Cari Blog Ini

Selasa, 31 Maret 2015

Tentang BERZIKIR DI DALAM KAMAR KECIL, TOILET ATAU WC

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh [Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERSUCI: Berdzikir di Tempat Buang Hajat atau Membawa Sesuatu yang Padanya Terdapat Dzikir.
Hal ini merupakan perkara yang makruh sehingga sepantasnya seorang muslim untuk menjauhinya. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwasanya ada seseorang melewati Rasulullah shallallahu alaihi was sallam ketika beliau sedang buang air kecil. Maka orang itu mengucapkan salam kepada beliau namun beliau tidak menjawabnya. Hal itu karena menjawab salam termasuk dzikir.
 
Sumber artikel: 
Al-Minzhaar Fii Bayaani Katsiirin Minal Akhthaaisy Syaai’ah

Forum Salafy Indonesia

Tentang BERWUDU LEBIH DARI TIGA KALI

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh [Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERSUCI: Was-was Ketika Berwudhu dengan Melakukannya lebih dari Tiga kali dan Ragu-ragu dengan Wudhunya.
Ini termasuk was-was dari syaithan, karena Rasulullah shallallahu alaihi was sallam tidak pernah menambah wudhunya lebih dari tiga kali. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Al-Bukhary bahwasanya beliau berwudhu sebanyak tiga kali. Maka wajib atas seorang muslim untuk membuang was-was dan keraguan setelah dia menyempurnakan wudhunya dan jangan menambah lebih dari tiga kali. Hal ini sebagai bentuk mengusir was-was yang hal itu termasuk dari makar syaithan

Sumber artikel: 
Al-Minzhaar Fii Bayaani Katsiirin Minal Akhthaaisy Syaai’ah

Forum Salafy Indonesia

Tentang MENGUSAP KEPALA LEBIH DARI SEKALI KETIKA BERWUDU

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh [Menteri Urusan Agama Kerajaan Arab Saudi]

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BERSUCI: Mengusap Kepala Lebih dari Sekali.
Hal ini menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu alaihi was sallam, karena beliau hanya mengusap kepala sekali saja. Hal itu berdasarkan riwayat yang shahih dari Ali radhiyallahu anhu yang menjelaskan sifat wudhu Nabi shallallahu alaihi was sallam dengan mengatakan:
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً
“Beliau mengusap kepalanya sekali.”
Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasaiiy dengan sanad jayyid. Abu Dawud mengatakan: “Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Utsman semuanya menunjukkan bahwa mengusap kepala hanya dilakukan sekali saja.”

Sumber artikel: 
Al-Minzhaar Fii Bayaani Katsiirin Minal Akhthaaisy Syaai’ah

Forum Salafy Indonesia

Tentang APRIL MOP

April Mop diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari itu, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa dianggap bersalah. Hari ini ditandai dengan tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, musuh, teman, bahkan tetangga dengan tujuan mempermalukan orang-orang yang mudah ditipu. Tidak menutup kemungkinan momen seperti ini juga diikuti oleh kaum muslimin. Bagaimana Islam memandang momen tersebut?

Berikut nasehat Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah:
 الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد
Sesungguhnya Allah subhanahu wataala telah memerintahkan untuk jujur di dalam Kitab-Nya dan memerintahkan untuk bersama dengan orang-orang yang jujur. Allah jalla waala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang dari perbuatan dusta dan menggolongkan dusta termasuk dosa besar. Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hati-hatilah kalian dari dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pelakunya kepada kejahatan. Seseorang yang senantiasa berdusta dan terus-menerus dalam kedustaannya, maka akhirnya ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.
Jika demikian, maka yang wajib atas seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya, serta menaati Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Seorang muslim wajib berhati-hati dan waspada dengan penuh kewaspadaan dari dusta. Karena kedustaan itu diharamkan dalam bentuk dan warna apapun. Semakin besar dan semakin bertambah kadar keharamannya ketika kedustaan itu dilakukan dalam rangka membuat orang lain tertawa.
Inilah yang kami ketahui tentang permasalahan yang ditanyakan (tentang momen April Mop) dan ini adalah perkara yang sudah dikenal di kalangan umat Islam di beberapa kurun waktu terakhir ini. Yang sangat disayangkan, ternyata sumber dari momen tersebut adalah berasal dari orang-orang Yahudi, Nashara, dari negara-negara barat dan timur semuanya, mereka berdusta dan menipu dengan suatu kedustaan dan tipuan agar orang-orang tertawa, atau agar orang-orang menyebut dia dan terkenal serta tercatat di dunia popularitas.
Adapun kita segenap kaum muslimin, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,
وَيْلٌ لِلرجل يَكْذِبُ الكذبة لِيَضْحَكَ بِها الْناس وَيْلٌ لَهُ, ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
Celakalah seseorang yang berdusta dengan suatu kedustaan agar manusia tertawa karenanya, celakalah dia, celakalah dia.
Wajib atas kita semua untuk berhati-hati darinya. Permasalahan yang ditanyakan, yaitu tentang kedustaan pada bulan April (April Mop), maka ini adalah haram dari dua sisi:
Pertama: Hal itu merupakan kedustaan. Allah subhanahu wataala telah mengharamkan dusta. Dan kita semua telah mendengar sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Hati-hatilah kalian dari dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pelakunya kepada kejahatan, dan kejahatan akan mengantarkan pelakunya kepada neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan terus-menerus dalam kedustaannya, maka akhirnya ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini sisi pertama.
Kedua: Semakin besar keharamannya -di samping kedustaan itu sendiri hukumnya adalah haram- bahwa perbuatan seperti itu merupakan bentuk tasyabbuh terhadap orang-orang kafir. Orang-orang kafir tersebut berdusta, menipu, dan melakukan perbuatan sedemikian rupa, bahkan terkadang menyampaikan kedustaan berupa berita besar dan bencana yang hebat yang disiarkan dan disebarkan terutama melalui media-media massa pada zaman modern ini. Sehingga tersebarlah berita tersebut sampai belahan bumi timur dan barat. Akibatnya terjadi ketakutan yang melanda banyak orang. Namun kemudian berita tersebut diketahui ternyata tidak ada asalnya.
Demikianlah jika seorang muslim berdusta, yang kemudian menyebabkan saudaranya sesama muslim ketakutan, dan semakin besar ketakutan itu yang menyebabkan semakian bertambah pula kepanikannya, bahkan terkadang jatuh sakit ketika disampaikan kepadanya misalnya: Si Fulan meninggal dunia, ayahnya, atau saudaranya, atau putra dan putrinya. Misalnya juga dengan mengatakan, Rumahmu kecurian. Rumahmu kebakaran. Atau yang semisal dengannya berupa perkara-perkara dan berita yang besar. Hal seperti itu terkadang menyebabkan seseorang kacau pikirannya, hilang pikiran dan akalnya, dan terkadang jatuh sakit. Yang seperti ini menjadi tanggungan siapa? Apa yang terjadi seperti ini tentu menjadi tanggungan si pendusta.
Dalam hal ini kedustaan seperti itu akan lebih besar tingkat keharamannya, karena terdapat padanya kejelekan yang besar dan mengandung unsur penyerupaan dengan orang-orang kafir.
Maka yang wajib atas kaum muslimin adalah berhati-hati dan mewaspadainya dengan sungguh-sungguh, serta tidak meniru musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir, karena Allah subhanahu wataala memerintahkan kaum muslimin untuk bersama dengan orang-orang yang jujur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Seorang muslim itu adalah jika kaum muslimin selamat dari gangguan lisan dan tangannya.
Jika ada seorang yang berdusta dengan sebuah kedustaan sehingga menyebabkan orang lain ketakutan, maka berarti kaum muslimin tidak selamat dari gangguan lisannya.
Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua berupa pemahaman dan ilmu terhadap agama ini, serta sikap ittiba (senantisa mengikuti) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berhati-hati dari perbuatan menyerupai orang-orang kafir, baik dari kalangan orang-orang barat maupun timur, serta berhati-hati dari mengikuti prinsip dan cara beragama orang-orang Yahudi dan Nashara. Hal ini telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bukanlah sesuatu yang asing, jika ada umat Islam yang terjatuh ke dalam perbuatan meniru dan mengikuti orang-orang Yahudi dan Nashrani dengan bentuk peniruan yang benar-benar persis, berjalan di belakang mereka sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampaipun kalau mereka memasuki lubang dhabb, maka kita umat Islam juga akan ikut-ikutan memasukinya.
Aku memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua untuk berittiba terhadap Rasul-Nya dan berhati-hati dari perbuatan yang mendatangkan murka Rabb kita tabaraka wataala. Yaitu dengan menjauhi perkara-perkara seperti ini (momen April Mop) dan sikap tasyabbuh terhadap musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir. Aku juga memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kita semua untuk senantiasa berpegang dengan prinsip Islam yang benar dan meniti jalan Allah yang lurus. Sesungguhnya  Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان
(Terjemahan dari الدليل على تحريم كذبة إبريل  oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah)

Situs Resmi Mahad As-Salafy

*) Teks asli:
الدليل على تحريم كذبة إبريل
السؤال:  شيخنا هذا سؤال من بريد موقع ميراث الأنبياء يسأل عما اشتهر هذه الأيام بــ (كذبة إبريل) حفظكم الله لعل لكم كلمة في هذا يا شيخ ؟
محمد بن هادي المدخلي الجواب
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد
فإن الله سبحانه وتعالى قد أمر بالصدق في كتابه وأمر بلزوم أهله، فقال –جل وعلا-: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
والنبي –صلى الله عليه وسلم- نهى عن الكذب وجعله من الكبائر، فقال –عليه الصلاة والسلام-  إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا، وإذا كان الأمر كذلك فالواجب على المسلم أن يتقيَ الله في نفسه ويلزم أمر ربه، ويطيع رسوله –صلى الله عليه وسلم- ويحذر كل الحذر من الكذب، فإن الكذب محرم بجميع أشكاله وألوانه، ويشتد ويزداد حرمة إذا كان لإضحاك الناس، وهذا الذي نعلمه عن هذا الأمر الذي سئل عنه واشتهر بين المسلمين وفي الآونة الأخيرة وللأسف إنما مصدره اليهود والنصارى وبلاد الغرب والشرق من هؤلاء جميعا فإنهم يكذبون هذه الكذبة ليضحكوا بها أو ليذكروا بها ويشتهروا بها ويدونوا في عالم الشهرة
أما نحن معشر المسلمين فإن النبي –صلى الله عليه وسلم- قال: ويل للرجل يكذب الكذبة ليضحك بها الناس ويل له ثم ويل له. فالواجب علينا جميعا أن نحذر هذا وهذا الباب الذي سئل عنه وهو باب كذبة إبريل محرمة من ناحيتين
الناحية الأولى: أنها كذب والله –سبحانه وتعالى- قد حرم الكذب وقد سمعنا جميعا قول النبي –صلى الله عليه وسلم- (إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا. رواه البخاري ومسلم 
فهذه ناحية.. والناحية الثانية: التي تشتد بها وبسببها حرمة هذا الكذب إضافة إلى حرمته الأصلية وهي كون هذا الأمر تشبها بالكفار ، فإن هؤلاء الكفار يكذبون ويفعلون ويفعلون وربما أتوا بالكذبة الكبيرة والطامة العظيمة التي تذاع وتشاع خصوصا في وسائل الإعلام اليوم فتشرق وتغرب ويحصل فيها الفزع الكثير ثم بعد ذلك يتبين أنها لا أصل لها
فهكذا إذا كذب المسلم كذبة يروع فيها أخاه المسلم ويستثير خوفه ويشتد بسبب ذلك ذعره وربما يصيبه بمرض حينما يقول له مثلا مات فلان ممن يعز كأب أو أخ أو ابن أو بنت أو يقول مثلا سُرق بيتك أو احترق بيتك أو نحو ذلك من الأمور العظيمة ربما يختلط بسببها الإنسان يزول لبه وعقله، وربما مرض ففي ذمة من؟، هذا الذي يحصل إنما هو في ذمة هذا الكذاب. فهذه الكذبة من هذا الباب أيضا أشد حرمة وذلك لما فيها من الشر العظيم ولما فيها من مشابهة الكفار في هذا الجانب
فالواجب على المسلمين أن يحذروا ذلك أشد الحذر وأن لا يقتدوا بأعداء الله الكفرة. فإن الله سبحانه وتعالى قد أمرهم بأن يكونوا مع الصادقين يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ، ويقول –صلى الله عليه وسلم-المُسلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسلِمُونَ مِن لسَانِهِ وَيَدِه
وإذا كان الإنسان يكذب الكذبة فيروع بها الناس هذا ما سلم المسلمون من لسانه
أسأل الله أن يرزقنا جميعا الفقه في الدين والبصيرة فيه والاتباع لرسول الله –صلى الله عليه وسلم- والحذر كل الحذر من مشابهة الكفرة من غربيين وشرقيين واتباع سنن اليهود والنصارى وهذا قد أخبر عنه النبي –صلى الله عليه وسلم- فليس بمستغرب أن يقع في أمة الإسلام أنهم يقتدون باليهود والنصارى حذو القذة بالقذة ويمشون ورائهم شبرا بشبر وذراع بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب لدخلناه
فأسأل الله أن يرزقنا جميعا اتباع رسوله والحذر مما يسخط ربنا تبارك وتعالى وذلك بالبعد عن مثل هذه الأشياء والتشبه بأعداء الله الكقرة ولزوم طريق الإسلام الصحيح ونهج صراط الله المستقيم إنه جواد كريم
وصلى الله وسلم وبارك على عبده ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان
جزاكم الله خيرا يا شيخ اهـ
Sumber: 
www .miraathpublications .net/april-fools-day

###

Buletin Al Ilmu Edisi No. 20/V/XIII/1436 H

"Berita Duka; Telah meninggal dunia bp. Muh. Azemi td pg jam 05.18 wib krn kecelakaan di solo mhn maaf apbl terdpt kslhn, jenazah akan di bw k sby sore jam 16.00 d makamkan bsk pagi. Ibu april mopasseng."
Demikian bunyi SMS mengerikan itu tersebar. Sontak, para kerabat kaget membacanya. Anak Pak Azemi langsung shock. Ia histeris di sekolah lalu pingsan tak sadarkan diri. Mertua Pak Azemi juga demikian. Kagetnya bukan main, sampai-sampai ia harus dilarikan ke Rumah Sakit/UGD. Jangan tanyakan bagaimana istri Pak Azemi. Pesan singkat itu bagaikan teror mendadak yang membuat keluarga Pak Azemi bak kena prahara yang maha dahsyat. Padahal, Pak Azemi ada di rumahnya dalam keadaan sehat wal afiat.
***
Seorang ibu terkena serangan jantung. Ia dibawa ke rumah sakit setelah mendengar salah satu putrinya, Fatimah (7 th), diculik seseorang. Gadis kecil itu dikabarkan hilang selama tiga jam. Ibu malang itu akhirnya mendapatkan perawatan intensif.
Coba bayangkan bila Pembaca sebagai ibu anak itu, atau kerabat dan saudaranya!
Bagaimana perasaan Anda saat itu? Tentu akan sangat terkejut, bukan?!
Faktanya, Fatimah disembunyikan oleh kakaknya sendiri, Wafa. Gadis berusia 15 tahun ini sengaja melakukan perbuatan tersebut untuk mengerjai ibunya. "Saya mendengar April Mop dari teman-teman sekolah. Lalu kami memutuskan untuk menyembunyikan Fatimah dan bilang dia diculik. Kami tidak menyangka kebohongan ini menyebabkan Ibu menderita serangan jantung," ujar Wafa penuh sesal.
***
Pada awal April 1946, gempa bumi dan tsunami di Pulau Aleutian membunuh 165 orang di Hawaii dan Alaska. Pihak berwajib sebenarnya telah mengingatkan warga akan datangnya tsunami. Namun mereka tidak mempercayai peringatan tersebut. Warga menganggap berita tsunami tersebut hanya bohong dan lelucon.

Pembaca yang semoga dirahmati Allah, tiga peristiwa di atas hanyalah contoh kecil akibat fatal dari April Mop. Di Indonesia maupun luar negeri, baik yang diberitakan media ataupun tidak, April Mop menyisakan berbagai kejadian memilukan. Barangkali Anda sendiri pernah menjadi korban April Mop?
Sekedar mendengar akibat fatal di atas, setidaknya orang akan takut dengan April Mop. Apalagi kalau ia tahu hakikat di balik April Mop itu.

Apa April Mop itu?
April Mop disebut juga dengan April Fool's Day. Yaitu suatu hari di mana orang-orang kafir merayakan hari tersebut setiap tahunnya, tepatnya pada tanggal 1 April. Menurut mereka, pada hari tersebut seseorang boleh berbohong, menipu atau memberi lelucon tanpa dianggap bersalah. Hari tersebut ditandai dengan bohong, tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, teman, tetangga bahkan orang tua dengan tujuan ngerjain mereka dan yang dikerjai tidak boleh marah.
April Mop yang asalnya dari Barat (baca: orang-orang  kafir) ini akhirnya populer dan menyebar ke seluruh pelosok dunia, tak terkecuali di sebagian negeri kaum Muslimin. Dan sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin, terkhusus para pemuda, latah dengan acara ini. Mereka menganggap berbohong dan menipu adalah sah-sah saja lagi tidak berdosa.

Bagaimana sikap Anda?
Terlepas dari kontroversi latar belakang April Mop, namun sebagai pemuda muslim dengan mantap aku katakan, "Stop untuk April Mop!" Terserah teman-teman mau bilang apa. Mau dikatakan sok alim, kuper, gak gaul, atau kuno, terserah! Tapi, mari kita merenungi beberapa kejadian di atas. Semoga Allah membuka mata hati kita untuk bisa mengambil pelajaran darinya.
Secara fitrah, kita bisa langsung menilai bahwa April Mop dengan segenap perangkatnya; bohong, menipu dan usil, adalah akhlak buruk. Sifat ini sangat bertentangan dengan akal dan naluri manusia yang sehat. Oleh karena itu, Allah mencelanya. Para rasul yang Allah utus sangat jauh dari sifat ini. Lihat saja, Nabi kita bergelar al-Amin karena begitu jauhnya dari dusta dan bohong.
Siapa yang rela bila kerabatnya dilarikan ke rumah sakit lantaran berita dusta? Siapa yang suka bila ibunya terkena serangan jantung akibat kebohongan? Terimakah Anda jika Anda sendiri sebagai korbannya? Saya yakin, kita semua sepakat menjawab tidak.
Lalu masihkah kita latah dengan merayakan April Mop? Sekali lagi, untuk saat ini, saya yakin Anda akan menjawab tidak. "Kami hanya ingin bercanda dan mencari hiburan saja," ujar salah seorang.
Sebelum berbicara dalil yang nanti akan kita sebutkan, apakah Anda akan tertawa bila anak Anda pingsan tak sadarkan diri karena tipuan Anda? Apakah Anda akan terhibur jika ibu Anda, yang selama ini merawat Anda, meringkuk di RS disebabkan keusilan Anda? Ataukah Anda gembira jika kerabat kita, na'udzubillah, meninggal gara-gara efek April Mop? Sekali lagi, katakan, "Stop!" untuk April Mop.

Apa kata Syariat?
Islam sebagai agama kebenaran telah mengatur segalanya, termasuk hubungan sesama agar tetap harmonis. Di antaranya adalah menjauhi dusta. Sehingga, terlalu banyak dalil yang menunjukkan haram dan tercelanya berbohong, berdusta, dan menipu. Di lembar singkat ini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja:
- Dusta pembawa celaka
Allah berfirman (artinya), "Kecelakaan besarlah bagi orang yang suka berdusta dan berbuat dosa." (QS. al-Jatsiyah: 7)
Tentunya kita semua tidak ingin celaka, di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, "Stop April Mop!"
- Dusta mengantarkan pada perbuatan jahat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Jauhilah
dusta! Ketahuilah, ia akan mengantarkan pada berbagai perbuatan jahat" (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Dusta menjerumuskan ke dalam neraka
Dalam kelanjutan hadits di atas, beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Dan perbuatan jahat akan menjerumuskan ke dalam api neraka."
- Dusta, akhlak yang paling dibenci
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada akhlak
yang lebih dibenci Rasulullah dibandingkan dusta." (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)
- Dusta ciri dan sifat munafik
Baginda Rasul shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Ciri-ciri munafik itu ada tiga; (di antaranya) bila berbicara ia berdusta." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tentu saja, masih ada banyak dalil yang menjelaskan haram dan tercelanya berdusta. Semoga, apa yang bisa disebutkan di atas telah mencukupi Anda.

Dilarang dusta, meski bercanda!
Alasan bercanda untuk dusta dan membuat orang lain tertawa tidaklah dibenarkan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Celakalah orang yang menyampaikan satu berita dusta untuk membuat orang lain tertawa! Celaka dia! Celaka dia!" (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Jika Anda ingin bercanda, bercandalah dengan tanpa dusta. Demikian yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bimbingkan kepada kita semua. Dalam kesempatan lain, beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Aku menjamin sebuah rumah di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta sekalipun sekedar bercanda." (HR. Abu Dawud)

Sekali dusta, berikutnya sulit dipercaya!
Masih ingat peristiwa tewasnya 165 orang karena April Mop? Kenapa warga tidak percaya peringatan bahaya tsunami? Karena peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 April yang di benak mereka adalah perayaan April Mop. Dengan kata lain, mereka menganggap peringatan itu hanyalah bohong, sebatas canda dan tipuan. Terbuktilah bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (fa inna khairal hadyi hadyu Muhammad), saat beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Seseorang yang biasa berdusta, akhirnya ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (Muttafaqun 'Alaih)
Banyak peristiwa yang dianggap bohong dengan dalih April Mop padahal ia nyata. Hingga akhirnya ketidak percayaan tersebut mengakibatkan berbagai akibat fatal dan kerugian harta, fisik, waktu, pikiran, perasaan, materi bahkan jiwa dan nyawa. Allahul musta'an.

Pemuda, dengan Islam mari berbangga!
Tak habis pikir, bila ternyata April Mop ini, dan acara-acara lain, telah merenggut sebagian hati pemuda muslim. Di banyak negara Islam, 1 April dipenuhi dengan kebohongan dan penipuan. Secara tidak sadar mereka terseret arus budaya gelap orang-orang kafir. Tidak lain di antara sebabnya adalah minimnya ilmu dan juga rasa minder dengan syiar ajaran Islam. Tidakkah Anda yakin dengan firman Allah (artinya), "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam."!?
Sadarlah, segala ajaran (termasuk budaya dan gaya) selain Islam yang dijajakan Barat hanyalah untuk menjauhkan kita dari agama yang diridhai-Nya, Islam. Maka, katakan, "Stop!" untuk April Mop!

Renungan Akhir
Pikirkan segala kemungkinan akibat dari ucapan Anda! Jadikan prinsip al-ilmu qablal qaul wal amal (berilmu sebelum berucap dan berbuat), sebagai pedoman dan haluan bagi lisan. Ingat, di samping kanan dan kiri kita ada malaikat yang mencatat segala kata yang terucap.
Semoga bermanfaat.
Wabillahit-taufiq.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Senin, 30 Maret 2015

Tentang MANDI WAJIB

Apa Saja yang Menyebabkan Seseorang Wajib Mandi?

Jawab:
1. Mengeluarkan mani dalam keadaan tidur atau terjaga.
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
Hanyalah air (mandi) itu karena air (mani). (H.R Muslim dari Abu Said al-Khudry)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا هِيَ احْتَلَمَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ
Dari Ummu Salamah ibunda orang beriman bahwasanya beliau berkata: Ummu Sulaim istri Abu Tholhah datang kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita juga wajib mandi jika ia mimpi basah? Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Ya. Jika ia melihat air (mani). (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Catatan: Khusus dalam keadaan terjaga, seseorang yang mengeluarkan mani hanya wajib mandi jika mengeluarkan maninya secara memancar karena syahwat, sedangkan jika keluar tidak dengan memancar, karena sakit atau kedinginan, maka tidak wajib mandi.
فَإِذَا فَضَخْتَ الْمَاءَ فَاغْتَسِلْ
Maka jika engkau memancarkan air mani (saat terjaga), maka mandilah. (H.R Abu Dawud, an-Nasaai, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, an-Nawawi, al-Albany)
2. Berhubungan suami istri meski tidak sampai mengeluarkan mani.
إِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَتَوَارَتْ الْحَشَفَةُ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Jika telah bertemu dua (kemaluan) yang dikhitan dan telah masuk kepala kemaluan, maka telah wajib mandi. (H.R Ibnu Majah)
3. Masuk Islamnya seseorang yang sebelumnya kafir.
عَنْ قَيْسِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ الْإِسْلَامَ فَأَمَرَنِي أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
Dari Qoys bin ‘Ashim beliau berkata: Saya mendatangi Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk masuk Islam, kemudian beliau memerintahkan kepadaku untuk mandi dengan air dan daun bidara. (H.R Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnus Sakan, dan al-Albany)
4. Setelah berakhirnya darah haid dan nifas.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
Jika datang haid, tinggalkanlah sholat. Jika telah berlalu haid (selesai), mandilah dan kemudian sholatlah. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

Bagaimana Kewajiban Mandi Bagi Orang Yang Tertidur dan Merasa Mimpi Basah Atau Mengeluarkan Mani?

Jawab:
Jika setelah bangun tidur ia mendapati ada mani darinya, maka wajib mandi. Meski ia tidak merasa bermimpi. Sebaliknya, jika ia bermimpi (berhubungan suami istri), namun tidak mendapati keluarnya mani setelah bangun tidur, tidak ada kewajiban mandi baginya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ الْبَلَلَ قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapati ada basah (karena mani) tapi ia tidak merasa bermimpi. Nabi menyatakan: Ia wajib mandi. Dan beliau ditanya tentang seorang yang merasa telah bermimpi, namun tidak mendapati ada yang basah (dari mani). Nabi bersabda: Tidak wajib mandi baginya. (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ahmad)
Hadits tersebut para perawinya adalah para perawi dalam as-Shahih, namun satu perawi: Abdullah al-Umary diperselisihkan oleh para Ulama’. Al-Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in menyatakan: bahwa ia tidak mengapa (bukan perawi lemah). Sedangkan Ibnul Madini, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban melemahkannya.
Namun hadits tersebut dikuatkan dengan hadits Ummu Salamah riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa seseorang yang terbangun dari tidur baru diwajibkan mandi hanya jika ia melihat keluarnya air (mani).

Apa Saja Rukun Mandi?

Jawab:
Rukun mandi ada 2, yaitu:
1. Niat.
Minimal berniat menghilangkan hadats besar. Bisa juga berniat menghilangkan seluruh hadats baik kecil maupun besar. Niat adalah terletak di hati, tidak diucapkan.
2. Mengalirkan air ke seluruh anggota tubuh.
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّي ثَلَاثًا فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِي ثُمَّ أُفِيضُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِي
Adapun aku, aku mengambil air sepenuh genggaman tanganku, kemudian aku tuangkan ke atas kepalaku, kemudian aku alirkan setelahnya ke sekujur tubuhku.
(H.R Ahmad dari Jubair bin Muth’im, dan para perawinya adalah para perawi as-Shahih menurut Abut Thoyyib Muhammad Syamsul Haq penulis Aunul Ma’bud, dishahihkan al-Albany)
أَنْ أَعْطَى الَّذِي أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ قَالَ اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ
Memberikan bejana berisi air kepada orang yang junub kemudian beliau bersabda: Pergilah dan tuangkan air itu (pada seluruh tubuhmu). (H.R al-Bukhari dari Imran bin Hushain)
Kedua rukun itu jika dilaksanakan akan terpenuhi sahnya mandi wajib.

Bagaimana Tata Cara Mandi yang Sempurna?

Jawab:
Tata cara mandi yang sempurna seperti yang dicontohkan Nabi adalah sebagai berikut:
1. Berniat.
2. Mencuci kedua telapak tangan.
3. Menuangkan air dengan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri kemudian mencuci kemaluan dengan telapak tangan kiri.
4. Berwudhu’ secara sempurna sebagaimana wudhu’ dalam sholat.
5. Mengambil air dan menyela-nyela rambut pada kepala hingga sampai pori-pori pangkal rambut.
6. Menyiram kepala 3 kali dengan 3 kali cidukan. Dimulai dari bagian kanan, kemudian kiri, kemudian seluruh kepala.
7. Menyiram air ke sekujur tubuh.

Apakah Hadits yang Menjadi Patokan Tata Cara Mandi Nabi?

Jawab:
Ada 2 hadits utama yang menjadi patokan tata cara mandi Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Hadits itu adalah hadits Aisyah dan hadits Maimunah (dua orang ibunda orang beriman, istri Nabi shollallahu alaihi wasallam).
Hadits Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Dari Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika mandi janabah memulai dengan mencuci kedua tangan beliau, kemudian menuangkan air dengan telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri, kemudian mencuci kemaluan beliau, kemudian berwudhu’ sebagaimana wudhu’ dalam sholat. Kemudian mengambil air dan memasukkan jari-jarinya pada pangkal rambut, hingga beliau mengira (air) telah menjangkau seluruh (bagian rambut)nya, beliau menciduk air dengan kedua telapak tangan dan mengguyurkan pada kepala 3 kali. Kemudian beliau mengalirkan air pada seluruh anggota tubuh, kemudian beliau mencuci kedua kakinya. (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Maimunah:
عَنْ مَيْمُونَةَ قَالَتْ وَضَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضُوءًا لِجَنَابَةٍ فَأَكْفَأَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ فَرْجَهُ ثُمَّ ضَرَبَ يَدَهُ بِالْأَرْضِ أَوْ الْحَائِطِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ ثُمَّ غَسَلَ جَسَدَهُ ثُمَّ تَنَحَّى فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ قَالَتْ فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فَلَمْ يُرِدْهَا فَجَعَلَ يَنْفُضُ بِيَدِهِ
Dari Maimunah radhiyallahu anha beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meletakkan bejana berisi air untuk mandi janabah. Kemudian beliau menciduk dengan telapak tangan kanan diguyurkan pada telapak tangan kiri 2 kali atau 3 kali. Kemudian beliau mencuci kemaluan beliau. Kemudian beliau memukulkan tangan beliau pada tanah atau dinding dua kali atau 3 kali. Kemudian beliau berkumur, menghirup air ke hidung (dan mengeluarkannya), mencuci wajah dan kedua tangan hingga siku. Kemudian mengguyurkan air pada kepala beliau. Kemudian beliau mencuci (seluruh) tubuhnya. Kemudian beliau bergeser tempat, kemudian mencuci kakinya. Maimunah berkata: Kemudian saya mendatangi beliau dengan membawa sepotong kain (semacam handuk), tapi beliau tidak menginginkannya. Beliau membersihkan sisa air di tubuh dengan tangannya. (H.R al-Bukhari)
Sedikit perbedaan pada tata cara dari kedua hadits di atas menunjukkan bolehnya menggunakan macam yang berbeda-beda pada tiap waktu. Perbedaan yang ada pada tata cara di hadits Aisyah dengan Maimunah adalah:
1. Di hadits Maimunah disebutkan bahwa pada saat membersihkan telapak tangan kiri (setelah mencuci kemaluan), Nabi memukulkan tangan ke tanah atau dinding, sedangkan di hadits Aisyah tidak disebutkan hal tersebut.
2. Pada hadits Aisyah ketika berwudhu’ dilakukan secara sempurna (termasuk mencuci kaki), kemudian di akhir juga mencuci kaki, sedangkan hadits Maimunah menjelaskan pada saat berwudhu’ tidak mencuci kaki, namun diakhirkan mencuci kaki setelah mencuci seluruh tubuh.
3. Pada hadits Maimunah di bagian wudhu’ tidak ada mengusap kepala, yang ada adalah mengguyurkan air pada kepala.
4. Di hadits Aisyah dijelaskan proses menyela-nyela rambut dengan jari jemari hingga air sampai pada pangkal rambut, sedangkan di hadits Maimunah tidak dijelaskan.
Cara mandi yang bagaimanapun yang digunakan di antara kedua riwayat hadits dari Ummul Mukminin Aisyah dan Maimunah tersebut keduanya adalah Sunnah Nabi yang bisa diamalkan.

Bolehkah Mandi Wajib dengan Air Hangat?
 
Jawab:
Ya, boleh. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab tentang air terdahulu. Boleh seseorang berwudhu’ atau mandi dengan air hangat selama air yang digunakan suci dan air tersebut bisa dialirkan pada seluruh anggota tubuh. Sedangkan hadits larangan menggunakan air hangat untuk berwudhu’ atau mandi adalah hadits yang lemah.

Apakah Seorang Wanita yang Mengikat Rambutnya Harus Mengurainya Saat Mandi Janabah?

Jawab:
Pada mandi janabah, seorang wanita tidak harus mengurai rambutnya yang terikat. Asalkan dipastikan air sampai pada pori-pori pangkal rambut.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
Dari Ummu Salamah beliau berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah wanita yang lebat rambutnya. Apakah aku harus mengurainya saat mandi janabah? Nabi bersabda: Tidak. Sesungguhnya cukup bagimu untuk menciduk air 3 kali cidukan di atas kepalamu kemudian engkau alirkan (air) ke sekujur tubuhmu, maka engkau akan suci. Atau beliau bersabda: Maka saat itu engkau menjadi suci. (H.R Muslim)
Sedangkan pada mandi haid/nifas, seseorang wanita hendaknya mengurai rambutnya yang terikat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا وَكَانَتْ حَائِضًا انْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِلِي
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada beliau saat beliau haid: Urailah rambutmu dan mandilah. (H.R Ibnu Majah, asalnya dari riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Hanya saja hal itu tidak wajib, karena dalam hadits Asma’ yang diriwayatkan Muslim, Nabi tidak menyebutkan keharusan mengurai rambut saat Asma’ bertanya tentang tata cara mandi haid.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِي ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاء
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Asma’ bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang mandi haid. Nabi bersabda: Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun bidara dan bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya dan mengurutnya dengan keras hingga sampai pada pangkal rambutnya. Kemudian mengguyurkan air, kemudian ia mengambil kapas/pembalut yang diberi wewangian kemudian membersihkan (kemaluannya) dengannya. Asma’ bertanya: Bagaimana bersuci dengannya. Nabi mengatakan: Subhanallah, bersuci dengannya. Aisyah mengatakan: Sepertinya ia tidak memahaminya. Nabi menyatakan: Hendaknya ia ikutkan bekas-bekas darah (haid). Asma’ juga bertanya kepada Nabi tentang mandi janabah. Nabi bersabda: Ia ambil air kemudian bersuci dengan sebaik-baiknya kemudian mengguyurkan air di atas kepalanya, kemudian mengurut bagian kepala hingga air sampai pada pori-pori pangkal rambut di kepala. Kemudian mengguyurkan air (ke sekujur tubuh). (H.R Muslim)
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berpendapat bahwa mengurai rambut pada mandi haid itu tidak wajib.
Pembedaan antara mandi janabah dengan mandi haid bagi wanita tersebut berdasarkan pendapat al-Imam Ahmad. Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm tidak membedakan antara mandi janabah dengan haid pada wanita.

Oleh: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

wa Alitishom

Salafy .or .id

###

TATA CARA MANDI JANABAH

Mandi janabah/mandi wajib memiliki dua cara:

1. Cara yang sederhana.

2. Cara yang sempurna.

Pertama: Cara yang sederhana

Cara mandi janabah yang sederhana namun mencukupi/sah adalah cukup dengan berniat dalam hati, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuh secara merata hingga mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (Lihat Al-Minhaj, 3/228)

Kedua: Cara yang sempurna

Mandi janabah/wajib yang sempurna terdiri dari:

1. Niat

Sebelum memulai mandi janabah, maka wajib berniat dalam hati. Karena niat merupakan pembeda antara mandi biasa dengan mandi wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 3530 dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu)

2. Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air

Hal ini sebagaimana diceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)

Mencuci kedua telapak tangan dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)

3. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ
“Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)

4. Menggosokkan telapak tangan kiri ke tanah

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ اْلأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا
“Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)

5. Berwudhu

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)

Adapun tata cara berwudhu ketika hendak mandi janabah, para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat sunnahnya mengakhirkan pencucian kedua telapak kaki saat berwudhu ketika mandi janabah. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Nailul Authar, 1/271)

Namun jika menilik berbagai hadits yang ada, maka kita dapati bahwa ternyata berwudhu ketika mandi janabah memiliki beberapa cara, yaitu:

Pertama: Berwudhu secara sempurna seperti wudhu ketika hendak shalat. Dalilnya adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat.” (HR. Muslim no. 476)

Kedua: Berwudhu seperti ketika hendak shalat, dengan mengakhirkan mencuci kedua kaki setelah mandi. Juga dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat, tanpa mencuci kedua telapak kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 272)

Ketiga: Berwudhu seperti wudhu ketika hendak shalat, tanpa mengusap kepala. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَيَسْتَنْشِقُ وَيُمَضْمِضُ وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ رَأْسَهُ لَمْ يَمْسَحْ
“Kemudian beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu memasukkan air ke dalam hidung sekaligus ke dalam mulut dengan berkumur-kumur, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya masing-masing sebanyak tiga kali, hingga ketika sudah masuk bagian kepala beliau tidak mengusapnya.” (HR. An-Nasa’i no. 419. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i no. 420 bab tidak mengusap kepala dalam wudhu ketika mandi janabah)

Nampak dari hadits-hadits di atas, bahwa ketiga cara tersebut semuanya sunnah untuk dilakukan. Karena masing-masingnya didasari oleh hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah salah satu bentuk penggabungan (jama’) terhadap hadits-hadits diatas yang dilakukan Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa’i (1/225), karya beliau.

6. Menyela-nyela pangkal rambut dengan jari-jemari hingga kulit kepala terasa basah

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِه
“Kemudian beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari tersebut (hingga terasa basah).” (HR. Al-Bukhari no. 240)

7. Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ
“Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 240)

Caranya, tuangan air yang pertama untuk bagian kanan kepala, kemudian tuangan yang kedua untuk bagian kiri kepala, lalu yang ketiga untuk bagian tengah kepala. Cara ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ
“Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya, yang pertama beliau tuangkan air pada bagian kanan kepalanya, kemudian setelah itu bagian yang kiri, lalu terakhir bagian tengah kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 250, Muslim no. 478)

Inilah cara yang dipilih oleh sebagian ulama besar seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Qurthubi, As-Sinji, Asy-Syaukani, dan yang lainnya (Lihat Nailul Authar, 1/270)

8. Mengguyurkan air ke seluruh tubuh

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ
“Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Muslim no. 474)

9. Mencuci kedua kaki

Jika air sudah diguyurkan secara merata ke seluruh tubuh, maka yang terakhir adalah mencuci kedua kaki. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
“Kemudian terakhir beliau mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474)

Demikian urutan tata cara mandi janabah yang sempurna. Jika seorang yang junub, atau wanita yang selesai dari haidh atau nifas telah selesai melakukannya, maka ia telah suci dari hadats besar.

Hendaknya orang yang mandi janabah memperhatikan bagian-bagian tubuh yang rawan tidak terkena air, seperti ketiak, pusar, bagian dalam telinga, dan bagian-bagian lainnya.

MANDI BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAIDH DAN NIFAS

Mandi bagi wanita yang telah suci dari haidh dan nifas tata caranya sama dengan tata cara mandi janabah. Namun disunnahkan bagi mereka untuk mewangikan bagian/daerah mengalirnya darah, baik dengan minyak wangi atau dengan jenis wewangian lainnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:
وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ
“Dan sungguh kami diberi keringanan ketika salah seorang dari kami mandi dari haidh untuk memakai wangi-wangian.” (HR. Al-Bukhari no. 302)

Mewangikan bagian tubuh tempat mengalirnya darah berlaku untuk semua wanita, baik wanita yang berstatus sebagai istri atau gadis. Hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan aroma yang tidak sedap. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan juga An-Nawawi. (Lihat Fathul Bari 3/239, Al-Minhaj 4/14)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Bila wanita yang mandi haidh tidak memakai wewangian pada daerah tempat mengalirnya darah padahal memungkinkan baginya untuk memakainya, maka hukumnya makruh.” (Lihat Al-Minhaj 4/14)

HUKUM MENGURAI RAMBUT YANG DIIKAT/DIJALIN SAAT MANDI

Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika mandi janabah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
“Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan. Kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuhmu. Maka dengan begitu engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Namun beda halnya ketika mandi haidh atau nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh. Sebagian ulama berpendapat wajib. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Ibnu Hazm, Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/275)

Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. Disebutkan dalam riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ قَالَ لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ
“Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi haidh dan janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Namun cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 497)

Adapun hadits yang memerintahkan wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika bersuci, dihukumi dha’if (lemah) oleh ulama pakar hadits. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang dipilih Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Baz, dan yang lainnya. (Lihat Taudhihul Ahkam, 1/401)

Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Bila si wanita memiliki rambut yang diikat, maka tidak wajib baginya melepaskan ikatan rambutnya tersebut saat mandi janabah. Mandi wajib dari haidh sama hukumnya dengan mandi janabah, tidak berbeda.” (Lihat Al-Umm, 1/56)

HUKUM BERWUDHU SETELAH MANDI JANABAH

Seorang yang telah selesai dari mandi janabah tidak wajib baginya berwudhu, baik ia melakukan mandi janabah dengan cara yang sederhana atau cara yang sempurna. Karena ia telah suci dari hadats besar, maupun dari hadats kecil. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah selesai mandi (janabah).” (HR. At-Tirmidzi no. 107. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah no. 445)

Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah: “Ulama sepakat, seseorang yang telah selesai melakukan mandi janabah, tidak perlu mengulangi wudhu.” (Lihat Al-Istidzkar, 1/303)

Hal ini jika tidak batal wudhunya sewaktu ia mandi. Jika batal, maka wajib mengulangi wudhunya.

Wallahu a’lam.

http://buletin-alilmu.net/2010/03/20/mandi-janabah-hukum-dan-tata-caranya/

Jumat, 27 Maret 2015

Tentang UMRAH DARI TANIM

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:

'Aisyah telah berihram dengan niat umrah ketika hajinya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di Sarif -sebuah tempat di dekat Makkah- ia mengalami haid, sehingga tidak dapat menyempurnakan umrah dan tahallul dari umrah dengan melakukan thawaf di Ka'bah. Dan 'Aisyah telah mengatakan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya aku telah berniat umrah, maka bagaimana yang harus aku lakukan dengan hajiku?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Lepaskanlah ikatan kepalamu, sisirlah dan berhentilah dari umrah. Lalu niatkan haji dan lakukan seperti apa yang dilakukan oleh jamaah haji, tetapi engkau jangan thawaf dan jangan shalat sampai engkau suci." 'Aisyah pun melakukannya. (Setelah selesai, 'Aisyah mengatakan): "Orang-orang kembali dengan haji dan umrah. Sementara aku kembali dengan haji saja?" Sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang memudahkan urusan, bila Aisyah menghendaki sesuatu maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menurutinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengutusnya bersama saudara laki-lakinya, Abdurrahman, sehingga berihram untuk umrah dari Tan'im.

Dari riwayat-riwayat yang kami sebutkan ini -dan semuanya shahih- jelaslah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah memerintahkan 'Aisyah untuk melakukan umrah setelah haji sebagai ganti dari umrah tamattu' yang luput darinya karena haid. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lalu: "Ini sebagai ganti umrahmu", maksudnya umrah yang terpisah dari haji, yang mana orang selain Aisyah telah bertahallul darinya ketika di Makkah, kemudian mereka memulai haji tersendiri.

Bila engkau mengetahui hal ini, nampak dengan jelas bagimu bahwa umrah ini khusus bagi orang yang haid yang tidak dapat menyempurnakan umrah hajinya. Sehingga hal ini tidak disyariatkan untuk wanita yang suci (tidak haid), terlebih lagi kaum lelaki. Dari sinilah nampak rahasia mengapa ulama salaf menghindari umrah tersebut. Nampak pula sebab penegasan sebagian ulama salaf tentang dibencinya hal itu. Bahkan tidak ada riwayat yang shahih dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri bahwa beliau radhiyallahu 'anha pernah mengamalkannya (lagi). Sungguh, bila beliau radhiyallahu 'anha melakukan haji, lalu tinggal (di sana) sampai datang bulan Muharram, maka beliau pergi ke (miqat) Juhfah dan berihram darinya untuk umrah, sebagaimana disebutkan dalam Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah (26/92). Dan yang semakna dengan ini telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunanul Kubra (4/344) dari (seorang tabi'in) Sa'id bin Al-Musayyib, bahwa 'Aisyah radhiyallahu 'anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah dari (miqat) Juhfah. Sanad riwayat ini shahih.

Oleh karena itu, Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-lkhtiyarat Al-'llmiyyah (hal. 119): "Dibenci keluar dari Makkah untuk melakukan umrah sunnah. Itu adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya di masa beliau, baik di bulan Ramadhan atau selainnya. Juga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan 'Aisyah untuk melakukannya, namun sekedar mengijinkannya setelah berulang-ulang meminta, untuk menenangkan kalbunya. Sementara thawafnya di Ka'bah (sebagai ganti umrahnya tersebut) lebih utama dari keluarnya (untuk umrah) menurut kesepakatan (ulama). Namun hal itu boleh menurut orang yang tidak membencinya."

Berikut ini adalah ringkasan dari sebagian jawaban Ibnu Taimiyyah yang tercantum dalam Majmu' Fatawa (26/252-263), beliau mengatakan (26/264): "Oleh karena itu, para ulama salaf dan para imam melarang perbuatan itu. Sehingga Sa'id bin Manshur meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dari Thawus -murid Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma yang paling mulia- bahwa dia mengatakan: 'Orang yang melakukan umrah dari Tan'im, saya tidak tahu apakah mereka akan diberi pahala atau disiksa.' Dikatakan kepada beliau: 'Mengapa mereka disiksa?' Beliau menjawab: 'Karena ia meninggalkan thawaf di Ka'bah, lalu keluar sejauh empat mil, lalu datang lagi. Dan (seukuran) dia datang berjalan dari jarak empat mil, (sebenarnya) ia bisa thawaf 200 putaran. Dan setiap putaran di Ka'bah adalah lebih baik dari dia berjalan tanpa mendapat apapun.' Riwayat ini disetujui oleh Al-lmam Ahmad. 'Atha bin As-Saib mengatakan: 'Kami melakukan umrah setelah haji, maka Sa'id bin Jubair (murid Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma) mencela kami karena perbuatan itu.' Ada ulama yang lain yang membolehkan, namun mereka sendiri tidak melakukannya."

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadul Ma'ad (1/3421): "Tidak pernah ada satu umrah pun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara keluar dari Makkah seperti yang dilakukan kebanyakan orang-orang di masa ini. Umrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam semua hanyalah ketika beliau masuk ke Makkah. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tinggal di Makkah selama 13 tahun setelah turunnya wahyu namun selama itu sama sekali tidak pernah dinukilkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam umrah dengan keluar dari Makkah dahulu. Sehingga umrah yang dilakukan dan disyariatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah umrah orang yang masuk ke Makkah, bukan orang yang berada di Makkah lalu keluar ke tanah halal untuk melakukan umrah. Tidak ada seorang pun yang melakukan umrah semacam ini selama masa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali 'Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri, di antara seluruh orang yang bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu karena 'Aisyah telah meniatkan ihram untuk umrah lalu ia haid. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk memasukkan haji pada umrahnya, sehingga ia melaksanakan haji qiran. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya bahwa thawaf dan sa'inya antara Shafa dan Marwah telah mewakili haji dan umrahnya, la pun bersedih, karena teman-temannya (istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain) kembali dengan haji dan umrah yang terpisah, dengan melakukan haji tamattu', tidak haid dan tidak melakukan haji qiran. Sementara ia kembali dengan umrah yang terkandung dalam hajinya. Sehingga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan saudara laki-lakinya agar mengumrahkannya dari Tan'im untuk menenangkan kalbunya. Sedangkan saudara laki-lakinya itu tidaklah ikut umrah dari Tan'im dalam masa haji itu. Demikian juga orang lain yang bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak ada yang ikut melakukannya."

(diterjemahkan dan diringkas dari Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 2626, juz 6 bagian pertama, hal. 255-259)