Cari Blog Ini

Selasa, 18 November 2014

Tentang TAWASSUL YANG DILARANG

Yaitu bertawassul kepada Allah dengan sesuatu yang bukan sebagai wasilah atau dengan sesutu yang tidak ditetapkan oleh syariat sebagai wasilah, dan bentuk tawassul ini ada dua:
1.    Tawassul kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ada syariatnya. Tawassul semacam ini diharamkan. Contohnya, bertawassul dengan jah (kedudukan) seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Allah atau tawassul dengan dzat seseorang. Perbuatan ini menjadi bid’ah dari satu sisi dan syirik (kecil) dari sisi yang lain:
–    Bid’ah karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada diri Rasul, baik di saat beliau masih hidup, terlebih setelah beliau meninggal.
–    Syirik (kecil) dari sisi menjadikan sesuatu perantara atau sebab yang tidak pernah ditentukan oleh Allah, maka hal ini termasuk dari kesyirikan kepada Allah.
2.    Tawassul kaum musyrikin dengan berhala dan patung-patung, dan juga seperti tawassul para pengagung kuburan dengan wali-wali mereka, yakni sesungguhnya mereka meminta-minta langsung kepada ahli kubur atau berhala dengan dalih bertawassul, dan ini adalah tawassul syirik akbar.

Pertanyaan
1. Bagaimana hukum bertawassul dengan seseorang yang shalih?
Jawaban terhadap pertanyaan ini ada rinciannya yaitu:
a.    Bila bertawassul dengan doa mereka kepada Allah dengan cara meminta agar dia mendoakan dirimu kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan di dalam syariat dan telah dilakukan oleh para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada beliau dan telah dilakukan pula oleh Umar bin Al-Khaththab kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu anhu.
b.    Bila bertawassul dengan kedudukan mereka dan dzat mereka maka ini termasuk dari kesyirikan (kecil) dari satu sisi dan kebidahan dari sisi yang lain, sebagaimana di atas.
2. Bagaimana hukum bertawassul kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?
Bertawassul dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam termasuk dari sederetan fitnah yang besar, dan jawaban terhadap pertanyaan ini adalah:
a.    Bila bertawassul dengan keimanannya kepada beliau maka hal ini termasuk dari ibadah kepada Allah dan disyariatkan oleh-Nya. Contohnya dengan mengatakan: “Ya Allah dengan imanku kepada Nabi-Mu aku memohon (kepada)-Mu…"
b.    Bila tawassul dengan doa beliau artinya datang kepada beliau semasa masih hidup lalu meminta agar didoakan kepada Allah, maka hal ini adalah diperbolehkan sebagaimana di atas, adapun setelah wafatnya maka tidak boleh bertawassul melainkan dengan mengikuti dan mengimani beliau.
c.    Bila tawassul dengan kedudukan dan dzat beliau baik di saat beliau hidup atau setelah wafatnya maka hal ini termasuk dari kebid’ahan.

Beberapa Permasalahan Penting
Setelah mengetahui jenis-jenis tawassul baik yang disyariatkan ataupun yang mengundang murka Allah, ada beberapa permasalahan penting yang harus dipahami:
1.    Bahwa ahli kebatilan tidak akan berdiam diri dan ridha, membiarkan kaum muslimin kembali kepada ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengamalkannya di tengah masyarakat yang menjadi mangsa mereka. Sehingga mereka berusaha dengan segala cara untuk menghadapi segala kemungkinan pembaharuan akidah dengan cara apapun juga, walaupun dalam waktu yang cukup lama. Mereka akan memakai senjata-senjata kebatilan untuk membendung kebenaran dan pengikutnya, seperti dusta, tuduhan keji, menipu, janji-janji palsu, mencaci-maki, dan sebagainya.
2.    Para penyesat selalu mengintai mangsanya, yang bila ada kesempatan mereka akan mengeluarkan manuver-manuver penyesatan dengan jembatan syubhat.
3.    Betapa banyak dari kaum muslimin termakan manuver-manuver mereka, sadar atau tidak sadar. Sehingga bukan suatu keanehan lagi bila muncul dari kaum muslimin pembela-pembela kebatilan, penebar kesesatan. Allah berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)
4.    Allah akan selalu menjaga agamanya dari rongrongan para penyesat dengan menampilkan para ulama Ahlus Sunnah untuk membendung kejahatan mereka. Bagaimanapun dan di manapun mereka bersembunyi dengan kebatilan mereka, niscaya Allah akan menampilkan sosok ulama yang akan menyeret mereka agar nampak di hadapan kaum muslimin bahwa ini adalah ahli kebatilan, berikut kebatilan yang mereka lakukan. Hal ini sebagai kebenaran janji Allah di dalam Al Qur`an:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Tidak ada sekecil apapun kejahatan yang diperbuat di dalam agama-Nya atau mengatas namakan agama-Nya, melainkan Allah akan membongkar kedoknya. Dan tidak ada sekecil apapun makar yang dilakukan oleh ahli kebatilan secara sembunyi melainkan Allah akan membongkarnya walaupun mereka akan bersembunyi di lobang-lobang biawak sekalipun. Tidak ada sesulit apapun syubhat yang mereka lontarkan melainkan Allah akan menampakkan kebatilannya. Itulah bentuk rahmat Allah atas hamba-hamba-Nya yang beriman. Itulah apa yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah sabdanya:
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan kefaqihan di dalam agama, dan sesungguhnya aku adalah sebagai pembagi (harta shadaqah) dan yang memberi adalah Allah. Terus menerus (sebagian) dari umat ini (Islam) tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka siapapun yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 71, Muslim no. 1037, dan Ahmad no. 16246, Tsauban, Al-Mughirah bin Syu’bah, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Hurairah, Mu’awiyah bin Qurrah, Zaid bin Arqam, ‘Imran bin Hushain, Uqbah bin ‘Amir, Abu Umamah radhiallahu anhum dan selain mereka. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud di dalam Sunan beliau, juga At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
Dalam lafadz yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan: “Mereka adalah golongan yang selalu memperjuangkan kebenaran dan selalu tertolong di atasnya sampai datang keputusan Allah.”
Lalu siapakah yang dimaksud dengan sekelompok kecil tersebut?
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah mengatakan: “Al-Imam Al-Bukhari telah memastikan bahwa yang dimaksud adalah ulama dan ahli hadits.” Dan Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan: “Kalau bukan ahli hadits yang dimaksud, maka saya tidak mengetahui siapa mereka.” Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud oleh Ahmad adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang mengikuti madzhab mereka.” (Lihat Fathul Bari, 1/200, cet. Darul Hadits, Mesir)

Di antara syubhat yang dilontarkan oleh ahli kebatilan dalam masalah tawassul adalah sebagai berikut:

Syubhat pertama:
Orang-orang yang membolehkan tawassul dengan jah (kedudukan) seseorang, kehormatan, dzat dan haknya, berdalil dengan hadits Anas bin Malik, diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam dua tempat. Pertama, dalam kitab Al-Istisqa` bab 3 no. 1010 dan di dalam kitab Fadha`ilush Shahabah bab 11 no. 3710. Sesungguhnya ‘Umar bin Al-Khaththab beristisqa` (minta turun hujan) melalui ‘Abbas bin Abdul Muththalib bila ditimpa musim kering (yang berakibat terjadinya paceklik). Beliau (‘Umar) berkata: “Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau, maka turunkanlah atas kami hujan." Berkata (perawi): "Lalu turun hujan buat mereka.”
Mereka (ahli kebatilan) mengatakan: “Dari hadits ini, ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan), dan dia memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Dan tawassul ‘Umar hanya sebatas menyebut nama Al-‘Abbas di dalam doa beliau dan meminta kepada Allah untuk menurunkan hujan. Ditambah lagi,  para shahabat menyetujui hal itu. Adapun sebab ‘Umar berpaling dari bertawassul dengan Rasulullah hanyalah sebatas ingin menjelaskan bolehnya bertawassul dengan “mafdhul” (orang yang lebih rendah kedudukannya) bersamaan dengan adanya yang lebih afdhal.”

Bantahannya:
Pemahaman mereka tentang hadits di atas dengan maksud demikian sangatlah keliru dari banyak sisi:
1.    Kaidah di dalam syariat mengatakan bahwa nash-nash itu saling menjelaskan sebagiannya atas sebagian yang lain. Tidak boleh memahami sebuah nash dengan melepaskan keterkaitannya dengan nash yang lain. Berdasarkan hal ini, hadits ‘Umar harus dipahami dengan riwayat-riwayat yang lain yang menjelaskan tentang tawassul. Dan keterangan riwayat-riwayat yang banyak tersebut menjelaskan, bahwa para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ditimpa oleh paceklik, mereka bertawassul dengan doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan cara mendatangi beliau ketika masih hidup dan meminta agar beliau berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan, dan bukan dengan kepribadian (zat) dan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu yang shahih:
“Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seseorang datang lalu berkata: ‘Ya Rasulullah, hujan tertahan (menyebabkan paceklik). Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami.’ Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdoa dan hujan turun atas kami, hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami, dan hujan tersebut berlangsung sampai Jum’at berikutnya."
(Anas) berkata: “Orang tersebut –atau yang selain dia– bangkit dan berkata: ‘Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Allah memalingkan hujan dari kami.’ Lalu Rasululah shallallahu alaihi wasallam berdoa: ‘Ya Allah, palingkan hujan itu dari kami dan jangan dijadikan sebagai bahaya bagi kami.’ Anas berkata: “Sungguh aku menyaksikan gumpalan awan terpisah-pisah ke arah kanan dan kiri lalu turun hujan untuk mereka (selain penduduk Madinah), dan hujan tidak turun bagi penduduk Madinah.”
Berarti ucapan ‘Umar:
“Sesungguhnya kami dulu bertawassul dengan Nabi Engkau dan Engkau menurunkan air hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi Engkau…”
Dalam ucapan tersebut ada sebuah kata yang terbuang yang dengannya akan sempurna dan sesuai dengan nash-nash lain yang shahih dan kata yang terbuang itu harus didatangkan. Dan kata yang terbuang itu ada dua kemungkinan, pertama: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan jah (kedudukan) Nabi-Mu dan jah (kedudukan) paman Nabi-Mu”, atau kedua: “Kami bertawassul kepada-Mu dengan doa Nabi-Mu dan dengan doa paman Nabi-Mu”. Untuk menghukumi mana yang benar dari dua kemungkinan ini, kita harus kembali kepada As Sunnah dan yang sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih. Dan yang benar dan sesuai dengan riwayat yang shahih adalah kemungkinan yang kedua.
2.    Tawassul secara bahasa dan yang dipahami oleh ‘urf (kebiasaan yang sudah berlangsung) melalui lisan-lisan orang Arab adalah seperti apa yang telah dipahami dan yang dilakukan oleh para shahabat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bentuknya adalah bila engkau memiliki hajat kepada seseorang dan orang ini memiliki kedudukan (misalnya) sebagai pimpinan, lalu engkau mendatangi seseorang yang lebih didengar suaranya oleh pimpinan tersebut, maka engkau mengutarakan hajatmu kepadanya untuk disampaikan kepada pimpinan. Demikianlah definisi tawassul di kalangan orang Arab sejak dahulu. Dan bukan makna tawassul adalah bila kamu datang kepada pimpinan itu lalu mengatakan: ‘Hai pimpinan, karena jah (kedudukan) orang tersebut dan dekatnya posisinya di sisimu, maka tunaikanlah hajatku.’
3.    Ucapan mereka (ahli kebatilan): “Bahwa para shahabat merestui perbuatan ‘Umar”
Mereka merestuinya karena memang perbuatan ‘Umar tidak menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan jika perbuatan ‘Umar menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, niscaya mereka (para shahabat) akan menentang perbuatan ‘Umar. Dan mustahil mereka akan sepakat di dalam kebatilan sedangkan mereka adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan bagi manusia, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan perbuatan ‘Umar sesuai dengan riwayat-riwayat yang shahih di atas dimana beliau datang kepada Al-‘Abbas dan meminta agar beliau (Al-‘Abbas) berdoa kepada Allah agar Dia menurunkan hujan, sebagaimana permintaan yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup.
Makna hadits ‘Umar di atas telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah di dalam kitab beliau Fathul Bari (2/571, cet. Darul Hadits, Mesir): “Telah dijelaskan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab, tentang sifat doa Al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu terjadi hal itu. Beliau meriwayatkan dengan sanad beliau, di saat ‘Umar bertawassul dengan Al-’Abbas dalam istisqa`, Al-’Abbas berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat. Turunkanlah kepada kami hujan."
Kemudian turun hujan dari langit sehingga bumi menjadi subur dan manusia bisa hidup.”
4.    Ucapan ahli kebatilan: “Ini bukti bahwa ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas.”
Kalau benar ‘Umar bertawassul dengan jah (kedudukan) Al-‘Abbas niscaya beliau tidak akan meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam walaupun beliau telah wafat. Karena bertawassul dengan jah beliau shallallahu alaihi wasallam bisa dilakukan sekalipun beliau shallallahu alaihi wasallam telah wafat. Dan tentu para shahabat yang lain akan menegur ‘Umar, kenapa meninggalkan bertawassul dengan jah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berpaling kepada Al-‘Abbas. Dan sungguh kita mengetahui semangat para shahabat untuk melakukan sesuatu yang lebih utama.
5.    Mereka mengatakan: “Umar berpaling dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam bertawassul kemudian menuju Al-‘Abbas, untuk menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul (kurang utama) bersamaan dengan adanya yang afdhal (lebih utama).”
Alasan ini adalah batil dari banyak sisi:
-    Tawassul yang benar/syar’i kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setelah wafat beliau merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dan bagaimana mereka akan pergi ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu menjelaskan keadaan mereka dan meminta kepada beliau, agar beliau berdoa kepada Allah supaya dibebaskan dari bala` yang menimpa, sementara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menghadap Allah? Karena memang tidak diperbolehkan itulah, sehingga ‘Umar bertawassul dengan doa paman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Al-‘Abbas. Bila hal itu diperbolehkan setelah wafat beliau dan ‘Umar meninggalkan hal demikian, berarti ‘Umar meninggalkan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak mungkin hal itu terjadi pada diri orang terbaik umat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setelah Abu Bakr radhiallahu anhu.
-    Manusia dengan fitrah yang ada pada diri mereka, ketika ditimpa oleh malapetaka yang dahsyat, tentu akan mencari sebab yang lebih kuat untuk segera terselesaikan darinya, dan akan mencari wasilah yang lebih besar dan afdhal agar segera terbebaskan dari malapetaka tersebut. Dan jika tawassul dengan jah Nabi shallallahu alaihi wasallam diperbolehkan, kenapa ‘Umar harus mencari yang mafdhul (kurang afdhal) dan meninggalkan yang afdhal?
-    Taruhlah bahwa terbetik pada diri ‘Umar untuk bertawassul kepada Allah melalui Al-‘Abbas dengan tujuan untuk menjelaskan hukum fiqih yang mereka duga yaitu: “Menjelaskan tentang kebolehan bertawassul dengan yang mafdhul bersamaan dengan adanya yang afdhal,” apakah hal itu juga akan terbetik pada diri Mu’awiyah dan Ad-Dhahhak bin Qais di saat keduanya bertawassul dengan doa seorang tabi’in yang memiliki kemuliaan, Yazid bin Al-Aswad Al-Jurasyi, dan tidak mencukupkan dengan apa yang dilakukan oleh ‘Umar? Tentu ini adalah alasan yang berlebihan.
-    Di dalam kisah ‘Umar tersebut ada sebuah rahasia yang mungkin perlu diperhatikan yaitu:
“Sesungguhnya ‘Umar bila terjadi musim kemarau, beliau melakukan istisqa’ dengan meminta Al-‘Abbas untuk berdoa.”
Ucapan ini menjelaskan bahwa ‘Umar sering melakukan yang serupa setiap kali terjadi musim kemarau yang panjang. Dan kalau untuk menjelaskan hukum fiqih di atas, niscaya ‘Umar tidak akan melakukannya berulang-ulang dan cukup melakukannya satu kali.

Syubhat kedua:
Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan selain beliau dengan sanad yang shahih dari ‘Utsman bin Hunaif bahwa seseorang buta mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan berkata:
“Seorang buta mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: ‘Doakanlah buatku agar Allah menyembuhkanku.’ Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Kalau kamu menghendaki, aku akan mendoakan buatmu dan bila kamu menghendaki aku akan menahan doa tersebut dan itu lebih baik buatmu.' Di dalam sebuah riwayat: ‘Kalau kamu mau, kamu bersabar maka itu lebih baik buatmu.’ Dia berkata: ‘Berdoalah.’ Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyuruhnya untuk mengambil air wudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dan dia berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku menghadap-Mu dengan (doa) Nabi-Mu Muhammad Nabi rahmah. Hai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap Allah dengan (doa) mu dalam semua hajatku lalu tertunaikan buatku. Ya Allah, terimalah syafaatnya (Nabi-Mu) bagiku. Ya Allah terimalah doaku agar Engkau mengabulkan syafaatnya buatku’. Maka orang tersebut melakukannya dan dia sembuh.”
(Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 4/138, At-Tirmidzi no. 3831, Ibnu Majah di dalam Sunan beliau no.1385, Ath-Thabrani 3/2/2 dan Al-Hakim 1/313. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/183 no. 2832 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 1/232 no. 1138, dan beliau mengisyaratkan ke dalam kitab beliau At-Tawassul Anwa’uhu Wa Ahkamuhu hal. 76, Ar-Raudh hal. 661, At-Ta’liq Ar-Raghif 1/142-242, dan At-Ta’liq ‘Ala Shahih Ibnu Huzaimah 1219. Dan Ad-Darimi no. 2325 dari shahabat Abu Hurairah, dan At-Tirmidzi mengatakan juga datang dari shahabat ‘Irbadh bin Sariyah)
Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau selain beliau dari orang-orang yang shalih, karena di dalamnya beliau mengajarkan kepada orang buta tersebut agar bertawassul dengan beliau di dalam doanya dan dia melakukannya, kemudian dia sembuh.”

Bantahannya:
Sesungguhnya dalil ini menjelaskan jenis tawassul yang disyariatkan sebagaimana dalam keterangan di atas, yaitu tawassul dengan doa beliau. Dan bukti yang menjelaskan demikian di dalam hadits tersebut banyak sekali dan yang paling penting adalah:
1.    Bahwa orang buta itu datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta untuk didoakan kepada Allah agar disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Hal ini jelas di dalam ucapannya, dan bila memaksudkan bertawassul dengan jah dan dzat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka dia tidak perlu mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
2.    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berjanji untuk mendoakannya. Bersamaan dengan itu, beliau menasehatinya menuju sesuatu yang lebih utama yaitu bersabar. Dan inilah makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dalam sebuah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam: “Bila aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya lalu dia bersabar, niscaya Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.”
3.    Terus menerusnya orang buta tersebut meminta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk didoakan, menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendoakannya dan beliau adalah sebaik-baik orang di dalam memenuhi janjinya.
4.    Di antara doa yang diajarkan kepadanya adalah, dan ucapan ini mustahil mengandung makna bahwa dia bertawassul di dalam doanya dengan jah (kedudukan) atau dzat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena makna dari ucapan tersebut adalah: “Ya Allah, terima syafaatnya buatku”, artinya terimalah doanya agar aku mendapatkan kesembuhan dan agar  penglihatanku kembali.
5.    Di antara doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepadanya adalah, maksudnya terimalah doaku agar Engkau menerima syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untukku, artinya terimalah doanya (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) agar penglihatanku kembali.
6.    Hadits ini diletakkan oleh para ulama dalam bab membicarakan mu’jizat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  dan doa beliau yang mustajab, dan sebagai bukti kebesaran Allah dengan memperlihatkan keajaiban-keajaiban berkat doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, seperti menyembuhkan orang yang sakit. Dan dengan doa beliau juga, orang yang buta tersebut dikembalikan penglihatannya oleh Allah. Oleh karena itu, para ulama meletakkan hadits ini dan yang sepertinya dalam karya tulis mereka pada sebuah bab “Bukti-bukti kenabian”, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan selain beliau. Dari semuanya ini sangat jelas bahwa rahasia kesembuhan orang tersebut datang dari Allah, kemudian berkat doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mustajab.
Bila hal ini telah jelas bagi pembaca yang budiman maka sampailah kita kepada sebuah pengertian, yaitu maksud dari ucapan orang yang buta tersebut: “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” adalah dengan doa Nabi-Mu Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 018
(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)

Tentang SHALAT SUNNAH SEBELUM SHALAT SUBUH

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu anha)

Tentang MASJID YANG DI DALAMNYA TERDAPAT KUBURAN DAN MASJID YANG DI SEKELILINGNYA TERDAPAT KUBURAN

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh

Pertanyaan:
مسجد محيط به القبور من كل جانب فهل تصح الصلاة فيه؟
Sebuah masjid dikelilingi oleh kuburan dari segala penjuru maka apakah sah sholat dalam masjid tersebut?

Jawaban:
ينبغي أن يعلم أن للقبر في المسجد -أو القبور في المسجد – وإن لم يكن مما تضمنه السؤال – سنة من سنن اليهود روى البخاري ومسلم في صحيحيهما عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Perlu diketahui bahwa sebuah kuburan yang berada di dalam masjid, atau beberapa kuburan di dalam masjid, sekalipun tidak terkandung dalam pertanyaan, merupakan sunah dari sunah-sunahnya kaum Yahudi. Diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim di dalam shahih keduanya dari Aisyah rodhiallohu ‘anha beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Alloh melaknat kaum Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kuburan-kuburan para Nabi mereka sebagai masjid-masjid.”
وروى مسلم في صحيحه عن جندب رضي الله تعالى عنه عن النبي -صلى الله عليه وسلم – أنه قال: ألآ وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك. وفي الصحيح عن عائشة أن أم سلمة وأم حبيبة أخبرتا رسول الله -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – بصور رأينها في كنيسة في الحبشة فقال النبي -صلى الله عليه وسلم -: أولئك شرار الخلق عند الله، إذا مات فيهم الرجال الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور. وفي سنن أبي داود أن النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – قال: اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد
Dan diriwayatkan Muslim di dalam shahihnya dari Jundub rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
ألآ وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك
“Ketahuilah dan sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, maka ketahuilah, maka jangan kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, maka sungguh aku melarang kalian dari yang demikian.”
Dan di dalam kitab shohih dari ‘Aisyah bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah keduanya pernah memberitahu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa gambar yang mereka lihat di dalam sebuah gereja di negeri Habasyah (Ethiopia) maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أولئك شرار الخلق عند الله، إذا مات فيهم الرجال الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور
“Mereka-mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Alloh, apabila mati di tengah-tengah mereka orang sholeh atau seorang hamba yang sholeh mereka pun membangun di atas kuburnya sebuah masjid dan mereka menggambar di dalam masjid gambar-gambar tersebut.”
Di dalam sunan Abu Daud bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد
“Ya Alloh, jangan Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang diibadahi.”
فالمسجد الذي فيه قبور لا تصح الصلاة فيه، بقي: أيهدم المسجد أم ماذا؟ أم تخرج القبور؟ شيخ الإسلام ابن تيمية يقول: إن كان المسجد متقدما أخرجت القبور منه وإن كان القبر متقدما هدم المسجد
MAKA MASJID YANG TERDAPAT DI DALAMNYA KUBURAN TIDAK SAH SHOLAT PADANYA, tinggal (masalah): apakah masjidnya dibongkar atau bagaimana? Atau kuburan dikeluarkan (dari daerah masjid)? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: APABILA MASJID LEBIH DULU (ADA) MAKA KUBURAN DIKELUARKAN DARI MASJID, NAMUN JIKA KUBURAN LEBIH DULU MAKA MASJID DIBONGKAR.
أما أخونا السائل فيقول: إن المسجد ليس فيه قبور، لكن القبور محيطة بالمسجد من كل جانب، الذي يظهر إذا كانت خارجة عن جدار المسجد فإن الصلاة صحيحة إذا كانت خارج جدار المسجد. بقي أنهم أخبروني أن المار يمر من على القبور فهذه مشكلة يجب أن يبتعد عنها وليس لها حل إلا أن يبتعد عنها وليس لها حل إلا أن يبتعد عنها، لماذا؟ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم – يقول: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه حتى تخلص إلى جسده أهون من أن يجلس على قبر، ويقول النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم -: لأن يطأ أحدكم على جمرة فتخلص إلى قدمه أهون من أن يطأ على قبر، وقد رأى النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – رجلا يمشي بنعليه بين المقبرة فقال: ياصاحب السبتيتين اخلعهما فقد آذيت، يعني أن الأموات يؤذون بسبب المشي عليهم بالنعال، وليس هناك سبيل أن تقول: أنا آخذ القبور وأدفتها في موضع آخر وأجعل لي طريقاً، لا، ليس هذا بحل، لماذا؟ لأنه روى أبو داود في سننه والإمام أحمد في مسنده عن عائشة رضي الله عنها أن النبي -صلى الله عليه وسلم – قال: كسر عظم الميت ككسره حياً
Adapun saudara kita penanya mengatakan: bahwa masjid tidak ada di dalamnya kuburan, akan akan tetapi kuburan mengelilingi masjid dari segala penjuru, yang tampak APABILA KUBURAN TERSEBUT BERADA DI LUAR DARI DINDING MASJID MAKA SESUNGGUHNYA SHOLATNYA SAH apabila berada di luar dinding masjid. Tinggal (masalah) bahwa mereka memberi tahu aku bahwa orang yang lewat melintas di atas kuburan maka ini masalah yang wajib untuk dijauhi dari kuburan dan tidak ada jalan keluar kecuali harus menjauh dari kuburan, kenapa? Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه حتى تخلص إلى جسده أهون من أن يجلس على قبر
“Sungguh salah seorang dari kalian duduk di atas bara api kemudian membakar kainnya hingga tembus ke tubuhnya itu lebih ringan dari duduk di atas kuburan.”
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأن يطأ أحدكم على جمرة فتخلص إلى قدمه أهون من أن يطأ على قبر
“Sungguh salah satu dari kalian berjalan di atas bara api kemudian tembus ke kakinya itu lebih ringan dari menginjak kubur.”
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang pria berjalan dengan kedua sandalnya di antara pekuburan maka beliau menegur:
ياصاحب السبتيتين اخلعهما فقد آذيت
“Wahai pemilik kedua utas tali sandal, lepaskanlah keduanya karena Anda sungguh telah menyakiti.”
Yakni bahwa orang-orang yang telah mati tersakiti oleh sebab orang yang berjalan di atas kuburan mereka dengan sandal-sandal orang tersebut, dan tidak ada jalan di sana untuk Anda katakan: aku akan memindahkan kuburan dan aku akan menguburnya di tempat lain dan aku akan buatkan jalan untuk diriku. Tidak, ini bukanlah solusi. Kenapa? Karena Abu Daud telah meriwayatkan di dalam Sunan nya dan Imam Ahmad di dalam Musnad nya dari ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كسر عظم الميت ككسره حياً
“Mematahkan tulang-tulang mayit seperti mematahkannya di kala hidup.”
فإن وجدت طريقاً تدخل منها إلى المسجد من دون أن تطأ القبور فلا بأس بذلك، وإلا بنيتم مسجداً آخر والله المستعان. وهذا المسجد يعطل لأن المشي على القبور يعتبر محرماً، والله المستعان
Maka jika Anda menemukan sebuah jalan masuk dari pemakaman tersebut menuju masjid dengan tanpa menginjak-injak kuburan maka tidak mengapa yang demikian, namun jika tidak maka kalian bangun masjid lain, wallohul musta’an. Dan masjid ini dibiarkan tidak berfungsi karena berjalan di atas kuburan tergolong haram, wallohul musta’an.

(Ijabatus Saail hal. 199 – 201)

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu Abduh

WA Ahlus Sunnah Karawang

###

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad hafizhahullah

Pertanyaan: Bagaimana hukum shalat di masjid yang di sekitarnya (depan, belakang, kanan atau kiri) ada kuburan walaupun hanya satu kuburan. Jadi masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan (kuburan berada di luar dinding masjid dengan jarak  ±2 atau 3 meter) atau kuburan tersebut tidak berada di luar masjid?

Jawab:

Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.

Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hal. 467): “Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami (kalangan fuqaha Hanabilah) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal).”

Syaikhul Islam  juga berkata di dalam kitab yang sama pada halaman 460 berkenaan dengan masjid yang di bangun di atas kuburan (kuburannya ada di dalam masjid): “Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami (madzhab Hambali) shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat  dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  terhadap perkara itu.”

Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani hal. 273-274)

Dan pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat Al-’Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset). Begitu pula Ibnul Qayyim menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200.

Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan 3 dalil:

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri  yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462-463, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”

2. Hadits ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529)
Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462 berkata:
“Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana, karena hal itu juga masuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah (setelah meriwayatkan hadits di atas): “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan ditampakkan *), akan tetapi beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan  masjid.” Dan bukanlah maksud ‘Aisyah  pembangunan masjid semata, karena para shahabat radhiallahu anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Jadi maksud Aisyah  adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah:  “Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).” (HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir)

3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.

Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni (kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya (karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3 kuburan atau lebih). Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan. Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/235). Dan hukum ini berlaku sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).

Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dulu) maka wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid. Namun shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang yang shalat) maka shalatnya batal.”

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke kuburan (dalam arti dia di luar area pekuburan) tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (2/50), Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal. 273-274. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/247) setelah beliau menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: “Kalau dikatakan bahwa shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad Al-Ghanawi:
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan. Maka selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas): “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.” Jadi larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat, maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara demikian. Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan maka tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan. Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat. Namun ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”

Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200. Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah. (Lihat Al-Ikhtiyarat hal. 20)

Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para shahabat radhiallahu anhum. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.

Sumber: Asy Syariah Edisi 013