Cari Blog Ini

Senin, 13 Oktober 2014

Tentang SALAT TAHAJUD ATAU SALAT MALAM

Allah subhanahu wata'ala berfirman, “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’: 79)

Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” (lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir, 3/54-55)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “ Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)

Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479)

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185)

Suatu hari pernah diceritakan kepada.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang di antara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di waktu malam terdapat satu saat di mana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757)

Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26)
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)

Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya), sampai menjelang fajar menyingsing.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”

Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”

Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan: “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”

Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab: “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”

(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad
Farid)

###

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Sesungguhnya qiyamul lail (sholat malam) adalah kemulyaan bagi kaum beriman dan merupakan amalan yang bisa memasukkan seseorang ke dalam Jannah.

Jibril berkata:
يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ
Wahai Muhammad, kemuliaan seorang mukmin adalah qiyaamul lail (H.R atThobarony, dishahihkan al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا وَالنَّاسُ نِيَامٌ
Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang bisa terlihat bagian luarnya dari dalamnya dan bagian dalamnya dari luarnya. Abu Musa bertanya: Untuk siapa itu wahai Rasulullah? Rasul bersabda: untuk orang yang baik (lembut) dalam ucapannya, memberi makan, dan begadang di waktu malam dengan qiyaamul lail pada saat manusia tertidur (H.R Ahmad, atThobarony, Abu Ya’la, dishahihkan al-Hakim, dan dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Bushiry dan al-Mundziri).
أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
Sebarkan salam, berilah makan, sholatlah (di waktu malam) pada saat manusia tidur, niscaya kalian masuk ke dalam surga dengan selamat (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan disepakati keshahihannya oleh adz-Dzahaby)

Bahkan qiyaamul lail bisa menjadi sebab seseorang terselamatkan dari adzab anNaar. Pada saat Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) sedang tidur di masjid waktu beliau masih bujang, beliau bermimpi dibawa oleh dua Malaikat menuju ke arah anNaar, hingga beliau berdoa kepada Allah: Aku berlindung kepada Allah dari anNaar, beliau ucapkan itu tiga kali. Kemudian beliau bertemu dengan satu Malaikat lagi yang menyatakan: janganlah takut, karena engkau adalah seorang yang sholih (baik). Kemudian Ibnu Umar bangun dari tidurnya, dan keesokan harinya ia ceritakan hal itu kepada Hafshah (saudara perempuannya yang merupakan istri Nabi shollallahu alaihi wasallam). Hafshah menceritakan mimpi Abdullah bin Umar itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam kemudian bersabda:
إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ رَجُلٌ صَالِحٌ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
Sesungguhnya Abdullah adalah seorang yang sholih kalau seandainya ia sholat malam (H.R al-Bukhari no 6510)

Dalam riwayat lain Nabi menyatakan:
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ
Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah (bin Umar) jika dia sholat malam (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Sejak saat itu, Abdullah bin Umar senantiasa menjaga qiyaamul lail. Tidak tidur di waktu malam kecuali sedikit.

Ibnu Batthol di dalam syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan: di dalam hadits ini (terdapat faidah) bahwa qiyaamul lail bisa menyelamatkan seseorang dari anNaar.

Sangat banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan qiyaamul lail yang menunjukkan semestinya kita bersemangat dalam mengerjakannya.

Janganlah seseorang menyengaja meninggalkan qiyaamul lail kecuali karena sebab sakit, capek yang sangat, safar, dan udzur lain. Semestinya seseorang ketika akan tidur malam ia berniat untuk bangun qiyaamul lail. Kalau ternyata sudah berniat bangun namun ketiduran, Alhamdulillah itu shodaqoh dari Allah, tercatat kita melakukan qiyaamul lail (padahal tidur).
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
Barangsiapa yang mendatangi tempat tidurnya dalam keadaan berniat ia akan bangun qiyaamul lail (sholat malam) kemudian dikalahkan oleh perasaan kantuk hingga pagi, maka tercatat apa yang diniatkannya. Dan tidurnya adalah shodaqoh dari Tuhannya (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albany)

Kalau seandainya dalam dugaan kuat ia tidak akan bisa bangun sebelum Subuh, maka ia bisa melakukan qiyaamul lail (witir) sebelum tidur. Sebagaimana wasiat Nabi shollallahu alaihi wasallam kepada tiga orang Sahabat: Abu Hurairah, Abu Dzar, dan Abud Darda’ radhiyallahu anhum :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: Kekasihku (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal: Puasa tiga hari tiap bulan, dua rokaat di waktu Dhuha, dan berwitir sebelum aku tidur (H.R al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثَةٍ لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَبَدًا أَوْصَانِي بِصَلَاةِ الضُّحَى وَبِالْوَتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ وَبِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Dari Abu Dzar –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku insyaAllah tidak akan meninggalkannya selama-lamanya. Ia mewasiatkan kepadaku dengan sholat Dhuha dan witir sebelum tidur dan puasa 3 hari pada setiap bulan (H.R anNasaai, dishahihkan al-Albany)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لَا أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Orang yang aku cintai (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam berwasiat kepadaku 3 hal yang aku tidak akan meninggalkannya sepanjang hidupku: Puasa 3 hari tiap bulan, sholat Dhuha, dan agar aku tidak tidur hingga aku melakukan witir (H.R Muslim)

Jika seseorang menyengaja meninggalkan sholat witir secara terus menerus, maka ia adalah seorang yang jelek, yang tidak diterima persaksiaannya, menurut al-Imam Ahmad (lihat al-Mughni karya Ibnu Qudaamah (3/378), as-Showaa-‘iqul Mursalah karya Ibnul Qoyyim (4/1348)), syarh Riyadhis Sholihin libni Utsaimin).

Maka yang harus dilakukan adalah berusaha untuk selalu melakukan qiyaamul lail, dan berjuang berjihad melawan hawa nafsu menolak perasaan ‘ujub dalam diri. Kita harus menyadari bahwa belum tentu sholat yang kita lakukan diterima oleh Allah, maka apa yang menyebabkan kita merasa bangga dengan amalan kita kalau amalan itu belum tentu diterima? Karena itu disunnahkan untuk memperbanyak istighfar di akhir malam (di waktu sahur) setelah kita melakukan qiyaamul lail, salah satunya sebagai bentuk pengakuan demikian kurangnya ibadah sholat malam yang kita persembahkan kepada Allah tersebut.

wa Al I’tishom

Tentang SHALAT HAJAT

al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Adapun shalat hajat, dalam hal ini perlu didudukkan terlebih dahulu apa yang dimaksud hajat. Dari sini, kita akan mengetahui apakah shalat tersebut disyariatkan atau tidak. Hal itu karena saya dapati sebagian ulama menetapkan adanya shalat hajat, sedangkan yang lain meniadakannya bahkan menganggapnya bid’ah. Selain itu, di kalangan sebagian ulama yang menetapkan atau yang membid’ahkan, maksud masing-masing mereka terhadap shalat tersebut berbeda.

Penamaan shalat hajat itu sendiri bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi dari para ulama. Sebagian mereka melihat sebuah hadits shahih yang memuat anjuran untuk melakukan shalat terkait dengan suatu kebutuhan atau hajat. Adapun ulama lain melihat hadits lemah yang menganjurkan untuk shalat terkait dengan sebuah hajat, mereka pun menyimpulkan shalat hajat tidak ada karena haditsnya lemah. Oleh karena itu, di sini kami akan menyebutkan kedua-duanya.

Ulama yang menetapkan adanya shalat hajat di antaranya al-Mundziri dalam kitab beliau at-Targhib wat Tarhib. Lalu beliau menyebutkan hadits Utsman bin Hanif radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
Seorang buta datang kepada Nabi lalu mengatakan, “Berdoalah engkau kepada Allah untukku agar menyembuhkanku.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Apabila kamu mau, aku akan menundanya untukmu (di akhirat) dan itu lebih baik. Namun, apabila engkau mau, aku akan mendoakanmu.” Orang itu pun mengatakan, “Doakanlah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan memperbagus wudhunya serta shalat dua rakaat kemudian berdoa dengan doa ini, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabiyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku’.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dalam kitab ad-Da’awat dan beliau mengatakan hadits hasan shahih gharib, Ibnu Majah dalam kitab ash-Shalah, dan beliau memberikan judul Shalat Hajat untuk hadits ini, serta an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum Wal Lailah. Dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Sebagian ulama lagi menetapkan adanya shalat hajat, tetapi maksudnya adalah shalat istikharah. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Hadits shalat istikharah, disebut juga shalat hajat, karena istikharah adalah dalam hal kebutuhan yang sedang dialami seseorang, sehingga disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan shalat dua rakaat dan memanjatkan doa istikharah dalam hal itu.” Beliau rahimahullah juga menyebut shalat taubat dengan shalat hajat. (Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 25/165)

Adapun ulama yang meniadakan shalat hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam hadits dhaif berikut ini. Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseorang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlah dua rakaat. Lalu hendaklah ia memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengucapkan (doa di atas), ‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji milik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR. At-Tirmidzi no. 479, Ibnu Majah no. 1384, dan yang lainnya)

Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. At-Tirmidzi sendiri mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini, “Hadits ini gharib [1]. Dalam sanadnya ada pembicaraan, dan Faid bin Abdurrahman dilemahkan dalam hadits.” Para ulama pun mencela perawi tersebut (Faid bin Abdurrahman). Al-Imam al-Bukhari mengatakan, “Mungkarul hadits (haditsnya ditinggalkan).” Al-Imam Ahmad mengatakan, “Matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).” Adz-Dzahabi mengatakan, “Tarakuhu (Para ulama meninggalkannya).” Adapun Ibnu Hajar mengatakan, “Matrukun ittahamuhu (Dia ditinggalkan haditsnya, para ulama menuduhnya sebagai pendusta).” Atas dasar itu, asy-Syaikh al-Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini dhaifun jiddan (lemah sekali).

Dari kelemahan hadits itulah sebagian ulama meniadakan shalat hajat, yakni yang dilakukan dengan cara semacam itu. Wallahu a’lam.

Dewan Fatwa Saudi Arabia atau al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan, “Adapun yang disebut shalat hajat, telah datang hadits yang dhaif dan mungkar -sebatas pengetahuan kami-, tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dibangun amalan di atas hadits-hadits tersebut.” (Ditandatangani oleh Ketua: Abdul Aziz bin Baz, Wakil:Abdurrazzaq Afifi, Anggota: Abdullah bin Qu’ud dan al-Ghudayyan, 1/161)

Demikian pula asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, “Shalat hajat tidak ada dalilnya yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkannya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam segera menuju shalat, karena Allah berfirman: “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45) [Fatawa Nurun 'ala ad-Darb]
Demikian juga hadits: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghadapi suatu masalah yang menyulitkan beliau, beliau melakukan shalat.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Hasan.”)

Perhatian
Dalam buku-buku mazhab terdahulu juga dibahas shalat hajat, dengan tata cara pelaksanaan yang bermacam-macam terutama jumlah rakaatnya. Akan tetapi, semuanya tidak didasari oleh hadits-hadits yang shahih. Wallahu a’lam.

Catatan kaki:
[1] Dalam beberapa cetakan Sunan at-Tirmidzi disebutkan, “Hasan gharib.” Namun, Ahmad Syakir menyalahkan penyebutan ‘hasan’ tersebut, karena pada semua manuskrip lama tidak terdapat kata tersebut, kecuali hanya satu manuskrip.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 73-76

Tentang SALAT TAUBAT

al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Tentang shalat taubat, para ulama menyebutkan adanya shalat tersebut, walaupun penamaannya dengan “taubat” tidak langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalil yang menunjukkan adanya shalat yang dimaksud adalah hadits dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berikut ini: Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berbuat dosa lalu bangkit dan bersuci kemudian melakukan shalat lantas meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya.” Lalu beliau membaca ayat ini, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135) [Shahih, HR. Abu Dawud, kitab al-Witr bab fil Istighfar no. 1523, at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat bab Fish shalah 'inda Taubah no. 408, an-Nasa'i dalam kitab 'Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu Majah kitab Iqamatu ash-Shalah was Sunnah bab Ma Ja'a anna ash-Shalah Kaffarah no. 1459, dan Ahmad, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]

Al-Mubarakfuri dalam Syarah Sunan at-Tirmidzi menerangkan, bahwa makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “…lalu melakukan shalat…” yakni dua rakaat, sebagaimana dalam riwayat Ibnu as-Sunni, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi. Adapun sabda beliau “…kemudian meminta ampun kepada Allah…” yakni dari dosa tersebut, sebagaimana dalam riwayat Ibnu as-Sunni. Yang dimaksud dengan meminta ampun adalah bertaubat, dengan menyesali dan mencabut diri (dari dosa tersebut), serta bertekad untuk tidak kembali mengulanginya selama-lamanya, juga mengembalikan hak-hak (orang lain) bila ada. (Tuhfatul Ahwadzi)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ditekankan untuk berwudhu dan shalat dua rakaat saat bertaubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.” Beliau kemudian menyebutkan hadits di atas. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Ali Imran: 135)

Ibnu Khuzaimah rahimahullah dalam kitab Shahih-nya juga menyebutkan sebuah bab, “Disunnahkannya shalat setelah berbuat dosa agar shalat tersebut menjadi penghapus dosa yang dilakukannya.”

Dari keterangan di atas, shalat taubat itu ada dan disunnahkan. Namun, perlu diingat bahwa seseorang tidak boleh meremehkan dosa lantaran punya keyakinan bahwa shalat taubat akan menghapus dosa yang dilakukannya. Terampuninya dosa bukan karena semata-mata shalat tersebut, yang kondisi shalat itu sendiri terkadang kusyu’ terkadang tidak. Niatnya pun terkadang benar dan terkadang tidak, bila demikian keadaannya, bagaimana mungkin ia memastikan bahwa dosanya terampuni dengan sekedar shalatnya?

Perlu dicermati juga dari hadits di atas, shalat taubat tersebut adalah betul-betul sebagai ungkapan taubatnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “…lalu dia meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”, yakni bertaubat dengan syarat-syarat taubat yang telah diterangkan ulama, yaitu:
1. Menyesali perbuatan dosanya
2. Meninggalkannya
3. Bertekad untuk tidak melakukannya lagi selama-lamanya
4. Bila terkait dengan hak orang, dia mengembalikannya kepada orang yang dizalimi.

Perhatian
Ada shalat taubat yang tidak sesuai dengan tata cara di atas, sehingga termasuk bid’ah. Caranya, seseorang mandi pada malam Senin setelah witir kemudian shalat 12 rakaat. Pada setiap rakaat dia membaca al-Fatihah, al-Kafirun 1 kali, dan al-Ikhlas 10 kali… dan seterusnya, dengan cara-cara yang tidak diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (Lihat Mu’jamul Bida’ hlm. 343)

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 73-76

###

Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah

Soal:
ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻣﺎ ﺻﺤﺔ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ؟
Apakah hukumnya shalat taubat? Dan apakah dalil yang datang berkenaan sholat taubat itu shahih?

Jawab:
ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﺣﺪﻳﺜﻬﺎ ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ، ﻟﻜﻦ ﻟﻪ ﺷﻮﺍﻫﺪ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻟﻪ ﺃﺻﻼً ﻣﺜﻞ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺣﻴﻨﻤﺎ ﺗﻮﺿﺄ ﻛﻮﺿﻮﺀ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﺎﻝ: ﺇﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﻮﺿﺄ ﻣﺜﻞ ﻭﺿﻮﺋﻲ ﻫﺬﺍ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ: ﻣﻦ ﺗﻮﺿﺄ ﻧﺤﻮ ﻭﺿﻮﺋﻲ ﻫﺬﺍ ﺛﻢ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﻻ ﻳﺤﺪﺙ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻧﻔﺴﻪ ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ
Hadits shalat taubat di dalamnya ada kelemahan. Akan tetapi dia memiliki syahid/penguat yang menunjukkan bahwa itu ada asalnya.
Misalnya hadits Utsman bin Affan radhiyallahu anhu tatkala berwudhu seperti wudhunya Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau berkata bahwa: "Nabi shallallahu alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini lalu bersabda: "Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini lalu shalat dua raka'at yang tidak berbicara hatinya pada shalat itu (yakni sholat dengan khusuk), Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
ﻓﻬﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺷﺎﻫﺪ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺿﺄ ﻓﺄﺳﺒﻎ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ، ﺛﻢ ﺻﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻐﻔﺮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ، ﻭﻻ ﺗﺴﻤﻰ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻜﻨﻬﺎ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﻟﻜﻦ ﺗﺤﺼﻞ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺘﻮﺏ
Hadits ini merupakan penguat yang menunjukkan bahwa manusia jika berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua raka'at maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Tetapi tidak dinamakan shalat taubat melainkan shalat sunnah wudhu. Hanya saja dengan sholat sunnah wudhu ini menghasilkan taubat.
(Liqoaat Baab al Maftuh Syaikh Ibn Utsaimin juz 14)

Alih bahasa:
Ust. Abu Usamah Irfan hafidzahullah

Sumber audionya:
binothaimeen .net/content/2331

Forum Salafy Surabaya

Turut mempublikasikan:
WhatsApp Salafy Cirebon

Tentang MEMBUAT TAKUT SESAMA MUSLIM

Abdur Rahman bin Abi Laila berkata, “Sebagian sahabat Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kami bahwa mereka.pernah melakukan perjalanan bersama Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam. Maka tidurlah seorang laki-laki di antara mereka. Sebagian orang mendatangi tali yang ada pada laki-laki itu seraya mengambil tali itu, dan laki-laki itu pun kaget. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻟَﺎﻳَﺤِﻞُّ ﻟِﻤُﺴْﻠِﻢٍ ﺃَﻥْ ﻳُﺮَﻭِّﻉَ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim.” [HR. Abu Dawud (5004), dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]

Tentang MENCUKUR JENGGOT

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Cukurlah kumis, panjangkanlah jenggot dan selisihilah kaum Majusi.”
[HR. Muslim dari Abu Hurairah]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisihilah kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”
[HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar]

Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini mengandung hukum wajibnya memelihara jenggot dan membiarkannya tumbuh. (Lihat Madarij As-Salikin (3/46) karya Ibnul Qoyyim, cet. Dar Al-Kitab Al-Arabiy)

Berkata Ibnu Abdil Bar rahimahullah: “Haram (bagi seseorang) memotong jenggot, tidaklah yang memotong jenggot melainkan para banci dari kaum laki-laki.”
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah: “Haram (bagi seseorang) memotong jenggot berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Tidak seorang pun dari kalangan para ulama yang membolehkan (memotongnya)."
Berkata Al Qurthubi: “Tidak boleh jenggot itu dipotong ataupun dicabut, apalagi dipotong banyak.”

Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata, “Maksiat ini (cukur jenggot) termasuk maksiat yang paling banyak tersebar di antara kaum muslimin di zaman ini, karena berkuasanya orang-orang kafir (para penjajah) atas kebanyakan negeri-negeri mereka, mereka juga (para penjajah itu) menularkan maksiat ini ke negeri-negeri itu; serta adanya sebagian kaum muslimin taqlid kepada mereka, padahal Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam melarang mereka dari hal itu secara gamblang dalam sabdanya,
ﺧَﺎﻟِﻔُﻮْﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦِ ﺍُﺣْﻔُﻮْﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ
“Selisihilah orang-orang musyrikin, potonglah (pinggir) kumis kalian, dan biarkanlah (perbanyaklah) jenggot kalian.“ (HR. Al-Bukhoriy no. 5553 dan Muslim no. 259) [Lihat Hajjah An-Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam hal. 7]

Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz rahimahullah berkata:
“Telah terjadi berbagai musibah besar akibat banyak orang melanggar sunnah ini, dan memerangi jenggot. Mereka rela serupa dengan orang-orang kafir dan kaum wanita. Termasuk pelanggaran ini dilakukan oleh orang-orang yang menisbahkan kepada ilmu dan taklim (para da'i,  kyai, tokoh/cendekiawan Islam, dll). Inna lillahi wa Inna ilaihi Rajiun. Kita memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk kepada kita dan kaum muslimin untuk senantiasa sesuai dan berpegang teguh dengan Sunnah, serta mengajak kepadanya, meskipun banyak orang membenci/tidak suka kepadanya. Hasbunallah wa Ni'ma al-Wakil. Laahulaa walaa Quwwata illa billah.” (At-Tahqiq wa al-Idhaah, 39)

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah

Pertanyaan:

Apa hukum mencukur jenggot sampai habis atau memotong sebagiannya?

Jawab:

Orang yang mencukur jenggotnya sampai habis tergolong orang yang fasiq, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Potonglah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian.”
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda pula, “Biarkanlah jenggot kalian menjadi banyak.”
Juga, “Muliakanlah jenggot kalian.”
Juga, “Panjangkan jenggot kalian.”
Juga, “Potonglah kumis kalian dan biarkanlah jenggot kalian.”

Banyak sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot, dan tidak pernah disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mencukur habis jenggotnya, bahkan jenggot beliau menutupi dada beliau. Dan tidak didapatkan pula adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melihat seorang muslim yang mencukur jenggotnya lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam menyetujuinya. Bahkan mencukur jenggot tergolong perbuatan tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Islam dan perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk menjaga penampilan Islami di mana pun dia berada, sehingga dia tidak kehilangan jati diri muslim sebagaimana orang lain kehilangan jati diri muslimnya. Wallahul musta’an.

Jenggot merupakan perhiasan bagi seorang lelaki. Meskipun engkau melihat adanya sebagian orang alim yang fasiq memotongnya, ini bukanlah suatu hujjah. Juga meskipun engkau melihat di antara para raja dan pimpinan yang memotong jenggotnya, ini bukanlah hujjah. Yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bila engkau melihat orang-orang alim yang memotong jenggot mereka atau para raja dan pimpinan, niscaya engkau dapati mereka terpengaruh oleh musuh-musuh Islam. Sama saja mereka terpengaruh dengan belajar kepada musuh-musuh Islam ataupun belajar kepada orang yang belajar kepada musuh-musuh Islam, ataupun terpengaruh oleh orang yang terpengaruh musuh-musuh Islam. Tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil teladan dari salah seorang dari mereka, bahkan As Sunnah yang wajib untuk diikuti.

Demikian pula memotong sebagian jenggot dan membiarkan sebagiannya, ini juga tidak diperbolehkan karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Biarkan jenggot kalian.”
Maknanya adalah biarkanlah sebagaimana diciptakan Allah.
Adapun riwayat dari Abdullah ibnu ‘Umar bahwa bila melaksanakan haji atau umrah beliau radhiallahu anhuma mengambil (memotong) jenggot yang melebihi ukuran genggaman tangan, ini bukanlah hujjah, karena yang dinamakan hujjah adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Bila engkau katakan: Terkadang saya diperintah untuk memotong jenggot karena saya seorang tentara. Jawabannya: Tidak boleh bagimu untuk menaati perintah itu, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hanyalah ketaatan tersebut dalam hal yang baik.”
Kecuali bila engkau khawatir akan disiksa dengan siksaan yang tidak bisa engkau pikul, wallahul musta’an.

Bila engkau katakan: Terkadang saya masuk ke suatu negeri atau saya kembali ke negeri saya, sedangkan penduduk negeri tersebut memaksa dan memasukkan setiap orang yang memelihara jenggotnya ke dalam penjara, dan juga dikhawatirkan akan dibunuh. Maka bila engkau takut bahwa dirimu akan disiksa, atau diambil hartamu, atau kehormatanmu dengan sesuatu yang tidak bisa engkau pikul, maka diperbolehkan bagimu untuk memotong jenggot. Adapun tanpa ada sesuatu lalu engkau memotong jenggot dan menyerupai musuh-musuh Islam, atau hanya karena mengikuti perintah orang-orang yang menyimpang maka tidak boleh bagimu (untuk memotong jenggot), karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hanyalah ketaatan itu dalam hal yang baik.”

Betapa banyak orang shalih yang pergi ke negeri musuh-musuh Islam di mana mereka (musuh-musuh Islam) melihat orang-orang shalih yang berpegang teguh dengan agama secara benar, justru musuh-musuh Islam itu mencintai orang-orang shalih tersebut, memuliakan mereka, mempercayai keamanahan mereka. Adapun jenggot, maka tidaklah jenggot itu yang bersalah (yang menyebabkan kebencian orang-orang kafir membenci Islam). Bila engkau lihat seorang yang memelihara jenggotnya pendusta, atau berkhianat, atau mencuri, maka yang salah bukanlah jenggotnya namun orangnya. Adapun jenggot termasuk sifat yang fithrah dan termasuk Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang beliau perintahkan dan beliau wajibkan. Saya maksudkan keterangan ini agar tidak menjadi alasan bagimu untuk mencukur jenggot bila engkau melihat di antara orang yang memelihara jenggot ada yang tidak istiqamah atau tidak amanah. Wallahul musta’an.

(Diterjemahkan dari Ijabatus Sail, hal. 221-222)

Sumber: Asy Syariah Edisi 011

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan:
Mohon pencerahan dari yang mulia mengenai hukum mencukur jenggot atau mengambilnya (memendekkan, mencabut), serta apa saja batasan jenggot yang syar’i itu?

Jawaban:
Mencukur jenggot diharamkan karena merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam. Dalam hal ini, beliau bersabda,
“Perbanyaklah (perlebatlah) jenggot dan potonglah kumis.” (Sunan An Nasa’i, Kitabu az Zinah [5046])
Juga, karena hal itu keluar dari petunjuk (cara hidup) para Rasul menuju cara hidup orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik.
Adapun batasan jenggot, sebagaimana yang disebutkan oleh ahli bahasa yaitu (mencakup) rambut wajah pada dua tulang dagu, dan dua pipi. Maka setiap rambut yang tumbuh di atas dua pipi, dua tulang dagu, dan dagu adalah termasuk jenggot.
Adapun mengambil sedikitpun darinya termasuk perbuatan maksiat karena Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Perbanyaklah (perlebatlah) jenggot.”
“Biarkan jenggot memanjang.”
“Sempurnakanlah (biarkan tumbuh lebat) jenggot.”
Ini semua menunjukkan bahwa tidak boleh mengambil sedikitpun darinya. Namun, kemaksiatan dalam hal itu berbeda-beda; mencukur tentu lebih besar dosanya dari sekedar mengambil sebagiannya karena ia merupakan penyimpangan yang lebih serius dan jelas.

Sumber: Kitab Risalah Fi Shalatin Nabi, karya Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 31

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
ما حكم الأخذ من اللحية وما حكم حلقها؟
Apa hukum memangkas sebagian jenggot atau mencukur habis jenggot?

Jawaban:
كلاهما حرام لا يجوز الأخذ منها ولا حلقها، المطلوب إعفاؤها، أعفوا اللحى، أكرموا اللحى، وفروا اللحى هذا ليس توفير هذا إهانة لها، والعجيب أن الشيطان يغري بني آدم باللحية هذه أشد شيء عليهم هذه اللحية مع أنها جمال لهم، مع أنها سنة الرسول صلى الله عليه وسلم، مع أنها فارقة بين النساء والرجال؛ لكن الشيطان يغريهم، كما أغراء النساء بإزالة الحواجب أو قصها العبث بها لأن الرسول نهى عن ذلك فالشيطان يريد منهم المعصية للرسول صلى الله عليه وسلم، وإلا هذه كلها من جمالهم ومن زينتهم
Kedua perbuatan tersebut haram, tidak boleh memangkas jenggot atau mencukur habis. Yang diperintahkan adalah membiarkan jenggot tumbuh, sebagaimana dalam hadits. Biarkanlah jenggot kalian tumbuh! Muliakanlah jenggot kalian! Dan mencukur jenggot adalah bentuk penghinaan terhadap jenggot tersebut, dan yang mengherankan syaiton membisikkan kepada anak Adam bahwasanya membiarkan jenggot adalah perkara yang ekstrim bagi dia. Padahal justru jenggot adalah sesuatu yang memperindah penampilannya, dan juga merupakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, juga sekaligus pembeda antara wanita dan pria. Akan tetapi, syaiton memberi waswas kepada mereka, kaum pria, sebagaimana juga syaiton memberi waswas kepada wanita untuk mencukur alis mereka, padahal Rasul melarangnya, dikarenakan memang syaiton ingin menjatuhkan mereka kepada maksiat, yaitu melanggar perintah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, yang perintah itu adalah juga untuk kebaikan mereka (yaitu memperindah penampilan mereka dengan jenggot bagi pria dan alis bagi wanita).

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14689

Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang MEMBACA AL-QURAN DI KUBURAN

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Para ulama telah menukil dari Imam Ahmad tentang makruhnya membaca Al-Qur`ân di kuburan dan ini adalah pendapat jumhur As-Salaf dan para shahabatnya (Ahmad) yang terdahulu juga di atas pendapat ini, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang diperhitungkan mengatakan bahwa membaca Al-Qur`ân di kuburan afdhal (lebih baik). Dan menyimpan mashâhif (kitab-kitab Al-Qur`ân) di kuburan adalah bid’ah meskipun untuk dibaca, dan membacakan Al-Qur`an bagi mayat adalah bid’ah.” (Min Bida’il Qubûr hal. 59)

Tentang BERDOA KETIKA ZIARAH KUBUR

‘Âisyah radhiyallâhu ‘anhâ berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam keluar pada suatu malam, maka aku (‘Âisyah) mengutus Barîrah untuk membuntuti kemana saja beliau (Rasulullah) pergi, maka Rasulullah mengambil jalan ke arah (pemakaman) Baqî’ Al-Garqad kemudian beliau berdiri pada sisi yang terdekat dari Baqî’ lalu beliau mengangkat tangannya, setelah itu beliau pulang, maka kembalilah Barîrah kepadaku dan mengabariku (apa yang dilihatnya). Maka pada pagi hari aku bertanya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah keluar kemana engkau semalam?’ Beliau berkata, ‘Aku diutus kepada penghuni Baqî’ untuk mendoakan mereka’.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (6/92) dan sebelumnya oleh Imam Malik pada kitabnya Al-Muwaththa` (1/239-240).

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Zâdul Ma’âd, “Adalah beliau shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam jika menziarahi kubur para shahabatnya beliau menziarahinya untuk mendoakan mereka dan memintakan rahmat dan pengampunan bagi mereka. Inilah bentuk ziarah yang disunnahkan bagi ummatnya dan beliau syariatkan untuk mereka dan memerintahkan mereka jika menziarahi kuburan untuk mengatakan,
ﺍَﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺭِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻼَﺣِﻘُﻮْﻥَ ﻧَﺴْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻨَﺎ ﻭَﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌَﺎﻓِﻴَﺔَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian.” (HR. Muslim 975, An-Nasâ`i 4/94, Ahmad 5/353, 359, 360)

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Bassâm dalam Taudhîhul Ahkâm (2/562-563) berkata, bahwa keadaan seorang yang berziarah ada empat jenis, yaitu:
1. Mendoakan para penghuni kubur dengan cara memohon kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla pengampunan dan rahmat bagi para penghuni kubur, dan memohonkan doa khusus bagi yang dia ziarahi dan pengampunan. Mengambil pelajaran dari keadaan orang mati sehingga bisa menjadi peringatan dan nasihat baginya. Inilah bentuk ziarah yang syar’i.
2. Berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang dicintainya di pekuburan atau di dekat sebuah kuburan tertentu dengan keyakinan bahwa berdoa di pekuburan atau pada kuburan seseorang tertentu afdhal (lebih utama) dan lebih mustajab daripada berdoa di masjid. Dan ini adalah bid’ah munkarah, haram hukumnya.
3. Berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dengan mengambil perantara jâh (kedudukan) penghuni kubur atau haknya, melalui perkataan, “Aku memohon pada-Mu, wahai Rabbku, berikanlah (sesuatu) dengan jâh (kedudukan) penghuni kuburan ini atau dengan haknya terhadap-Mu, atau dengan kedudukannya di sisi-Mu,” atau yang semisalnya. Dan ini adalah bid’ah muharramah dan haram hukumnya, sebab perbuatan tersebut adalah sarana/jalan yang mengantar kepada kesyirikan kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla.
4. Tidak berdoa kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla melainkan berdoa kepada para penghuni kubur atau kepada penghuni kubur tertentu, melalui perkataan, “Wahai wali Allah, wahai nabi Allah, wahai tuanku, cukupilah aku atau berilah aku (sesuatu),” dan semisalnya. Dan ini adalah syirik Akbar (besar).

Tentang ZIARAH KUBUR BAGI WANITA

Dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.dia berkata,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﻌَﻦَ ﺯَﺍﺋِﺮَﺍﺕِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ
"Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melaknat wanita-wanita peziarah kubur.” (HR. Ibnu Hibban)

Hadits dengan lafazh  ﺯَﺍﺋِﺮَﺍﺕِ  (wanita yang berziarah) menunjukkan pengharaman ziarah kubur bagi wanita secara umum tanpa ada pengecualian.

Berkata al-Imam Ibnul Hâjj, “Dan seharusnya (selayaknya), baginya (laki-laki), melarang wanita-wanita keluar ke kuburan, meskipun wanita-wanita tersebut memiliki mayat (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah.” (Lihat Madkhal As-Syar‘u Asy-syarîf 1/250)

Akan tetapi ada lafazh lain dari hadits ini, yaitu,
ﻟَﻌَﻦَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺯُﻭَّﺍﺭَﺍﺕِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ . ﻭَ ﻓِﻲْ ﻟَﻔْﻆٍ : ﻟَﻌَﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ
“ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam (dalam lafazh yang lain: Allah Subhânahu wa Ta’âlâ) melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah kubur.” (Sunan Al-Baihaqy 4/6996, Sunan Ibnu Mâjah no. 1574, Musnad Ahmad 2/8430, 8655)

Lafazh ﺯُﻭَّﺍﺭَﺍﺕِ (wanita yang banyak berziarah) menjadi dalil bagi sebagian ulama untuk menunjukkan bahwa berziarah kubur bagi wanita tidaklah terlarang secara mutlak (haram) akan tetapi terlarang bagi wanita untuk sering melakukan ziarah kubur.

Al-Imam al-Qurthuby berkata, “Laknat yang disebutkan di dalam hadits (tersebut) adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan). Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami dan berhias diri dan akan munculnya teriakan, erangan, raungan dan semisalnya. Dan dikatakan jika semua hal tersebut aman (dari terjadinya) maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita, sebab mengingat mati diperlukan oleh laki-laki maupun wanita.” (Lihat Jâmi’ Ahkâmul Qur`ân)

Adapun al-Imam al-Bukhâry, ketika beliau meriwayatkan hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu [Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berkata padanya, ‘Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.’ Maka berkata wanita itu, ‘Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku,’ dan wanita itu belum mengenal Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam, ketika itu ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah). Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam dan dia tidak menemukan penjaga-penjaga pintu maka wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu. Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (benturan) pertama.’], beliau memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur” yang menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. (Lihat Shahîh al-Bukhâry 3/110-116)

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menerangkan hadits di atas dalam Fathul Bâry, “Dan letak pendalilan dari hadits ini adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam tidak mengingkari duduknya (keberadaan) wanita tersebut di kuburan. Dan taqrir (pembolehan) Nabi adalah hujjah.”

Berkata Al-‘Ainy, “Dan pada hadits ini terdapat petunjuk tentang bolehnya berziarah kubur secara mutlak, baik peziarahnya laki-laki maupun wanita dan yang diziarahi (penghuni kubur) muslim atau kafir karena tidak adanya pembedaan padanya.” (Lihat ‘Umdatul Qâry 3/76)

Wallahu a'lam.

Tentang WANITA YANG TIDAK MAU MENYUSUI ANAK-ANAKNYA

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻧَﺎ ﺑِﻨِﺴَﺎﺀٍ ﺗَﻨْﻬَﺶُ ﺛَﺪْﻳَﻬُﻦَّ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺎﺕُ، ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟﻠَّﻮَﺍﺗِﻲ ﻳَﻤْﻨَﻌْﻦَ ﺃَﻭْﻟَﺎﺩَﻫُﻦَّ ﺃَﻟْﺒَﺎﻧَﻬُﻦَّ
“Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR. Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih)

Tentang BERWASIAT UNTUK TIDAK DIRATAPI SETELAH MATI

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖَ ﻳُﻌَﺬَّﺏُ ﺑِﺒُﻜَﺎﺀِ ﺃَﻫْﻠِﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena ratapan keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:
ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖُ ﻳُﻌَﺬَّﺏُ ﻓِﻲ ﻗَﺒْﺮِﻩِ ﺑِﻤَﺎ ﻧِﻴﺢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Mayit itu akan diadzab di kuburnya dengan sebab ratapan atasnya.”

Jumhur ulama berpendapat, hadits ini dibawa kepada pemahaman bahwa mayit yang ditimpa adzab karena ratapan keluarganya adalah orang yang berwasiat supaya diratapi, atau dia tidak berwasiat untuk tidak diratapi padahal dia tahu bahwa kebiasaan mereka adalah meratapi orang mati. Oleh karena itu Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, “Apabila dia telah melarang mereka (keluarganya) meratapi ketika dia hidup, lalu mereka melakukannya setelah kematiannya, maka dia tidak akan ditimpa adzab sedikit pun.” (Umdatul Qari’, 4/78)

Dari Abu Burdah dia berkata:
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mewasiatkan ketika hendak meninggal, “Apabila kalian berangkat membawa jenazahku maka cepatlah dalam berjalan. Jangan mengikutkan (jenazahku) dengan bara api. Sungguh jangan kalian membuat sesuatu yang akan menghalangiku dengan tanah. Janganlah membuat bangunan di atas kuburku. Aku mempersaksikan kepada kalian dari al-haliqah (wanita yang mencukur gundul rambutnya karena tertimpa musibah), as-saliqah (wanita yang menjerit karena tertimpa musibah), dan al-khariqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya karena tertimpa musibah).” Mereka bertanya, “Apakah engkau mendengar sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu?” Dia menjawab, “Ya, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/397, Al-Baihaqi 3/395, dan Ibnu Majah, sanadnya hasan)