FATWA LAJNAH DAIMAH
Pertanyaan Pertama dari Fatwa No. 17930
Pertanyaan:
ما حكم إعلان البنات عن أنفسهن في الجرائد والمجلات مع مواصفاتهن لمن يرغب خطبتهن والزواج منهن؟
Bagaimana hukumnya para wanita yang mengiklankan diri di koran dan majalah, disertai penjelasan ciri-ciri mereka untuk menarik minat pelamar yang ingin menikahi mereka?
Jawaban:
إعلان المرأة في الجرائد والمجلات عن رغبتها في الزواج وذكر مواصفاتها- يتنافى مع الحياء والحشمة والستر، ولم يكن من عادة المسلمين، فالواجب تركه. وأيضا هذا العمل يتنافى مع قوامة وليها عليها، وكون خطبتها عن طريقه وموافقته
Wanita yang mengiklankan diri di koran atau majalah, dan mengungkapkan keinginan menikah disertai penyebutkan ciri-ciri berarti tidak memiliki sifat malu dan kesopanan, serta tidak menutup aurat. Ini bukan kebiasaan orang-orang Islam dan wajib dihindari. Ini juga bertentangan dengan hak wewenang walinya, karena melamar wanita hanya sah dilakukan melalui jalur dan persetujuan walinya.
(Nomor bagian 18; Halaman 41)
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Anggota:
Bakar Abu Zaid
Abdul Aziz Alu asy Syaikh
Shalih Al Fauzan
Abdullah bin Ghadyan
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Cari Blog Ini
Rabu, 02 September 2015
Tentang MENCIUM MUSHAF AL QURAN
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛﺎَﺕِ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮْﺭِ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ، ﻭَﻛُﻞُّﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
"Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34)
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.” (Shalatut Tarawih, hal. 75)
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan tabi’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla itu dibolehkan atau dilarang?” Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih. Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
ﺇِﻧِّﻲ ﻟَﺄَﻋْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻚَ ﺣَﺠَﺮٌ ﻻَ ﺗَﻀُﺮُّ ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﻔَﻊُ، ﻓَﻠَﻮْﻻَ ﺃَﻧِّﻲ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻘَﺒِّﻠُﻚَ ﻣَﺎ ﻗَﺒَّﻠْﺘُﻚَ
"Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41)
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu 'anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
ﺍﻟْﺤَﺠَﺮُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻮَﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
"Hajar Aswad (batu) dari surga.” (Shahihul Jami’, no. 2174)
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!” Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….” Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhuma kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar. Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil dan pesawat).” Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.” Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ ﻓَﻘُﻮْﻣُﻮْﺍ
"Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.” (Adh-Dha’ifah, no. 711)
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: ﻗُﻮْﻟُﻮﺍ (ucapkanlah), mereka ganti dengan: ﻗُﻮْﻣُﻮْﺍ (berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ، ﻓَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻲَّ
"Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku.” (Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384)
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya. Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala? Apakah dan apakah? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah 'Azza wa Jalla syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﺃَﻣَﺮَﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺇِﻻَّ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ
"Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.” (Ash Shahihah, no. 1803)
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah 'Azza wa Jalla? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang membenarkan perbuatan tersebut. Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimanapun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita 'Azza wa Jalla dan juga kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)
###
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah
Pertanyaan:
Apa hukum mencium mushhaf al quran, tatkala jatuh dari suatu tempat?
Jawaban:
Kami tidak mengetahui dalil tentang pensyariatan untuk menciumnya.
Akan tetapi jika seseorang menciumnya, MAKA TIDAK MENGAPA.
Dikarenakan diriwayatkan dari seorang shahabat yang mulia Ikrimah bin Abi Jahl radhiyallahu, bahwasanya dahulu juga beliau mencium mushhaf al quran, seraya beliau mengatakan: "Ini adalah kalam Rabbku."
Maka tidak mengapa untuk mencium mushhaf al quran, akan tetapi bukan perbuatan yang disyariatkan. Dikarenakan tidak ada dalil tentang pensyariatannya.
Akan tetapi seandainya seseorang menciumnya, dalam rangka pengagungan dan pemuliaan, tatkala al quran tersebut jatuh dari tangannya atau dari suatu tempat, MAKA TIDAK MENGAPA yang demikian itu, insya Allah.
Majmu' Fatawa Ibnu Baaz (9/289)
Forum Salafy Purbalingga
Dalam keyakinan kami, perbuatan mengecup mushaf tersebut hukumnya masuk dalam keumuman hadits:
ﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛﺎَﺕِ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮْﺭِ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ، ﻭَﻛُﻞُّﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
"Hati-hati kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap yang diada-adakan merupakan bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/92/34)
Dalam hadits yang lain disebutkan dengan lafadz:
ﻭَﻛُﻞُّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
"Dan setiap kesesatan itu di dalam neraka.” (Shalatut Tarawih, hal. 75)
Kebanyakan orang memiliki anggapan khusus atas perbuatan semisal ini. Mereka mengatakan bahwa perbuatan mengecup mushaf tersebut tidak lain kecuali untuk menampakkan pemuliaan dan pengagungan kepada Al-Qur`anul Karim. Bila demikian, kita katakan kepada mereka, “Kalian benar. Perbuatan itu tujuannya tidak lain kecuali untuk memuliakan dan mengagungkan Al-Qur`anul Karim! Namun apakah bentuk pemuliaan dan pengagungan seperti itu dilakukan oleh generasi yang awal dari umat ini, yaitu para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian pula para tabi’in dan tabi’ut tabi’in?” Tanpa ragu jawabannya adalah sebagaimana kata ulama salaf, “Seandainya itu adalah kebaikan, niscaya kami lebih dahulu mengerjakannya.”
Di sisi lain, kita tanyakan, “Apakah hukum asal mengecup sesuatu dalam rangka taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla itu dibolehkan atau dilarang?” Berkaitan dengan masalah ini, kita bawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, agar menjadi peringatan bagi orang yang mau ingat dan agar diketahui jauhnya kaum muslimin pada hari ini dari pendahulu mereka yang shalih. Hadits yang dimaksud adalah dari ’Abis bin Rabi’ah, ia berkata, “Aku melihat Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu mengecup Hajar Aswad dan berkata:
ﺇِﻧِّﻲ ﻟَﺄَﻋْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻚَ ﺣَﺠَﺮٌ ﻻَ ﺗَﻀُﺮُّ ﻭَﻻَ ﺗَﻨْﻔَﻊُ، ﻓَﻠَﻮْﻻَ ﺃَﻧِّﻲ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻘَﺒِّﻠُﻚَ ﻣَﺎ ﻗَﺒَّﻠْﺘُﻚَ
"Sungguh aku tahu engkau adalah sebuah batu, tidak dapat memberikan mudarat dan tidak dapat memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” (Shahih At-Targhib wat Tarhib, 1/94/41)
Apa makna ucapan ‘Umar Al-Faruq radhiyallahu 'anhu, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu.” Dan kenapa ‘Umar mencium/mengecup Hajar Aswad yang dikatakan dalam hadits yang shahih:
ﺍﻟْﺤَﺠَﺮُ ﺍﻟْﺄَﺳْﻮَﺩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
"Hajar Aswad (batu) dari surga.” (Shahihul Jami’, no. 2174)
Apakah ‘Umar menciumnya dengan falsafah yang muncul darinya sebagaimana ucapan orang yang berkata, “Ini adalah Kalamullah maka kami menciumnya”? Apakah ‘Umar mengatakan, “Ini adalah batu yang berasal dari surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa maka aku menciumnya. Aku tidak butuh dalil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menerangkan pensyariatan menciumnya!” Ataukah jawabannya karena memurnikan ittiba’ (pengikutan) terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang yang menjalankan Sunnah beliau sampai hari kiamat? Inilah yang menjadi sikap ‘Umar hingga ia berkata, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mencium/mengecupmu niscaya aku tidak akan menciummu….” Dengan demikian, hukum asal mencium seperti ini adalah kita menjalankannya di atas sunnah yang telah berlangsung, bukannya kita menghukumi dengan perasaan kita, “Ini baik dan ini bagus.”
Ingat pula sikap Zaid bin Tsabit, bagaimana ia memperhadapkan tawaran Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu 'anhuma kepadanya untuk mengumpulkan Al-Qur`an guna menjaga Al-Qur`an jangan sampai hilang. Zaid berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?!”
Sementara kaum muslimin pada hari ini, tidak ada pada mereka pemahaman agama yang benar. Bila dihadapkan pertanyaan kepada orang yang mencium mushaf tersebut, “Bagaimana engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?”, niscaya ia akan memberikan jawaban yang aneh sekali. Di antaranya, “Wahai saudaraku, ada apa memangnya dengan perbuatan ini, toh ini dalam rangka mengagungkan Al-Qur`an!” Maka katakanlah kepadanya, “Wahai saudaraku, apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengagungkan Al-Qur`an? Tentunya tidak diragukan bahwa beliau sangat mengagungkan Al-Qur`an namun beliau tidak pernah mencium Al-Qur`an.”
Atau mereka akan menanggapi dengan pernyataan, “Apakah engkau mengingkari perbuatan kami mencium Al-Qur`an? Sementara engkau mengendarai mobil, bepergian dengan pesawat terbang, semua itu perkara bid’ah (maksudnya kalau mencium Al-Qur`an dianggap bid’ah maka naik mobil atau pesawat juga bid’ah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah naik mobil dan pesawat).” Ucapan ini jelas salahnya karena bid’ah yang dihukumi sesat secara mutlak hanyalah bid’ah yang diada-adakan dalam perkara agama. Adapun bid’ah (mengada-adakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam perkara dunia, bisa jadi perkaranya dibolehkan, namun terkadang pula diharamkan dan seterusnya. Seseorang yang naik pesawat untuk bepergian ke Baitullah guna menunaikan ibadah haji misalnya, tidak diragukan kebolehannya. Sedangkan orang yang naik pesawat untuk safar ke negeri Barat dan berhaji ke barat, tidak diragukan sebagai perbuatan maksiat. Demikianlah.
Adapun perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) jika ditanyakan, “Kenapa engkau melakukannya?” Lalu yang ditanya menjawab, “Untuk taqarrub kepada Allah!” Maka aku katakan, “Tidak ada jalan untuk taqarrub kepada Allah 'Azza wa Jalla kecuali dengan perkara yang disyariatkan-Nya.” Engkau lihat bila salah seorang dari ahlul ilmi mengambil mushaf untuk dibaca, tak ada di antara mereka yang menciumnya. Mereka hanyalah mengamalkan apa yang ada di dalam mushaf Al-Qur`an. Sementara kebanyakan manusia yang perasaan mereka tidak memiliki kaidah, menyatakan perbuatan itu sebagai pengagungan terhadap Kalamullah namun mereka tidak mengamalkan kandungan Al-Qur`an. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah diadakan suatu bid’ah melainkan akan mati sebuah sunnah.”
Ada bid’ah lain yang semisal bid’ah ini. Engkau lihat manusia, sampai pun orang-orang fasik di kalangan mereka namun di hati-hati mereka masih ada sisa-sisa iman, bila mereka mendengar muadzin mengumandangkan adzan, mereka bangkit berdiri. Jika engkau tanyakan kepada mereka, “Apa maksud kalian berdiri seperti ini?” Mereka akan menjawab, “Dalam rangka mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla!” Sementara mereka tidak pergi ke masjid. Mereka terus asyik bermain dadu, catur, dan semisalnya. Tapi mereka meyakini bahwa mereka mengagungkan Rabb mereka dengan cara berdiri seperti itu. Dari mana mereka dapatkan kebiasaan berdiri saat adzan tersebut?! Tentu saja mereka dapatkan dari hadits palsu:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ ﻓَﻘُﻮْﻣُﻮْﺍ
"Apabila kalian mendengar adzan maka berdirilah.” (Adh-Dha’ifah, no. 711)
Hadits ini sebenarnya ada asalnya, akan tetapi ditahrif oleh sebagian perawi yang dhaif/lemah atau para pendusta. Semestinya lafadznya: ﻗُﻮْﻟُﻮﺍ (ucapkanlah), mereka ganti dengan: ﻗُﻮْﻣُﻮْﺍ (berdirilah), meringkas dari hadits yang shahih:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢُ ﺍﻟْﺄَﺫَﺍﻥَ، ﻓَﻘُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻣِﺜْﻞَ ﻣَﺎ ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠُّﻮْﺍ ﻋَﻠَﻲَّ
"Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkanlah semisal yang diucapkan muadzin, kemudian bershalawatlah untukku.” (Hadits riwayat Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 384)
Lihatlah bagaimana setan menghias-hiasi bid’ah kepada manusia dan meyakinkannya bahwa ia seorang mukmin yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala. Buktinya bila mengambil Al-Qur`an, ia menciumnya dan bila mendengar adzan ia berdiri karenanya. Akan tetapi apakah ia mengamalkan Al-Qur`an? Tidak! Misalnya pun ia telah mengerjakan shalat, tapi apakah ia tidak memakan makanan yang diharamkan? Apakah ia tidak makan riba? Apakah ia tidak menyebarkan di kalangan manusia sarana-sarana yang menambah kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala? Apakah dan apakah? Pertanyaan yang tidak ada akhirnya. Karena itulah, kita berhenti dalam apa yang Allah 'Azza wa Jalla syariatkan kepada kita berupa amalan ketaatan dan peribadatan. Tidak kita tambahkan walau satu huruf, karena perkaranya sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻛْﺖُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﺃَﻣَﺮَﻛُﻢُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺇِﻻَّ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﻣَﺮْﺗُﻜُﻢْ ﺑِﻪِ
"Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali pasti telah aku perintahkan kepada kalian.” (Ash Shahihah, no. 1803)
Maka apakah amalan yang engkau lakukan itu dapat mendekatkanmu kepada Allah 'Azza wa Jalla? Bila jawabannya, “Iya.” Maka datangkanlah nash dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang membenarkan perbuatan tersebut. Bila dijawab, “Tidak ada nashnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.” Berarti perbuatan itu bid’ah, seluruh bid’ah itu sesat dan seluruh kesesatan itu dalam neraka.
Mungkin ada yang merasa heran, kenapa masalah yang kecil seperti ini dianggap sesat dan pelakunya kelak berada di dalam neraka? Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah memberikan jawabannya dengan pernyataan beliau, “Setiap bid’ah bagaimanapun kecilnya adalah sesat.”
Maka jangan melihat kepada kecilnya bid’ah, tapi lihatlah di tempat mana bid’ah itu dilakukan. Bid’ah dilakukan di tempat syariat Islam yang telah sempurna, sehingga tidak ada celah bagi seorang pun untuk menyisipkan ke dalamnya satu bid’ah pun, kecil ataupun besar. Dari sini tampak jelas sisi kesesatan bid’ah di mana perbuatan ini maknanya memberikan ralat, koreksi, dan susulan (dari apa yang luput/tidak disertakan) kepada Rabb kita 'Azza wa Jalla dan juga kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Seolah yang membuat dan melakukan bid’ah merasa lebih pintar daripada Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Na’udzu billah min dzalik. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab."
(Dinukil dan disarikan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina an Nufassir Al-Qur`an Al-Karim, hal. 28-34)
###
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah
Pertanyaan:
Apa hukum mencium mushhaf al quran, tatkala jatuh dari suatu tempat?
Jawaban:
Kami tidak mengetahui dalil tentang pensyariatan untuk menciumnya.
Akan tetapi jika seseorang menciumnya, MAKA TIDAK MENGAPA.
Dikarenakan diriwayatkan dari seorang shahabat yang mulia Ikrimah bin Abi Jahl radhiyallahu, bahwasanya dahulu juga beliau mencium mushhaf al quran, seraya beliau mengatakan: "Ini adalah kalam Rabbku."
Maka tidak mengapa untuk mencium mushhaf al quran, akan tetapi bukan perbuatan yang disyariatkan. Dikarenakan tidak ada dalil tentang pensyariatannya.
Akan tetapi seandainya seseorang menciumnya, dalam rangka pengagungan dan pemuliaan, tatkala al quran tersebut jatuh dari tangannya atau dari suatu tempat, MAKA TIDAK MENGAPA yang demikian itu, insya Allah.
Majmu' Fatawa Ibnu Baaz (9/289)
Forum Salafy Purbalingga
Tentang SALAT DI SHAF PERTAMA
Dari Abu Hurairoh Radiyallohu anhu bahwasanya Rasululloh Sholallohu alaihi wasalam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا
Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya.
(HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)
Pada hadis lainnya Rasululloh Sholallohu alaihi wasalam bersabda:
Sesungguhnya Allah dan para Malaikat itu akan bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shof pertama.
(HR. Ibnu Majah 825, Imam Ahmad 18152, dan dishohihkan Syaikh Al Albani pada kitab Shohih Ibnu Majah)
Forum Ilmiyah Karanganyar
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاسْتَهَمُوا
Seandainya manusia mengetahui keutamaan yang ada pada adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan mengundi, pastilah mereka akan mengundinya.
(HR. Bukhari 615, 652, 2689, Muslim 437)
Pada hadis lainnya Rasululloh Sholallohu alaihi wasalam bersabda:
Sesungguhnya Allah dan para Malaikat itu akan bershalawat kepada orang-orang yang berada pada shof pertama.
(HR. Ibnu Majah 825, Imam Ahmad 18152, dan dishohihkan Syaikh Al Albani pada kitab Shohih Ibnu Majah)
Forum Ilmiyah Karanganyar
Tentang MEMBERI PERHATIAN KEPADA ISTRI
Abu Nasiim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Untaian Zamrud Buat IstriIstri mana yang tidak akan tersanjung bahagia jika seuntai perhiasan dikadokan sebagai hadiah oleh suaminya? Apalagi, untaian itu bukan sembarang untaian. Zamrud kehijau-hijauan asli dari kawasan tambang Kolombia, Amerika Latin. Ini bukan emas atau perak. Ini zamrud, lambang dari keindahan perhiasan.
Di tambah lagi watak wanita yang sangat menyukai perhiasan, tentu kado tersebut akan sangat berkesan. Jangankan seuntai zamrud, gelang perak atau cincin emas saja akan membuat hati seorang istri berbunga-bunga. Atau tidak usahlah emas dan perak, sebuah jepit rambut berwarna pink yang dibeli suami saat keluar kota, pasti memiliki nilai tersendiri ketika diserahkan sebagai oleh-oleh.
“Harganya memang tidak seberapa. Namun, jepit rambut ini adalah bukti bahwa aku selalu mengingat dirimu saat aku jauh darimu”, sapa sang suami.
Masalahnya, tidak semua suami mampu mengkadokan seuntai zamrud, gelang perak atau sebuah cincin emas. Juga tidak setiap saat seorang suami pergi keluar kota sehingga berkesempatan membeli oleh-oleh untuk sang istri. Padahal setiap istri selalu berangan-angan untuk disenangkan hatinya oleh suami. Jadi, langkah apa yang harus dilakukan seorang suami?
Di salah satu ayat surat AzZukhruf, Allah menegaskan tentang sifat dasar kaum wanita. Allah berfirman,
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. (QS. 43:18)
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum wanita adalah makhluk yang selalu akrab dan senang dengan perhiasan sejak ia dilahirkan. Salah satu fungsinya adalah untuk mempercantik diri secara dzahir. Sifat wanita lainnya adalah keterbatasan di dalam mengungkapkan dan mengutarakan isi hati. Sekuat dan setegar apapun seorang wanita di dalam menghadapi kerasnya kehidupan, tetap saja ia harus memperoleh kelembutan dan perhatian. (Tafsir As Sa’di)
Jangan sakiti hati istrimu! Perlakukanlah dia dengan cinta dan kasih sayang. Berlemah lembutlah kepadanya!
Sebuah Ruang di Sudut Hati Istri
Sadarilah, wahai Suami…
Istri sebagai seorang wanita adalah makhluk yang membutuhkan kelembutan. Jalan terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang istri –seringnya demikian- hanyalah menangis dan mencucurkan air mata. Pada dasarnya, seorang wanita lebih cenderung untuk menyimpan dan memendam rasa dari pada harus mengungkapkannya.
Tahukah Anda, wahai Suami? Apakah yang tersembunyi di sudut relung hati seorang istri?
Di sudut relung hati seorang istri ada sebuah ruang kecil dan tersembunyi. Ukuran ruang tersebut memang secara dzahir tidak terlalu besar. Namun, saat Anda benar-benar memasuki ruang tersebut ada sebuah alam ketentraman dan kebahagiaan yang bisa ia rasakan. Dari ruang tersebut memancar cahaya keceriaan yang tak kunjung padam selama Anda sebagai suami selalu menjaga agar sumber cahaya tersebut tetap menyala.
Andai ruang kecil di sudut relung hati istri, mampu Anda isi dan penuhi dengan nyala “perhatian”, pasti ia akan merasa menjadi istri yang beruntung. Bagi seorang istri, perhatian dari suaminya melebihi nilai zamrud, emas, perak dan perhiasan lainnya. Perhatian suami adalah seuntai perhiasan yang selalu di harap-harapkan oleh seorang istri.
Tidak perlu Anda bertanya lagi kepada istri Anda tentang hal ini! Sebab, ia hanya akan menjawab dengan anggukan penuh malu.
Nabi Muhammad adalah figur seorang suami yang sangat sempurna di dalam memberikan perhatian kepada istri. Bila saja kita memiliki kesempatan untuk sebentar saja menilik kehidupan rumah tangga beliau, tentu taman-taman indah akan terbentang luas di hadapan kita. Untuk merinci atau menyebutkan contoh-contoh perhatian Nabi Muhammad kepada istri seyogyanya memang dikhususkan dalam sebuah tulisan tersendiri.
Namun, cukuplah kiranya pesan dari Nabi Muhammad berikutini. Beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَ أَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang terbaik di dalam bersikap kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. Hadist Ibunda Aisyah riwayat Tirmidzi (2/323) dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah 1/513.
Nah, wahai Suami, baarakallahufiik.
Berbentuk apakah perhatian yang bisa dilakukan untuk istri? Sangat banyak dan beragam jawabannya. Mudah-mudahan sepenggal tips berikut bisa Anda renungkan dan pikirkan dengan baik.
Menjadi Pendengar Terbaik Baginya
Sesuai kodratnya seorang istri mengemban tugas yang tidak ringan. Oleh sebab itu, seorang suami berkewajiban untuk membantu meringankan beban tersebut. Caranya?
Luangkan waktu untuk istri Anda! Ya, berilah waktu khusus untuk istri Anda agar dia bisa mengalirkan beban-bebannya yang sekian lama mengendap di hatinya. Kondisikan istri Anda agar mau berbagi cerita tentang aktifitas hari ini yang telah ia lakukan. Dan, Anda harus siap untuk menjadi seorang pendengar yang baik.
Waktu mungkin bukan masalah. Namun, memilih waktu yang tepat tentu semakin membuat istri Anda semakin merasa dicintai dan diperhatikan. Pilihlah waktu di malam hari, saat anak-anak Anda telah tertidur lelap dalam mimpi.
Berilah kesempatan untuk istri Anda bercerita tentang kondisi rumah dan anak-anak hari ini. Pengalaman menarik apa yang dirasakan saat berbelanja ke warung pagi tadi. Tanyakan kepada istri tentang apa yang bisa Anda lakukan untuknya. Buatlah istri Anda merasakan kenyamanan dan ketentraman saat ia bercerita di hadapan Anda. Sebab, tugas suami adalah menghadirkan ketentraman jiwa untuk sang istri.
Sadarilah bahwa salah satu tanda keharmonisan sebuah keluarga adalah komunikasi terbuka antara suami dan istri. Istri tidak pernah merasa khawatir dan cemas jika ia berterus terang. Ia menganggap suaminya sebagai penganyom dan pelindung. Sangat berbahaya sekali, jika istri menganggap Anda sebagai seorang penyidik atau interogator sehingga ia selalu merasa takut jika berbicara di hadapan Anda.
Al Imam Al Bukhari di akhir pembahasan tentang waktu-waktu shalat, membuat sebuah judul bab “Begadang bersama tamu dan keluarga”. Sebab, pada dasarnya begadang malam tidak boleh dilakukan kecuali dalam urusan agama. Namun, karena besarnya hak tamu dan keluarga, Islam lantas membolehkannya.
Sahabat Ibnu Abbas pernah bercerita (Shahih Bukhari),
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku pernah menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Rasulullah). Malam itu, Rasulullah berbincang-bincang dengan keluarga beliau (Maimunah) beberapa waktu. Setelah itu barulah beliau tidur.”
Apakah Anda Merasakan Lelah Juga?
Mungkin Anda bisa saja bertanya? Sebagai suami, saya pun merasakan lelah dan capek. Seharian saya mencari nafkah, dari pagi hingga petang. Malam hari tentu lebih baik saya gunakan tidur untuk beristirahat.
Nah, di titik inilah Anda sebagai seorang suami akan diuji.
Di dalam mencari nafkah, menjalankan rutinitas dalam sebuah profesi, tentu Anda dituntut untuk melayani orang lain, bukan? Dokter, pelayan toko, pedagang, pegawai, karyawan, guru, polisi, tentara, pengelola warung makan atau silahkan saja sebut profesi-profesi lain. Bukankah di setiap profesi tersebut, Anda harus bias memberikan pelayanan kepada masing-masing obyek profesi?
Lalu, jika Anda bisa memberikan pelayanan dan perhatian kepada orang lain, kenapa Anda tidak melakukannya kepada istri Anda sendiri? Selelah apapun Anda, berilah kesempatan istri untuk berbagi cerita.
Bayangkanlah, wahai Suami!
Di sebuah malam. Anak-anak Anda telah nyenyak bermimpi. Secangkir teh panas dan beberapa potong gorengan tersaji di meja makan sederhana. Anda sedang mendengarkan istri Anda bercerita tentang aktifitas hari ini. Tentang anak-anak dan pekerjaan rumah lainnya. Atau apapun cerita yang bisa diungkapkan oleh istri Anda.
Sesekali Anda memberikan tanggapan dengan penuh kelembutan dan canda. Buatlah ia tertawa untuk menggantikan lelahnya! Tataplah wajahnya dengan penuh kasih sayang. Tunjukkan bahwa Anda benar-benar serius mendengarkan ceritanya. Buktikan bahwa Anda adalah seorang suami yang mampu merangkai “perhatian” dalam sebuah untaian indah. Mengalahkan untaian zamrud kehijau-hijauan.
Semoga, istri-istri kita merasakan nyenyak dalam tidurnya dan bermimpi indah terselimuti oleh perhatian suaminya. Amin yaa Arham arRahimin.
Untaian Zamrud Buat IstriIstri mana yang tidak akan tersanjung bahagia jika seuntai perhiasan dikadokan sebagai hadiah oleh suaminya? Apalagi, untaian itu bukan sembarang untaian. Zamrud kehijau-hijauan asli dari kawasan tambang Kolombia, Amerika Latin. Ini bukan emas atau perak. Ini zamrud, lambang dari keindahan perhiasan.
Di tambah lagi watak wanita yang sangat menyukai perhiasan, tentu kado tersebut akan sangat berkesan. Jangankan seuntai zamrud, gelang perak atau cincin emas saja akan membuat hati seorang istri berbunga-bunga. Atau tidak usahlah emas dan perak, sebuah jepit rambut berwarna pink yang dibeli suami saat keluar kota, pasti memiliki nilai tersendiri ketika diserahkan sebagai oleh-oleh.
“Harganya memang tidak seberapa. Namun, jepit rambut ini adalah bukti bahwa aku selalu mengingat dirimu saat aku jauh darimu”, sapa sang suami.
Masalahnya, tidak semua suami mampu mengkadokan seuntai zamrud, gelang perak atau sebuah cincin emas. Juga tidak setiap saat seorang suami pergi keluar kota sehingga berkesempatan membeli oleh-oleh untuk sang istri. Padahal setiap istri selalu berangan-angan untuk disenangkan hatinya oleh suami. Jadi, langkah apa yang harus dilakukan seorang suami?
Di salah satu ayat surat AzZukhruf, Allah menegaskan tentang sifat dasar kaum wanita. Allah berfirman,
أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. (QS. 43:18)
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum wanita adalah makhluk yang selalu akrab dan senang dengan perhiasan sejak ia dilahirkan. Salah satu fungsinya adalah untuk mempercantik diri secara dzahir. Sifat wanita lainnya adalah keterbatasan di dalam mengungkapkan dan mengutarakan isi hati. Sekuat dan setegar apapun seorang wanita di dalam menghadapi kerasnya kehidupan, tetap saja ia harus memperoleh kelembutan dan perhatian. (Tafsir As Sa’di)
Jangan sakiti hati istrimu! Perlakukanlah dia dengan cinta dan kasih sayang. Berlemah lembutlah kepadanya!
Sebuah Ruang di Sudut Hati Istri
Sadarilah, wahai Suami…
Istri sebagai seorang wanita adalah makhluk yang membutuhkan kelembutan. Jalan terakhir yang bisa dilakukan oleh seorang istri –seringnya demikian- hanyalah menangis dan mencucurkan air mata. Pada dasarnya, seorang wanita lebih cenderung untuk menyimpan dan memendam rasa dari pada harus mengungkapkannya.
Tahukah Anda, wahai Suami? Apakah yang tersembunyi di sudut relung hati seorang istri?
Di sudut relung hati seorang istri ada sebuah ruang kecil dan tersembunyi. Ukuran ruang tersebut memang secara dzahir tidak terlalu besar. Namun, saat Anda benar-benar memasuki ruang tersebut ada sebuah alam ketentraman dan kebahagiaan yang bisa ia rasakan. Dari ruang tersebut memancar cahaya keceriaan yang tak kunjung padam selama Anda sebagai suami selalu menjaga agar sumber cahaya tersebut tetap menyala.
Andai ruang kecil di sudut relung hati istri, mampu Anda isi dan penuhi dengan nyala “perhatian”, pasti ia akan merasa menjadi istri yang beruntung. Bagi seorang istri, perhatian dari suaminya melebihi nilai zamrud, emas, perak dan perhiasan lainnya. Perhatian suami adalah seuntai perhiasan yang selalu di harap-harapkan oleh seorang istri.
Tidak perlu Anda bertanya lagi kepada istri Anda tentang hal ini! Sebab, ia hanya akan menjawab dengan anggukan penuh malu.
Nabi Muhammad adalah figur seorang suami yang sangat sempurna di dalam memberikan perhatian kepada istri. Bila saja kita memiliki kesempatan untuk sebentar saja menilik kehidupan rumah tangga beliau, tentu taman-taman indah akan terbentang luas di hadapan kita. Untuk merinci atau menyebutkan contoh-contoh perhatian Nabi Muhammad kepada istri seyogyanya memang dikhususkan dalam sebuah tulisan tersendiri.
Namun, cukuplah kiranya pesan dari Nabi Muhammad berikutini. Beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَ أَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang terbaik di dalam bersikap kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. Hadist Ibunda Aisyah riwayat Tirmidzi (2/323) dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah 1/513.
Nah, wahai Suami, baarakallahufiik.
Berbentuk apakah perhatian yang bisa dilakukan untuk istri? Sangat banyak dan beragam jawabannya. Mudah-mudahan sepenggal tips berikut bisa Anda renungkan dan pikirkan dengan baik.
Menjadi Pendengar Terbaik Baginya
Sesuai kodratnya seorang istri mengemban tugas yang tidak ringan. Oleh sebab itu, seorang suami berkewajiban untuk membantu meringankan beban tersebut. Caranya?
Luangkan waktu untuk istri Anda! Ya, berilah waktu khusus untuk istri Anda agar dia bisa mengalirkan beban-bebannya yang sekian lama mengendap di hatinya. Kondisikan istri Anda agar mau berbagi cerita tentang aktifitas hari ini yang telah ia lakukan. Dan, Anda harus siap untuk menjadi seorang pendengar yang baik.
Waktu mungkin bukan masalah. Namun, memilih waktu yang tepat tentu semakin membuat istri Anda semakin merasa dicintai dan diperhatikan. Pilihlah waktu di malam hari, saat anak-anak Anda telah tertidur lelap dalam mimpi.
Berilah kesempatan untuk istri Anda bercerita tentang kondisi rumah dan anak-anak hari ini. Pengalaman menarik apa yang dirasakan saat berbelanja ke warung pagi tadi. Tanyakan kepada istri tentang apa yang bisa Anda lakukan untuknya. Buatlah istri Anda merasakan kenyamanan dan ketentraman saat ia bercerita di hadapan Anda. Sebab, tugas suami adalah menghadirkan ketentraman jiwa untuk sang istri.
Sadarilah bahwa salah satu tanda keharmonisan sebuah keluarga adalah komunikasi terbuka antara suami dan istri. Istri tidak pernah merasa khawatir dan cemas jika ia berterus terang. Ia menganggap suaminya sebagai penganyom dan pelindung. Sangat berbahaya sekali, jika istri menganggap Anda sebagai seorang penyidik atau interogator sehingga ia selalu merasa takut jika berbicara di hadapan Anda.
Al Imam Al Bukhari di akhir pembahasan tentang waktu-waktu shalat, membuat sebuah judul bab “Begadang bersama tamu dan keluarga”. Sebab, pada dasarnya begadang malam tidak boleh dilakukan kecuali dalam urusan agama. Namun, karena besarnya hak tamu dan keluarga, Islam lantas membolehkannya.
Sahabat Ibnu Abbas pernah bercerita (Shahih Bukhari),
بِتُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَتَحَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
“Aku pernah menginap di rumah bibiku Maimunah (istri Rasulullah). Malam itu, Rasulullah berbincang-bincang dengan keluarga beliau (Maimunah) beberapa waktu. Setelah itu barulah beliau tidur.”
Apakah Anda Merasakan Lelah Juga?
Mungkin Anda bisa saja bertanya? Sebagai suami, saya pun merasakan lelah dan capek. Seharian saya mencari nafkah, dari pagi hingga petang. Malam hari tentu lebih baik saya gunakan tidur untuk beristirahat.
Nah, di titik inilah Anda sebagai seorang suami akan diuji.
Di dalam mencari nafkah, menjalankan rutinitas dalam sebuah profesi, tentu Anda dituntut untuk melayani orang lain, bukan? Dokter, pelayan toko, pedagang, pegawai, karyawan, guru, polisi, tentara, pengelola warung makan atau silahkan saja sebut profesi-profesi lain. Bukankah di setiap profesi tersebut, Anda harus bias memberikan pelayanan kepada masing-masing obyek profesi?
Lalu, jika Anda bisa memberikan pelayanan dan perhatian kepada orang lain, kenapa Anda tidak melakukannya kepada istri Anda sendiri? Selelah apapun Anda, berilah kesempatan istri untuk berbagi cerita.
Bayangkanlah, wahai Suami!
Di sebuah malam. Anak-anak Anda telah nyenyak bermimpi. Secangkir teh panas dan beberapa potong gorengan tersaji di meja makan sederhana. Anda sedang mendengarkan istri Anda bercerita tentang aktifitas hari ini. Tentang anak-anak dan pekerjaan rumah lainnya. Atau apapun cerita yang bisa diungkapkan oleh istri Anda.
Sesekali Anda memberikan tanggapan dengan penuh kelembutan dan canda. Buatlah ia tertawa untuk menggantikan lelahnya! Tataplah wajahnya dengan penuh kasih sayang. Tunjukkan bahwa Anda benar-benar serius mendengarkan ceritanya. Buktikan bahwa Anda adalah seorang suami yang mampu merangkai “perhatian” dalam sebuah untaian indah. Mengalahkan untaian zamrud kehijau-hijauan.
Semoga, istri-istri kita merasakan nyenyak dalam tidurnya dan bermimpi indah terselimuti oleh perhatian suaminya. Amin yaa Arham arRahimin.
Tentang BEKERJA DI BINATU (LAUNDRY)
TANYA :
Saya bekerja di tempat penyetrikaan pakaian. Terkadang saya harus menyetrika busana wanita dengan model terbuka atau gaun panjang yang juga tidak menutup aurat. Apakah saya berdosa jika tetap melakukannya, dan ikut menanggung dosanya? Ataukah itu tidak menjadi tanggung jawab saya?
JAWAB :
Apabila persoalannya seperti yang telah Anda sebutkan, maka tidak sepatutnya Anda melakukan laundry pada pakaian tersebut. Sebab, hal itu masuk dalam kategori saling membantu dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’- Fatwa Nomor 6007
TWI
WA Al Istifadah
WALIS
Saya bekerja di tempat penyetrikaan pakaian. Terkadang saya harus menyetrika busana wanita dengan model terbuka atau gaun panjang yang juga tidak menutup aurat. Apakah saya berdosa jika tetap melakukannya, dan ikut menanggung dosanya? Ataukah itu tidak menjadi tanggung jawab saya?
JAWAB :
Apabila persoalannya seperti yang telah Anda sebutkan, maka tidak sepatutnya Anda melakukan laundry pada pakaian tersebut. Sebab, hal itu masuk dalam kategori saling membantu dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah Ta'ala berfirman, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’- Fatwa Nomor 6007
TWI
WA Al Istifadah
WALIS
Langganan:
Postingan (Atom)