Cari Blog Ini

Selasa, 18 November 2014

Tentang MASJID YANG DI DALAMNYA TERDAPAT KUBURAN DAN MASJID YANG DI SEKELILINGNYA TERDAPAT KUBURAN

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh

Pertanyaan:
مسجد محيط به القبور من كل جانب فهل تصح الصلاة فيه؟
Sebuah masjid dikelilingi oleh kuburan dari segala penjuru maka apakah sah sholat dalam masjid tersebut?

Jawaban:
ينبغي أن يعلم أن للقبر في المسجد -أو القبور في المسجد – وإن لم يكن مما تضمنه السؤال – سنة من سنن اليهود روى البخاري ومسلم في صحيحيهما عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
Perlu diketahui bahwa sebuah kuburan yang berada di dalam masjid, atau beberapa kuburan di dalam masjid, sekalipun tidak terkandung dalam pertanyaan, merupakan sunah dari sunah-sunahnya kaum Yahudi. Diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim di dalam shahih keduanya dari Aisyah rodhiallohu ‘anha beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Alloh melaknat kaum Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kuburan-kuburan para Nabi mereka sebagai masjid-masjid.”
وروى مسلم في صحيحه عن جندب رضي الله تعالى عنه عن النبي -صلى الله عليه وسلم – أنه قال: ألآ وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك. وفي الصحيح عن عائشة أن أم سلمة وأم حبيبة أخبرتا رسول الله -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – بصور رأينها في كنيسة في الحبشة فقال النبي -صلى الله عليه وسلم -: أولئك شرار الخلق عند الله، إذا مات فيهم الرجال الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور. وفي سنن أبي داود أن النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – قال: اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد
Dan diriwayatkan Muslim di dalam shahihnya dari Jundub rodhiallohu ‘anhu dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
ألآ وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك
“Ketahuilah dan sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, maka ketahuilah, maka jangan kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, maka sungguh aku melarang kalian dari yang demikian.”
Dan di dalam kitab shohih dari ‘Aisyah bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah keduanya pernah memberitahu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa gambar yang mereka lihat di dalam sebuah gereja di negeri Habasyah (Ethiopia) maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أولئك شرار الخلق عند الله، إذا مات فيهم الرجال الصالح أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور
“Mereka-mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Alloh, apabila mati di tengah-tengah mereka orang sholeh atau seorang hamba yang sholeh mereka pun membangun di atas kuburnya sebuah masjid dan mereka menggambar di dalam masjid gambar-gambar tersebut.”
Di dalam sunan Abu Daud bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللهم لا تجعل قبري وثنا يعبد
“Ya Alloh, jangan Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang diibadahi.”
فالمسجد الذي فيه قبور لا تصح الصلاة فيه، بقي: أيهدم المسجد أم ماذا؟ أم تخرج القبور؟ شيخ الإسلام ابن تيمية يقول: إن كان المسجد متقدما أخرجت القبور منه وإن كان القبر متقدما هدم المسجد
MAKA MASJID YANG TERDAPAT DI DALAMNYA KUBURAN TIDAK SAH SHOLAT PADANYA, tinggal (masalah): apakah masjidnya dibongkar atau bagaimana? Atau kuburan dikeluarkan (dari daerah masjid)? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: APABILA MASJID LEBIH DULU (ADA) MAKA KUBURAN DIKELUARKAN DARI MASJID, NAMUN JIKA KUBURAN LEBIH DULU MAKA MASJID DIBONGKAR.
أما أخونا السائل فيقول: إن المسجد ليس فيه قبور، لكن القبور محيطة بالمسجد من كل جانب، الذي يظهر إذا كانت خارجة عن جدار المسجد فإن الصلاة صحيحة إذا كانت خارج جدار المسجد. بقي أنهم أخبروني أن المار يمر من على القبور فهذه مشكلة يجب أن يبتعد عنها وليس لها حل إلا أن يبتعد عنها وليس لها حل إلا أن يبتعد عنها، لماذا؟ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم – يقول: لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه حتى تخلص إلى جسده أهون من أن يجلس على قبر، ويقول النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم -: لأن يطأ أحدكم على جمرة فتخلص إلى قدمه أهون من أن يطأ على قبر، وقد رأى النبي -صلى الله عليه وعلى آله وسلم – رجلا يمشي بنعليه بين المقبرة فقال: ياصاحب السبتيتين اخلعهما فقد آذيت، يعني أن الأموات يؤذون بسبب المشي عليهم بالنعال، وليس هناك سبيل أن تقول: أنا آخذ القبور وأدفتها في موضع آخر وأجعل لي طريقاً، لا، ليس هذا بحل، لماذا؟ لأنه روى أبو داود في سننه والإمام أحمد في مسنده عن عائشة رضي الله عنها أن النبي -صلى الله عليه وسلم – قال: كسر عظم الميت ككسره حياً
Adapun saudara kita penanya mengatakan: bahwa masjid tidak ada di dalamnya kuburan, akan akan tetapi kuburan mengelilingi masjid dari segala penjuru, yang tampak APABILA KUBURAN TERSEBUT BERADA DI LUAR DARI DINDING MASJID MAKA SESUNGGUHNYA SHOLATNYA SAH apabila berada di luar dinding masjid. Tinggal (masalah) bahwa mereka memberi tahu aku bahwa orang yang lewat melintas di atas kuburan maka ini masalah yang wajib untuk dijauhi dari kuburan dan tidak ada jalan keluar kecuali harus menjauh dari kuburan, kenapa? Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه حتى تخلص إلى جسده أهون من أن يجلس على قبر
“Sungguh salah seorang dari kalian duduk di atas bara api kemudian membakar kainnya hingga tembus ke tubuhnya itu lebih ringan dari duduk di atas kuburan.”
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لأن يطأ أحدكم على جمرة فتخلص إلى قدمه أهون من أن يطأ على قبر
“Sungguh salah satu dari kalian berjalan di atas bara api kemudian tembus ke kakinya itu lebih ringan dari menginjak kubur.”
Dan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seorang pria berjalan dengan kedua sandalnya di antara pekuburan maka beliau menegur:
ياصاحب السبتيتين اخلعهما فقد آذيت
“Wahai pemilik kedua utas tali sandal, lepaskanlah keduanya karena Anda sungguh telah menyakiti.”
Yakni bahwa orang-orang yang telah mati tersakiti oleh sebab orang yang berjalan di atas kuburan mereka dengan sandal-sandal orang tersebut, dan tidak ada jalan di sana untuk Anda katakan: aku akan memindahkan kuburan dan aku akan menguburnya di tempat lain dan aku akan buatkan jalan untuk diriku. Tidak, ini bukanlah solusi. Kenapa? Karena Abu Daud telah meriwayatkan di dalam Sunan nya dan Imam Ahmad di dalam Musnad nya dari ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كسر عظم الميت ككسره حياً
“Mematahkan tulang-tulang mayit seperti mematahkannya di kala hidup.”
فإن وجدت طريقاً تدخل منها إلى المسجد من دون أن تطأ القبور فلا بأس بذلك، وإلا بنيتم مسجداً آخر والله المستعان. وهذا المسجد يعطل لأن المشي على القبور يعتبر محرماً، والله المستعان
Maka jika Anda menemukan sebuah jalan masuk dari pemakaman tersebut menuju masjid dengan tanpa menginjak-injak kuburan maka tidak mengapa yang demikian, namun jika tidak maka kalian bangun masjid lain, wallohul musta’an. Dan masjid ini dibiarkan tidak berfungsi karena berjalan di atas kuburan tergolong haram, wallohul musta’an.

(Ijabatus Saail hal. 199 – 201)

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu Abduh

WA Ahlus Sunnah Karawang

###

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad hafizhahullah

Pertanyaan: Bagaimana hukum shalat di masjid yang di sekitarnya (depan, belakang, kanan atau kiri) ada kuburan walaupun hanya satu kuburan. Jadi masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan (kuburan berada di luar dinding masjid dengan jarak  ±2 atau 3 meter) atau kuburan tersebut tidak berada di luar masjid?

Jawab:

Berkaitan dengan permasalahan ini maka perlu dibahas dari dua sisi:
1. Shalat di area pekuburan.
2. Shalat menghadap ke kuburan.

Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hal. 467): “Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami (kalangan fuqaha Hanabilah) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal).”

Syaikhul Islam  juga berkata di dalam kitab yang sama pada halaman 460 berkenaan dengan masjid yang di bangun di atas kuburan (kuburannya ada di dalam masjid): “Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab kami (madzhab Hambali) shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat  dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  terhadap perkara itu.”

Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm. (Lihat Ahkamul Janaiz karya Al-Albani hal. 273-274)

Dan pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat Al-’Ilmiyyah hal. 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/232-236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset). Begitu pula Ibnul Qayyim menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200.

Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan 3 dalil:

1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri  yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462-463, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 270, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (1/277-278), bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”

2. Hadits ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Allah melaknat Yahudi dan Nashara dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529)
Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim hal. 462 berkata:
“Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana, karena hal itu juga masuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah (setelah meriwayatkan hadits di atas): “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah akan ditampakkan *), akan tetapi beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan  masjid.” Dan bukanlah maksud ‘Aisyah  pembangunan masjid semata, karena para shahabat radhiallahu anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Jadi maksud Aisyah  adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan setiap tempat shalat maka itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah:  “Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).” (HR. Al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir)

3. Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.

Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni (kuburan)nya baru satu, atau dua, dan seterusnya (karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3 kuburan atau lebih). Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan. Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha (hal. 460) dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/235). Dan hukum ini berlaku sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).

Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata: “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dulu) maka wajib hukumnya untuk membongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid. Namun shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang yang shalat) maka shalatnya batal.”

Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke kuburan (dalam arti dia di luar area pekuburan) tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni (2/50), Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat hal. 25, Ibnu Hazm dan ini merupakan pendapat Al-Imam Ahmad sebagaimana diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hal. 273-274. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/247) setelah beliau menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), kemudian beliau berkata: “Kalau dikatakan bahwa shalatnya tidak sah maka sungguh sisi kebenarannya kuat, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad Al-Ghanawi:
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Dan juga karena alasan dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan. Maka selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian maka shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas): “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.” Jadi larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat, maka barangsiapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara demikian. Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan? Kami katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan dengannya. Namun jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan maka tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan. Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat. Namun ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”

Jika demikian maka apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hal. 200. Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari Al-Imam Ahmad (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah. (Lihat Al-Ikhtiyarat hal. 20)

Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di situ tetap sah sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para shahabat radhiallahu anhum. Lihat Al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.

Sumber: Asy Syariah Edisi 013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar