dia telah mampu setelah itu barulah dia mengganti puasanya, hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.

Mengganti puasa juga tidak harus dilakukan berturut-turut agar tidak memberatkannya. Jadi dia bisa berpuasa 3 hari lalu berhenti sehari, atau puasa sehari dan berhenti sehari, sesuai dengan kemampuannya. Contohnya Aisyah radhiyallahu anha menceritakan bahwa beliau masih memiliki kewajiban mengganti sebagian puasa Ramadhan karena haidh, lalu beliau tidak menggantinya kecuali di bulan Sya’ban. Maksud dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya mengganti puasa tidak harus secepatnya. Wallahul musta’an.

Footnote:
[1] HR. Ahmad (4/347 hadits ke 18568), At-Tirmidzy (715), Abu Dawud (2408), An-Nasa’iy (2276, 2278) dan Ibnu Majah (1667, 1668) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (2/438) dan di dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (127) dengan lafazh:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻭَﺿَﻊَ ﺷَﻄْﺮَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﺃَﻭْ ﻧِﺼْﻒَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺍﻟﺼَّﻮْﻡَ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻓِﺮِ ﻭَﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤُﺮْﺿِﻊِ ﺃَﻭْ ﺍﻟْﺤُﺒْﻠَﻰ .
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menggugurkan bagi musafir setengah shalat (dengan mengqashar yang empat raka’at menjadi dua raka’at) dan menggugurkan kewajiban puasa terhadapnya dan terhadap wanita yang menyusui dan wanita yang hamil.”

Sumber artikel:
Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H, pertanyaan no. 352 hal. 594-595

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
امرأة حامل ولا تطيق الصوم فماذا تفعل؟
Wanita hamil tidak mampu berpuasa, apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
حكم الحامل التي يشق علها الصوم حكم المريض، وهكذا المرضع إذا شق عليها الصوم تفطران وتقضيان؛ لقول الله سبحانه: وَمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. وذهب بعض أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن عليها الإطعام فقط. والصواب الأول؛ لأن حكمهما حكم المريض؛ لأن الأصل وجوب القضاء ولا دليل يعارضه. ومما يدل على ذلك ما رواه أنس بن مالك الكعبي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحبلى والمرضع)) رواه الإمام أحمد وأهل السنن الأربع بإسناد حسن. فدل على أنهما كالمسافر في حكم الصوم تفطران وتقضيان. أما القصر فهو حكم يختص بالمسافر وحده لا يشاركه فيه أحد وهو صلاة الرباعية ركعتين. وبالله التوفيق
Hukum wanita hamil yang puasa itu memberatkannya adalah sama seperti hukum orang sakit. Demikian juga wanita menyusui bila puasa itu memberatkannya. Maka keduanya berbuka dan mengqadha di hari yang lain. Berdasarkan firman Allah:
ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
“Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya melakukan qadha puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari yang lain.” (Surat al-Baqarah: 185)
Sebagian shahabat Nabi shallallahu alaihi wa salam ada yang berpendapat bahwa yang wajib atas wanita hamil dan menyusui hanyalah memberi makan saja. Namun yang benar ialah pendapat pertama karena hukum wanita hamil dan menyusui layaknya hukum orang sakit. Juga karena secara asal adalah wajibnya qadha dan tidak ada dalil yang memalingkannya.
Di antara yang menunjukkan hal tersebut ialah hadits Anas bin Malik al-Kabiy radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wa salam bahwa beliau bersabda:
إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحبلى والمرضع
Sesungguhnya Allah meringankan puasa dan separuh shalat (qashr) dari musafir dan (meringankan puasa) dari wanita hamil dan menyusui. (HR. Ahmad di dalam Musnad Bashriyyin dari hadits Anas bin Malik no. 19814 dan an-Nasai di ash-Shaum bab wadhish shiyam anil hubla no. 2315)
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan penulis kitab sunan yang empat dengan sanad yang hasan.
Maka hadits ini menunjukkan bahwa wanita hamil dan menyusui itu layaknya musafir dalam hukum berpuasa. Keduanya berbuka dan membayar qadha. Adapun qashr shalat maka hukum ini khusus bagi musafir saja dan tidak ada satupun yang menyertainya yaitu meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Dan taufik itu hanyalah di tangan Allah semata.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/474

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz  رحمه الله 

Pertanyaan:
هل يجوز للحامل أو المرضع الإفطار في رمضان وعليهما الفدية فقط دون القضاء؟
Apakah boleh wanita hamil dan menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan mereka hanya membayar fidyah saja tanpa harus mengqadha?

Jawaban:
هذه المسألة مسألة خلاف بين أهل العلم، من أهل العلم من قال: أن عليهما الفدية فقط، ولهما أن تفطرا؛ لأن الحمل قد يتتابع رمضان قد يتتابع ولا يكون عندهما فرصة للقضاء وهذا مروي عن ابن عباس وابن عمر رضي الله عنهما وقاله جماعة من السلف
Masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Sebagian ulama memandang: bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah saja dan boleh baginya berbuka. Karena terkadang kehamilan itu berturut-turut melewati bulan Ramadhan.
Terkadang berturut-berturut dan tidak ada waktu lagi bagi keduanya untuk melakukan qadha. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma dan dipegang oleh sebagian salaf.
والقول الثاني: أنهما كالمريض إن شق عليهما الصيام أفطرتا وقضتا فإن لم يشق عليهما صامتا وهذا القول هو الأرجح وهو الأقوى دليلاً وهو الذي جاء به الحديث الصحيح عن أنس ابن مالك الكعبي غير أنس مالك بن الأنصاري أن الرسول عليه الصلاة والسلام قال: إن الله وضع للمسافر الصوم وشطر الصلاة، ووضع عن المرضع الصوم ، فهذا يدل على أن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة والصوم وعن الحبلى والمرضع الصوم، فهذا يدل على أنهما كالمسافر، المسافر في الصوم يفطر ويقضي وهما كذلك، والمسافر يختص بالقصر في الصلاة وضع الله شطر الصلاة لأنها رباعية الظهر والعصر والعشاء، فليس بالدنيا من يقصر الصلاة سوى المسافر، فالمريض لا يقصر، والحبلى والمرضع لا تقصران، وإنما يقصر المسافر يصلي الظهر الرباعية ركعتين، الظهر والعصر والعشاء فقط، بعض الناس قد يغلط فيقول أن المريض يقصر، وهذا غلط، المريض لا يقصر يصلي أربع المريض، فالحبلى والمرضع الصواب فيها أنهما كالمسافر والمريض تفطران وتقضيان، وليس عليهما فدية هذا هو الأرجح وهذا هو الصواب، وهو الذي نفتي به، وهو الذي فيما يظهر هو قول الأكثر من أهل العلم لأنهما شبيهتان بالمريض فقد يشق عليهما الصوم من أجل الرضاع أو من أجل الحبل وقد لا يشق عليهما كالمريض خفيف المرض فتصومان
Pendapat kedua: wanita hamil dan menyusui itu layaknya orang sakit. Apabila puasa memberatkan mereka, maka keduanya berbuka dan membayar qadha. Namun jika puasa itu tidak memberatkan, maka wajib bagi keduanya berpuasa. Dan pendapat inilah yang lebih rajih dan lebih kuat dalilnya, yang dengannya datang hadits shahih dari Anas bin Malik al-Kabi bukan Anas bin Malik al-Anshari bahwa Rasulullah alaihish shalatu was salam bersabda:
إن الله وضع للمسافر الصوم وشطر الصلاة، ووضع عن المرضع الصوم
Sesungguhnya Allah meringankan puasa dan setengah shalat dari musafir dan meringankan puasa dari wanita yang menyusui.
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah telah meringankan separuh shalat dan puasa dari musafir dan meringankan puasa dari wanita hamil dan menyusui. Maka ini menunjukkan bahwa keduanya bak musafir. Dalam puasa, seorang musafir boleh berbuka dan membayar qadha, maka keduanya juga demikian.
Namun musafir mendapatkan kekhususan qashar dalam shalat. Allah meringankan separuh shalat (dari musafir) yaitu dari shalat-shalat yang empat rakaat, zhuhur, ashar, dan isya. Tidak ada di dunia ini seorang pun yang boleh mengqashar shalat kecuali musafir.
Orang sakit tidak mengqashar shalat, wanita hamil dan menyusui juga tidak mengqashar shalat. Tetapi hanya musafir yang mengqashar shalat. Ia mengerjakan shalat Zhuhur yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Zhuhur, ashar, dan isya saja (yang boleh diqashar).
Sebagian orang ada yang keliru, ia mengatakan bahwa orang sakit boleh mengqashar shalat, maka ini salah. Orang sakit tidak boleh mengqashar shalat, namun ia tetap shalat empat rakaat.
Wanita hamil dan menyusui, yang benar keduanya seperti musafir dan orang sakit. Mereka berbuka dan mengqadha. Tidak ada bagi keduanya fidyah. Inilah pendapat yang rajih dan benar dan inilah yang kami fatwakan. Dan inilah yang tampak yang merupakan pendapat mayoritas ulama, dikarenakan keduanya serupa dengan orang yang sakit. Maka terkadang puasa itu memberatkan keduanya karena harus menyusui atau karena kehamilan (sehingga tidak berpuasa). Dan terkadang juga tidak memberatkan keduanya seperti orang yang sakit ringan sehingga keduanya tetap berpuasa.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/13399

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMBERSIHKAN HALAMAN

Disebutkan dalam Mu’jam ath-Thabrany al-Ausath [11/2] dari hadits Sa`ad bin Abi Waqosh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
)) ﻃﻬﺮﻭﺍ ﺍﻓﻨﻴﺘﻜﻢ ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻻ ﺗﻄﻬﺮ ﺍﻓﻨﻴﺘﻬﺎ ((
“Bersihkan halaman-halaman rumah kalian, sesungguhnya orang-orang yahudi tidak membersihkan halaman-halaman rumah mereka.” (AS-SILSILAH ASH-SHOHIHAH No. 2795)

Tentang KHITAN, MENCUKUR BULU KEMALUAN, MEMOTONG KUKU, MENCABUT BULU KETIAK, DAN MEMOTONG KUMIS

Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh [1] itu ada lima [2] (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan [3], mencukur bulu kemaluan [4], memotong kuku [5], mencabut bulu ketiak [6], dan memotong kumis [7].” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257)

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim]

Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits di atas berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)

Footnote:

[1] Kalimat Fitrah pada hadits ini bermakna Sunnah sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu ‘Awaanah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.

[2] Sunnah-sunnah fitrah banyak sekali, tidak terbatas pada lima jenis yang disebutkan dalam hadits ini. Telah datang dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
‏«ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ‏»
“lima dari sunnah-sunnah fitrah”

[3] Khitan diwajibkan bagi laki-laki yang telah baligh, dan disunnahkan bagi laki-laki yang belum baligh dan bagi wanita. Ini adalah pendapat yang kuat dan terpilih dari pendapat-pendapat yang ada. Allahu a'lam.

[4] Al-Istihdad, mencukur rambut kemaluan. Perbuatan ini diistilahkan istihdad karena mencukurnya dengan menggunakan hadid yaitu pisau cukur. Para ulama sepakat bahwa hukumnya sunnah. Menghilangkan rambut kemaluan bisa dengan cara apa saja, baik dipotong dengan gunting, dicabut atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut. Namun cara yang utama adalah dengan dicukur sampai habis tanpa menyisakannya, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah di atas.

[5] Berkata Imam An Nawawi rahimahullah, “Adapun memotong kuku, maka telah disepakati sunnahnya, baik untuk laki-laki maupun perempuan dan baik kuku tangan maupun kuku kaki.”

[6] Para ulama sepakat atas sunnahnya mencabut bulu ketiak, sebagaimana dikatakan oleh Al Imam An Nawawi.
Untuk bulu ketiak, maka cara paling utama menghilangkannya dengan dicabut bagi yang mampu. Jika tidak mampu, maka bisa dengan dipotong, dikerok atau bisa juga dihilangkan dengan obat perontok rambut.

[7] Al Imam Ath Thahawi rahimahullah menyatakan bahwa, “Memotong kumis dilakukan dengan memotong kumis yang panjangnya melebihi bibir, sehingga tidak mengganggu ketika makan dan tidak terkumpul kotoran padanya.”

Tentang MEMAKAI PAKAIAN YANG INDAH, MINYAK WANGI YANG MEWAH, DAN KENDARAAN YANG BAGUS

Disebutkan di dalam Shohih Muslim dari hadits Abdullah ibnu Mas`ud, bahwasanya Rosululloh shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‏ﻻَ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻰ ﻗَﻠْﺒِﻪِ ﻣِﺜْﻘَﺎﻝُ ﺫَﺭَّﺓٍ ﻣِﻦْ ﻛِﺒْﺮٍ. ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺟُﻞٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺛَﻮْﺑُﻪُ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻭَﻧَﻌْﻠُﻪُ ﺣَﺴَﻨَﺔً. ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺟَﻤِﻴﻞٌ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻝَ ﺍﻟْﻜِﺒْﺮُ ﺑَﻄَﺮُ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﻭَﻏَﻤْﻂُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ‏
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat dzarroh kesombongan." Lalu berkata seorang laki-laki: “Sesungguhnya seseorang itu menyukai pakaiannya agar senantiasa indah dan sandalnya indah?” Maka bersabda Rosululloh shallallahu alaihi wasallam: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan, akan tetapi sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia."

Dan disebutkan dalam Sunan Abu Dawud (11/151) dengan sanad yang shohih dari hadits Abi Hurairoh:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺃَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﻤِﻴﻼً ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻧِّﻰ ﺭَﺟُﻞٌ ﺣُﺒِّﺐَ ﺇِﻟَﻰَّ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻝُ ﻭَﺃُﻋْﻄِﻴﺖُ ﻣِﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻯ ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﺃُﺣِﺐُّ ﺃَﻥْ ﻳَﻔُﻮﻗَﻨِﻰ ﺃَﺣَﺪٌ ﺇِﻣَّﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﺸِﺮَﺍﻙِ ﻧَﻌْﻠِﻰ. ﻭَﺇِﻣَّﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﺸِﺴْﻊِ ﻧَﻌْﻠِﻰ ﺃَﻓَﻤِﻦَ ﺍﻟْﻜِﺒْﺮِ ﺫَﻟِﻚَ . ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﻭَﻟَﻜِﻦَّ ﺍﻟْﻜِﺒْﺮَ ﻣَﻦْ ﺑَﻄَﺮَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﻏَﻤَﻂَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
Bahwasanya seorang lelaki yang tampan datang kepada Rosululloh shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: “Ya Rosululloh, sesungguhnya aku adalah seorang lelaki yang dijadikan bagiku kecintaan terhadap keindahan, dan diberikan kepadaku apa yang engkau lihat, dan aku tidak suka ada seorangpun yang melampauiku walaupun dalam perkara tali sandalku. Apakah ini termasuk kesombongan?” Bersabda Rosululloh shallallahu alaihi wasallam: "Tidak, akan tetapi sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (AL-JAMI` ASH-SHOHIH No. 2793)

Dan disebutkan dalam Sunan Abu Dawud (11/12) dengan sanad yang shohih dari hadits Malik bin Nadhlah, dia berkata:
ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓِﻰ ﺛَﻮْﺏٍ ﺩُﻭﻥٍ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺃَﻟَﻚَ ﻣَﺎﻝٌ. ﻗَﺎﻝَ ﻧَﻌَﻢْ. ﻗَﺎﻝَ ﻣِﻦْ ﺃَﻯِّ ﺍﻟْﻤَﺎﻝِ. ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪْ ﺃَﺗَﺎﻧِﻰَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻹِﺑِﻞِ ﻭَﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ ﻭَﺍﻟﺮَّﻗِﻴﻖِ. ﻗَﺎﻝَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺗَﺎﻙَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﺎﻻً ﻓَﻠْﻴُﺮَ ﺃَﺛَﺮُ ﻧِﻌْﻤَﺔِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﻭَﻛَﺮَﺍﻣَﺘِﻪِ
“Aku mendatangi Rosululloh dengan memakai pakaian yang jelek, maka beliau shallallahu alaihi wasallam berkata: “Apakah engkau memiliki harta?” Berkata Malik bin Nadhlah: “Iya.” Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata: ”Berupa apakah harta yang engkau miliki?” Berkata Malik bin Nadhlah: “Berupa unta, domba, kuda, dan budak.“ Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata: “Jika Allah telah memberimu harta, maka perlihatkan atsar (tanda) kenikmatan Allah yang ada padamu dan kepemurahan-Nya.“ (AL-JAMI` ASH-SHOHIH No. 2794)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah senang melihat bekas/wujud nikmat-Nya yang ada pada hambaNya.” (HR. at-Tirmidzi)

Dan disebutkan pula dalam Sunan Abu Dawud (11/80) dengan sanad yang hasan dari Abdullah bin Abbas dia berkata:
ﻟَﻤَّﺎ ﺧَﺮَﺟَﺖِ ﺍﻟْﺤَﺮُﻭﺭِﻳَّﺔُ ﺃَﺗَﻴْﺖُ ﻋَﻠِﻴًّﺎ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﺋْﺖِ ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ. ﻓَﻠَﺒِﺴْﺖُ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﺣُﻠَﻞِ ﺍﻟْﻴَﻤَﻦِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺯُﻣَﻴْﻞٍ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﻤِﻴﻼً ﺟَﻬِﻴﺮًﺍ ﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻓَﺄَﺗَﻴْﺘُﻬُﻢْ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻣَﺮْﺣَﺒًﺎ ﺑِﻚَ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻣَﺎ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﺤُﻠَّﺔُ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺗَﻌِﻴﺒُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰَّ ﻟَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺤُﻠَﻞِ
"Ketika firqoh (aliran) Al-Haruriyyah memberontak terhadap Ali bin Abi Tholib, aku pergi mendatangi Ali, lalu dia berkata: “Datangilah kaum itu!” Maka aku memakai khulah yaman yang paling bagus.”
Berkata Abu Zumail (salah seorang periwayat hadits ini): "Dan Ibnu Abbas adalah seorang lelaki yang tampan lagi gagah."
Berkata Ibnu Abbas: “Lalu aku pergi mendatangi mereka dan mereka berkata: “Selamat datang bagimu wahai Ibnu Abbas, apa pakaian yang engkau pakai ini?” Berkata Ibnu Abbas: “Apa yang membuat kalian mencelaku? Sesungguhnya aku telah melihat Rosululloh memakai khulah yang paling bagus.”
(AL-JAMI`ASH-SHOHIH No. 2795)

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan: 
فضيلة الشيخ: هل التجمل ولبس الملابس الفاخرة والتطيب بأنواع الطيب الفاخر ينافي الزهد؟
Wahai Syaikh yang mulia. Apakah berhias, memakai pakaian mewah serta menggunakan berbagai jenis minyak wangi, semua ini bertentangan dengan kezuhudan?

Jawaban:
يتوسط الإنسان، الإنسان يتوسط، إذا أعطاه الله نعمة يتوسط ما يسرف في اللباس والطيب والمراكب، ولا يكون كهيئة الفقراء؛ فيجحد نعمة الله عليه. فليتوسط في أمره، وخير الأمور الوسط، بين البخل والتبذير، (وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا) [الفرقان: 67]، وسط بين الإقتار والبخل وبين الإسراف. نعم
Selayaknya seseorang itu bersikap sederhana.
Jika Allah memberikan kepadanya kenikmatan, maka hendaknya dia bersikap sederhana di dalam berpakaian, memakai minyak wangi ataupun di dalam berkendaraan.
Tidak berpenampilan layaknya seorang yang faqir sehingga terkesan mengingkari nikmat Allah.
Hendaknya dia bersikap pertengahan pada semua perkara, karena sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.
Pertengahan antara sikap kikir dan sikap boros.
Dan orang-orang yang ketika menginfakkan hartanya mereka tidak berlebihan dan tidak pula bakhil. (QS Al Furqon: 67)
Pertengahan antara sifat bakhil dan sifat boros. Naam.

Sumber: 
www .alfawzan .af .org .sa/node/2363

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia