Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Oktober 2015

Tentang MENGAJARKAN TAUHID KEPADA ANAK KECIL

TERMASUK SUNNAH:
Mengajarkan Tauhid kepada anak-anak sebelum Al-Qur'an

"Bila anak-anak sudah bisa bicara, tuntunlah mereka untuk mengucapkan:
لا إله إلا الله محمد رسول الله
Dan hendaknya awal pelajaran untuk mereka dengarkan adalah:
- Mengenal Allah Subhaanah.
- Mentauhidkan-Nya.
- Dan mengenalkan bahwa Allah di atas 'Arsy melihat mereka, mendengar ucapan mereka, dan bersama mereka dimanapun mereka berada."
(TUHFATUL WADUUD MIN AHKAAMIL MAULUUD,
Karya Ibnul Qayyim rahimahullah)

Diterjemahkan oleh Al Ustadzah Umm Abdirrahman Fathimah حفظها الله
Telah dikoreksi oleh Al Ustadz Abu 'Amr As Sidawiy حفظه الله

Tentang MENYATUKAN SUNNI DENGAN SYIAH

Al Imam Al Muhaddits Ahmad bin Yahya bin Muhammad An Najmi rahimahullahu ta'ala

Perkataan bahwa Syiah dan Ahlussunnah adalah sama, sama-sama bersih, maka pernyataan ini tidaklah muncul melainkan berasal dari orang yang JAHIL atau PENIPU, yang ingin memutarbalikkan fakta.

Apakah orang yang mencela Abu Bakr dan Umar, serta mengkafikan keduanya, bahkan menuduh keduanya sebagai penghianat sama seperti orang yang memuliakan keduanya, ridha kepada mereka, serta menyakini bahwa keduanya adalah orang-orang terbaik umat ini setelah Nabi Alaihi shalatu wassalam?

Apakah orang yang meyakini bahwa dua belas Imam dari keturunan Ahlul bait adalah ma'shum sama seperti orang yang menganggap mereka (dua belas imam tersebut) seperti kaum muslimin yang lainnya?

Apakah orang yang menghambakan anak-anak mereka kepada (keturunan) Ahlul bait, sehingga mereka menamai putranya Abduzzahra, Abdul Husain atau yang semisalnya sama seperti orang yang tidak menghambakan diri kecuali kepada Allah Ta'ala?

Dan hal-hal lainnya.

Bahkan Al Khumaini secara terang-terangan pada sebagian kitab-kitabnya menyebutkan bahwa Al Mahdi Al Muntadhar (Imam Mahdi Yang dinanti versi Syiah) apabila muncul nanti akan mendapatkan keberhasilan yang lebih besar daripada yang diraih oleh Muhammad bin Abdillah Alaihi shalatu wassalam.

Dan sesungguhnya perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah sangatlah jauh, tidak mungkin untuk didekatkan terlebih untuk disatukan, kecuali apabila salah satunya menghilangkan aqidahnya, lalu ridha dengan aqidah lawannya.
Dan ini perkara yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Sunni, sebagaimana hal ini tidak mungkin terjadi pada seorang Syiah, terlebih mengharuskan mereka, apalagi mengharuskan mereka untuk tunduk kepada kebenaran yang ada pada Ahlussunnah?

(Al Mauridul 'adzbuzzalal hal. 162)

Alih bahasa:
Al Ustadz Abdul Haq [Balikpapan] hafizhahullah

TIS | طلب العلم الشرعي

Jumat, 30 Oktober 2015

Tentang WARISAN UNTUK ISTRI YANG DICERAI

Seorang istri ditalak dan masih dalam masa ‘iddah. Suaminya meninggal. Apakah istri mendapatkan harta warisan?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab:

Jika talaknya adalah talak raj’i dan suami meninggal sebelum istri keluar dari masa iddah, istri mendapatkan warisan sesuai dengan bagiannya menurut syariat.

Akan tetapi, apabila suami meninggal ketika istri sudah keluar dari masa ‘iddah, istri tidak mendapatkan warisan. Demikian pula jika talaknya adalah talak ba’in yang tidak bisa dirujuk, seperti wanita yang ditalak dengan imbalan harta (khulu’, -red.), atau yang ditalak ketiga kalinya, atau yang semisalnya yang menghasilkan talak ba’in; istri tidak mendapatkan warisan dari suami yang menalaknya. Sebab, ketika suami meninggal, statusnya tidak lagi sebagai istri.

Yang dikecualikan adalah seorang istri yang ditalak oleh suami yang sedang sakit yang mengantarkannya kepada kematian, dan diduga suami menalak istri tersebut karena ingin menghalangi istri mendapatkan warisan; istri yang ditalak seperti ini tetap mendapatkan warisan —meski talaknya adalah talak ba’in— baik suami meninggal saat masa ‘iddah atau setelahnya, selama istri belum menikah lagi. Ini adalah pendapat yang lebih tepat di antara dua pendapat ulama karena (kaidah) “memperlakukan seseorang berlawanan dengan niatnya”.

(Fatawa ad-Da’wah, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, 2/205; dinukil dari Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, 2/548)

Sumber : Majalah Asy Syariah Edisi 100

Tentang MENDATANGI MASJID TETAPI SALAT BERJAMAAH SUDAH SELESAI

Bolehkah Mengadakan Sholat Berjamaah Berikutnya Ketika Terlambat, di Masjid yang Baru Selesai Sholat Berjamaah? 

Jawabannya: Boleh. Selama hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan sehingga menggampangkan untuk terlambat dan dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan dan kebencian di antara kaum muslimin. Secara asal hukumnya boleh. 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَصْحَابِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَصَلَّى
Dari Abu Said al-Khudry –radhiyallahu anhu- bahwa seorang laki-laki masuk ke masjid saat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah sholat bersama para Sahabatnya. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang (mau) bershodaqoh untuk satu orang ini sehingga sholat bersamanya? Maka berdirilah satu orang laki-laki kemudian sholat (berjamaah bersama orang yang terlambat, pent). (H.R Ahmad) 
عَنْ أَبِى عُثْمَانَ قَالَ: جَاءَنَا أَنَسٌ وَقَدْ صَلَّيْنَا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى بِأَصْحَابِهِ
Dari Abu Utsman beliau berkata: Anas mendatangi kami (di masjid) saat kami telah sholat. Maka beliau (menyuruh) adzan, iqomat, dan sholat bersama para Sahabatnya. (Riwayat al-Baihaqy, dan disebutkan secara ta’liq oleh al-Bukhari dalam Shahihnya)
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا فَجَمَّعَ بِعَلْقَمَةَ وَمَسْرُوقٍ وَالأَسْوَدِ
Dari Salamah bin Kuhail bahwasanya Ibnu Mas’ud masuk ke masjid yang telah ditegakkan sholat (berjamaah), maka beliau kemudian berjamaah dengan Alqomah, Masruq, dan al-Aswad. (H.R Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)

Bagi seorang yang terlambat mendatangi sholat berjamaah, ia bisa memilih melakukan salah satu dari tindakan:

1. Pindah mencari masjid lain untuk sholat berjamaah (seperti yang dilakukan Sahabat al-Aswad), atau

2. Mengadakan sholat berjamaah lagi (seperti yang dilakukan oleh Sahabat Anas bin Malik dan Ibnu Mas’ud)

3. Sholat sendiri-sendiri

4. Pulang ke rumah sholat berjamaah dengan yang ada di rumah. Hal ini juga pernah dilakukan Nabi.
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِى الْمَدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ اَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ
Dari Abu Bakrah bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam datang dari pinggiran Madinah hendak sholat, ternyata beliau dapati manusia telah selesai sholat. Maka kemudian beliau kembali ke rumahnya, mengumpulkan keluarganya dan sholat bersama mereka. (H.R atThobarony, dinyatakan para perawinya terpercaya oleh al-Haitsamy) 

(dikutip dari buku 'Fiqh Bersuci dan Sholat', Abu Utsman Kharisman)

WA al-I'tishom

Tentang MENGKHUSUSKAN BERKURBAN UNTUK ANGGOTA KELUARGA YANG SUDAH MENINGGAL

Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya tentang hukum berkurban, dan apakah boleh mengkhususkannya untuk keluarga yang telah meninggal?

Beliau menjawab,
“Udhiyah (menyembelih hewan kurban, pen) adalah sunnah mu’akkadah bagi orang yang mampu melakukannya. Maka dia hendaknya menyembelih hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya.
Adapun meniatkan berkurban khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal, maka hal itu TIDAK PERNAH teriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam –menurut yang saya tahu– bahwa beliau menyembelih hewan kurban khusus untuk orang yang telah meninggal. Hal ini juga tidak (pernah diriwayatkan) dari para shahabat ketika di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Akan tetapi hendaknya seseorang di dalam berkurban meniatkan untuk dirinya dan keluarganya, dan bila ia meniatkan juga untuk anggota keluarganya yang telah meninggal maka tidak mengapa (yang dilarang adalah mengkhususkan untuk mayit, pen).”
(Majmu Fatawa wa Rasail 25/10)

Di dalam fatwa berikutnya beliau menambah keterangan tentang larangan mengkhususkan berkurban bagi anggota keluarga yang telah meninggal, beliau berkata,
“Kemudian berkurban bukan bagi orang yang telah meninggal, tapi berkurban bagi orang yang masih hidup. Dan berkurban tidak sunnah bagi orang yang telah meninggal.
Dalilnya adalah, bahwasanya syari’at ini hanya bersumber dari sisi Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan as-sunnah telah datang menjelaskan bahwasanya berkurban hanya bagi orang yang masih hidup.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memiliki kerabat-kerabat yang telah meninggal, akan tetapi beliau tidak pernah berkurban KHUSUS bagi mereka. Semua putra dan putri Nabi telah meninggal sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Di antara mereka ada yang meninggal sebelum usia baligh, dan sebagian yang lain setelah usia baligh. Anak laki-laki beliau semuanya meninggal sebelum baligh, sedangkan putri-putri beliau meninggal di usia baligh, kecuali Fathimah yang masih hidup sepeninggal beliau.
Juga ada dua isteri Nabi yang meninggal sebelum beliau yaitu Khadijah dan Zainab bintu Khuzaimah Radhiallahu ‘anhuma.
Demikian pula paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthallib telah terbunuh sebagai syahid, akan tetapi tidak pernah beliau (mengkhususkan) berkurban bagi mereka. Maka (dapat diketahui bahwa) beliau tidak mensyari’atkan berkurban bagi orang yang telah meninggal, dan tidak mendakwahkan hal tersebut.
Atas dasar ini kami katakan, tidak termasuk sunnah (mengkhususkan) berkurban bagi mayit, karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan aku juga tidak mengetahui ada riwayat dari shahabat.
Baik, jika si mayit telah berwasiat untuk disembelihkan hewan kurban baginya maka ditunaikan wasiatnya dengan disembelihkan hewan kurban baginya, dalam rangka menunaikan wasiatnya.
Demikian pula bila si mayit digabungkan bersama orang-orang yang masih hidup, contohnya seseorang menyembelih hewan kurban dengan niat untuk dirinya dan keluarganya, dia meniatkan keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal (maka tidak mengapa).
Adapun mengkhususkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal, maka perbuatan itu bukan sunnah.”
(Majmu Fatawa wa Rasail 25/11)

Sumber:
http://bit.ly/1JCg1CH

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang MEMBUANG MAKANAN SISA

Syaikh Shaleh al Fawzan hafizhahullah

Pertanyaan:
هل في إلقاء بقايا الأكل من الإدام والخضار في دورات المياه ذنب أو حرمة خاصة، وخاصة بأنه لا يوجد مكان لإلقاء تلك الفضلات؟
Apakah membuang sisa makanan berupa lauk dan sayuran pada saluran air itu dosa atau haram yang tertentu, khususnya karena tidak didapati tempat untuk membuang sisa tersebut?

 Jawaban:
لا يجوز إلقاء شيء من الطعام في المحلات القذرة والمحلات النجسة كالحمامات، لأن هذا فيه إهدار وإساءة إلى النعمة وعدم شكر الله. وقد وجد النبي صلى الله عليه وسلم تمرة في الطريق وقال: لولا أني أخشى أن تكون من الصدقة لأكلتها.. وأمر صلى الله عليه وسلم الآكل بلعق أصابعه قبل أن يغسلها أو يمسحها بالمنديل وأمر بأخذ اللقمة إذا سقطت وأماطة ما عليها وأكلها. فدل هذا على أنه لا يجوز إلقاء شيء من الطعام أو من التمر أو من المأكولات في المحلات القذرة والنجسة بل النعم تصان وتحترم ويحتفظ بها لأن ذلك من شكرها ولأن هذه النعم ربما يأتي من يحتاجها ويأكلها ولو من البهائم فإلقاؤها في المزابل لا يجوز. وبهذا نعلم خطورة ما يرتكبه بعض المسرفين الذين يعملون الأطعمة الكثيرة التي تزيد عن الحاجة ثم يلقونها في القمامات، وفي صناديق القمامة، أو في القاذورات هذا من الاستهانة بنعم الله ومن الإسراف الذي حرمه الله فيجب على المسلمين أن يتنبهوا لذلك
Tidak boleh membuang sesuatu dari makanan pada tempat yang kotor dan najis seperti kamar mandi, sebab perbuatan ini termasuk bentuk membuang dengan sia-sia dan berbuat buruk terhadap nikmat serta tidak bersyukur kepada Allah ta'ala. Karena, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mendapat kurma di sebuah jalan lalu bersabda:
“Kalaulah tidak aku khawatirkan kurma ini termasuk sedekah, tentu aku sudah memakannya.”
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seorang yang makan menjilat jarinya sebelum dicuci atau dibersihkan dengan sapu tangan, dan memerintahkan mengambil suapan ketika jatuh dan membersihkan kotoran di atasnya lalu memakannya.
Hal ini menunjukkan atas tidak bolehnya membuang sesuatu dari makanan atau kurma ataupun berupa makanan pada tempat yang kotor dan najis namun suatu nikmat yang hendaknya dijaga, dihargai dan diperhatikan karena hal itu termasuk mensyukurinya dan karena nikmat itu boleh jadi datang orang yang membutuhkannya lalu memakannya meskipun dari hewan, sehingga membuangnya di tempat pembuangan kotoran tidak boleh.
Dan dengan ini kita tahu bahayanya apa yang dilakukan sebagian orang yang boros, mereka membuat banyak makanan melebihi yang dibutuhkan kemudian membuangnya di sampah, kotak sampah atau kotoran yang ini termasuk penghinaan terhadap nikmat Allah ta'ala dan termasuk pemborosan yang diharamkan Allah sehingga wajib atas kaum muslimin memperhatikan hal itu.

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=67884&page=2

Abu Zulfa Anas

WHATSAPP AL-UKHUWWAH

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang MENGIMAMI SALAT DI MIHRAB MASJID

Tanya:
Apakah diperbolehkan shalat dalam mihrab ketika mengimami orang awam di masjid-masjid mereka?

Jawab:
Oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari hafizhahullah

Terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang hukum mihrab.
Sebagian para ulama membolehkan dan dijadikan itu sebagai tanda kiblat pada suatu masjid.
Sebagian para ulama menganggap ini adalah perkara yang muhdats, perkara yang baru, tidak dikenal di zaman rasul shallallahu 'alaihi wa 'ala alihi wasallam.
Adapun seseorang yang mengerjakahn shalat di dalamnya, maka hal ini diperbolehkan.
Terkecuali kalau dia berpendapat bahwa mihrab itu adalah perkara bid'ah dan dia ingin mengingkari suatu bid'ah yang dilakukan, maka dia tidak mengerjakan shalat di tempat tersebut sebagai bentuk pengingkaran. Wallahu a'lam.

http://www.thalabilmusyari.web.id/2015/09/apakah-diperbolehkan-shalat-di-dalam.html

Tentang TATA CARA MENGATUR SHAF DALAM SALAT BERJAMAAH

Pengaturan Shaf Satu Imam dan Satu Makmum Laki-laki  

Dalam sholat berjamaah satu imam dan satu makmum, makmum berada sejajar di sebelah kanan imam.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَانْتَهَيْنَا إِلَى مَشْرَعَةٍ فَقَالَ أَلَا تُشْرِعُ يَا جَابِرُ قُلْتُ بَلَى قَالَ فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَشْرَعْتُ قَالَ ثُمَّ ذَهَبَ لِحَاجَتِهِ وَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوءًا قَالَ فَجَاءَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ خَالَفَ بَيْنَ طَرَفَيْهِ فَقُمْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma beliau berkata: Saya bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dalam salah satu safar  kemudian kami berhenti di tepi sungai. Nabi bertanya: Tidakkah engkau masuk ke sungai wahai Jabir. Aku berkata: Ya. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wsallam turun dan akupun masuk ke sungai. Kemudian beliau menunaikan hajatnya. Kemudian aku letakkan air wudhu untuk beliau kemudian beliau berwudhu. Kemudian beliau berdiri sholat dengan menggunakan satu baju memajukan satu ujung dan memundurkan ujung yang lain. Kemudian aku berdiri di belakang beliau (bermakmum) kemudian beliau mengambil telingaku sehingga aku berdiri di sebelah kanan beliau. (H.R Muslim) 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نِمْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَلَى يَسَارِهِ فَأَخَذَنِي فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ نَامَ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata: Aku tidur di (rumah) Maimunah (bibi Ibn Abbas, istri Rasulullah), pada saat Nabi shollallahu alaihi wasallam bermalam di rumahnya pada malam itu. Kemudian Nabi berwudhu kemudian bangkit sholat. Maka aku berdiri di sebelah kiri beliau kemudian beliau memegangku dan memindahkan aku hingga berada di sebelah kanan beliau, kemudian beliau sholat 13 rokaat, kemudian tidur. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas) 

Jika Awalnya Hanya Berdua (Satu Imam dan Satu Makmum) Kemudian Masuk Satu Makmum Pria Lagi

Dari Jabir radhiyallahu anhuma:
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
…kemudian aku datang hingga berdiri di sebelah kiri Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian beliau mengambil tanganku dan memutarku hingga aku berdiri di samping kanannya. Kemudian datang Jabbar bin Shakhr berwudhu kemudian berdiri di kiri Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengambil tangan kami dan menjadikan kami berdiri di belakang beliau. (H.R Muslim) 

Demikian juga atsar dari perbuatan Umar bin al-Khoththob:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِالْهَاجِرَةِ فَوَجَدْتُهُ يُسَبِّحُ فَقُمْتُ وَرَاءَهُ فَقَرَّبَنِي حَتَّى جَعَلَنِي حِذَاءَهُ عَنْ يَمِينِهِ فَلَمَّا جَاءَ يَرْفَأُ تَأَخَّرْتُ فَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ
Dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah dari ayahnya bahwasanya ia berkata: Aku masuk ke tempat Umar bin al-Khotthob di siang hari, kemudian aku dapati beliau sedang sholat sunnah, maka aku berdiri di belakangnya. Kemudian beliau mendekatkan aku hingga aku berada sejajar di sebelah kanan beliau. Ketika datang Yarfa’ (pelayan Umar), aku mundur maka kami membuat shaf di belakang beliau. (H.R Malik dalam Muwattha’ dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Albany) 

Wanita Sholat Sendirian di Shaf Belakang Para Lelaki dan Anak-anak Lelaki

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu beliau berkata:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
Saya bersama seorang anak yatim sholat di belakang Nabi shollallahu alaihi wasallam sedangkan ibuku, Ummu Sulaim sholat di belakang kami. (H.R al-Bukhari) 

Syaikh Bin Baz juga menjelaskan untuk shaf seorang imam laki dengan seorang wanita (misalnya mahram atau istrinya), maka wanita itu berdiri di belakang Imam, bukan sejajar dengan imam. (Majmu’ Fataawa Bin Baaz (12/194-195)). 

Bolehkah Shaf Wanita Sejajar Laki-Laki dan Terpisah Tabir?

Pada sebagian surau atau masjid, shaf wanita berada di sebelah shaf laki-laki namun terpisah tabir/ dinding. Hal yang demikian Insya Allah sholatnya tetap sah namun menyelisihi kesempurnaan.

Nabi memerintahkan agar para wanita shafnya di belakang shaf laki-laki sebagaimana hadits-hadits di atas. Demikian juga Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
أَخِّرُوْهُنَّ حَيْثُ أخَّرَهُنَّ اللهُ
Akhirkanlah mereka (para wanita) sebagaimana Allah mengakhirkan mereka. (Riwayat Abdurrozzaq, atThobarony)

Larangan Membuat Shaf Terpisah Tiang

Diriwayatkan dari Anas bin Malik:
عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ مَحْمُودٍ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَدُفِعْنَا إِلَى السَّوَارِي فَتَقَدَّمْنَا وَتَأَخَّرْنَا فَقَالَ أَنَسٌ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdul Hamid bin Mahmud beliau berkata: Saya sholat bersama Anas bin Malik pada hari Jumat hingga kami terpaksa berada di antara tiang-tiang. Maka kami ada yang maju dan ada yang mundur (dari tiang). Anas berkata: Kami menghindari ini (shaf terpisah tiang) di masa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. (H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany)
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا
Dari Muawiyah bin Qurroh dari ayahnya beliau berkata: Kami dilarang membuat shaf di antara tiang-tiang di masa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan menghindarinya dengan sangat. (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany)

Para Ulama menjelaskan bahwa larangan membuat shaf di antara tiang itu adalah karena menyebabkan terputusnya shaf. Namun jika tidak sampai membuat terputus, misalkan semua orang dalam shaf itu berada di antara tiang, maka yang demikian tidak mengapa. Al-Imam Malik menjelaskan bolehnya shaf di antara tiang jika masjid penuh.

Keutamaan Berjalan Menutup Shaf

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِب فِي الصَّلاَةِ وَمَا مِنْ خَطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خَطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا
Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak bahunya dalam sholat (berjamaah) dan tidaklah ada suatu langkah yang lebih besar pahalanya dibandingkan langkah seseorang menuju celah dalam shaf kemudian ia tutup. (H.R al-Bazzar, atThobarony, dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany)

(dikutip dari buku 'Fiqh Bersuci dan Sholat', Abu Utsman Kharisman)

WA al-I'tishom

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang SALAT BERJAMAAH DI SHAF DEPAN

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
Kalau seandainya manusia mengetahui (keutamaan dan pahala) pada adzan dan shaf pertama, kemudian tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan mengundi, maka niscaya ia akan mengundinya. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah di paling depan, dan seburuk-buruk shaf lelaki adalah di belakang. Sebaik-baik shaf perempuan adalah di paling belakang dan seburuk-buruknya adalah di paling depan. (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bersholawat kepada shaf-shaf awal. (H.R Abu Dawud dari al-Bara’ bin Azib dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan al-Albany) 

Tentang SALAT BERJAMAAH DI SHAF DEPAN

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
Kalau seandainya manusia mengetahui (keutamaan dan pahala) pada adzan dan shaf pertama, kemudian tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan mengundi, maka niscaya ia akan mengundinya. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah di paling depan, dan seburuk-buruk shaf lelaki adalah di belakang. Sebaik-baik shaf perempuan adalah di paling belakang dan seburuk-buruknya adalah di paling depan. (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bersholawat kepada shaf-shaf awal. (H.R Abu Dawud dari al-Bara’ bin Azib dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan al-Albany) 

Tentang SALAT BERJAMAAH DI SHAF DEPAN

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
Kalau seandainya manusia mengetahui (keutamaan dan pahala) pada adzan dan shaf pertama, kemudian tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan mengundi, maka niscaya ia akan mengundinya. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah di paling depan, dan seburuk-buruk shaf lelaki adalah di belakang. Sebaik-baik shaf perempuan adalah di paling belakang dan seburuk-buruknya adalah di paling depan. (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bersholawat kepada shaf-shaf awal. (H.R Abu Dawud dari al-Bara’ bin Azib dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan al-Albany) 

Tentang ETIKA PEMBERITAAN

ETIKA PEMBERITAAN

Pembawa Berita

Orang yang menyampaikan suatu berita adalah orang yang paham terhadap berita yang disampaikan dan mengetahui kebenaran info yang hendak disajikan, terlebih apabila yang diberitakan berkaitan dengan masalah agama.
Sebab, semua ucapan dan perbuatan hamba akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman-Nya,
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا
“Dan janganlah kamu mengikuti (mengatakan) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)

Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah mengatakan sesuatu yang tidak diketahui oleh yang mengatakannya masuk di dalamnya: persaksian palsu, menuduh orang dengan tuduhan yang tidak benar, mengaku mendengar sesuatu yang dia tidak mendengarnya, dan mengakungaku melihat sesuatu (padahal) ia tidak melihatnya. (Tafsir ath-Thabari, 15/86)

Ketidakakuratan dalam menyampaikan permasalahan agama bisa berdampak luas seperti dihukuminya sesuatu yang halal menjadi sesuatu yang haram, demikian pula sebaliknya. Pembawa berita juga harus menjunjung tinggi amanat ilmiah, menetapi kejujuran, serta memiliki integritas yang tinggi sehingga ia tidak akan memotong berita untuk menimbulkan kekacauan di tengah-tengah masyarakat atau memberikan informasi yang bertentangan dengan realita hanya ingin meraup keuntungan duniawiah.

Pembawa berita sebisa mungkin menggali berita dari sumber yang tepercaya dan dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah ‘azza wa jalla kemudian di hadapan hukum yang adil yang berlaku. Adapun hanya sekadar sangkaan dan terkaan, maka hal ini berbahaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hati-hatilah kamu dari prasangka, karena prasangka adalah berita yang paling dusta.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Memerhatikan Isi Berita

Tentu tidak semua info yang didengar oleh seseorang itu diberitakan karena belum tentu semuanya benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan berdusta bila ia menceritakan semua apa yang ia dengar.” ( HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Yang diberitakan adalah sesuatu yang jelas kebenarannya serta membawa maslahat bagi manusia baik untuk urusan agama maupun urusan dunianya. Pada dasarnya, masyarakat membutuhkan informasi yang benar sehingga mereka akan memiliki sikap yang benar berdasarkan informasi yang telah mereka serap.

Menyikapi Berita

Berita ditinjau dari sumbernya, terbagi menjadi dua macam.

1. Berita yang bersumber dari Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, yang tertera dalam ayat-ayat suci al-Qur’an atau tersebut dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

Berita-berita yang sumbernya adalah wahyu semacam ini harus kita yakini kebenarannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَمَنۡ أَصۡدَقُ مِنَ ٱللَّهِ حَدِيثٗا ٨٧
“Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (an-Nisa’: 87)
Cerita-cerita yang ada dalam al- Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kuat tentang peristiwa di masa lalu bukanlah dongeng yang hampa dari makna. Di dalamnya terkandung pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahnya. Demikian pula berita tentang beberapa hal yang akan terjadi nanti, sesuatu yang nyata terjadinya yang mempunyai maksud di antaranya sebagai berita gembira bagi orang yang taat kepada Allah ‘azza wa jalla serta ancaman bagi yang bermaksiat dan menentang.

2. Berita-berita yang berasal dari manusia.

Berita yang seperti ini tidak selamanya kita yakini kebenarannya. Sebab, sumber-sumber pemberitaan dan media massa saat ini kebanyakan milik orang-orang kafir, fasik, dan orang-orang yang tidak mengenal agama. Orang-orang kafir tentu tidak suka dengan Islam dan kaum muslimin. Bahkan, mereka siap menggelontorkan dana guna menghalang-halangi manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ لِيَصُدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.” (al-Anfal: 36)

Oleh karena itu, kaum muslimin mesti waspada dari pemberitaan mereka yang berkaitan dengan Islam dan muslimin. Sebab, media massa yang mereka miliki dijadikan sarana untuk membuat kesan negatif seputar masalah keislaman. Belum lagi media-media yang dimiliki oleh orang fasik yang tidak lagi mengindahkan norma agama dan kesopanan. Sebagian mereka tidak peduli dengan keakuratan info yang ditebarkan, karena yang dicari hanyalah sensasi dan keuntungan.

Pendek kata, setiap media massa punya misi yang ingin ditebarkan melalui pemberitaan dan yang semisalnya. Sebagai bukti, ketika mengabarkan satu peristiwa, terkadang pemberitaan media tersebut bertolak belakang. Salah satu media memberikan penilaian positif, sementara media yang lain sebaliknya. Hal ini tentu membingungkan masyarakat. Pada tahap berikutnya, masyarakat menjadi korban pembodohan publik. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya tidak mudah percaya dengan berita agar tidak menjadi korban dari pemberitaan yang menyesatkan.

Cara Pemberitaan

Beragam informasi tentang kejadian dan peristiwa yang ada di jagat raya ini, bahkan materi ilmiah sekalipun, tersampaikan kepada khalayak dalam beragam bentuk. Ada yang tersajikan dalam kemasan bahasa, mencakup lisan dan tulisan. Ada juga yang tersampaikan melalui bentuk gambar (visual) dan yang semisalnya.

Pembawa berita yang muslim tentu siap tunduk dengan aturan-aturan agama seputar pemberitaan dan yang lainnya. Di samping keakuratan data yang disiarkan, bahasa yang digunakan juga mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah kamu mengajak bicara suatu kaum yang akal/nalar mereka belum sampai kecuali akan timbul fitnah dari sebagian mereka.” (HR. Muslim)

Di antara kemungkaran dalam masalah pemberitaan adalah pemberitaan diiringi dengan alunan musik. Hal ini dilarang agama sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku orang yang menghalalkan perzinaan, sutra, khamr, dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhari secara mu’allaq, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, dan lain-lain, lihat ash-Shahihah no. 91)
Hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Adapun sutra, boleh dipakai untuk wanita sedangkan haram untuk kalangan lelaki.

Di antara kemungkaran yang lain berkaitan dengan pemberitaan ialah penyiarnya seorang wanita yang mendayu-dayukan suaranya sehingga menggoda para lelaki sehingga timbul syahwat yang diharamkan. Dalam pemberitaan di televisi dan media semisalnya, para penyiar wanita tampil memperlihatkan bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Mereka menampakkan perhiasan, dandanan, serta segala yang menimbulkan godaan dan membangkitkan syahwat yang diharamkan.

Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Saya tidak memandang bolehnya wanita menyamai lelaki dalam hal penyiaran karena suaranya yang merdu akan menyebabkan orang tergoda dengannya. Selain itu, bisa mengantarkan kepada berbaurnya wanita dengan pria saat perekaman acara dan menyepinya wanita dengan pria. Hal ini akan menyeret kepada maksiat.” (Fatawa Islamiah, 4/ 369)

Adapun pemberitaan dengan menampilkan gambar, perlu dirinci. Jika yang digambar bukan makhluk bernyawa, seperti gambar air, gunung, batu, dan semisalnya, hal ini dibolehkan. Adapun gambar makhluk yang bernyawa, telah datang ancaman yang keras tentang hal ini.
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya di hari kiamat adalah para tukang gambar.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apabila kamu mau tidak mau harus menggambar, buatlah (gambar) pohon dan apa-apa yang tidak ada ruhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hukum larangan menggambar makhluk yang bernyawa ini mencakup menggambar dengan tangan, kamera, dan yang sejenisnya.
Disebutkan dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh asy-Syaikh bin Baz rahimahullah, “Menggambar makhluk yang bernyawa dengan kamera atau semisalnya hukumnya haram. Karena itu, orang yang melakukannya harus bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, meminta ampun kepada-Nya, menyesali perbuatan yang telah ia lakukan, dan tidak akan mengulanginya.” (1/670—671)

Adapun gambar/foto untuk membuat KTP, paspor, dan semisal, tidak mengapa karena sifatnya terpaksa dan dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya, para pembaca yang budiman kami persilakan membaca Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (1/660—724) yang membahas masalah gambar.

Dalam menampilkan berita, hendaknya dihindari ilustrasi yang menyesatkan, seperti menggambarkan azab api neraka dengan dibumbui ilustrasi api yang menyala-nyala. Sebab, perkara neraka adalah gaib.

Pemberitaan Tentang Situasi Politik

Di antara yang harus diperhatikan bahwa pemberitaan tentang situasi politik suatu negara diserahkan kepada para ulama dan pemerintah negeri setempat. Seseorang tidak boleh mengeluarkan statemen kondisi suatu negara tempat ia tinggal itu aman atau mencekam. Kita tahu bahwa hati manusia itu lemah dan mudah terpengaruh dengan pemberitaan yang menebar meskipun belum tentu kebenarannya.
Karena itu, pemberitaan tentang situasi politik suatu negara sangat berbahaya bila tidak diserahkan kepada yang berkompeten, yaitu para alim ulama dan pemerintah. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ لَٱتَّبَعۡتُمُ ٱلشَّيۡطَٰنَ إِلَّا قَلِيلٗا ٨٣
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah ‘azza wa jalla kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa’: 83)

Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Ini adalah pengajaran (teguran) dari Allah ‘azza wa jalla untuk para hamba-Nya terhadap perbuatan mereka yang tidak pantas, yaitu bahwa yang seyogianya mereka lakukan bila datang kepada mereka suatu perkara (berita) yang penting dan maslahat umum terkait dengan kondisi aman dan menyenangkan kaum mukminin atau kondisi takut yang padanya ada musibah.
Hendaknya mereka mengecek terlebih dahulu kebenarannya dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Mereka seharusnya mengembalikan berita itu kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang memegang kendali perkara/para penguasa, orang-orang yang jauh pandangannya, ahli pikir, berilmu, tulus, berakal, dan pandai; yang mengetahui masalah serta maslahat dan mudaratnya.
Apabila orang-orang tersebut memandang disebarkannya berita tersebut ada maslahatnya untuk menyemangati kaum mukminin, menyenangkan mereka, dan terjaganya mereka dari musuh; merekalah yang akan menyiarkannya.
Sebaliknya, jika mereka memandang penyebaran berita itu tidak ada maslahat atau ada maslahatnya namun mudaratnya lebih banyak, mereka tidak akan menyiarkannya.
Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla mengatakan,
لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri).” (an-Nisa: 83)
Maksudnya, mereka (para penguasa, ulama, dan pakar di bidangnya) bisa mengeluarkan pernyataan dengan pikiran dan pandangan mereka yang tepat serta dengan pengetahuan yang benar.
Di sini ada dalil tentang sebuah prinsip dalam masalah etika, yaitu apabila terjadi pembahasan tentang suatu perkara, sepantasnya diserahkan kepada yang berkompeten dan yang ahli serta tidak mendahului mereka. Sikap yang seperti ini lebih dekat kepada kebenaran dan lebih bisa selamat dari kekeliruan.
Padanya (juga) ada larangan dari sikap terburu-buru untuk menebarkan perkara di saat mendengarnya.
Padanya ada perintah untuk meneliti sebelum berbicara dan menimbang apakah padanya ada maslahat sehingga seorang akan melakukannya atau memandang tidak ada maslahatnya lalu ia menahan diri darinya?” (Tafsir as-Sa’di surat an-Nisa ayat 83)

Berhati-hati Menyebarkan Berita Kriminalitas

Sangat disayangkan, media massa saat ini umumnya menyuguhkan berita kriminal, kekejian, dan asusila secara vulgar. Berita kriminal memang banyak diminati oleh pembaca dan pemirsa. Akan tetapi, dampak buruk dari pemberitaan seperti ini sangat jauh. Di antaranya:

Masyarakat akan menyikapi kriminalitas sebagai hal yang biasa karena seringnya berita seperti ini disuguhkan. Bahkan, berita seperti ini akan mendorong sebagian orang untuk melakukan kriminalitas karena memandang banyaknya orang yang melakukannya dan ringannya hukuman atas pelaku kejahatan yang terkadang diberikan.

Peran media semestinya tidak hanya sebatas menyiarkan berita, tetapi berusaha mencarikan solusi agar kriminalitas bisa diberantas habis atau setidaknya bisa ditekan. Adapun menyajikan berita kriminalitas hanya sebagai info yang menghibur, sungguh sangat bertentangan dengan norma agama.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ ٱلۡفَٰحِشَةُ فِي ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ١٩
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah menampakkan dan menyiarkan perzinaan.” (Ma’alimut Tanzil, 3/333)
Kalau seperti ini hukuman orang yang ingin/suka untuk tersebarnya kekejian, lalu bagaimana kiranya orang yang menebarkannya?!

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Orang yang (pertama) mengucapkan kekejian dan yang menebarkannya dosanya sama.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 247)

Bahkan, ‘Atha rahimahullah berpendapat bahwa orang yang menebarkan berita perzinaan diberi hukuman sebagai pelajaran bagi yang lain. (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 249)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya, “Apa hukum orang yang menyiarkan berita yang menebar (isu) di antara manusia?”
Beliau menjawab, “Berita yang menebar itu ada dua macam: berita kebaikan dan berita kejelekan. Orang yang menebarkan sesuatu yang mengandung kebaikan di tengah manusia, seperti memberitakan kebid’ahan ahli bid’ah, ucapan seorang atheis, atau yang serupa agar diwaspadai, dia telah melakukan tindakan terpuji. Sebab, hal ini akan menjaga manusia dari kemungkaran tersebut.
Adapun orang yang menebarkan kejelekan agar kekejian tersebar di tengah kaum mukminin, yang seperti ini haram atasnya dan tidak halal, dikarenakan akan timbul kemudaratan yang bersifat khusus dan bersifat umum.
Seseorang seharusnya menyikapi/mempergauli manusia dengan sesuatu yang ia suka jika mereka mempergaulinya dengannya. Hendaknya seorang mencintai bagi mereka apa yang ia cintai untuk dirinya. Jika seseorang tidak suka cacatnya tersebar di tengah manusia, sebagai sikap yang adil ia juga tidak menebarkan cacat orang lain.” (Fatawa Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 946)

Seperti diketahui bahwa yang namanya manusia itu tidak luput dari cacat dan kekurangan. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban atas seorang muslim terhadap saudaranya se-Islam untuk menutupi cacatnya dan tidak menebarkannya kecuali dalam kondisi yang terpaksa.

Suka tersebarnya kekejian di tengah orang yang beriman memiliki dua makna:
1. Suka tersebarnya kekejian di tengah masyarakat muslim. Misalnya, orang yang menayangkan film cabul dan menebarkan majalah/surat kabar yang porno dan buruk yang mendorong kepada pelacuran. Mereka ingin menggoda agama seorang muslim dengan tayangan tersebut. Berapa banyak kriminalitas terjadi di tengah masyarakat karena tayangan seperti ini.
2. Suka tersebarnya kekejian pada seorang muslim secara khusus, bukan ditebarkan di tengah masyarakat secara umum.
Orang seperti ini juga diancam dengan azab yang pedih. (Diringkas dari penjelasan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam syarh Riyadhush Shalihin bab “Satru ‘Auratil Muslim”)

Berita Provokatif

Di antara macam pemberitaan yang menimbulkan dampak buruk yang sangat serius adalah pemberitaan yang mengangkat kejelekan pemerintah yang pembawa berita ada di negeri tersebut atau tidak.

Berita provokatif bisa menjadi pemicu munculnya gelombang perlawanan dan pemberontakan terhadap penguasa yang sah seperti yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa negara di belahan bumi.

Akibat dari munculnya aksi perlawanan kepada pemerintah adalah hilangnya ketenteraman yang sebelumnya dirasakan segenap lapisan masyarakat. Rakyat saling curiga dengan penguasa yang bisa berujung saling menumpahkan darah.

Sangat disayangkan bahwa kebebasan berpendapat dijadikan tameng untuk tersebarnya berita provokatif ini. Padahal, sejatinya hal ini telah menabrak rambu-rambu agama dan bentuk kebebasan yang keterlaluan.

Semua kita tahu bahwa penguasa itu adalah manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan kealpaan, sehingga mereka membutuhkan bimbingan dan nasihat. Akan tetapi, agama telah menjelaskan cara menasihati para penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَأَنْ يَنْصَحَ لِذِى سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْبِهِ فَإِنْ قُبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّاكَانَ قَدْأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ
”Barang siapa ingin menasihati penguasa, maka janganlah ia menampakkan secara terang-terangan. Akan tetapi, ia memegang tangannya lalu menyepi bersamanya. Bila nasihatnya diterima, maka itu yang diharapkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan yang menjadi kewajibannya.” (HR. Ibnu abi ‘Ashim dari ‘Iyadh bin Ghunmin radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hadits sahih dalam Zhilalul Jannah)

Dalam hadits ini disebutkan cara menasihati penguasa yaitu dengan sembunyi-sembunyi dan tidak terang-terangan di hadapan khalayak. Cara seperti ini tentu akan lebih bisa diterima daripada nasihat yang disampaikan dari atas mimbar, podium, atau surat terbuka untuk penguasa yang bisa diketahui khalayak.

Asy-Syaikh Ibnu Baz berkata, “Membeberkan kejelekan penguasa dan menyebutkannya di atas mimbar bukan cara salaf (pendahulu umat Islam yang baik). Sebab, cara yang seperti ini bisa mengarah kepada penggulingan kekuasaan, tidak didengar dan tidak ditaatinya penguasa dalam kebaikan dan akan menyeret kepada pemberontakan yang menimbulkan mudarat dan tidak mendatangkan kebaikan.
Akan tetapi, cara yang dilakukan oleh salaf adalah penyampaian nasihat antara ia dengan penguasa (secara sembunyi-sembunyi) dan menulis (nasihat) kepadanya atau menghubungi ulama mengenal baik penguasa agar ulama tersebut mengarahkan penguasa tersebut kepada kebaikan. (Mu’amalatul Hukkam hlm. 43, karya Abdus Salam Barjas)

Nasihat Bagi Wartawan

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pemberitaan disamping memberikan info yang mungkin dibutuhkan oleh masyarakat ia juga merupakan cara yang efektif untuk memengaruhi pandangan umum masyarakat dan sarana penggiringan opini.
Karena dampak yang luas dari pemberitaan, tentu para pewarta harus berhati-hati dalam memberikan info. Seorang wartawan muslim tentu memiliki jati diri yang berbeda dengan para wartawan yang nonmuslim. Wartawan muslim akan menjadikan tugas yang diembannya untuk membela Islam dan mengangkat kaum muslimin dari keterpurukan. Keimanannya kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari pembalasan menjadikannya berhati-hati dalam berbuat dan berucap.

Berikut beberapa nasihat untuk para wartawan:

1. Hendaknya yang mereka suguhkan adalah sesuatu yang bermanfaat baik dalam perkara dunia dan agama.

2. Mengambil berita dari sumber yang tepercaya, bukan dari sumber yang tidak jelas kejujurannya apalagi hanya sekadar mendengar atau melihat tanpa melakukan penelitian lebih dalam.

3. Menghindari pemberitaan yang sifatnya gosip dan kabar burung karena bisa mencemarkan nama baik seseorang tanpa ada bukti yang jelas. Perlu diketahui bahwa kehormatan pribadi seorang muslim itu dijaga oleh agama dan haram untuk dibicarakan tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh agama.

4. Mengemas berita dengan bahasa yang santun dan mudah dipahami. Yang terpenting menghindari kata atau kalimat yang bertentangan dengan agama. Hal ini bisa tercapai bila para wartawan mereka membekali diri mereka dengan ilmu agama. Jangan sampai karena sibuk dengan profesinya, mereka lupa dari menimba ilmu agama dan menjalankan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Ingat, semua kita akan berpulang menghadap Allah ‘azza wa jalla dan akan meninggalkan dunia yang fana ini beserta kegemerlapannya.

5. Waspada dari memberitakan sesuatu yang kontroversial, semata-mata hanya ingin mendapatkan keuntungan duniawi yang semu lagi menipu.
Jangan karena ingin menaikkan oplah atau mengangkat rating sehingga menabrak aturan agama dan tidak memedulikan kehormatan orang. Ingatlah, semua aktivitas kita akan dimintai pertanggung jawabannya di sisi Allah ‘azza wa jalla.

6. Jangan tergesa-gesa menyiarkan berita karena kejar tayang atau ingin menampilkan yang unik sebelum segala sesuatunya diteliti dan dipikirkan lebih jauh.

7. Di antara yang harus diwaspadai oleh wartawan adalah upaya pemerasan melalui pemberitaan seperti meminta sejumlah uang dari orang yang diketahui bahwa orang tersebut tersandung kasus.
Bila tidak ingin diberitakan kasusnya dan dibeberkan aibnya, dia harus memberikan sejumlah uang yang dimintai oleh wartawan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ١٨٨
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 188)

8. Demikian pula seorang wartawan muslim tidak boleh menutup-nutupi hakikat berita yang harus disampaikan karena adanya iming-iming harta benda atau ditakut-takuti oleh sebagian pihak. Independensi wartawan muslim dan integritasnya diuji oleh hal seperti ini.

9. Jadilah wartawan yang mampu menyuguhkan yang terbaik untuk manusia dan memberi kontribusi bagi umatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ للِنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bisa memberi manfaat bagi orang lain.” (Hadits hasan riwayat al-Qudha’i dari Jabir radhiallahu ‘anhu seperti yang disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

10. Berusahalah menjadi orang yang bisa membuka pintu harapan dan kebaikan dan mewaspadai menjadi sebab dibukanya pintu kejelekan melalui Anda.
Nabi bersabda, “Sesungguhnya di antara manusia ada orang yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Ada pula manusia orang yang menjadi pembuka kejelekan dan penutup kebaikan. Beruntunglah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kebaikan melalui tangannya dan celakalah orang yang Allah ‘azza wa jalla jadikan kunci kejelekan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Berusahalah menjadi teladan dalam kebaikan sehingga pahala akan Anda dapat dari upaya Anda dan orang yang mengikuti Anda dalam kebaikan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman

http://asysyariah.com/etika-pemberitaan-dalam-islam/

Kamis, 29 Oktober 2015

Tentang TATA CARA SALAT WITIR

Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin Rohimahulloh

Pertanyaan:
فضيلة الشيخ، ذكرت الوتر وفقك الله، أرجو أن تبين لنا صفة صلاة الوتر بخمس وتسع وإحدى عشرة فإني لا أعرف صفتها؟
Fadhilatus Syaikh, Anda telah sebutkan tentang witir وفقـــك الله .
Saya berharap Anda mau menjelaskan kepada kami tata cara shalat witir, baik yang dengan 5, 7, 9, atau 11 rakaat, karena saya belum tahu tata caranya.

Jawaban:
الإيتار بواحدة واضح. بثلاث لك فيه صفتان: إما أن تسلم من ركعتين وتأتي بالثالثة، وإما أن تقرن الثلاث جميعاً بتشهد واحد، ولا تجعلها كالمغرب. بالخمس: تسردها ولا تجلس إلا في آخرها.  بالسبع: تسردها ولا تجلس إلا في آخرها. بالتسع: تجلس بعد الثامنة وتقرأ التشهد ولا تسلم، ثم تأتي بالتاسعة وتسلم. بالإحدى عشرة: تأتي بها مثنى مثنى وتوتر بواحدة
Shalat witir dengan SATU RAKAAT sudah jelas. 
TIGA RAKAAT
Anda bisa kerjakan dengan 2 cara:
- Anda bisa mengerjakan dua rakaat kemudian salam, lalu Anda tambah rakaat yang ketiga (terpisah -pent).
- Boleh juga Anda kerjakan tiga rakaat langsung dengan satu tasyahud.
Namun jangan Anda kerjakan seperti tata cara Sholat Maghrib.
LIMA RAKAAT
Anda sambung dan jangan duduk (tasyahud -pent) kecuali pada rakaat yang terakhir.
TUJUH RAKAAT 
Anda sambung dan jangan duduk (tasyahud -pent) kecuali pada rakaat terakhir.
SEMBILAN RAKAAT
Anda duduk (tasyahud -pent) pada rakaat kedelapan dan membaca bacaan tasyahud dan jangan salam, lalu sempurnakan rakaat ke sembilan kemudian salam.
SEBELAS RAKAAT
Anda lakukan dua-dua (salam pada setiap dua rakaat -pent) dan tutup dengan satu (rakaat ke sebelas -pent).

Abdurrahman Harun

http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/mm_044_42.mp3

F A W A I D  I L M I Y Y A H

Tentang TATA CARA MEMINTA HUJAN

CARA-CARA ISTISQA (Meminta Hujan)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Zaadul Ma’aad (1/456-458):

Telah sah riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau meminta hujan dengan beberapa cara:

1. Pertama: Pada hari Jum’at di atas mimbar di sela-sela khutbah, sambil beliau berdo’a:
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
"Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat, hujan yang bermanfaat, hujan yang bermanfaat."
اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا
"Ya Allah turunkah air kepada kami, Ya Allah turunkah air kepada kami, turunkah air kepada kami."

2. Kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjanjikan hari tertentu untuk bersama-sama keluar ke mushalla (tempat terbuka untuk shalat) [UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT ISTISQA].

3. Ketiga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan dari atas mimbar, hanya doa minta hujan semata, bukan pada hari Jum’at, dan tidak diriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam melakukan shalat dalam kesempatan tersebut.

4. Keempat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan ketika beliau sedang duduk di masjid. Beliau mengangkat kedua tangannya dan berdo’a kepada Allah 'Azza wa Jalla.

5. Kelima, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan di Ahjar Zait dekat dengan az-Zaura’ di luar pintu masjid Nabawi, yang pada hari ini disebut dengan pintu “as-Salam” sejarak lemparan batu berbelok ke arah kanan di luar masjid.

6. Keenam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam meminta hujan pada sebagian peperangan, ketika kaum musyrikin mendahului sampai ke sumber air.

(Dinukil secara ringkas dengan ada sedikit perubahan dari Kitab “Bughyatu al-Mutathawwi’ fi Shalat at-Tathawwu’” hal. 155-156, karya asy-Syaikh DR. muhammad bin 'Umar Bazmul hafizhahullah)

###

TATA CARA SALAT ISTISQA

Dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata,
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَاضِعًا مُتَبَذِّلًا مُتَخَشِّعًا مُتَرَسِّلًا مُتَضَرِّعًا، حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى، فَرَقَى عَلَى الْمِنْبَرِ، وَلَمْ يَخْطُبْ خُطَبَكُمْ هَذِهِ، وَلَكِنْ لَمْ يَزَلْ فِي الدُّعَاءِ، وَالتَّضَرُّعِ، وَالتَّكْبِيرِ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَمَا يُصَلِّي فِي الْعِيدِ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar dengan
- penuh tawadhu’,
- berpakaian biasa tidak berhias,
- penuh khusyu’,
- berjalan pelan, dan
- bersungguh-sungguh memohon (kepada Allah),
hingga tiba di Mushalla (tanah terbuka untuk pelaksanaan shalat, pen).
Beliau pun kemudian naik mimbar dan tidak berkhutbah seperti khutbah kalian ini, namun beliau tetap dalam do’a, memohon dengan sungguh-sungguh, dan bertakbir.
Lalu beliau pun shalat dua raka’at SEPERTI PELAKSANAAN SHALAT ‘ID.”
(HR. Ahmad 1/355, Abu Dawud 1165, at-Tirmidzi 558, an-Nasa’i 1/156, dan Ibnu Majah 1266. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Lihat pula Irwa’ul Ghalil 665)

###

TATA CARA SHALAT ISTISQA’

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah

Shalat Istisqa seperti Shalat ‘Id. Shalat dua raka’at, pada raka’at pertama BERTAKBIR TUJUH (7) KALI, dan pada raka’at kedua BERTAKBIR LIMA (5) KALI.
(RAKA’AT PERTAMA): Bertakbir Takbiratul Ihram, dan bertakbir enam (6) kali setelahnya, kemudian membaca do’a istiftah, kemudian membaca al-Fatihah dan surat yang mudah baginya, kemudian ruku’, bangkit dari ruku’, kemudian sujud dua kali. Lalu berdiri untuk raka’at kedua.
(RAKA’AT KEDUA): Juga dikerjakan seperti shalat ‘Id, ketika sudah berdiri tegak (setelah bangkit dari sujud, pen) dia bertakbir lima (5) kali, kemudian membaca membaca al-Fatihah dan surat yang mudah baginya, … (dst), kemudian membaca at-Tahiyyat, bershalawat kepada Nabi, lalu berdo’a dan salam, mirip dengan shalat ‘id.

Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengerjakan shalat Istisqa seperti ketika beliau shalat ‘Id.

Kemudian bangkit berkhutbah sekali khutbah. Dalam khutbah tersebut:
- Menasehati, mengingatkan, dan memperingatkan umat manusia dari sebab-sebab maksiat dan sebab-sebab terjadinya kekeringan.
- Memperingatkan mereka dari berbagai maksiat karena itu merupakan sebab terjadi kekeringan dan sebab tertahannya hujan, sekaligus sebab datangnya hukuman (dari Allah, pen).
- Memberikan dorongan kepada umat manusia untuk bertaubat dan beristighfar.
- Membacakan kepada mereka ayat-ayat dan hadits-hadits tentang hal tersebut.
- Lalu berdo’a kepada Allah dengan mengangkat kedua tangannya. Para makmum juga mengangkat kedua tangan berdo’a, memohon kepada Allah datangnya hujan yang bermanfaat.
Di antara bentuk do’anya:
1.
اللهم أغثنا، اللهم أغثنا، اللهم أغثنا ثلاث مرات
“Ya Allah berilah kami hujan bermanfaat, Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat, Ya Allah berilah kami hujan yang bermanfaat.” [HR. al-Bukhari 1014]
2.
اللهم اسقنا غيثا مغيثا، هنيئا، مريئا، غدقا، مجللا، سحا، طبقا، عاما، نافعا، غير ضار، تنمي به البلاد، وتغيث به العباد، وتجعله يا رب بلاغا للحاضر والباد
"Ya Allah turunkanlah air kepada kami, hujan yang bermanfaat dan memberi manfaat, yang tenang dan nikmat, turun dengan deras, merata, berlimpah ruah, cocok/sesuai, menyeluruh, bermanfaat tidak berbahaya, dengannya negeri menjadi subur dan para hamba mendapatkan pertolongan,  jadikanlah hujan tersebut – Ya Rabbi – mencukupi bagi penduduk kota maupun pedalaman." [Lihat Majma' al-Fawaid 2/250]
Ini di antara do’a yang dipanjatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
3.
اللهم أنبت لنا الزرع، وأدر لنا الضرع، واسقنا من بركاتك
“Ya Allah tumbuhkanlah tanaman untuk kami, penuhkanlah untuk kami susu perahan, dan turunkanlah air kepada kami dari barakah-Mu.”
Hendaknya kita meminta dengan sangat dalam do’a kita dan terus mengulang-ulang do’a.
4.
اللهم اسقنا الغيث، ولا تجعلنا من القانطين
“Ya Allah siramkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang berputus asa.”
Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam
- Kemudian MENGHADAP KIBLAT di tengah-tengah do’a, beliau menghadap kiblat dengan tetap mengangkat kedua tangannya, dan melanjutkan do’anya antara beliau dengan Rabb-nya dan tetap mengangkat tangan. Lalu beliau turun. Para makmum juga demikan, mengangkat kedua tangan dan berdo’a bersama imam. Ketika imam menghadap kiblat juga demikan, para makmum berdo’a juga antara mereka dengan Rabb mereka, mengangkat kedua tangan.
- Termasuk sunnah: memindah letak rida’ (baju luar atas) di tengah-tengah khutbah ketika sedang menghadap kiblat.
Mengganti/memindahkan posisi rida’, yang tadinya di sebelah kanan dipindah ke kiri, jika memang dia mengenakan rida’ atau jubah luar, jika jubah luar maka dibalik, jika tidak mengenakan apa-apa di atasnya maka qutrahnya yang di balik posisinya.

Para ‘ulama menjelaskan (hikmah membalik rida’ tersebut, adalah dalam rangka) mengharap nasib baik agar Allah mengganti dari kekeringan menjadi subur, dari kondisi sempit menjadi lapang, karena terdapat riwayat hadits secara mursal dari Muhammad bin ‘Ali al-Baqir:
أن النبي صلى الله عليه وسلم حول رداءه ليتحول القحط
“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam memindahkan/mengubah letak rida’-nya agar kekeringan juga berganti.” (Riwayat ad-Daraquthni, al-Hakim)
Yakni berharap nasib baik (tafaa’ul).
Maka sunnah yang berlaku untuk kaum muslimin juga demikian.

Adapun (memohon hujan) pada Khutbah Jum’at, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam TIDAK MEMINDAHKAN RIDA’. Beliau berdo’a meminta hujan ketika Khutbah Jum’at.
Minta hujan bisa dalam Khutbah Jum’at  bisa juga dalam Khutbah ‘Id, bisa juga dalam kesempatan-kesempatan lain, baik ketika duduk di rumah atau di pasar tidak mengapa. Do’a memohon hujan bisa dilakukan oleh individu maupun kelompok.

Namun, apabila dilakukan dengan cara shalat dua raka’at (yakni shalat Istisqa’), maka hendaknya:
- keluar ke tanah terbuka,
- shalat berjama’ah seperti pelaksanaan shalat ‘Id,
- lalu berkhutbah setelah itu,
- berdo’a dan memindahkan posisi rida’-nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tatkala pada posisi menghadap kiblat.

Boleh juga berkhutbah sebelum shalat, kemudian shalat (Istisqa). Datang riwayat dari Nabi dengan ini dan itu:
- Terdapat riwayat bahwa beliau berkhutbah sebelum shalat, dan
- terdapat riwayat bahwa beliau berkhutbah setelah shalat seperti pada shalat ‘Id.
Jika khutbah sebelum shalat, maka seperti shalat Jum’at.
Semua cara tersebut dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Beliau melakukan ini (cara pertama) dan itu (cara kedua).  

Yang menjadi tujuan utama adalah berdo’a dan memohon dengan sangat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mengangkat keluhan kepada-Nya agar menghilangkan kegentingan dan kekeringan serta berharap turunnya pertolongan dan hujan dari-Nya.

Terdapat riwayat pada sebagian hadits bahwa cara pelaksanaan dengan tiga kali rukuk (dalam satu raka’at, pen), ada juga dengan empat kali rukuk, ada juga dengan lima kali rukuk.
Namun riwayat YANG PALING SHAHIH dan PALING KUAT menurut para pakar peniliti hadits dari kalangan para ‘ulama, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam shalat dua raka’at dengan dua kali rukuk saja (yakni masing-masing raka’at sekali rukuk, pen), dengan dua kali rukuk dan dua kali membaca al-Fatihah.

Dinukil dari:
Fatawa Nur 'ala ad-Darb 13/399

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Pertanyaan:
عندنا أمر يحدث ويتكرر كل عام وهو أن الناس اعتادوا أن يصلوا صلاة الاستسقاء قبل صلاة العيد، سواء كان فطرا أم أضحى، وذلك بأن يجمعهم من يؤمهم لصلاة العيد ويصلي بهم ركعتين، صلاة الاستسقاء ثم بعد الفراغ من هاتين الركعتين يصلون صلاة العيد، وإذا عارضناهم قالوا: نستغل كثرة وجود المصلين، وليس هذا الأمر قاصرا على صلاة العيدين فحسب، بل كذلك يفعلون بعد صلاة الجمعة في وقت معين من السنة عند الجدب والقحط، وقلة الأمطار، وكيفية فعلهم هي: بعد أن ينتهي الإمام من صلاة الجمعة يأمرهم بأن ينووا صلاة الاستسقاء، ثم يصلي بهم ركعتين مثل ركعتي صلاة العيد، وإذا قلنا لهم: يكفي استسقاء الخطيب في آخر الخطبة وأنتم تؤمنون كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم قالوا: أمرنا الرئيس بأن نصلي الاستسقاء يوم الجمعة، وهذا هو أحسن أوقاتها، لاجتماع الناس وكثرتهم
Di tempat kami terjadi peristiwa dan berulang-ulang setiap tahun, yaitu orang-orang terbiasa melaksanakan Shalat Istisqa SEBELUM PELAKSANAAN SHALAT ‘ID, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha, yaitu dengan berkumpul pada satu imam shalat Id, terlebih dahulu shalat dua rakaat shalat Istisqa, selang beberapa saat kemudian melaksanakan shalat ‘Id dua rakaat.
Ketika kami tegur, mereka mengatakan, bahwa kita memanfaat kesempatan banyak orang berkumpul untuk shalat.
Kejadian ini bukan hanya terjadi pada hari ‘Id saja, namun JUGA MEREKA LAKUKAN SETELAH SHALAT JUM’AT pada waktu tertentu dalam setahun ketika terjadi kekeringan dan tidak ada hujan. Tata caranya: setelah imam selesai dari shalat Jum’at, dia memerintahkan kepada para makmum untuk berniat shalat Istisqa, lalu dia mengimami mereka shalat rakaat seperti shalat ‘Id (yakni Shalat Istisqa, pen).
Ketika kami katakan kepada mereka, “Cukup sang khatib berdo’a meminta hujan pada akhir khutbah, sementara kalian (para makmum) mengaminkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.” Mereka menjawab, “Bahwa Presiden memerintahkan kita untuk melakukan shalat Istisqa pada hari Jum’at. Ini adalah waktu yang terbaik, karena orang-orang berkumpul dan jumlah mereka banyak.”
فيا فضيلة الشيخ: نريد منكم فتوى لعلنا نستطيع إقناع الناس بعدم مشروعية هذه الصلاة على هذه الكيفية، إن كانت غير مشروعة، وإن كانت مشروعة وموافقة للصواب فالحمد لله رب العالمين؟
Wahai Syaikh, kami menginginkan fatwa dari Anda supaya kami bisa memberikan jawaban memuaskan kepada umat bahwa tidak disyari’atkan Shalat Istisqa dengan cara tersebut, jika memang benar bahwa itu tidak disyari’at. Adapun jika ternyata benar bahwa cara tersebut disyari’at dan sesuai dengan kebenaran, maka Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Jawab:
يكفي أن يستسقي الخطيب في خطبة الجمعة، ولا يصلي صلاة الاستسقاء بعدها؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم استسقى في خطبة الجمعة ولم يصل للاستسقاء بعدها، بل اكتفى بصلاة الجمعة، وكذا الحكم في صلاة العيد يكفي أن يستسقي في الخطبة، ولا يشرع له صلاة الاستسقاء لا قبلها ولا بعدها؛ لأن ذلك مخالف لهدي النبي صلى الله عليه وسلم. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Cukup bagi khatib untuk berdo’a minta hujan KETIKA KHUTBAH JUM’AT, dan TIDAK MELAKUKAN SHALAT ISTISQA’ SETELAH SHALAT JUM’AT.
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdoa minta hujan pada khutbah Jum’at dan tidak lagi melakukan Shalat Istisqa’ setelahnya, namun mencukupkan dengan shalat Jum’at.
Demikian juga hukum yang berlaku pada Shalat ‘Id, cukup berdo’a minta hujan ketika khutbah, dan tidak disyari’atkan Shalat Istisqa baik sebelum shalat ‘Id maupun setelah shalat ‘Id. Karena yang demikian itu BERTENTANGAN dengan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Wa Billahi at-Taufiq. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

Al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’
Fatwa no. 17575

Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

Sumber: Majmu'ah Manhajul Anbiya