Cari Blog Ini

Rabu, 22 Oktober 2014

Tentang BERSUCI DENGAN AIR YANG TERCAMPUR SESUATU

Bolehkah berwudhu dengan air bak mandi yang terkena percikan sabun hingga berubah warna, bau, dan rasanya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari:

Air yang mengalami perubahan dari aslinya, baik perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh campuran unsur lain yang suci, namun tidak didominasi oleh campuran tersebut dan masih tetap dinamakan air, tetap suci dan menyucikan (thahur). Seperti perubahan air bak yang bercampur dengan percikan sabun, air kolam yang kejatuhan daun-daun, air sawah yang bercampur tanah, atau yang lainnya. Ini tetap dinamakan air dan sah untuk wudhu atau mandi. Berbeda halnya dengan air yang dicampur dengan bahan minuman seperti susu, kopi, teh, atau bumbu masakan, dan semacamnya, yang mendominasinya dan mengubah namanya menjadi nama lain, sehingga tidak lagi dinamakan air secara mutlak. Misalnya, dinamakan minuman teh, kopi, susu, atau kuah, dan yang semacamnya. Yang seperti ini sudah tidak termasuk kategori air yang menyucikan, meskipun suci. Dengan demikian, jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berwudhu dengan air laut. Padahal air laut telah berubah rasanya menjadi asin dengan perubahan yang sangat drastis dari asal rasa air yang tawar. Demikian pula perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggunakan air yang dicampuri daun bidara (yang telah ditumbuk halus) bagi wanita yang mandi suci dari haid/nifas dan dalam memandikan jenazah. Padahal campuran daun bidara tersebut tentu saja akan memberi perubahan pada air. Lebih dari itu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air yang mengalami perubahan warna, bau, atau rasa oleh campuran unsur lain, tidak lagi termasuk kategori air yang menyucikan.

Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/17-20 cet. Darul Wafa’), Asy-Syaikh As-Sa’di di dalam Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah (hal. 12-13), Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa (10/19-20), dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/38, 44, cet. Muassasah Asam). Ini juga adalah mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Kalau pun terjadi perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh benda najis yang bercampur dengannya, air itu bernajis dan sudah tidak suci lagi. Salah satu saja dari tiga sifat tersebut yang berubah, baik warna, bau, atau rasanya, maka air itu telah ternajisi dan tidak sah untuk wudhu atau mandi.
Kesimpulannya, air hanya terbagi menjadi dua:
1. Air yang suci lagi menyucikan (thahur), meskipun berubah sebagian sifatnya oleh campuran unsur suci, selama tidak mengubahnya keluar dari nama air ke nama lain. Jenis ini sah untuk wudhu dan mandi.
2. Air yang ternajisi oleh unsur najis yang mengubah salah satu sifatnya, baik warna, bau, maupun rasanya. Jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy Syariah, no. 60/V/1431 H/2010, hal. 72-73

###

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Tanya:
Apa hukumnya menggunakan air yang berubah warna dan rasanya dengan sebab diberi campuran bahan-bahan kimia, untuk membunuh kuman-kuman penyebab penyakit. Apakah bahan-bahan tersebut berpengaruh terhadap (kesucian) air ataukah tidak?
Jazakumullah khairan.

Jawab:
الحمد لله وصلى الله وسلم على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن اهتدى بهداه، أما بعد
Air tersebut, yang berubah karena campuran bahan-bahan yang suci, untuk tujuan kemashlahatan orang yang meminumnya, maka ITU TIDAK MENGAPA. Tidak berpengaruh (terhadap kesucian air, pen) selama air itu masih bernama air. Air tersebut BOLEH DIGUNAKAN UNTUK MINUM DAN YANG LAINNYA (termasuk untuk bersuci, pen).
Sebagaimana tidak berpengaruh pula kalau seandainya air itu tercampuri dengan kayu, dedaunan yang jatuh padanya, debu, atau yang semisal itu.
Adapun apabila bahan-bahan tersebut mengubah air sampai keluar dari penamaan air, sehingga diberi nama dengan nama lain, seperti menjadi teh, atau susu, maka itu tidak lagi disebut dengan air, TIDAK BOLEH digunakan untuk wudhu’ dan tidak bisa menghilangkan najis.
Namun selama namanya masih tetap air, maka itu adalah air yang baik walaupun sudah tercampur dengan bahan-bahan tertentu.
(Fatwa Nuur ‘ala ad-Darb 5/8)

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Bismillah. Bolehkah berwudhu langsung di bak mandi dan bagaimana jika bak mandinya ada kotoran cecak atau di dalam bak mandi ada ikannya? 085334XXXXXX

1. Tidak mengapa berwudhu langsung dari bak mandi.
2. Air bak mandi yang kejatuhan tahi cecak tidak menjadi najis karenanya, tetap suci lagi menyucikan.

al-Ustadz Muhammad as-Sarbini

http://asysyariah.com/tanya-jawab-ringkas-7/

Tentang KALIGRAFI

Ringkasan dari fatwa Lajnah Al-Fatawa fi Riasah Idarat Al-Buhuts wal Ifta wad Da’wah wal Irsyad, yang ketika itu masih diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dengan wakil beliau Asy-Syaikh Abdurrazzaq ’Afifi:

Allah telah menurunkan Al Qur’an dengan sifat yang Dia nyatakan dalam ayat-ayat berikut ini:
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah datang kepada kalian nasehat (pelajaran) dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an sesuatu yang menjadi penyembuh (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dan Al Qur’an itu tidaklah menambah bagi orang-orang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra: 82)
Allah pun mengutus Nabi-Nya untuk menjelaskan Al Qur’an dan merinci hukum-hukum yang ada dalamnya agar manusia menjadikan ajaran beliau sebagai bimbingan dalam memahami Kitabullah. Allah nyatakan hal ini dalam firman-Nya:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Qur’an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, mudah-mudahan mereka mau berfikir.” (An-Nahl: 44)
Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mendakwahkan Islam dan Nabi-Nya pun menjalankan dengan sebaik-baiknya. Beliau berdakwah di hadapan para shahabatnya, memberikan nasehat dan peringatan. Beliau mengirim surat kepada para raja dan para pembesar, di samping mendatangi secara langsung orang-orang kafir di majelis mereka untuk mengajak kepada Islam.

Dari seluruh perjalanan hidup beliau shallallahu alaihi wasallam, tidak pernah diketahui beliau menulis satu surat dari Al Qur’an, atau satu ayat darinya ataupun sebuah hadits atau nama-nama Allah pada lembaran-lembaran atau piringan-piringan untuk digantung di dinding dan di tempat lainnya, dengan tujuan menjadikan sebagai hiasan atau untuk tabarruk (mencari berkah) ataupun dengan maksud sebagai perantara untuk mengingatkan, menasehati dan pelajaran bagi yang melihat dan membacanya. Sepeninggal beliau shallallahu alaihi wasallam, para Al-Khulafa Ar-Rasyidun berpegang dengan petunjuk beliau, demikian pula para shahabat yang lain dan para imam setelah mereka yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai sebaik-baik generasi. Sama sekali tidak pernah diketahui mereka menulis sesuatu dari Al Qur’an, hadits-hadits nabawiyyah ataupun Al-Asmaul Husna pada lembaran, piringan ataupun pada kain untuk digantung sebagai hiasan di dinding, atau digantung dengan tujuan sebagai peringatan. Padahal mereka adalah orang yang paling paham akan Islam dan paling bersemangat terhadap kebaikan. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Dengan begitu, jelaslah bagi kita bahwa membuat dan memasang kaligrafi dari ayat Al Qur’an, hadits ataupun Al-Asmaul Husna, dengan tujuan apapun adalah perbuatan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para shahabat dan para imam salaf. Betapa kita saksikan, surat ataupun ayat Al Qur’an yang dipajang itu tidak diagungkan dengan semestinya. Terkadang bila telah usang terbuang begitu saja, terinjak oleh kaki dan tersia-siakan. Padahal seorang muslim harus mengagungkan Kitabullah dan juga Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam yang shahih, menjadikannya sebagai menara dan pedoman hidup. Dan pengagungannya bukan dengan dipajang sedemikian rupa, namun semestinya Al Qur’an itu dibaca, dipikirkan, dipelajari, dipahami dan ditelaah keterangannya dari Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu berusaha diamalkan dalam ibadah dan muamalah. Dengan begitu akan tercurah barakah Allah dan terlimpah pahala-Nya, yang hal ini tidak akan didapatkan oleh mereka yang hanya menjadikannya sebagai pajangan.

Satu hal yang patut pula menjadi perhatian bahwa memasang kaligrafi ini merupakan satu bentuk tasyabbuh (meniru) perbuatan orang-orang kuffar dari kalangan Nasrani yang biasa memajang salib di rumah dan majelis mereka untuk membedakan mereka dengan kaum muslimin. Atau seperti orang-orang Hindu yang memiliki kebiasaan menggantung dupa di rumah mereka. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

~~~

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah dalam salah satu khutbahnya di Masjid Al-Jami‘ul Kabir di ‘Unaizah (1404 H) juga pernah menyinggung masalah ini. Di antaranya beliau katakan:

Sebagian besar manusia biasa menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an di majelis mereka. Aku tidak tahu mengapa mereka melakukan hal tersebut. Bila mereka melakukannya dalam rangka ibadah kepada Allah, maka hal seperti ini adalah kebid’ahan yang tidak pernah dilakukan oleh pendahulu kita yang shalih. Lalu apakah mereka melakukannya dalam rangka memuliakan Al Qur’an? Maka kita katakan tidak ada yang lebih memuliakan Al Qur’an daripada para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Namun sungguh tidak pernah didapatkan mereka ini menggantung tulisan yang berisi ayat-ayat Al Qur’an. Apakah mereka menggantungnya dalam rangka menolak kejelekan dan gangguan setan? Jika demikian, maka perbuatan demikian bukanlah perantara untuk menolak hal tersebut, namun justru dengan membacanya akan diperoleh penjagaan tersebut seperti membaca ayat Kursi (yakni surat Al-Baqarah ayat 255) ketika hendak tidur maka akan diperoleh penjagaan dari Allah dan setan tidak akan mendekat sampai ia berada di pagi hari (HR. Al-Bukhari no. 2311).

Sesungguhnya cara untuk bertabarruk dengan Al Qur’an adalah membacanya dengan sebenar-benar bacaan, melafadzkan dengan lisan, mengimani dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan sebagaimana Allah berfirman:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Baqarah: 121)

Demikianlah jalan kaum mukminin yakni dengan membaca Kitabullah, bukan dengan menggantungnya. Adakah mereka yang menggantung kaligrafi bertuliskan ayat Al Qur’an itu menginginkan untuk memperingatkan manusia terhadap Al Qur’an? Ternyata dalam prakteknya, tujuan ini tidaklah tercapai. Engkau bisa menyaksikan mereka yang ada di majelis itu tidak ada yang mendongakkan kepalanya untuk membaca tulisan tersebut, atau ada beberapa gelintir orang yang membacanya namun tidak memikirkan apa yang terkandung di dalamnya. Ataukah mereka yang berbuat demikian tidak bermaksud apa-apa kecuali sekedar menjadikan kaligrafi itu sebagai hiasan? Maka sesungguhnya tidaklah pantas Al Qur’an itu dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai sia-sia, sekedar untuk keindahan pandangan mata. Al Qur’an terlalu mulia kedudukannya daripada hanya sekedar dijadikan hiasan. Kemudian, kita dapati di majelis yang padanya ada kaligrafi Al Qur’an, terkadang dibicarakan di situ perkara laghwi (sia-sia), bahkan terkadang ada ghibah, dusta dan caci maki. Terkadang ada alunan musik dan nyanyian yang haram. Maka perbuatan seperti ini jelas merupakan pelecehan terhadap Kitabullah karena digantungkan di atas kepala hadirin yang sedang tenggelam dalam kemaksiatan kepada Allah.

Karena itu aku menyeru kepada segenap saudaraku agar melepaskan kaligrafi yang ada di rumah-rumah dan majelis mereka karena hal itu tidak pantas untuk dilakukan. Satu hal pula yang harus dijauhi adalah menulis Al Qur’an dengan bentuk yang samar (tidak jelas) sehingga sulit dibaca atau bisa keliru ketika membacanya, karena ingin menonjolkan nilai seni semata. Padahal Al Qur’an bukanlah untuk dijadikan hiasan dan lukisan/ukiran. Siapa yang padanya ada tulisan demikian hendaklah ia membakarnya atau menghapusnya agar ayat-ayat Allah tidak dijadikan sebagai bahan permainan dan olok-olok. Wajib bagi kita untuk memuliakan Kitabullah dan menjadikannya sesuai tujuan diturunkannya. Ia adalah nasehat, obat penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidaklah ia diturunkan untuk dipajang dan dijadikan bagian dari seni lukis, ukir dan pahat. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 008

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan: 
يسأل سائل فيقول هل يجوز تعليق بعض آيات القرآن في البيت؟
Bolehkah menggantungkan sebagian ayat Al-Quran di rumah? 

Jawaban:
ما أنزل الله هذا الكتاب إلا ليتلى، وليبتعد بتلاوته، مع التدبر،والعمل بمحكمه، والإيمان بمتشابهه
Tidaklah Allah menurunkan kitab ini melainkan untuk dibaca dan membacanya dalam rangka ibadah, juga mentadabburinya kemudian mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (jelas) dan beriman terhadap ayat-ayat mutasyabih (samar).
واستعمال القرآن في غيرِ ذلك قد يكونُ فيهِ امتهانٌ له، وهذا امتهانٌ له، فلمعلقات سواء من القران أو غيرها واحد ولا عبرة فيها، العبرة بالنظر والنظر الذي يوصل إلى مراضي الله -سبحانه وتعالى- وما ذكرنا من التعبدِ للهِ، بتلاوةِ القرآن، وتدبر معانيه، والإيمانِ بمتشابهه والعملِ بمحكمه
Adapun penggunaan Al-Quran bukan pada perkara-perkara yang kita sebutkan, maka bisa jatuh pada tindakan perendahan terhadap Al-Quran.
Maka gantungan-gantungan yang dimaksud baik dari Al-Quran atau selainnya tidak memberikan faedah.
Akan tetapi yang berfaedah adalah ketika memperhatikan ayat-ayat Al-Quran tersebut dalam rangka mencapai keridoan Allah subhanahu wa taala dan sebagaimana yang kita sebutkan yaitu membaca, mentadabburi dan mengamalkan ayat muhkamnya serta beriman dengan yang mutasyabih.

Sumber: 
ar .alnahj .net/fatwa/119

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia.

Tentang OPERASI UNTUK MENGHILANGKAN CACAT

al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

(Fatwa 1)
Telah sampai sebuah surat dari seorang anak muda dari Republik Arab Mesir, Amin Taufik, yang bekerja di Kerajaan Saudi Arabia di kota Zulfi. Ia mengatakan bahwa dirinya telah dikaruniai seorang anak —walhamdulillah— tetapi di tangan kanannya ada jari yang lebih. Apakah dosa apabila dia hilangkan jari ini? Apakah terkandung dosa dalam pandangan Anda menurut syariat ini?

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab sebagai berikut. Tidak ada dosa menghilangkan jari yang lebih tersebut karena hal itu tergolong menghilangkan aib (cacat), dan yang tergolong menghilangkan aib itu tidak mengapa. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan seseorang yang terpotong hidungnya untuk membuat hidung palsu dari perak. Namun ketika ternyata menimbulkan bau, beliau mengganti dengan bahan dari emas dan Nabi membolehkan hal itu. Di sini wajib kita ketahui perbedaan antara operasi yang tujuannya menghilangkan aib dan operasi yang tujuannya adalah menambah keindahan (kecantikan atau ketampanan).
Kami katakan, operasi yang tujuannya untuk menghilangkan aib diperbolehkan karena maksudnya adalah membebaskan dari sesuatu yang membuat jelek, sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat yang lalu. Adapun operasi yang tujuannya memperindah hukumnya haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pencabutan bulu/rambut wajah, bahkan melaknat orang yang melakukannya, melarang membuat tato, dan melarang mengikir gigi demi memperindah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang menyambung rambut karena dengan itu akan menambah kecantikan bagi wanita.
Oleh karena itu, semua operasi yang tujuannya adalah memperindah maka itu haram karena dikiaskan (dianalogikan) dengan larangan mencabut bulu wajah, membuat tato. Semua operasi yang tujuannya menghilangkan aib diperbolehkan karena dikiaskan dengan perbuatan sahabat tersebut yang membuat hidung palsu dari emas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujuinya. Atas dasar ini, menghilangkan jari yang lebih, menghilangkan tsalul (semacam benjolan di kulit) dan sejenisnya yang tergolong aib serta membuat jelek hukumnya tidak mengapa. Akan tetapi, disyaratkan berkonsultasi dengan dokter spesialis sehingga seseorang tidak menjerumuskan dirinya ke dalam bahaya.
(Fatawa Nurun ‘Alad-Darb)

(Fatwa 2)
Allah Subhanahu wata’ala mengaruniakan kepadaku dua anak. Setiap anak memiliki 24 jari, lebih dari umumnya. Apa pendapat Anda kalau saya hilangkan dengan bantuan dokter?

Jawab:
Para ulama (dahulu) menyebutkan dalam masalah ini bahwa tidak boleh memotong jari yang lebih. Namun yang tampak, hal ini tidak diperbolehkan karena berbahaya bagi orang tersebut apabila jari itu dipotong. Di zaman sekarang ini, bahayanya —walhamdulillah— kecil, dan jauh dari mudarat. Maka dari itu, menurut kami dalam kondisi semacam ini tidak mengapa memotong jari yang lebih yang membuat jelek anggota tubuh. Adapun jika jari yang lebih tadi tidak membuat jelek anggota tubuh, yang semestinya dibiarkan apa adanya.
(Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)

(Fatwa 3)
Saya punya sepupu dan menikahi saudara perempuan saya, lalu melahirkan satu anak laki laki dan satu anak perempuan. Anak perempuan tersebut memiliki enam jari, dan jari yang keenam kecil. Apakah boleh dihilangkan dengan cara operasi?

Jawab:
Ya, diperbolehkan menghilangkan jari dari tangan atau kaki dengan operasi dengan syarat aman dari risiko pada orang tersebut, demikian juga bila ada yang lebih pada selain jari. Terkadang tambahan itu pada telinga, keluar sedikit darinya. Terkadang di kepala ada sesuatu yang turun dari kepalanya. Yang penting, segala yang menjadi aib dan membuat jelek bagian tubuh, tidak mengapa dihilangkan dengan operasi dan diperbagus tempat tersebut dengan syarat aman dari mudarat.
(Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)

(Fatwa 4)
Saya dikaruniai seorang anak perempuan, dan pada telapak tangan kirinya ada yang seperti jari keenam. Sebagian orang menyarankan agar jari yang lebih itu dihilangkan, karena hanya tergantung. Jari tersebut bergerak setiap kali tangannya bergerak. Kami mengharapkan penjelasan tentang hukum Islam terhadap operasi ini. Kami mohon kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Anda mendapatkan taufik.

Jawab:
Tidak mengapa menghilangkan jari yang lebih dari telapak tangan anak wanita tersebut, apabila tidak mengandung risiko (bahaya). Allah Subhanahu wata’ala lah yang memberi taufik. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
(Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz; Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi; Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan)

Sumber: Asy Syariah Edisi 093

Tentang MERAYAKAN DAN MEMPERINGATI TAHUN BARU HIJRIYAH

Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahulloh:
“Bukan termasuk sunnah kita menjadikan ‘ied (hari raya) dengan masuknya tahun baru hijriyah atau (menjadikan kebiasaan) saling mengucapkan selamat.”
[Adh dhiyaul lami' 702]

Al Lajnah Ad Daimah mengeluarkan fatwa (No. 20795):
“Bahwasannya tidak boleh memberikan ucapan selamat tahun baru hijriyah, dikarenakan tidak disyari’atkan untuk memperingatinya.”

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala

Pertanyaan :

Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Al Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

24/1/1418 H

Jawab :

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat.

Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?”
Maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.”
Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.”

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :
Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn
24 – 1 – 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

###

asy-Syaikh ‘Abdul Qadir bin Muhammad al-Junaid

Berkata beliau hafizhahullah di dalam salah satu khutbah jumat beliau ketika menjelaskan tentang beberapa perkara haram yang dilakukan manusia menjelang atau tibanya tahun baru hijriyah:

Di antara perkara-perkara haram tersebut adalah perayaan di masjid-masjid, di rumah-rumah, di tempat-tempat peristirahatan (tempat wisata atau rekreasi), di jalan-jalan, atau tempat-tempat lainnya, dengan mengadakan peringatan Hijrah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah.
Peringatan yang semacam ini tidaklah berjalan di atas sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hal tersebut menentang dan menyelisihi (bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena tidak pernah sekalipun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merayakannya, tidak pula mengajak, atau menghasung umat ini untuk merayakannya.
Peringatan tersebut juga tidak didasari bimbingan generasi Salafush Shalih yang hidup pada tiga abad utama, yang terdepan adalah para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, karena mereka sendiri tidak merayakannya, tidak pula mengajak umat yang hidup di zaman mereka ataupun setelah mereka untuk merayakannya.
Peringatan tersebut juga tidak berjalan di atas bimbingan para ulama madzhab yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad rahimahumullah tidak pula ulama-ulama Islam terdahulu selain mereka, tidak pula mengikuti mereka, karena mereka tidak pernah memperingatinya, mengajak, menghasung siapapun untuk merayakannya.
Para Ulama yang berilmu tentang nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menghukumi permasalahan sesuai dengan hakekatnya (yaitu peringatan tersebut adalah) bid’ah, dan bid’ah merupakan di antara perkara haram yang paling besar dan yang paling besar kejahatannya. Sebuah hadits yang telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperingatkan dari kebid’ahan dalam khutbah-khutbah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﻭَﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻭَﺷَﺮُّ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam syariat agama ini, dan semua bi’dah adalah sesat.”
Begitu pula dalam sebuah hadits, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbah perpisahannya,
ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Waspadalah kalian dari perkara yang diada-adakan dalam agama karena perkara yang diada-adakan tersebut adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
Sebuah riwayat yang telah sah dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
ﻭَﺇِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻟْﺄُﻣُﻮﺭِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ , ﺃَﻟَﺎ ﻭَﺇِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ , ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٌ , ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻠَﺎﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, ketahuilah bahwasannya perkara yang diada-adakan tersebut adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan tempatnya adalah di an-Naar.”
Tidak diragukan lagi bahwasannya semua hal yang tersifati dengan kejelekan, kesesatan, ancaman dengan an-Naar (nereka) merupakan perkara yang keliru, jelek, haram, dan mungkar.

Ketahuilah, mudah-mudahan Allah meluruskan kalian semua, bahwa peringatan semacam ini merupakan tasyabbuh (meniru) 2 kelompok manusia:
1. Orang-orang kafir –apapun agamanya– di mana adat yang berlaku bagi mereka memperingati kejadian-kejadian, peristiwa di hari-hari tertentu, dan perubahan keadaan.
2. Orang-orang sesat dan menyimpang semisal kelompok Bathiniyah, Syi’ah Rafidhah, dan yang setipe dengan mereka.
Merekalah pencetus pertama adanya berbagai perayaan dan peringatan (yang tidak ada bimbingan dalam agama) di negeri Muslimin.
Seorang yang sangat Faqih bermadzhab Syafi’i, sekaligus pakar sejarah yang berasa dari negeri Mesir, yang dikenal dengan al-Miqrizy menjelaskan dalam kitabnya “al-Khithath”:
Peringatan tahun baru Hijriyah merupakan salah satu dari serangkaian perayaan Daulah al-‘Ubaidiyah penganut agama Bathiniyah Isma’iliyah yang sejatinya adalah Syi’ah Rafidhah sekaligus Khawarij, yang berkuasa di negeri Maroko dan Mesir. Daulah ini melakukan berbagai kejahatan terhadap para ulama, para mu’adzin, para penduduk negeri tersebut yang tidak bisa digambarkan seperti pembunuhan, mutilasi, menawan orang-orang perempuan, menjarah harta, merusak milik orang lain, menghancurkan dan membakarnya. Bahkan di antara para pembesarnya ada yang mengklaim derajat Rububiyah (yakni mengaku sebagai Tuhan). Di antara para pembesar tersebut ada yang terang-terangan mencela para Nabi dan para shahabat, bahkan memerintahkan untuk menuliskan celaan-celaan terhadap para sahabat di pintu-pintu masjid. Adapula yang memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf dan masjid-masjid Ahlus Sunnah.
Bahkan dijelaskan oleh ahli sejarahnya kaum muslimin, yaitu Syamsuddin adz-Dzahabi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i rahimahullah di dalam kitab beliau “Siyar A’lamin Nubala” bahwasannya mereka membolak-balikkan Islam, menampakkan (aqidah) Rafidhah, menyembunyikan madzhab Isma’iliyah (salah satu sekte bathiniyah).
Dinukilkan dari al-Qadhi ‘Iyadh al-Maliki rahimahullah, menjelaskan keadaan mereka, “Para Ulama negeri al-Qairawan sepakat bahwasannya keadaan Bani ‘Ubaid adalah dengan keadaan orang-orang murtad dan orang-orang zindiq.”
Tidak ada keraguan lagi bahwa meniru dua kelompok di atas merupakan kejelekan, kerugian serta kebinasaan bagi pelakunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺗَﺸَﺒَّﻪَ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka (kaum tersebut).”
Seorang yang mencintai Sunnah dan mencintai Nabi umat ini Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia, menghormati beliau dan para shahabatnya serta mengagungkannya, AKANKAH DIA RELA MENJADIKAN kaum tersebut yang demikian perbuatan dan sepak terjangnya, yang demikian sejarah kejahatannya, sebagai SURI TAULADANNYA dan PANUTANNYA dalam mengada-adakan acara tersebut?!
Kami, walhamdulillah, dalam peringatan semacam ini dan selainnya, senantiasa bersuri tauladan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para tabi’in dan generasi awal umat ini. MAKA KAMI PUN MENINGGALKAN DAN MENJAUHINYA SEBAGAIMANA MEREKA MENJAUHINYA dan TIDAK MELAKUKANNYA, dengan harapan kami termasuk dari mereka. Kami tidak akan meniru orang-orang kafir, tidak pula meniru orang-orang sesat dan menyimpang dari kalangan al-Bathiniyah al-Isma’iliyah ar-Rafidhah al-Khorijiyah.
Bagi siapa saja yang memiliki akal dan pikiran yang bersih, perlu diketahui bahwa peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam TIDAKLAH TERJADI pada bulan Muharram, tidak pula di hari pertama bulan tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh ahli sejarah, peristiwa hijrah tersebut terjadi pada bulan Rabi’ al-Awwal. Adapun apa yang dilakukan di kalangan shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itu hanya sebatas penentuan tahun Islamiyah dengan tahun Hijrah, yaitu menjadikan peristiwa sebagai tahun pertama, bukan menentukan hari Hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan hari tersebut adalah hari pertama dalam setahun.

Sumber: ar[dot]miraath[dot]net

Tentang BATALNYA WUDHU KARENA MENYENTUH WANITA

Ustadz yang saya hormati, saya ingin menanyakan satu permasalahan. Di daerah saya banyak orang yang mengaku mengikuti madzhab Syafi’iyah, dan saya lihat mereka ini sangat fanatik memegangi madzhab tersebut. Sampai-sampai dalam permasalahan batalnya wudhu’ seseorang yang menyentuh wanita. Mereka sangat berkeras dalam hal ini. Sementara saya mendengar dari ta’lim-ta’lim yang saya ikuti bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’. Saya jadi bingung, Ustadz. Oleh karena itu, saya mohon penjelasan yang gamblang dan rinci mengenai hal ini, dan saya ingin mengetahui fatwa dari kalangan ahlul ilmi tentang permasalahan ini. Atas jawaban Ustadz, saya ucapkan Jazakumullah khairan katsira.
(Abdullah di Salatiga)

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim:

Masalah batal atau tidaknya wudhu’ seorang laki-laki yang menyentuh wanita memang diperselisihkan di kalangan ahlul ilmi. Ada di antara mereka yang berpendapat membatalkan wudhu’ seperti Al-Imam Az-Zuhri, Asy-Sya’bi, dan yang lainnya. Akan tetapi pendapat sebagian besar ahlul ilmi, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan ini yang rajih (kuat) dalam permasalahan ini, tidaklah membatalkan wudhu. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah pernah ditanya dengan pertanyaan yang serupa dan walhamdulillah beliau memberikan jawaban yang gamblang. Sebagaimana yang Saudara harapkan untuk mengetahui fatwa ahlul ilmi tentang permasalahan ini, kami paparkan jawaban Asy-Syaikh sebagai jawaban pertanyaan Saudara. Namun, di sana ada tambahan penjelasan dari beliau yang Insya Allah akan memberikan tambahan faidah bagi Saudara. Kami nukilkan ucapan beliau dalam Ijabatus Sail hal. 32-33 yang nashnya sebagai berikut:

Beliau ditanya: “Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik itu menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram), istrinya, ataupun selainnya?”

Maka beliau menjawab:
“Menyentuh wanita ajnabiyah adalah perkara yang haram, dan telah diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thabrani dalam Mu’jamnya dari Ma’qil bin Yasar radhiallahu anhu mengatakan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh salah seorang dari kalian ditusuk jarum dari besi di kepalanya lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam Shahih keduanya dari Abi Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina, senantiasa dia mendapatkan hal itu dan tidak mustahil, kedua mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya adalah melangkah, dan hati cenderung dan mengangankannya, dan yang membenarkan atau mendustakan semua itu adalah kemaluan.”
Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita ajnabiyah (bukan mahram) tanpa keperluan tidak diperbolehkan. Adapun bila ada keperluan seperti seseorang yang menjadi dokter atau wanita itu sendiri adalah dokter, yang tidak didapati dokter lain selain dia, dan untuk suatu kepentingan, maka hal ini tidak mengapa, namun tetap disertai kehati-hatian yang sangat dari fitnah.
Mengenai masalah membatalkan wudhu atau tidak, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu’ menurut pendapat yang benar dari perkataan ahlul ilmi. Orang yang berdalil dengan firman Allah:
“atau kalian menyentuh wanita…” (An Nisa: 43)
Maka sesungguhnya yang dimaksud menyentuh di sini adalah jima’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma.
Telah diriwayatkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih-nya dari ‘Aisyah radhiallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat pada suatu malam sementara aku tidur melintang di depan beliau. Apabila beliau akan sujud, beliau menyentuh kakiku. Dan hal ini tidak membatalkan wudhu Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Orang-orang yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’ berdalil dengan riwayat yang datang di dalam As-Sunan dari hadits Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu bahwa seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mencium seorang wanita.” Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam terdiam sampai Allah turunkan:
“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang hari dan pada pertengahan malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapuskan kejelekan.” (Hud: 114)
Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berdirilah, kemudian wudhu dan shalatlah dua rakaat.”
Pertama, hadits ini tidak tsabit (kokoh) karena datang dari jalan ‘Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia tidak mendengar hadits ini dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu. Ini satu sisi permasalahan. Kedua, seandainya pun hadits ini kokoh, tidak bisa menjadi dalil bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, karena bisa jadi orang tersebut dalam keadaan belum berwudhu. Ini merupakan sejumlah dalil yang menyertai ayat yang mulia bagi orang-orang yang berpendapat membatalkan wudhu, dan engkau telah mengetahui bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma menafsirkan ayat ini dengan jima’."
Wallahul musta’an.

Sumber: Syariah Edisi 1

###

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari

Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﺃَﻭْ ﻻَﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴﺂﺀَ
“Atau kalian menyentuh wanita.” (An-Nisa: 43)

Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat, Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan.Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)

Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu. Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.

Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri [1] dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Yang dimaukan (oleh ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).”
Beliau juga berkata:
“Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.”
(Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakarnya dan berwudhu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)

Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima ’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﻧﺎَﻡُ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺭِﺟْﻼَﻱَ ﻓِﻲ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺳَﺠَﺪَ ﻏَﻤَﺰَﻧِﻲ ﻓَﻘَﺒَﻀْﺖُ ﺭِﺟْﻠَﻲَّ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﺑَﺴَﻄْﺘُﻬَﺎ
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat) maka bila beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)

Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:
ﻓَﻘَﺪْﺕُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟَﻴْﻠَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﺵِ ﻓَﻠْﺘَﻤَﺴْﺘُﻪُ ﻓَﻮَﻗَﻌَﺖْ ﻳَﺪِﻱ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻄْﻦِ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ ﻭَﻫُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻭَﻫُﻤَﺎ ﻣَﻨْﺼُﻮﺑَﺘَﺎﻥِ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺍﻟﻠّﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﺮِﺿَﺎﻙَ ﻣِﻦْ ﺳَﺨَﻄِﻚَ ﻭَﺑِﻤُﻌَﺎﻓَﺎﺗِﻚَ ﻣِﻦْ ﻋُﻘُﻮْﺑَﺘِﻚَ، ﻭَﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻨْﻚَ ﻻَ ﺃُﺣْﺼِﻲ ﺛَﻨَﺎﺀً ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺃَﻧْﺖَ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﺛْﻨَﻴْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﻔْﺴِﻚَ
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa: Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:
[1] Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.