Cari Blog Ini

Kamis, 02 Oktober 2014

Tentang UANG RIBA UNTUK BELI RUMAH ATAU UNTUK BEROBAT

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan: Apakah hukum riba dalam keadaan darurat, seperti orang yang berdalih dengan keadaan darurat untuk membangun tempat tinggal atau untuk biaya pengobatan orang yang sakit?

Jawaban:
Tidak ada darurat di sini, riba hukumnya tetap haram. Allah Ta’ala berfirman:
ﻳَﻤْﺤَﻖُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺍﻟﺮِّﺑَﺎ ﻭَﻳُﺮْﺑِﻲْ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺎﺕِ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﻛُﻞَّ ﻛَﻔَّﺎﺭٍ ﺃَﺛِﻴْﻢٍ
“Allah melenyapkan riba dan mengembangkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang kafir dan banyak berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah:
ﺍﺟْﺘَﻨِﺒُﻮْﺍ ﺍﻟﺴَّﺒْﻊَ ﺍﻟﻤُﻮﺑِﻘَﺎﺕ
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” [HR. Al-Bukhary no. 2766 dan 6857 serta Muslim no. 89]
Diantara yang beliau sebutkan adalah riba.
Jadi riba tidak boleh digunakan. Orang yang sakit akan disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan rumah juga akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.
Al-Bukhary telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺯَﻣَﺎﻥٌ، ﻻَ ﻳُﺒَﺎﻟِﻲْ ﺍﻟﻤَﺮْﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﻳْﻦَ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻤَﺎﻝُ، ﺃَﻣِﻦْ ﺣَﻼَﻝٍ ﺃَﻡْ ﻣِﻦَ ﺣَﺮَﺍﻡٍ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak lagi mempedulikan dari manakah dia mendapatkan harta, apakah dari sesuatu yang halal ataukah dari sesuatu yang haram.” [Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 2059 dan 2083]
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain:
ﻣَﻦْ ﺗَﺮَﻙَ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻋَﻮَّﺿَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻣِﻨْﻪُ
“Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.”

Sumber artikel: muqbel[dot]net

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Muhammad Ali Firkous Al Jazairy - hafizhahullah

Saya telah meminjam sejumlah uang dari bank – karena terpaksa – untuk membeli rumah yang dapat menaungi saya beserta keluarga, dan sekarang – alhamdulillah – saya telah mengetahui hukum syar’i, dan saya ingin bertaubat, maka apa kiranya yang bisa saya lakukan? Sebagai catatan saya belum menyelesaikan pengembalian pinjaman tersebut secara sempurna. Jazakumullah khairan.

Jawab:

Hukum asal dalam dari pinjaman ribawi adalah haram dan batal (akadnya- pent), berdasarkan firman Allah – ta’ala:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنتُم مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ﴾ [البقرة: ٢٧٨ ـ ٢٧٩]

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al Baqarah: 278 – 279].

Sebagaimana pada asalnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui hal yang sangat penting dari permasalahan-permasalahan agama ataupun duniawi, dikarenakan wajibnya menuntut ilmu syar’i berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam:

«طَلَبُ العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»(١)،

“menuntut ilmu sesuatu yang wajib bagi setiap muslim”(1)

Dan tidak boleh bagi seseorang untuk tidak mengetahui sesuatu yang secara otomatis telah dimaklumi merupakan bagian dari agama (معلومم من الدين بالضرورة)atau sesuatu yang telah masyhur (bahwa ia termasuk bagian dari agama – pent), oleh karenanya para ulama qawa’id meletakkan suatu kaidah yang kandungannya sebagai berikut:

«لاَ يُقْبَلُ فِي دَارِ الإِسْلَامِ عُذْرُ الجَهْلِ بِالحُكْمِ الشَّرْعِيِّ»؛

Tidaklah diterima uzur ketidak-tahuan terhadap hukum syar’i di negara Islam

Maka ketika tidak ada kekuasaan syar’i dalam mengatur hukum-hukum yang berhubungan dengan akad-akad, dari segi pembatalan akad dan mengembalikan kedua pihak yang menjalankan akad sebagaimana keadaan seperti sebelum terjadinya akad, dan dikarenakan tindakan riba yang dilakukannya – yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah subhanahu  wa ta’ala – tidak dapat dikembalikan sebagaimana sebelum terjadinya akad, ketika tidak dapat terjadi semua hal tersebut maka akad disahkan karena darurat, bukan karena diakui dalam agama, dan dia menyempurnakan pengembalian sejumlah yang diwajibkan bank atasnya tanpa berbuat aniaya.

Adapun (alasan) menjadikan pinjaman sebagai jalan keluar dari keadaan darurat, maka harus diperhatikan bahwa keadaan darurat (secara syari’at-pent) yaitu: seseorang sampai kepada tingkatan yang hampir dia binasa padanya atau mendekati kebinasaan, maknanya apabila dia mengerjakan suatu maksiat (untuk menghidari kebinasaan - pent), maka itu lebih ringan daripada meninggalkannya (karena dia akan terhindar dari kebinasaan-pent). Dan dalam permasalahan seperti ini maka untuk mengetahuinya (apakah telah sampai kepada derajat darurat atau belum – pent) dikembalikan kepada agama seseorang dalam penentuan kadarnya dan seberapa besar permasalahan tersebut.

Maka apabila hakikat yang disebutkan oleh penanya bahwa dia berada dalam keadaan darurat yang memaksa, hampir-hampir dia binasa dalam hal agamanya, hartanya atau harga dirinya, maka hal itu boleh dilakukan (yaitu meminjam uang dari bank – pent) akan tetapi hanya sekadarnya.

Oleh karena itu ulama meletakkan suatu kaidah yang kandungannya:

«إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اتَّسَعَ، وَإِذَا اتَّسَعَ ضَاقَ»

“apabila keadaan sulit maka dilapangkan, dan apabila keadaan lapang /mudah maka diperketat”

«الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ المَحْظُورَاتِ وَلَكِنْ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا»

“Keadaan-keadaan darurat dapat menjadikan halal perkara-perkara terlarang akan tetapi hanya sekadarnya”.(1)

Kemudian ketahuilah bahwa suatu taubat haruslah berupa taubat yang murni dan tulus (taubat nasuha), yaitu dengan meninggalkan kemaksiatan tersebut dan seluruh kemaksiatan yang lainnya, dia bertekad kuat untuk tidak kembali melakukannya, dan mengiringi taubat tersebut dengan amal solih, berdasarkan firman Allah – subhanahu wa ta’ala:

﴿إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾ [الفرقان: ٧٠]

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah orang yang Allah ganti kejelek”an yang mereka lakukan dengan kebaikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Furqan: 70]

Dan barangsiapa yang jujur dalam bertaubat dari kemaksiatan maka akan Allah berikan petunjuk baginya kepada hal-hal yang mendatangkan kemenangan dan keselamatan di dunia dan akhirat, Allah – ta’ala – berfirman:

﴿وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ [النور: ٣١].

“dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai oreng-orang yang beriman agar kalian beruntung”

والعلم عند الله، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على محمَّدٍ وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلَّم تسليمًا.

Al Jazair: 29 Jumadal Ula 1426 H

Bertepatan dengan 6 Juli 2005 M

(1)HR Ibnu Majah di dalam “Al Muqaddimah” bab “Keutamaan Ulama dan Hasungan untuk Menuntut Ilmu” (224) dari hadits Anas I dishohihkan Al Albani dalam “Shohihul Jami’” (3914).

(2)Dan dalam perkara ini hendaknya masing-masing mengkonsultasikan keadaannya kepada ahlul ilmi dan asatidzah untuk mengetahui apakah keadaanya secara syar’i telah dikategorikan sebagai keadaan darurat ataukah belum (pent).

Alih bahasa: Al-Ustadz Abu Ahmad Purwokerto

Tentang MENDOAKAN ORANG YANG BERTAHMID KETIKA BERSIN

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺧَﻤْﺲٌ؛ ﺭَﺩُّ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ، ﻭَﻋِﻴَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﻤَﺮِﻳﺾِ، ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉُ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺋِﺰِ، ﻭَﺇِﺟَﺎﺑَﺔُ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ، ﻭَﺗَﺸْﻤِﻴﺖُ ﺍﻟْﻌَﺎﻃِﺲِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ. ﻗِﻴﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺤَﻚَ ﻓَﺎﻧْﺼَﺢْ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺴَﻤِّﺘْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﻓَﻌُﺪْﻩُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌْﻪُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam." Ditanyakan, “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya‏).”

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan: Orang yang bersin dan dia mengucapkan alhamdulillah apakah wajib atas siapa saja yang mendengarkannya untuk mendoakannya?

Jawab:
Wajib, dan hukumnya tidak seperti menjawab salam yang mana satu orang sudah mencukupi. Jika seseorang mengucapkan salam kepada kita assalamualaikum maka cukup salah seorang dari kita menjawab waalaikumussalam.
Tetapi orang yang bersin wajib atas siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya. Wajib atas kita semua untuk mendoakannya jika dia mengucapkan alhamdulillah.
Dalam hal ini terdapat sebuah hadits:
ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺤَﻖٌّ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣَﻦْ ﺳَﻤِﻌَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸَﻤِّﺘَﻪُ
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan alhamdulillah maka wajib atas siapa saja yang mendengarnya untuk mendoakannya.” [1]
Atau yang semakna.

Sumber artikel:
Ijaabatus Saa-il, terbitan Daarul Haramain, cetakan ke-1 tahun 1416 H, pertanyaan no. 201 hal. 322

Keterangan:
[1] Lihat: Dalam Shahih Al-Bukhary no. 6223 lafazhnya:
ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ، ﻓَﺤَﻖٌّ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﺳَﻤِﻌَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳُﺸَﻤِّﺘَﻪُ
“Jika seseorang bersin lalu dia mengucapkan alhamdulillah maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya.”
Sedangkan di no. 6226 lafazhnya:
ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻭَﺣَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ، ﻛَﺎﻥَ ﺣَﻘًّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﺳَﻤِﻌَﻪُ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﻟَﻪُ : ﻳَﺮْﺣَﻤُﻚَ ﺍﻟﻠﻪُ
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu dia mengucapkan alhamdulillah maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk mendoakannya dengan mengucapkan yarhamukallah.” 
Lihat juga: Shahih Muslim no. 2992.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MAHRAM

Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya.
Mereka dibagi menjadi tiga kelompok:
1. Mahram karena nasab (keturunan)
2. Mahram karena penyusuan
3. Mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan)

Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:
1. Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
2. Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
3. Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
4. Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas, baik sekandung, seayah atau seibu.
5. Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas, baik sekandung, seayah atau seibu.
6. Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
7. Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.

Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. [1]

Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut;
1. Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas.
2. Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah.
3. Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas.
4. Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib (anak laki-laki istri dari suami lain), dan seterusnya ke bawah. [2]

Sumber: Asy Syariah online

Footnote:

[1] Akan tetapi, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), ar-radha’ah (penyusuan) tidak akan berlaku (yakni tidak menjadi mahram) kecuali terpenuhinya beberapa syarat;

1. Lima kali penyusuan atau lebih.
‘Aisyah radhiallahu anha berkata:
“Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan, kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
Al-Imam Asy-Syafi‘i berkata:
“Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26)
Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan. (Al-Umm, 5/27)
Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya.

2. Penyusuan yang mencukupi dari rasa lapar (mengenyangkan).
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
Abu ‘Ubaid berkata:
“Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”
Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)
Al-Imam Al-Khaththabi berkata dalam Al-Ma‘alim:
“Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)

3. Anak susu berusia di bawah dua tahun.
Al-Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)
Jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)

4. Berlangsungnya penyusuan sebelum anak disapih.
Diriwayatkan daru Ummu Salamah radhiallahu anha:
“Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa no. 2150)
‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhuma pernah berkata:
“Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.”
Al-Imam Malik berkata:
“Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”

[2] Golongan 1, 2 dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekedar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun golongan 4 maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah. Dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih.

Tentang MENJADIKAN MAKMUM MASBUK YANG SEDANG MENYEMPURNAKAN SALAT SEBAGAI IMAM

Pertanyaan:
Ketika memasuki masjid, qadarullah (sebagaimana yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala), saya mendapati imam telah shalat. Saya pun shalat bersama jamaah. Setelah imam salam, saya berdiri untuk menyempurnakan apa yang terluput. Tiba-tiba, seseorang masuk dan menjadikan saya sebagai imam. Bolehkah orang tersebut menjadikan saya sebagai imam?

Jawab:
Apabila seorang makmum mendapatkan sebagian shalat bersama imam lantas ia berdiri menyempurnakannya setelah imam salam, siapa pun yang ingin shalat bersamanya boleh menjadikannya sebagai imam menurut pendapat yang benar di antara beberapa pendapat ahli fikih. Sebagian mereka —ulama mazhab Hanafi dan Maliki— berpendapat, orang yang sedang menyempurnakan shalat setelah imam salam tidak boleh dijadikan sebagai imam. Perkara ini bersifat ijtihadiah karena tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini.
Wabillahit taufiq washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa shahbihi wa sallam.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz;
Wakil Ketua: Abdur Razzaq Afifi;
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Mani’.

(Fatawa al-Lajnah, 7/399—400)

Sumber: Asy Syariah Edisi 087

Tentang SHALAT SUNNAH LEBIH UTAMA DIKERJAKAN DI RUMAH

Dari sahabat Zaid bin Tsabit, sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan Hadits Ibnu ‘Umar,
ﺍِﺟْﻌَﻠُﻮْﺍ ﻓِﻲْ ﺑُﻴُﻮْﺗِﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻜُﻢْ ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭْﻫَﺎ ﻗُﺒُﻮْﺭًﺍ
“Lakukanlah di rumah-rumah kalian sebagian dari shalat-shalat kalian dan janganlah menjadikannya sebagai kuburan.” (HR. Al-Bukhâry no. 422)

Tentang JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH DAN SHALAT MALAM

Dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab, “Tidaklah (Rasulullah) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. al-Imam al-Bukhari)

Aisyah radhiallahu anha dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengerjakan shalat sebelas rakaat pada waktu antara selesai shalat isya sampai subuh.” (HR. Muslim no. 736)

“Beliaulah ('Aisyah) yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari daripada lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat. Kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya Beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 22)

Dari Sa’ib bin Yazid beliau berkata, “’Umar bin al-Khaththab memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. al-Imam Malik, lihat al-Muwaththa Ma’a Syarh az-Zarqani, 1/361 no. 249)

Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata dalam al-Irwa’ (2/192) tentang hadits ini, “(Hadits) ini isnadnya sangat sahih.”

Asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin berkata, “(Hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar, dan (perintah itu) sesuai dengannya karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As-Sunnah. Apabila Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (asy-Syarhul Mumti’)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sholat antara selesainya dari sholat isya` sampai sholat fajr (sholat subuh) sebelas raka’at. Beliau salam setiap dua raka’at dan witir dengan satu raka’at.” (HR. Muslim)

Rasulullah bersabda:
ﺻَﻼَﺓُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺧِﻔْﺖَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ ﻓَﺄَﻭْﺗِﺮْ ﺑِﻮَﺍﺣِﺪَﺓٍ
“Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at, jika kamu takut masuk waktu shubuh maka witirlah satu raka’at.” (HR. Muslim no.749)
Sehingga shalat malam itu paling sedikit satu raka’at (yaitu shalat witirnya saja).

Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻟِﻴُﺼَﻠِّﻲَ ﺍﻓْﺘَﺘَﺢَ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﺑِﺮَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺧَﻔِﻴﻔَﺘَﻴْﻦِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk menunaikan shalat malam, biasanya beliau memulai shalatnya dengan dua rakaat ringan.” (HR. Muslim no. 767)

Wallahu a'lam.

Tentang PAKAIAN WANITA DI HADAPAN SESAMA WANITA, DI HADAPAN MAHRAM, DAN DI HADAPAN ANAK KECIL YANG BELUM MENGERTI AURAT WANITA

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Penanya:
Fadhilatus Syaikh, apakah memakai baju lengan pendek bagi wanita atau jenis baju yang dinamakan you can see di hadapan sesama wanita haram hukumnya?

Asy-Syaikh:
Menurut saya, seorang wanita hendaknya senantiasa menjaga rasa malu dan menjauhi penampilan yang bersifat tabarruj (tidak sopan). Sesungguhnya jika wanita dibukakan untuk mereka sesuatu yang mubah (diperbolehkan), maka hal itu bisa merembet kepada yang haram. Jika kita memberikan keringanan bagi wanita untuk menampakkan lengan bawahnya di hadapan sesama wanita, tentu perlahan akan merembet hingga menampakkan lengan bagian atas, dan bisa jadi hingga menampakkan pundak atau bahu, sehingga terjadilah tabarruj yang tercela. Jadi seorang wanita wajib meneladani para wanita di masa Ar-Rasul shallallahu alaihi wa sallam, yaitu dengan mengenakan baju yang menutupi hingga bagian telapak tangan dan hingga mata kakinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan bahwa yang seperti ini adalah sifat pakaian para istri atau wanita di zaman Shahabat, dan cukuplah mereka sebagai panutan dan teladan.

Sumber:
Fataawa Nuurun Alad Darb, 11/101-102 no. 5654

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan: 
Apakah berdosa jika seorang wanita mengenakan pakaian yang menyingkap betis dan lengannya di hadapan wanita lain?

Jawaban:
Iya, dia berdosa. Tidak halal baginya untuk dia menyingkap sesuatu dari tubuhnya di hadapan wanita lain kecuali apa yang boleh dia singkap di hadapan bapaknya, saudara-saudaranya dan mahramnya. Dikarenakan Allah menyebutkan (dalam Al-quran) wanita-wanita bersamaan dengan mahram yang lain.
Dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau bapak mereka atau bapak dari suami mereka. Sampai firman-Nya: Atau kepada wanita-wanita.
Perhiasan dalam ayat yang dimaksud adalah wajah. Jadi, apa yang boleh dia singkap di hadapan mahramnya yang laki-laki, maka boleh juga dia singkap di hadapan wanita lain, dan apa yang tidak boleh dia singkap di hadapan mahram laki-laki, maka tidak boleh juga dia singkap di hadapan wanita lain.

Sumber: 
www .alfawzan .af .org .sa/node/3690

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i rahimahullah

Teks pertanyaan:
ﻣﺎﻫﻮ ﻟﺒﺎﺱ ﺍﻟﻌﺮﻭﺱ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ،ﻭﻣﺎﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺸﺮﻉ ﺃﻥ ﻳﺮﻯ ﻣﻨﻬﺎ ﻳﻮﻡ ﺯﻓﺎﻓﻬﺎ ،ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻣﺎﻡ ﻣﺤﺎﺭﻣﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺃﻣﻬﺎ ﻭﻗﺮﻳﺒﺎﺗﻬﺎ ﻓﻬﻞ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺃﻣﺎﻣﻬﻢ ﺑﺎﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﺠﻤﻴﻠﺔ ﻭﺍﻟﺤﻠﻲ ﻭﺭﻓﻊ ﺍﻟﺨﻤﺎﺭ ﻭﺗﺴﺮﻳﺢ ﺍﻟﺸﻌﺮ ﺃﻣﺎﻣﻬﻢ ﻭﺃﻣﺎﻡ ﻏﻴﺮﻫﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍﻟﻔﺎﺳﻘﺎﺕ ﺃﻡ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﻓﻘﻂ؟
Bagaimana pakaian mempelai perempuan yang disyariatkan dan apa saja yang boleh dilihat darinya pada hari pernikahannya? Dan bila dihadapan mahramnya dari kalangan lelaki, ibunya, dan sanak kerabatnya, apakah boleh berhias di depan mereka dengan mengenakan pakaian yang indah, perhiasan, menanggalkan kerudung, serta menghias rambut di depan mereka dan selain mereka dari kalangan wanita yang fasik atau hanya berhias di hadapan suami saja?

Teks jawaban:
ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻤﺮﺃﺓ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﻳﻮﻡ ﺯﻓﺎﻓﻬﺎ ﺑﺎﻟﺰﻳﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺳﺮﺍﻑ، ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﻛﻞ ﻭﺍﻟﺒﺲ ﻭﺗﺼﺪﻕ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺳﺮﻑ ﻭﻻ ﻣﺨﻴﻠﺔ، ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮ ﻫﻮ ﺃﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺳﺮﺍﻑ، ﻭﻻﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻫﺐ ﺃﻭ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻴﺎﺏ ﺍﻟﻔﺎﺧﺮﺓ
Seorang wanita boleh berhias pada hari pernikahannya dengan perhiasan yang tidak berlebihan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was salam:
ﻛﻞ ﻭﺍﻟﺒﺲ ﻭﺗﺼﺪﻕ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺳﺮﻑ ﻭﻻ ﻣﺨﻴﻠﺔ
“Makan, berpakaianlah, dan bershadaqahlah tanpa berlebihan dan sikap sombong.”
Yang jadi acuan ialah tidak adanya israf (pemborosan/berlebihan). Dan tidak mengapa ia berhias dengan mengenakan sedikit dari emas dan sedikit dari pakaian kebanggaan.
ﻭﺃﻣﺎ ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﺘﺰﻳﻦ ﺃﻣﺎﻡ ﻣﺤﺎﺭﻣﻪ؟ ﻭﺃﻣﺎﻡ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ؟ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﺃﻳﻀﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﻓﻠﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﺤﺮﻡ ﺃﻭ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﺃﻥ ﻳﺮﻯ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻠﺒﺴﻬﺎ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ، ﻭﺍﻟﺒﻌﺾ ﺍﻵﺧﺮ ﻳﺮﺍﻩ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﻡ ﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ، ﻭﻫﻜﺬﺍ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﺍﻟﻔﺎﺳﻘﺎﺕ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻬﻦ ﺃﻥ ﻳﺮﻳﻦ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﺣﺘﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣﻦ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﺎﻓﺮﺓ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﻛﺎﻓﺮﺓ ﻓﻼﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﺮﻯ ﺯﻳﻨﺔ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﻭﻳﺴﺘﺪﻟﻮﻥ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻭﻻﻳﺒﺪﻳﻦ ﺯﻳﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ؛ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ: ﺃﻭ ﻧﺴﺎﺋﻬﻦ
Adapun apakah ia boleh berhias di hadapan mahramnya? Dan di hadapan para wanita? Maka hal itu juga tidak mengapa, meskipun perhiasan tersebut untuk di hadapan suami. Maka di sana tidak ada dalil yang mengharamkan atau dalil yang mengkhususkan bahwa suami melihat sebagian perhiasan yang dikenakan isterinya dan sebagian lainnya untuk dilihat mahramnya, maka di sana tidak ada dalilnya.
Demikian juga dengan para wanita dan wanita-wanita fasik, boleh bagi mereka untuk melihat perhiasannya. Bahkan menurut pendapat yang shahih di antara pendapat para ‘ulama meskipun wanita kafir (yang melihatnya).
Walaupun jumhur ‘ulama berpandangan apabila wanita kafir maka tidak boleh melihat perhiasan wanita muslimah. Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:
ﻭﻻ ﻳﺒﺪﻭﻥ ﺯﻳﻨﺘﻬﻦ ﺇﻻ ﻟﺒﻌﻮﻟﺘﻬﻦ
“Janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasannya kecuali kepada suami-suami mereka…”
sampai firman Allah :
ﺃﻭ ﻧﺴﺎﺋﻬﻦ
“…atau wanita-wanita mereka.” (An-Nuur: 31‏)
ﻓﺎﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﻜﺎﻓﺮﺓ ﺃﻥ ﺗﺮﻯ ﺯﻳﻨﺔ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ ﻳﻤﻨﻊ ،ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻠﻤﺖ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺃﺧﻴﻨﺎ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﺍﻟﻌﺪﻭﻱ > ﺟﺎﻣﻊ ﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ < ﻓﻬﻮ ﻛﺘﺎﺏ ﻗﻴﻢ ﻻﺃﻋﻠﻢ ﻟﻪ ﻧﻈﻴﺮ ﺗﻜﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻭﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺭﻭﺍﻳﺘﻴﻦ ﺑﺎﻟﺠﻮﺍﺯ ﻭﺍﻟﻤﻨﻊ، ﻭﺍﻟﺠﻮﺍﺯ ﻫﻮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻟﻌﺪﻡ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﻤﺎﻧﻊ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ، ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺃﻧﻪ ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﺪﺧﻞ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺸﺮﻛﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻤﺎﻡ، ﻭﻟﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻻﻳﺜﺒﺖ ﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
Namun yang shahih bahwa wanita-wanita kafir itu boleh melihat perhiasan wanita muslimah sedangkan di sana tidak ada dalil yang menghalanginya. Dan di antara kitab terbaik yang berbicara tentang masalah ini ialah kitab saudara kami Mushthafa al-‘Adawi [Jami’ Ahkamin Nisa’] dan itu merupakan kitab yang berharga, saya tidak mengetahui ada yang semisal dengannya dalam berbicara tentang masalah ini. Diriwayatkan dari Imam Ahmad dengan dua riwayat, riwayat yang membolehkan dan yang melarang.
Dan yang membolehkan itulah pendapat yang shahih karena tidak ada dalil shahih yang melarang dari hal ini.
Datang sebuah riwayat dari ‘Umar bahwa beliau melarang para wanita muslimah masuk bersama wanita-wanita musyrik ke dalam kamar mandi, namun riwayat ini tidak tsabit dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.

Lihat kitab:
Gharatul Asyrithah (2/472)

Sumber:
www .muqbel .net/fatwa .php?fatwa_id=3656

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Tentang ISTRI MINTA CERAI KARENA SUAMI MENIKAH LAGI

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya: Apakah seorang istri berdosa jika dia meminta cerai kepada suami karena suaminya tersebut menikah lagi?

Asy-Syaikh:
Jika si istri ketika menikah mensyaratkan kepada suaminya agar dia tidak menikah lagi, lalu suaminya melanggar dan menikah lagi, bagi dia berhak melakukan fasakh (membatalkan pernikahannya). Adapun jika dia tidak mensyaratkan, maka dia tidak berhak. Karena dia meminta cerai hanya gara-gara suaminya menikah lagi, padahal suaminya tidak menzhaliminya dan bersikap adil. Dalam keadaan seperti ini maka tidak boleh baginya untuk memintai cerai, karena itu bukan alasan yang dibenarkan, karena Allah membolehkan bagi suaminya untuk menikah lagi. Jadi engkau sebagai istri jangan mengingkari suamimu pada sesuatu yang diperbolehkan. Tetapi kalau suamimu melampaui batas, berbuat zhalim kepadamu dan tidak bersikap adil, maka engkau berhak menuntut cerai dan engkau tidak bersalah.

Sumber: alfawzan[dot]af[dot]org[dot]sa

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan: Sebagian ikhwah ingin menikah lagi, tetapi istri pertamanya keberatan dan berdalih dengan firman Allah Azza wa Jalla:
ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻧَﻔْﺴًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﻭُﺳْﻌَﻬَﺎ
"Allah tidak membebani seorang jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Menurutnya madunya itu adalah sesuatu yang tidak mampu dia hadapi dan dia mengatakan kepada suaminya: “Jika engkau ingin menikah lagi maka cerailah diriku lebih dahulu!”

Jawaban:
Yang lebih utama bagi sang istri adalah dengan bersabar sampai jika dia tidak melihat sikap adil dari suaminya maka tidak mengapa dia meminta cerai. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻣَﺜْﻨَﻰ ﻭَﺛُﻠَﺎﺙَ ﻭَﺭُﺑَﺎﻉَ
"Maka nikahilah wanita yang kalian sukai sebanyak dua, tiga dan empat.” (QS. An-Nisa': 3)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri menikah dengan 9 istri, sedangkan kita tidak boleh menikahi lebih dari 4 istri. Jadi yang dituntut dari sang suami adalah bersikap adil. Jika sang istri tersebut shalihah dan sang suami ingin bersabar bersamanya maka ini adalah perkara yang tidak masalah. Namun jika dia bukan istri yang shalihah maka tidak mengapa mencerainya atau menikah dengan wanita lain yang shalihah. Namun harus diketahui bahwa tidak boleh bagi sang istri untuk meyakini bahwa hal itu haram, yaitu suaminya tidak boleh menikah lagi. Adapun jika dia tidak mampu bersabar, maka kami nasehatkan agar dia bersabar sampai dia melihat suaminya bersikap zhalim dan tidak berbuat adil. Kalau tidak demikian, jika sampai dia menganggapnya sebagai sesuatu yang haram maka anggapan ini termasuk kekafiran.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengatakan kepada Ali bin Abi Thalib ketika dia ingin menikah dengan anak perempuan Abu Jahal:
ﺇِﻥَّ ﻋَﻠِﻴًّﺎ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﺰَﻭَّﺝَ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﺎﻃِﻤَﺔَ ﺑِﺎﺑْﻨَﺔِ ﺃَﺑِﻲْ ﺟَﻬْﻞٍ ﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻻَ ﺗَﺠْﺘَﻤِﻊُ ﺑِﻨْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺑِﻨْﺖُ ﻋَﺪُﻭِّ ﺍﻟﻠﻪ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﻋَﻠِﻲٌّ ﺃَﻥْ ﻳَﺘَﺰَﻭَّﺝَ ﺑﺎﻧﺒﺔ ﺃَﺑِﻲْ ﺟَﻬْﻞٍ ﻓَﻠْﻴُﻔَﺎﺭِﻕْ ﺍﺑْﻨَﺘِﻲْ
"Sesungguhnya Ali ingin memadu Fathimah dengan anak perempuan Abu Jahl, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan anak musuh Allah, jika Ali tetap ingin menikah dengan anak Abu Jahl maka hendaknya dia terlebih dahulu mencerai putriku.” [Shahih Al-Bukhary no. 3110 dan 3729 dan Shahih Muslim no. 2449]
Atau yang semakna.
Yang jelas istrinya tersebut tidak boleh meyakini bahwa hal itu sesuatu yang haram.

Sumber artikel: muqbel[dot]net

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang SHALAT TARAWIH BERSAMA IMAM SAMPAI SELESAI

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380).
Berkenaan dengan hadits di atas, al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (al- Mughni, 2/606)
Asy-Syaikh al-Albani berkata, “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri, maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hlm. 26)

Tentang ISTRI MINTA CERAI KARENA TIDAK CINTA

Asy-Syaikh Muqbil bin Hady rahimahullah

Pertanyaan:
Pada hadits Ibnu Abbas dalam riwayat Al-Bukhary disebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais saya tidak mencela akhlak dan tidak pula agamanya, tetapi saya tidak ingin kafir dalam Islam.” (Lihat: Shahih Al-Bukhary no. 5273)
Apa yang menyebabkannya meminta cerai?

Jawaban:
Ini adalah ketidaksukaan yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan di sebagian jalan riwayat hadits ini disebutkan bahwa dia melihat Tsabit bin Qais pada sekumpulan pria, lalu dia menjumpainya yang paling pendek di antara mereka. Yang jelas dia membenci suaminya yang bukan disebabkan karena akhlaknya atau agama yang jelek, tetapi ketidaksukaan yang Allah jadikan dalam hatinya. Maka semacam ini tidak mengapa –sebagaimana yang lalu– bagi seorang istri untuk meminta cerai. Dan wajib untuk memenuhi permintaannya, karena kalau dia dipaksa tetap bersama orang yang tidak dia cintai, maka bisa jadi akan menyebabkan dia melakukan bunuh diri. Bisa juga dia akan lari meninggalkan keluarganya dan hal-hal yang lainnya. Ini adalah yang wajib dilakukan, yaitu dengan memenuhi permintaannya (mencerainya) jika dia memang tidak menyukai suaminya dengan sebab yang sifatnya tabiat.

Sumber artikel: muqbel.net

Alih bahasa: Abu Almass

forumsalafy.net

###

Tanya:
Apakah seorang istri yang tidak bisa mencintai suaminya lagi termasuk istri yang durhaka?

Jawab:
Cinta suami adalah masalah kalbu (hati) yang di luar kemampuan manusia untuk mengaturnya. Dengan demikian, istri yang tidak bisa mencintai suaminya tidak tercela dan durhaka. Akan tetapi, jika hal itu menyeretnya berbuat nusyuz, yaitu durhaka kepada suami dengan tidak memberi hak suami yang wajib, itulah yang tercela. Oleh karena itu, istri yang tidak mencintai suaminya dan tidak mampu bersabar bersamanya lantas khawatir hal itu akan menjadikannya berbuat nusyuz, boleh minta khulu’. Namun, jika suaminya menyayanginya dan dia sendiri mampu bersabar, lebih baik tetap bersamanya.

Dijawab oleh: al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

http://tanyajawab.asysyariah.com/istri-yang-tidak-bisa-mencintai-suami/

Tentang MENGUSAP DI ATAS KERUDUNG SEBAGAI GANTI MENGUSAP KEPALA KETIKA WANITA BERWUDHU

Pertanyaan: Dalam agama yang mulia ini ada pensyariatan mengusap di atas ‘imamah/sorban bagi laki-laki ketika berwudhu sebagai pengganti mengusap kepala. Yang menjadi pertanyaan, apakah wanita juga diperkenankan mengusap di atas kerudungnya bila ia mengenakan kerudung saat berwudhu?

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menjawab:

Yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad adalah boleh bagi wanita mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung itu dikaitkan di bawah tenggorokan [1], karena adanya riwayat dari sebagian sahabiyyah (para wanita dari kalangan sahabat Rasulullah), semoga Allah meridhai mereka. [2]
Bagaimana pun keadaannya, bila memang terdapat kesulitan/kepayahan, mungkin udara yang dingin atau sulit dilepas, maka pengizinan dalam kondisi semisal ini tidak apa-apa. Namun yang lebih utama adalah si wanita tidak mengusap di atas kerudungnya (tapi ia mengusap kepalanya saat berwudhu).
Wallahu a’lam.

[Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/171]

Sumber: Majalah Asy Syariah Online

Keterangan:

1. Tidak diletakkan begitu saja di kepala, karena yang seperti ini tidak sulit melepaskannya. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/240)

2. Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Mushannaf-nya, kitab Ath-Thaharah, fil Mar’ah Tamsahu ‘ala Khimariha, no. 249 dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha disebutkan ia mengusap di atas kerudungnya.
Ali ibnul Madini berkata, “Al-Hasan melihat Ummu Salamah, namun tidak mendengar hadits darinya.” (Jami’ut Tahshil, hal. 163) [Lihat ta’liq Asy-Syarhul Mumti, 1/239, Dar Ibnil Jauzi, cet. pertama, Dzulqa’dah 1422 H]

Tentang HEWAN KURBAN MENJADI SAKIT ATAU CACAT SETELAH DIBELI

Asy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin Rahimahullohu ditanya:

Saya ingin berkurban, akan tetapi saya ingin membeli (hewan kurban berupa kambing) dari sekarang, kemudian saya pelihara. Lalu bagaimana apabila terjadi sesuatu pada kambing tersebut, seperti sakit, cacat atau perkara yang bisa menghalangi hewan tersebut untuk dijadikan hewan kurban?
Apakah saya tetap boleh menjadikannya sebagai hewan kurban atau tidak? Dalam keadaan sekarang saya sudah membelinya.

Jawaban:

Berkata para ulama Rahimahumullohu: apabila engkau telah menentukan hewan tersebut sebagai hewan kurban, seperti engkau mengatakan: “Hewan ini, hewan kurban,” maka yang seperti ini sudah menjadi hewan kurban. [1]
Apabila hewan tersebut kemudian sakit atau cacat, jika engkau yang menjadi sebab maka ini TIDAK BISA dijadikan hewan kurban, dan wajib atasmu untuk membeli lagi sebagai ganti, yang semisalnya atau kalau bisa yang lebih baik darinya.
Namun apabila bukan engkau penyebabnya, maka yang seperti ini BOLEH untuk dijadikan hewan kurban.
Oleh karena ini, kami katakan: Yang lebih utama, seseorang untuk bersabar menentukannya sebagai hewan kurban. Semisal ia sudah lebih dulu membelinya, dengan tujuan supaya ia bisa memberi asupan gizi yang baik, akan tetapi ia tidak langsung menentukannya sebagai hewan kurban. Pada saat tiba waktu penyembeliahan barulah ia menentukannya sebagai hewan kurban. Dan ia berkata (berdo’a tatkala akan menyembelih‏):
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻫﺬﺍ ﻣﻨﻚ ﻭﻟﻚ ﻋﻨﻲ ﻭﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻲ
“Ya Alloh, binatang kurban ini dari-Mu dan untuk-Mu. Dan ini kurban atas namaku dan keluargaku."
Maka ketika ia tidak langsung menentukan, faidahnya sangat penting: seandainya ia tidak jadi berkurban dengannya, kemudian menjualnya dan membeli yang lainnya maka baginya yang ia beli, dikarenakan ia belum menentukannya.

Silsilah Liqo’ syahri – 43
〰〰
Faidah dari Al-Ustadz Ibrohim Abu Kaysa hafidzahullah

Footnote:

[1] Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺔٌ dengan ucapan:
ﻫَﺬِﻩِ ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺔٌ
"Hewan ini adalah hewan qurban."
Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban.

###

Al Ustadz Qomar Su’aidi hafizhahullah

Dari Tanya Jawab Muhadharah Ma’had Daarus Salaf Sukoharjo Solo, Hari Ahad, 26 Dzulqo’dah  1435H | 21 September 2014M

Pertanyaan:
Bagaimana kalau sapi atau kambing sudah dibeli masih dititipkan yang memelihara, tadinya tidak ada aib. Sapi dan kambing tersebut tahu-tahu mau diambil ternyata ada aib karena kita tidak memeliharanya sendiri?

Jawab:
Kalau orangnya itu amanah dan berusaha maka tidak ada kewajiban mengganti, tapi kalau dia orangnya teledor, ya maka ada kewajiban mengganti. Dan kita juga mungkin teledor ya, itu artinya kita tidak memilih orang yang baik dalam menjaga itu. Seperti penjelasan tadi terkait dengan keteledoran apa tidak.

Sumber : 
http://forumsalafy.net/tanya-jawab-fikih-qurban-bagian-5/

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html